Rabu, 01 Agustus 2012

Antara Aljabar, Teater dan Amir Hamzah

Kemandirian Amir Hamzah mulai terlihat sejak Ia kecil. Berbekal keinginan dan kreatifitas, Ia membuat sendiri mainannya termasuk layang-layang. Merakit kerangka bambunya, menggambar motif, lalu menjualnya. Meski merasa sebal dengan pelajaran berhitung, Amir Hamzah berkeinginan untuk masuk sekolah menengah kejuruan teknik demi mengejar mimpinya membuat pabrik nanas, setelah sempat melihat berlimpahnya buah bersisik ini di daerah yang tak jauh dari kampung halamannya. Niat ini diurungkan, masih dengan alasan yang sama: menghindari aljabar. Maka pilihannya jatuh pada Sekolah Seni Rupa Indonesia Yogyakarta. Namun hanya bertahan satu semester. Sastra minang, termasuk karya-karya penulis besar semisal Hamka dan Marah Rusli--yang sering dibacanya semasa kecil—mencubit hasratnya untuk memperuncing ilmu di tanah Padang. Tahun 1976 Ia berpindah ke Sekolah Seni Rupa Indonesia Padang, dan menetap tiga setengah tahun lamanya. Tempat dimana menjadi panggung pertunjukan pertama yang.Ia sambangi.

Minat membacanya tumbuh saat sekolah menengah pertama. “Bapak saya polisi. Dan temannya yang berasal dari Belanda mewarisi satu lemari penuh buku-buku.” Aneka bacaan ini merebut perhatian Amir sepenuhnya. Hampir seluruh majalah yang terbit di Indonesia Ia beli tanpa pernah peduli apa genre-nya. Bahkan seringkali Ia membantu memberikan informasi-informasi seputar mata pelajaran dan berita umum kepada guru-gurunya di Padang.

Amir Hamzah tidak menyelesaikan pendidikannya di kota Padang. Tahun 1978 Ia pulang ke Palembang, dan tak lama kemudian memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta. Di Jogja Ia mengambil kursus membatik di sebuah balai pelatihan batik. Ia berhasil menjadi lulusan terbaik setelah kursus selama tiga bulan, dan sempat pula mengambil kursus gitar klasik. Kemandiriannya kembali diuji. Tanah perantauan menuntut kreatifitas untuk bertahan hidup. Dan Amir Hamzah menemukan banyak peluang di kota gudeg ini. Ia datangi satu persatu galeri-galeri hotel untuk menjual batik lukis karyanya. Suatu ketika, Ia diundang ke acara halal bihalal.oleh mendiang Amri Yahya, perupa asal Sumatera Selatan yang menetap di Yogyakarta. Disini Amir Hamzah berkenalan dengan Yati Pesek, artis peran yang lebih dikenal sebagai seorang komedian. Melalui Yati pula lah Amir mendapat pembelajaran gamelan dan ketoprak. Sempat pula Ia berakting sebagai Buto Ijo dalam sandiwara panggung yang berkisah tentang kerajaan Majapahit. Seorang adik Amri yahya memberikan dukungan pada Amir untuk menekuni dunia peran, karena melihat potensi yang dimiliki olehnya. Melalui sebuah surat kabar, Ia memperoleh informasi bahwa Teater Alam di Yogyakarta membuka kursus pendidikan akting. Setelah berjalan selama sepuluh bulan, Amir dinyatakan sebagai lulusan terbaik, bahkan satu-satunya yang lulus tanpa mesti mengulang.

Jalan mulai terbuka lebar. Bersama Teater Alam, Ia melakukan pentas di banyak tempat hingga kurun empat tahun. Saat itu Indonesia sedang dilanda demam pembuatan film. Amir melihat peluang ini untuk mengasah kemampuannya berperan. Sempat ia menjadi pemeran figuran di film “Pendekar Liar,” “Banteng Mataram,” “Sembilan Wali” dan sederet judul lainnya. 1985 hingga 1986, Amir diminta menjadi kordinator arisan teater-teater Jogja. Dan setelah itu Ia kembali ke Palembang. Kelak pengalamannya selama sembilan tahun di Jogja ini menjadi salah satu bagian hidupnya yang paling meninggalkan kesan.

Kepulangannya ke Palembang tidak menyurutkan kemandiriannya. Ia membawa pulang beberapa kerajinan Jogja berbentuk kartu lebaran, dan menjualnya di Jalan Sudirman Palembang. Disini Ia berkenalan dengan Iir Stoned dan teman-teman, termasuk juga Asril Chaniago dari Teater Kembara, yang pada akhirnya menawarinya mengajar teater di sekolah menengah atas Xaverius I Palembang. Di sekolah ini Amir melatih teater selama dua tahun ajaran. Tahun 1998, Ia diminta oleh mantan guru pelatih teaternya semasa di Jogja untuk turut dalam pembacaan puisi kolosal bersama Sanggar Sastra Radio Republik Indonesia Palembang di peresmian Monumen Penderitaan Rakyat atau Monpera. Pada kesempatan yang sama, Amri Yahya memintanya untuk menyusun data-data sejarah yang akan mengisi Monpera. Dua belas tahun lamanya Amir bekerja sebagai guide di Monpera yang saat itu mulai dibuka untuk umum. Aktivitas teater Amir tidak berhenti. Pada 14 Oktober 1992, Ia dan teman-temannya—dari Teater Bingung dan Teater Graha 176—membentuk sebuah Teater bersama, yang hingga kini kita kenal sebagai Teater Gaung. Nama ini merupakan padanan dari dua nama teater tersebut. Para pegiat teater yang kerap berlatih di Gedung Taman Budaya, diajaknya pula berkumpul dan berlatih di Monpera.

Tahun 2009, Amir memperoleh penghargaan anugerah seni dengan tajuk Anugerah Batanghari Sembilan kategori teater oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan. Bagi Amir, berkarya merupakan bagian yang tak terlepaskan dari berkesenian itu sendiri. “Lakukan apa yang ingin kita lakukan, selama itu tidak mengganggu kepentingan orang lain.” Dan teater--pada khususnya—merupakan proses untuk belajar peka pada dunia sekitar. Amir mengaku, bahwa melalui dunia teater Ia mendapat banyak pengalaman berharga. Baik itu tata lampu, tata rias, tata panggung, musik, kostum. Hanya saja, menurutnya permasalahan yang kerap timbul di para pegiat teater disebabkan ketidakdisiplinan termasuk pada jadwal latihan, terbatasnya keingintahuan, dan intensitas latihan. “Latihan teater itu seperti pisau, tak diasah maka ia akan tumpul.” Menurutnya teater juga menjadi ruang untuk menyampaikan pesan-pesan ke luar dari ruang itu sendiri. “Lewat teater semua hal bisa disampaikan,” tutur pria sederhana yang membuka usaha warung manisan di rumahnya di kawasan Kenten Laut Palembang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar