Rabu, 01 Agustus 2012

The Story of Stuff


Pernahkah anda sadari berapa banyak sudah produk-produk yang kita konsumsi atas dasar keinginan? Motif dasar ekonomi seorang konsumen pada dasarnya adalah untuk memenuhi 'kebutuhan'nya yang tidak terbatas. Namun 'kebutuhan' itu berubah menjadi sebuah 'keinginan' yang malah lebih tak terbatas bila dibandingkan dengan 'kebutuhan'. 'Kebutuhan' untuk menghilangkan dahaga tentu cukup dengan sekedar air putih, tapi 'keinginan' mendorong untuk lebih memilih Coca-Cola.

Dalam ekonomi modern dikenal istilah product life cycle atau siklus hidup sebuah produk, yakni proses lahirnya sebuah produk hingga kematiannya baik dalam jangka waktu panjang ataupun sebaliknya. Layaknya sesuatu yang hidup, sebuah produk akan berkompetisi dengan produk lain. Lalu ketika kejenuhan pasar terhadap produk si pemenang persaingan menjelang, itu dianggap sebagai suatu kelumrahan.

Kebanyakan dari kita tidak berpikir terlalu panjang untuk mengkonsumsi sebuah produk--mengkonsumsi saya artikan disini sebagai tindakan membeli sesuatu--bahwa ternyata sebuah produk melalui jalan yang panjang hingga Ia benar-benar siap untuk dikonsumsi. Inilah yang ingin disampaikan oleh Annie Leonard dalam filmnya The Story of Stuff, kisah perjalanan produk dan "sumbangan"nya kepada dunia sejak dari ekstraksi, produksi, distribusi, konsumsi, hingga pembuangan.

Kelahiran sebuah produk bukan tanpa pertimbangan sama sekali. Ia melalui perencanaan yang ketat oleh produsennya. Pertimbangan bahan baku, peluang pasar, seleksi pasar, sumber daya, dan sebagainya, termasuk bagaimana ia bisa melewati batasan-batasan yang bisa menjadi faktor penghambat. Karena itulah, kekuasaan dibutuhkan. Maka tidaklah aneh bila pemegang otoritas--dalam hal ini negara yang berwenang menerbitkan surat perizinan bagi para pengusaha--bersahabat dengan para produsen. Tatkala si produsen bertumbuh dan semakin besar, kendali beralih ke tangannya. Maka jalur dan jejaring operasi produsen semakin luas dan dapat memaksimalkan pengurasan sumber daya yang tersedia, memasarkan produk, termasuk bagaimana ia membuang sisa produksi.

Siklus hidup sebuah produk melalui sistem matematis yangmana ia tak terbatas. Lalu bagaimana ia dapat beroperasi di bumi yang terbatas sumber daya alamnya? Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa para produsen menyadari hal itu. Bahwa hutan sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui pun akan sulit digantikan dengan kecepatan perputaran siklus hidup produk itu sendiri, apalagi sumber daya tambang yang tidak dapat diperbaharui. Untuk itu mereka berekspansi ke negara-negara miskin tetangga untuk melakukan pengrusakan yang sama parahnya. Ibarat sambil menyelam minum air laut hingga kering, sambil berproduksi mereka juga langsung menjual barang dagangannya di negara-negara tersebut, hitung-hitung menghemat biaya distribusi dan ditambah mendapat tenaga kerja yang murah pula.

Ketika proses produksi dan distribusi selesai, tahap berikutnya adalah menawarkan produk tersebut kepada pasar. Sarana pendukung yang paling berperan besar adalah televisi sebagai salah satu keajaiban peradaban dalam dunia konsumsi. Televisi menayangkan iklan-iklan sebuah produk dengan iming-iming yang menggiurkan yang pada akhirnya menciptakan dua pola utama yang dilakukan oleh manusia ketika lelah bekerja: menonton televisi dan berbelanja.

Masyarakat konsumer menemukan jatidirinya dalam barang-barang yang mereka beli. Ketika itu tercapai, tidak ada kepuasan yang bisa menggantikannya. Para produsen mendramatisir hal ini dengan menciptakan sebuah tren dalam menggunakan sebuah produk. Sebagai contoh, ketika seorang konsumen memiliki sebuah telepon genggam maka ia akan terjerat dalam tren teknologi yang ditawarkan oleh si produsen telepon genggam tersebut yang tentu saja itu akan selalu berubah. Sesungguhnya itu merupakan akal-akalan si produsen, karena bisa saja mereka mengeluarkan produk dan teknologi pendampingnya dalam satu edisi, tapi, meski ini berujung pada tumpukan barang-barang bekas yang menyampah, siapa yang kelak membeli produk lanjutannya selain konsumen yang berhasil dikibuli masak-masak?

Annie Leonard membawa film ini begitu ringan untuk dipahami dengan tutur dan animasi yang asyik untuk disimak. Dengan menyadari dampak lingkungan dan sosial dari perjalanan sebuah produk, khalayak dapat lebih bijak menelaah kebutuhannya sebelum memutuskan membeli sebuah produk.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar