Kemandirian Amir Hamzah mulai terlihat sejak Ia kecil. Berbekal
keinginan dan kreatifitas, Ia membuat sendiri mainannya termasuk
layang-layang. Merakit kerangka bambunya, menggambar motif, lalu
menjualnya. Meski merasa sebal dengan pelajaran berhitung, Amir Hamzah
berkeinginan untuk masuk sekolah menengah kejuruan teknik demi mengejar
mimpinya membuat pabrik nanas, setelah sempat melihat berlimpahnya buah
bersisik ini di daerah yang tak jauh dari kampung halamannya. Niat ini
diurungkan, masih dengan alasan yang sama: menghindari aljabar. Maka
pilihannya jatuh pada Sekolah Seni Rupa Indonesia Yogyakarta. Namun
hanya bertahan satu semester. Sastra minang, termasuk karya-karya
penulis besar semisal Hamka dan Marah Rusli--yang sering dibacanya
semasa kecil—mencubit hasratnya untuk memperuncing ilmu di tanah
Padang. Tahun 1976 Ia berpindah ke Sekolah Seni Rupa Indonesia Padang,
dan menetap tiga setengah tahun lamanya. Tempat dimana menjadi panggung
pertunjukan pertama yang.Ia sambangi.
Minat membacanya
tumbuh saat sekolah menengah pertama. “Bapak saya polisi. Dan temannya
yang berasal dari Belanda mewarisi satu lemari penuh buku-buku.” Aneka
bacaan ini merebut perhatian Amir sepenuhnya. Hampir seluruh majalah
yang terbit di Indonesia Ia beli tanpa pernah peduli apa genre-nya.
Bahkan seringkali Ia membantu memberikan informasi-informasi seputar
mata pelajaran dan berita umum kepada guru-gurunya di Padang.
Amir
Hamzah tidak menyelesaikan pendidikannya di kota Padang. Tahun 1978 Ia
pulang ke Palembang, dan tak lama kemudian memutuskan untuk kembali ke
Yogyakarta. Di Jogja Ia mengambil kursus membatik di sebuah balai
pelatihan batik. Ia berhasil menjadi lulusan terbaik setelah kursus
selama tiga bulan, dan sempat pula mengambil kursus gitar klasik.
Kemandiriannya kembali diuji. Tanah perantauan menuntut kreatifitas
untuk bertahan hidup. Dan Amir Hamzah menemukan banyak peluang di kota
gudeg ini. Ia datangi satu persatu galeri-galeri hotel untuk menjual
batik lukis karyanya. Suatu ketika, Ia diundang ke acara halal
bihalal.oleh mendiang Amri Yahya, perupa asal Sumatera Selatan yang
menetap di Yogyakarta. Disini Amir Hamzah berkenalan dengan Yati Pesek,
artis peran yang lebih dikenal sebagai seorang komedian. Melalui Yati
pula lah Amir mendapat pembelajaran gamelan dan ketoprak. Sempat pula
Ia berakting sebagai Buto Ijo dalam sandiwara panggung yang berkisah
tentang kerajaan Majapahit. Seorang adik Amri yahya memberikan dukungan
pada Amir untuk menekuni dunia peran, karena melihat potensi yang
dimiliki olehnya. Melalui sebuah surat kabar, Ia memperoleh informasi
bahwa Teater Alam di Yogyakarta membuka kursus pendidikan akting.
Setelah berjalan selama sepuluh bulan, Amir dinyatakan sebagai lulusan
terbaik, bahkan satu-satunya yang lulus tanpa mesti mengulang.
Jalan
mulai terbuka lebar. Bersama Teater Alam, Ia melakukan pentas di banyak
tempat hingga kurun empat tahun. Saat itu Indonesia sedang dilanda
demam pembuatan film. Amir melihat peluang ini untuk mengasah
kemampuannya berperan. Sempat ia menjadi pemeran figuran di film
“Pendekar Liar,” “Banteng Mataram,” “Sembilan Wali” dan sederet judul
lainnya. 1985 hingga 1986, Amir diminta menjadi kordinator arisan
teater-teater Jogja. Dan setelah itu Ia kembali ke Palembang. Kelak
pengalamannya selama sembilan tahun di Jogja ini menjadi salah satu
bagian hidupnya yang paling meninggalkan kesan.
Kepulangannya
ke Palembang tidak menyurutkan kemandiriannya. Ia membawa pulang
beberapa kerajinan Jogja berbentuk kartu lebaran, dan menjualnya di
Jalan Sudirman Palembang. Disini Ia berkenalan dengan Iir Stoned dan
teman-teman, termasuk juga Asril Chaniago dari Teater Kembara, yang
pada akhirnya menawarinya mengajar teater di sekolah menengah atas
Xaverius I Palembang. Di sekolah ini Amir melatih teater selama dua
tahun ajaran. Tahun 1998, Ia diminta oleh mantan guru pelatih teaternya
semasa di Jogja untuk turut dalam pembacaan puisi kolosal bersama
Sanggar Sastra Radio Republik Indonesia Palembang di peresmian Monumen
Penderitaan Rakyat atau Monpera. Pada kesempatan yang sama, Amri Yahya
memintanya untuk menyusun data-data sejarah yang akan mengisi Monpera.
Dua belas tahun lamanya Amir bekerja sebagai guide di Monpera
yang saat itu mulai dibuka untuk umum. Aktivitas teater Amir tidak
berhenti. Pada 14 Oktober 1992, Ia dan teman-temannya—dari Teater
Bingung dan Teater Graha 176—membentuk sebuah Teater bersama, yang
hingga kini kita kenal sebagai Teater Gaung. Nama ini merupakan padanan
dari dua nama teater tersebut. Para pegiat teater yang kerap berlatih
di Gedung Taman Budaya, diajaknya pula berkumpul dan berlatih di
Monpera.
Tahun 2009, Amir memperoleh penghargaan anugerah
seni dengan tajuk Anugerah Batanghari Sembilan kategori teater oleh
Dewan Kesenian Sumatera Selatan. Bagi Amir, berkarya merupakan bagian
yang tak terlepaskan dari berkesenian itu sendiri. “Lakukan apa yang
ingin kita lakukan, selama itu tidak mengganggu kepentingan orang
lain.” Dan teater--pada khususnya—merupakan proses untuk belajar peka
pada dunia sekitar. Amir mengaku, bahwa melalui dunia teater Ia
mendapat banyak pengalaman berharga. Baik itu tata lampu, tata rias,
tata panggung, musik, kostum. Hanya saja, menurutnya permasalahan yang
kerap timbul di para pegiat teater disebabkan ketidakdisiplinan
termasuk pada jadwal latihan, terbatasnya keingintahuan, dan intensitas
latihan. “Latihan teater itu seperti pisau, tak diasah maka ia akan
tumpul.” Menurutnya teater juga menjadi ruang untuk menyampaikan
pesan-pesan ke luar dari ruang itu sendiri. “Lewat teater semua hal
bisa disampaikan,” tutur pria sederhana yang membuka usaha warung
manisan di rumahnya di kawasan Kenten Laut Palembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar