Bogotá, 2600 metros más cerca de las estrellas,
Bogotá, 2600 meter lebih dekat ke bintang-bintang
1
Gerimis
dengan cepat menjadi hujan lebat. Membasahi merah Transmilenio ini yang
berjalan pelan menembus Avenida Caracas. Juli di penghujung musim.
Lajur di hadapanku cukup banyak menyisakan seat kosong. Hanya
duduk beberapa pria perlente dengan jas yang setengah basah. Beberapa
tahun yang lalu sangat mungkin mereka menyimpan revolver dalam tas yang
mereka jinjing dalam rangka perang antar kartel. Menebar ancaman dan
ketakutan akan kematian. Tapi sekarang mungkin bukan jamannya lagi
kekerasan mereka gunakan. Lagipula kalaupun memang terjadi saat ini,
keluarga kriminal Los Zetas dan Pablo Escobar-pun tak dapat
menghentikan perempuan bingung sepertiku, yang gamang berada diantara
jiwa sadis dan masokis.
Juan berdiri di antara deretan
penumpang. Di luar, langit mendung menumpahkan hujan seperti anak kecil
yang sesegukan oleh petir dan kilat. Musim harus berganti musim.
Seseorang yang tampaknya musisi duduk disampingnya berjuang melawan
kantuk. Mata Juan terpaku pada sosok bidadari yang mengingatkan dirinya
pada bintang Korea, Yoon Eun Hye. Juan memang tipe penyuka televisi.
Hampir sebagian waktu luangnya habis untuk menonton berita, film
dokumenter dan hal-hal tak penting lainnya. Dia rela dibohongi.
Membiarkan kelicikannya tumpul. Dan kini dia harus menatap gadis yang
begitu cantik. Wajahnya bulat telur, bermata hitam seperti telaga,
dengan kulit yang putih halus. Tubuhnya begitu sempurna. Juan mulai
berfantasi membayangkan harta karun yang tersimpan di balik blus sang
perempuan. Perempuan itu menoleh kearahnya, segera Juan menatap keluar
jendela untuk menghindari kontak mata sedapatnya.
2
Air
langit mulai mereda. Enggan berlama-lama untuk tidak lekas hengkang.
Menyisakan rintik-rintik yang membasahi taman-taman indah yang kami
lalui. Taman yang mengingatkanku padamu. Mengingatkan bahwa misi
perjalanan ini hanya satu, bukan sebagai pelancong, bukan sebagai
penimba ilmu atau pemburu peso, tapi cuma satu: membunuhmu. Waktuku
hanya tersisa sedikit jam sejak tenggat yang kusangsikan sendiri. Enam
jam menjelang usia 25 tahun. Dan aku bosan hidup dalam pelarian. Kini
aku berbalik memburumu.
3
Ingatkah
kau pertemuan kita yang terakhir di taman Simon Bolivar yang
berkerudung rindu? Kala itu hangat matahari senja pancaroba menyirami
tubuh kita berdua yang dijelang perpisahan. Titik-titik keringat halus
tampak di atas bibirmu. Kau katakan betapa kau sangat mencintaiku. Dan
kujawab semua dengan keraguan aku pada keabsahan hubungan kita yang
membuatku terusir dari moralitas keluarga. Yang membuat kita terus
berlari melintasi puluhan waktu dan ribuan jarak. Hanya demi
menghindari airmata egois orang tua dan keluarga. Berulang kali mereka
kutuk hubungan kita. Berulang kali pula kita tantang pandangan mereka
tentang hubungan ini yang mereka haramkan. Bahwa ketidaklaziman
bukanlah sebuah penyimpangan. Tapi entahlah, begitu banyak keraguan
kini hinggap di jiwaku yang bebas. Kegelisahan akan perpisahan yang
misterius seperti halnya dirimu. Keragu-raguan adalah awal dari
keterpurukan sebuah hubungan. Maka harus kuakhiri pertemuan yang tanpa
janji itu. Disini, tepat di pinggir perbatasan El Solitre. Namun
cintamu menjadi kemarahan berujung dendam. Kau pandang wajahku
lekat-lekat dengan seribu wajah kebencian. Seperti wajah para
demonstran imigran Irlandia yang berhadapan dengan deportasi otoritas
Paris. Kau katakan bahwa tidak ada hal lain saat itu yang ingin kau
lakukan selain membunuhku. Tapi kau menolak sewaktu kupersilakan
melakukannya dengan leluasa. Kau hanya memintaku untuk menemuinya di
ulang tahunku yang ke-25, di halaman Capitolio, gedung berpilar besar
yang membatasi Plaza Bolivar dengan kediaman Presiden Kolombia. Dengan
satu niat tentu saja, mengakhiri hidupku, perempuan yang telah empat
tahun lamanya menemanimu mandi air hangat di malam hari, yang rela kau
dandani sesuai keinginanmu, perempuan yang siap bercumbu kapanpun kau
mau.
(Potongan novel Satu Hari di Bogota, Badai Al-Fatan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar