Rabu, 01 Agustus 2012

In Bloom: Untukmu yang Hidup dalam Bayang-Bayang Legenda


Don't follow a trend. Follow your heart--Krist Novoselic--


Sell the kids for food
Weather changes moods
Spring is here again
Reproductive glands


We can have some more
Nature is a whore
Bruises on the fruit
Tender age in bloom

 He’s the one
Who likes all our pretty songs
And he likes to sing along
And he likes to shoot his gun
But he knows not what it means
Knows not what it means
when I say yeah…




Walaupun ternyata tidak, seharusnya lagu ini menjadi tamparan telak bagi para grunger puritan pecinta Nirvana yang, cara tidurnya pun di rekayasa sedemikian rupa agar menyerupai Kurt Cobain. Hidup dalam bayang-bayang sang idola. Karena yang saya tahu, di mata grunger fanatis satu-satunya imej yang melekat kuat pada diri Kurt Cobain adalah tipikalnya yang depresif. Wacana ini berkembang luas, yang membuat saya kembali bertanya-tanya, apakah memang sedemikian instan-kah pola pikir yang dibentuk oleh raksasa-raksasa media yang berkamuflase dalam budaya tren. Lihatlah bait ini; “Sell the kids for food” Seakan-akan Kurt Cobain ingin menyampaikan betapa apapun bisa dijadikan danau penghasil uang oleh kapitalisme, tidak terkecuali anak-anak dan remaja belia yang begitu mudah dimanfaatkan keingintahuan mereka dengan menghadirkan budaya konsumsi ditengah-tengah kita. Intensitas perjumpaan anak-anak dengan media-media sosial yang merupakan agen hipnotis para produsen menjadikan mereka mesin konsumsi yang paling masif. Ini tentu saja sangat tidak mengherankan mengingat di usia ini, manusia memiliki ketajaman pengenalan paling tinggi. Mulai dari bangun tidur di majalah anak-anak, saluran televisi anak-anak, radio, di jalan, kendaraan umum, dimana-mana tanpa sadar anak-anak ‘mengonsumsi’ iklan.

Terminologi tren tak ada habisnya. Ia akan selalu berganti musim “weather changes moods, spring is here again, reproductive glands”. Di bagian ini para remaja yang masih berada dikelabilan usia menjadi sasaran bidik selanjutnya oleh ahli pemasaran para produsen. “We can have some more, nature is a whore, bruises on the fruit, tender age in bloom”. Gejala hipster yang telah ada sejak dulu tidak terlepas dari konspirasi militan sistem ekonomi demi menciptakan budaya baru. Hipster merupakan fenomena kultur. Mereka adalah gelombang kaum muda yang lapar akan imej dan identitas, namun bingung dalam mengendalikan hasratnya untuk terus mengkonsumsi. Sederhananya, mereka perpaduan utuh antara konsumer, kekosongan, kebodohan, serta keinginan untuk selalu tampil beda. Pola berada di posisi penonton menjadi sebuah pakem yang lebih mengasyikkan ketimbang menjadi mereka yang ditonton. Atau mencari lebih jauh, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kenyataan seperti yang tertuang pada bait; “He’s the one, who likes all our pretty songs, and he likes to sing along, and he likes to shoot his gun, but he knows not what it means, knows not what it means
when I say yeah…
”. Kurt Cobain dengan cerdas melihat kenyataan bahwa dirinya menjadi tumbal yang ditokohkan untuk merangsang pasar pada generasi muda yang memang tidak tahu apa-apa selain konsumsi dan konsumsi. Mereka dibutakan untuk selalu hidup dalam bayang-bayang idolanya yang telah dikomodifikasi sedemikian rupa. Hingga muncul dugaan, bahwa grunge hanyalah budaya rakitan industri. Karena ia tidak tumbuh dari kesadaran para penganutnya semacam punk yang lahir dari pergesekan sosial. Kurt memahami itu, seperti ia memahami kebenciannya pada David Rockefeller. 
Dan ia berujar; “Apa itu alternatif? Apanya yang counter-culture? Apanya yang keren? Siapa yang tahu? Siapa yang peduli? Bila tampak luar membuatmu tertarik, kau sungguh tolol!”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar