Rabu, 01 Agustus 2012

Perempuan dan Penjagal Malam


Diantara tiran-tiran yang membiarkan dinding-dinding bertelinga,
Malam menjelang subuh yang basah, 14 Maret 2006,



Aku perempuan. Teralienasi sejak pertama kali kau dengar kisah tentang Adam dan Hawa. Ada kesan, jakun pada kaummu sekarang adalah kutukan dari manisnya kuldi yang mengkhianati. Dan jebakan Hawa dianggap berhasil. Sejarah mencatat itu dalam pencatatan-pencatatan yang absurd.

Hari itu, 23 November yang lembab, 2000. Langit berserak ungu, bumi yang begitu kerdil, mempertemukan aku dalam pertalian kasih denganmu, laki-laki. Kau sebagai sosok yang mengeluarkan aroma pengkhianatan. Setidaknya begitu debutmu dihadapanku, ketika mataku menghirup napasmu, dan hidungku menatap performancemu. Begitu laki-laki. Begitu sok. Juga angkuh. Dan aku begitu ingin tahu. Aku begitu tertarik dengan ketergesa-gesaanmu yang bersemangat. Seperti keadaan dalam ujaran Marx “Bukan kesadaran sosial yang menentukan keadaan sosial, tapi keadaan sosial yang menentukan kesadaran sosial.“ Karena waktu memang tak pernah bersalah, selain harus berjalan sebagaimana mestinya. Cinta kitapun berlaku. Dan cinta mengisi segala yang kosong.

Ingatkah kau waktu pertama kali kita berciuman? Aku merasakan lidahmu sebagai benalu dan ratusan parasit yang begitu hidup dan pahit. Aku lupa, kau adalah pecandu rokok, dan aku juga. Acap juga kau belit tubuhku, dan kau pagut untuk mendapatkan hisapan sisa-sisa garam dari leherku. Sejak itu kita telah berciuman seribu kali dengan berbagai dalih. Apakah aku hanya objek ketika akupun menikmatinya? Ada detik yang menggetarkan, dan ada menit yang berisi keraguan dengan hebat. Kelak tiba masa dimana kau dan aku masing-masing akan sendiri. Berlaku ketika waktu tidak lagi dapat dijadikan sahabat. Namun waktu tetap tak bersalah, dan sahabat memang tidak pernah ada. Aku takut. Karena memang kebersamaan membesarkan dan memfasilitasi kesendirian dengan manja. Aku menjadi semakin takut. Aku berdoa. Dan aku takut berdosa jika hanya berdoa saja. Tapi apakah dosa memang masih ada?

Penyakit dari sebuah hubungan adalah kebosanan. Kontinuitas. Rutinitas. Kau terlalu serius dan itu membuatku semakin takut. Aku tetap akan mencoba menghargainya sebab bukankah kita sama-sama tak menginginkan luka, semanis apapun itu. Tapi memang waktu tidak pernah bersalah, selain kita yang selalu saling menyalahkan. Kita ditikam oleh hampa dan prasangka yang liar. Rasa rindu yang menjengkelkan dan begitu lincah. Berlarian dan membuat manuver loncatan-loncatan hingga tersandung, lalu jatuh tanpa alasan. Ya, perpisahan kita memang tak pernah beralasan. Bukankah sampai kini kita dibingungkan olehnya? Perpisahan yang tak lagi menunda. Kekhawatiran-kekhawatiran kita kini tak lagi membutuhkan jawaban. Oh, mengapa hati kita saling terpaut namun pedang kita saling menghunus dengan keji? Aku tahu kau begitu redam. Begitu juga aku. Aku telah terlanjur menggosok botol jantungmu, dan membiarkan jin itu pergi sebelum sempat mengabulkan permintaanku. Satu saja. Hanya satu, menutup drama ini tanpa cinta. Karena tahukah kau, betapa ngilunya perpisahan tanpa saling membenci?

Aku adalah perempuan. Menjelang enam tahun setelah pertemuan kita. Pertemuan yang nyaris saja membakarmu dengan amarahku yang kritis. Laki-laki yang kusebut suami kini adalah seperti kebanyakan jenisnya yang lain. Selalu menuntut persenggamaan mono. Mulut mereka yang ternganga mengeluarkan suara ular-ular, segala tiran, dan semua varian setan, yang berdesis ganjil dan nakal libido. Tak ada keromantisan dari bahasanya yang jorok. Hingga aku adalah perempuan yang tak lebih berharga dari sekedar boneka birahi, mesin cuci, mesin pemasak, serta pencetak anak dan pengasuhnya. Ditindih, masak, mencuci, beranak, memomong dan seterusnya. Ini adalah marital rape. Aku diperkosa. Tapi dia telah mentiadakan neraka, dalam hidup dan perzinahan. Para istri adalah pelacur yang mengharapkan perimbalan jasmaniah. Dengan menahan perihnya kontraksi phallus pada vagina yang tak pernah terangsang. Suami yang menggebu-gebu dengan melupakan fase foreplay, dan mengabaikan betapa inginnya hawa-hawa ini merasakan getar-getar pada klitoris yang meninggalkan nikmat. Kini hanya tergeletak seperti korban perkosaan yang menyisakan ampas-ampas persetubuhan. Perempuan ini tak memiliki badannya. Perempuan ini tidak lagi merayakan tubuhnya.

Suamiku adalah seorang ahli hukum yang glamour, bertubuh gempal, tampan, bersih, wangi, perhatian, dan memiliki banyak Tuhan. Semua hanya karena aku trauma sama laki-laki yang membenci sistem hukum, ingin menjadi miskin, kerempeng, pas-pasan, bau tembakau, tak acuh, dan tak memiliki Tuhan sepertimu. Tapi sungguh, trauma meninggalkan rasa yang begitu mendalam. Begitu sulit melupakan tawamu yang teramat jarang, atau langkah terburu-burumu di balik jeans yang merindukan sabun dan sikat. Andainya ini adalah kerinduan tanpa perkenalan. Andainya kau adalah perempuan atau aku adalah laki-laki, hingga ini tak perlu menjadi bagian sejarah yang hilang.

Kini janin berusia enam bulan bersemayam ditubuh yang merintih ini. Sebuah kehidupan yang berhutang pada persetubuhan yang kotor dan jahat. Namun calon bayi belumlah cukup waktu untuk dapat berefleksi, hingga ia mampu melihat bahwa dunia di luar sana dipenuhi oleh raksasa-raksasa rakus akan perawan yang terlindungi oleh malam dan gelap. Bahwa dunianya kelak setidaknya hanya terdiri dari tiga yang tak perlu; nilai, penghisapan, kaya.

Lalu bagaimana keadaanmu hari ini? Masihkah kau suka menulis puisi yang terlalu tersirat? Masihkah kau suka membaca buku-buku yang menjadikanmu tertuduh subversif? Masihkah kau mendengar dan memainkan musik dan nada-nada berisik di atas panggung insureksi? Apakah kau masih membenci polisi dan tentara? Apakah kau masih suka berkucil di puncak-puncak gunung lokasi persembunyian yang asing untuk sekedar melamun? Yang terakhir, telah adakah kini penggantiku yang layak?

Aku 24 tahun. Seorang perempuan. Sama seperti Marsinah. Sama seperti para istri. Sama seperti para pembantu rumah tangga. Sama seperti lonte-lonte. Sama tertindas. Oleh sistem. Oleh dunia kerja. Oleh dominasi laki-laki. Oleh pernikahan. Oleh ketidakberdayaan. Oleh tata nilai, dogma, dan moralitas. Oleh kepemilikan. Oleh halusinasi untuk dicinta laki-laki sepertimu. Oleh World Trade Organization. Oleh RUU Antipornografi & Pornoaksi. Oleh waktu yang tak pernah mau mengalah. Oleh waktu yang memang tak pernah bersalah. Oleh waktu yang selalu pura-pura tak bersalah….


Kau memanggilku, "The best thing that i ever had, the best thing that i ever hate."


(Saya menulis ulang catatan ini--yang ditinggalkan oleh seorang perempuan yang pernah menjadi bagian dari hidup saya, terselip dalam tas yang kerap saya bawa--di detik-detik menjelang pernikahan 2006 silam...
Ah, betapa sebuah pilihan selalu meninggalkan luka dibelakangnya).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar