Suatu hari, saya melihat seorang anak kecil yang mengenakan celana
pendek bertuliskan ”Forever in The Future: Revolution.”.Anak sekecil
itu atau bahkan orang tuanya dan siapapun yang membelinya mungkin tidak
tahu persis makna dari tulisan tersebut yang kini sangat gampang kita
temukan dibeberapa produk lainnya di pusat-pusat perbelanjaan
tradisional dan modern. Beberapa tahun yang lalu, segala hal yang
berbau ”revolusi” adalah sebuah hal yang menakutkan karena dianggap
sebagai ancaman bagi sistem ekonomi. Tapi di abad dimana integrasi
ekonomi dari sistem kapitalisme telah menjadi sistem organisasi ekonomi
dunia dan ideologi dominan saat ini, tidak ada hal yang menyeramkan
untuk dapat dijual. Revolusi berhasil dijinakkan dan dipoles menjadi
lebih bersahabat. Pemberontakan dikemas menjadi lebih pop dan dapat
diterima oleh masyarakat arus utama. Dan Che Guevara akan terlihat
modis dan seksi di kaos-kaos para remaja urban. Hingga kini, masyarakat
lebih mengenal wajah Che Guevara daripada ide-idenya dalam dunia yang
telah dikonstruk secara sistemik dan teratur oleh kapitalisme yang
kamuflatif dan menanamkan citarasa citra, image is everything.
Kita
berada di era komodifikasi yang mengkonsumsi simbol-simbol berisi
tawar-menawar identitas. Manusia dipenuhi hasrat untuk memenuhi
keinginan akut akan sebuah pencitraan diri yang sesungguhnya imaterial.
Imajinasi manusia tidak bisa diraba namun sangat bisa diakomodir
melalui ilusi yang merupakan perekayasaan mimpi. Generasi muda adalah
pangsa yang sangat menjanjikan. Revolusi dianggap merepresentasikan
spirit anak-anak muda yang merindukan kebebasan yang serba penuh
keterbatasan. Untuk memfasilitasi citra rebellion kaum muda, diciptakan
produk-produk yang dirasa dapat mewakilinya. Sid Vicious dengan Doc
Marts, Bob Marley dengan Billabong, Mao Zedong dengan Subaru.
Dari awal sejarah pembuatannya oleh Marquis Converse Mills melalui
The Converse Rubber Company di luar kota Bosston pada tahun 1908, lalu
menjadi sepatu resmi NBA (National Basketball Association) pada tahun
1949, hingga pada akhirnya dibeli oleh Nike pada tahun 2003, Converse
bukan hanya sebuah alas yang melindungi kaki tapi menjadi instrumen
pendukung identitas sosial generasi muda. Tahun 1917, Converse
mengklaim bahwa mereka merupakan sepatu pertama di dunia olahraga
basket. Keberhasilan ini terutama setelah mengadopsi dan bergabungnya
Chuck Taylor pada tahun 1920 sebagai salesman yang piawai. Selama 1970
sampai dengan 1980an, Converse menjadi kian modis dan menjadi kegemaran
kaum Hippie yang mewakili kebebasan kaum muda karena tergolong murah,
tahan lama dan tidak termakan oleh fashion yang selalu berubah-ubah.
Converse lantas menjadi sponsor resmi Olimpiade tahun 1984. Dari jumlah
produksi sekitar empat ribu pasang perhari di tahun 1910, sepatu basket
Converse All-Star menjadi yang pertama di industri alas kaki atletik,
dan pada1994, lebih dari 500 juta pasang, di lebih dari 56 warna dan
gaya, telah dijual di lebih dari 90 negara di seluruh dunia. Selain
itu, perusahaan telah melakukan diversifikasi ke produk-produk karet
yang bervariasi, pakaian olahraga, dan sepatu untuk olahraga tenis,
olahraga lari, sepatu santai anak-anak dan remaja.
Secara fungsional produk adalah sebuah produk, demikian juga sepatu
tetaplah sepatu. Tapi nilai kegunaan ini berubah ketika ditanamkan
sebuah estetika bentukan. Sepatu polos berbahan dasar sama harganya
akan lebih tinggi berlipat-lipat setelah diberi label Converse. Dalam
hal ini bagi pembeli kenyamanan menjadi nomor dua. Yang terpenting
adalah bagaimana mereka mendapat pengakuan dari lingkungan sosialnya.
Perusahaan menyadari bahwa selera pasar akan menemui titik kejenuhan,
dan untuk mempertahankan dan meningkatkan volume penjualan dibutuhkan
maskot pendukung. Ia haruslah seorang yang berpengaruh besar sebagai
simbol pemberontakan kaum muda, yang saat ini sedang booming. Pada
selebrasi ulang tahun mereka yang ke 100 di tahun 2008 yang bertajuk
”Welcome to Converse Century,” Converse meluncurkan koleksi sepatu
dalam edisi terbatas yang menggunakan citra Kurt Cobain, Sid Vicious
(pemain bas band The Sex Pistols), Ian Curtis (vokalis band Joy
Division), dan beberapa nama lain. Mereka dipilih karena dirasa menjadi
panutan generasi muda yang sudah disusupi ilusi pemberontakan yang
bermain ditataran prestise.

haha,
BalasHapus