Rabu, 01 Agustus 2012

Sadarlah Wahai Masyarakat Miskin, Amarah Kita Tengah Diredam


Rencana pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) April 2012 menuai perlawanan masyarakat. Hal ini tentu saja sudah diprediksi jauh hari sebelum opsi ini dipilih. Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan formulanya berupa sikap yang seolah pro-rakyat, yakni dengan menjanjikan pemberian kompensasi kepada 30 persen masyarakat bawah atau 18,5 juta KK atau meliputi 74 juta jiwa. Pemerintah berasumsi bahwa pemberian kompensasi dapat meringankan beban masyarakat miskin--didasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial yang dilakukan Kementerian Sosial--meski pada kenyataannya pemberian kompensasi ini rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan.

Pertama pemerintah melakukan penambahan frekuensi jatah beras (berkualitas rendah) untuk rakyat miskin (raskin) sebanyak dua bulan, dari 12 kali pertahun menjadi 14 kali per tahun seharga Rp 1.600/kilogram, dan menambah jumlah penerima raskin dari 17,5 juta rumah tangga menjadi 18,5 juta rumah tangga miskin. Penyelewengan yang kerap terjadi dalam pembagian raskin berupa validasi data, ketepatan sasaran, jumlah yang harus sampai ke tangan penerima hingga jenis beras yang harus sampai ke tangan penerima. Seperti beberapa kasus yang terjadi diberbagai tempat di Sumatera dan Jawa Barat, pengurangan jatah raskin yang seharusnya sebanyak 15 kilogram menjadi tiga kilogram saja yang diterima oleh masyarakat. Atau kasus pencampuran raskin dengan gaplek seperti yang terjadi di Sumenep, Madura. Untuk program raskin pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 5,3 triliun.

Kedua dengan memberikan sejumlah dana yang dulu bernama bantuan langsung tunai (BLT) dan kini berganti menjadi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). BLT ataupun BLSM merupakan program kompensasi jangka pendek yang ditujukan untuk menjaga tungkat konsumsi masyarakat miskin tidak menurun saat terjadinya kenaikan harga BBM. Keduanya memiliki skema yang nyaris sama. Perbedaannya ada pada metode pembagiannya saja. Bila pada kenaikan harga BBM terdahulu besarnya dana BLT yang diberikan sebesar 300 ribu rupiah, maka kini BLSM sebesar 150 ribu rupiah selama sembilan bulan dan diberikan per tiga bulan dalam bentuk kupon yang disalurkan melalui kantor pos. Dana ini diperuntukkan bagi 18,5 juta rumah tangga meliputi 30 persen rumah tangga sangat miskin (poorest), rumah tangga miskin (poor) dan rumah tangga hampir miskin (near poor) di seluruh wilayah Indonesia dengan anggaran Rp 25,6 triliun.

Ketiga berupa subsidi penambahan jumlah beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa dari keluarga miskin sebesar Rp 3,4 triliun. Dan keempat berupa subsidi angkutan umum massal seperti kapal penumpang, kereta api, dan bus umum sebesar Rp 5 triliun dengan tujuan agar kenaikan tiket angkutan kelas ekonomi tidak melonjak seiring dengan kenaikan harga BBM dan solar. 

Umumnya masyarakat miskin menyambut dengan gembira bantuan yang diberikan oleh pemerintah, meski faktanya harga berbagai kebutuhan pokok yang membumbung tinggi tetap tidak mampu diatasi dan dikurangi dampaknya dengan skema BLSM maupun raskin. BLSM sebesar 150 ribu rupiah atau sebesar 3 ribu rupiah per hari tidak bisa menutupi kebutuhan yang meningkat tajam sebesar 30 persen. Ilustrasinya, bila tadinya kebutuhan perbulan masyarakat sebesar Rp 1 juta maka lalu meningkat menjadi Rp 1,3 juta yang berarti bertambah menjadi sebesar Rp 300 ribu, sedangkan kompensasi yang diberi oleh pemerintah hanya 150 ribu rupiah, maka kebutuhan bulanan masyarakat masih minus Rp 150 ribu. Pada kompensasi kenaikan harga BBM pada 2005 dan 2008 lampau, skema raskin dan BLT yang dilakukan oleh pemerintah seperti menebar jarum di tumpukan jarum, karena angka menunjukan antara 2005 hingga 2009 kemiskinan rakyat Indonesia di atas 33 juta jiwa, atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sasaran BLT dan Raskin. Selama periode pembagian BLT pun sebagian masyarakat masih mengonsumsi nasi aking dan tiwul, sebagai wujud bahwa kemiskinan tak teratasi hanya dengan raskin dan BLT.

BLSM tak lebih sekedar merupakan upaya suap secara massal yang dilegalisasi dalam kemasan menarik. Oleh karena itu, kompensasi tak lebih sekedar politik pencitraan untuk memulihkan nama baik pemerintah dengan membuat masyarakat lupa pada kemiskinan dan meredamnya dari kemarahan yang lebih lanjut.

Selamat datang kemiskinan, selamat datang kriminalitas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar