Diantara tiran-tiran yang membiarkan dinding-dinding bertelinga,
Malam menjelang subuh yang basah, 14 Maret 2006,
Aku perempuan. Teralienasi sejak pertama kali kau dengar kisah
tentang Adam dan Hawa. Ada kesan, jakun pada kaummu sekarang adalah
kutukan dari manisnya kuldi yang mengkhianati. Dan jebakan Hawa
dianggap berhasil. Sejarah mencatat itu dalam pencatatan-pencatatan
yang absurd.
Hari itu, 23 November yang lembab, 2000.
Langit berserak ungu, bumi yang begitu kerdil, mempertemukan aku dalam
pertalian kasih denganmu, laki-laki. Kau sebagai sosok yang
mengeluarkan aroma pengkhianatan. Setidaknya begitu debutmu
dihadapanku, ketika mataku menghirup napasmu, dan hidungku menatap
performancemu. Begitu laki-laki. Begitu sok. Juga angkuh. Dan aku
begitu ingin tahu. Aku begitu tertarik dengan ketergesa-gesaanmu yang
bersemangat. Seperti keadaan dalam ujaran Marx “Bukan kesadaran sosial
yang menentukan keadaan sosial, tapi keadaan sosial yang menentukan
kesadaran sosial.“ Karena waktu memang tak pernah bersalah, selain
harus berjalan sebagaimana mestinya. Cinta kitapun berlaku. Dan cinta
mengisi segala yang kosong.
Ingatkah kau waktu pertama
kali kita berciuman? Aku merasakan lidahmu sebagai benalu dan ratusan
parasit yang begitu hidup dan pahit. Aku lupa, kau adalah pecandu
rokok, dan aku juga. Acap juga kau belit tubuhku, dan kau pagut untuk
mendapatkan hisapan sisa-sisa garam dari leherku. Sejak itu kita telah
berciuman seribu kali dengan berbagai dalih. Apakah aku hanya objek
ketika akupun menikmatinya? Ada detik yang menggetarkan, dan ada menit
yang berisi keraguan dengan hebat. Kelak tiba masa dimana kau dan aku
masing-masing akan sendiri. Berlaku ketika waktu tidak lagi dapat
dijadikan sahabat. Namun waktu tetap tak bersalah, dan sahabat memang
tidak pernah ada. Aku takut. Karena memang kebersamaan membesarkan dan
memfasilitasi kesendirian dengan manja. Aku menjadi semakin takut. Aku
berdoa. Dan aku takut berdosa jika hanya berdoa saja. Tapi apakah dosa
memang masih ada?
Penyakit dari sebuah hubungan adalah
kebosanan. Kontinuitas. Rutinitas. Kau terlalu serius dan itu membuatku
semakin takut. Aku tetap akan mencoba menghargainya sebab bukankah kita
sama-sama tak menginginkan luka, semanis apapun itu. Tapi memang waktu
tidak pernah bersalah, selain kita yang selalu saling menyalahkan. Kita
ditikam oleh hampa dan prasangka yang liar. Rasa rindu yang
menjengkelkan dan begitu lincah. Berlarian dan membuat manuver
loncatan-loncatan hingga tersandung, lalu jatuh tanpa alasan. Ya,
perpisahan kita memang tak pernah beralasan. Bukankah sampai kini kita
dibingungkan olehnya? Perpisahan yang tak lagi menunda.
Kekhawatiran-kekhawatiran kita kini tak lagi membutuhkan jawaban. Oh,
mengapa hati kita saling terpaut namun pedang kita saling menghunus
dengan keji? Aku tahu kau begitu redam. Begitu juga aku. Aku telah
terlanjur menggosok botol jantungmu, dan membiarkan jin itu pergi
sebelum sempat mengabulkan permintaanku. Satu saja. Hanya satu, menutup
drama ini tanpa cinta. Karena tahukah kau, betapa ngilunya perpisahan
tanpa saling membenci?
Aku adalah perempuan. Menjelang
enam tahun setelah pertemuan kita. Pertemuan yang nyaris saja
membakarmu dengan amarahku yang kritis. Laki-laki yang kusebut suami
kini adalah seperti kebanyakan jenisnya yang lain. Selalu menuntut
persenggamaan mono. Mulut mereka yang ternganga mengeluarkan suara
ular-ular, segala tiran, dan semua varian setan, yang berdesis ganjil
dan nakal libido. Tak ada keromantisan dari bahasanya yang jorok.
Hingga aku adalah perempuan yang tak lebih berharga dari sekedar boneka
birahi, mesin cuci, mesin pemasak, serta pencetak anak dan pengasuhnya.
Ditindih, masak, mencuci, beranak, memomong dan seterusnya. Ini adalah
marital rape. Aku diperkosa. Tapi dia telah mentiadakan neraka, dalam
hidup dan perzinahan. Para istri adalah pelacur yang mengharapkan
perimbalan jasmaniah. Dengan menahan perihnya kontraksi phallus pada
vagina yang tak pernah terangsang. Suami yang menggebu-gebu dengan
melupakan fase foreplay, dan mengabaikan betapa inginnya hawa-hawa ini
merasakan getar-getar pada klitoris yang meninggalkan nikmat. Kini
hanya tergeletak seperti korban perkosaan yang menyisakan ampas-ampas
persetubuhan. Perempuan ini tak memiliki badannya. Perempuan ini tidak
lagi merayakan tubuhnya.
Suamiku adalah seorang ahli
hukum yang glamour, bertubuh gempal, tampan, bersih, wangi, perhatian,
dan memiliki banyak Tuhan. Semua hanya karena aku trauma sama laki-laki
yang membenci sistem hukum, ingin menjadi miskin, kerempeng, pas-pasan,
bau tembakau, tak acuh, dan tak memiliki Tuhan sepertimu. Tapi sungguh,
trauma meninggalkan rasa yang begitu mendalam. Begitu sulit melupakan
tawamu yang teramat jarang, atau langkah terburu-burumu di balik jeans
yang merindukan sabun dan sikat. Andainya ini adalah kerinduan tanpa
perkenalan. Andainya kau adalah perempuan atau aku adalah laki-laki,
hingga ini tak perlu menjadi bagian sejarah yang hilang.
Kini
janin berusia enam bulan bersemayam ditubuh yang merintih ini. Sebuah
kehidupan yang berhutang pada persetubuhan yang kotor dan jahat. Namun
calon bayi belumlah cukup waktu untuk dapat berefleksi, hingga ia mampu
melihat bahwa dunia di luar sana dipenuhi oleh raksasa-raksasa rakus
akan perawan yang terlindungi oleh malam dan gelap. Bahwa dunianya
kelak setidaknya hanya terdiri dari tiga yang tak perlu; nilai,
penghisapan, kaya.
Lalu bagaimana keadaanmu hari ini?
Masihkah kau suka menulis puisi yang terlalu tersirat? Masihkah kau
suka membaca buku-buku yang menjadikanmu tertuduh subversif? Masihkah
kau mendengar dan memainkan musik dan nada-nada berisik di atas
panggung insureksi? Apakah kau masih membenci polisi dan tentara?
Apakah kau masih suka berkucil di puncak-puncak gunung lokasi
persembunyian yang asing untuk sekedar melamun? Yang terakhir, telah
adakah kini penggantiku yang layak?
Aku 24 tahun. Seorang
perempuan. Sama seperti Marsinah. Sama seperti para istri. Sama seperti
para pembantu rumah tangga. Sama seperti lonte-lonte. Sama tertindas.
Oleh sistem. Oleh dunia kerja. Oleh dominasi laki-laki. Oleh
pernikahan. Oleh ketidakberdayaan. Oleh tata nilai, dogma, dan
moralitas. Oleh kepemilikan. Oleh halusinasi untuk dicinta laki-laki
sepertimu. Oleh World Trade Organization. Oleh RUU Antipornografi &
Pornoaksi. Oleh waktu yang tak pernah mau mengalah. Oleh waktu yang
memang tak pernah bersalah. Oleh waktu yang selalu pura-pura tak
bersalah….
Kau memanggilku, "The best thing that i ever had, the best thing that i ever hate."
(Saya
menulis ulang catatan ini--yang ditinggalkan oleh seorang perempuan
yang pernah menjadi bagian dari hidup saya, terselip dalam tas yang
kerap saya bawa--di detik-detik menjelang pernikahan 2006 silam...
Ah, betapa sebuah pilihan selalu meninggalkan luka dibelakangnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar