“Aku ingin kurus! Aku tak mau gemuk! Makanan membuatku gemuk. Aku melahap makanan seperti orang kelaparan, lalu, kumasukkan jariku jauh ke kerongkongan untuk memuntahkannya.”

Secara konvensional,
kecantikan sesuatu yang identik dengan tubuh perempuan. Label
kecantikan diciptakan oleh masyarakat dimana laki-laki lebih berkuasa.
Bila dilihat dari sisi ini, berarti perempuan ditempatkan pada posisi
sebagai objek penilaian, karena tentu saja kecantikan berarti
perspektif dari kaum laki-laki. Ini tentu kecantikan versi
subjektifitas belaka, karena kecantikan itu sendiri beragam versinya.
Bermacam cara ditempuh. Bangsa Maya dahulu kala mempercayai bahwa wujud
kecantikan berupa kepala yang digepengkan dan melonjong ke belakang,
yang dilakukan ketika si perempuan masih bayi dengan meletakkan kepala
bayi pada dua bilah papan dan lalu mengikatnya untuk membentuk
tengkorak bayi yang masih lunak. Berbeda dengan para perempuan suku
Maori di Selandia Baru yang melakukan praktek Ta Moko (seni tato
tradisional Maori) dengan mentato di bibir dan sekitar dagu. Seorang
perempuan Maori dianggap cantik bila bibir mereka ditato dengan tinta
berwarna biru yang memenuhi bibirnya. Lalu pada 1950-an merupakan momen
kepopuleran stiletto heel--generasi pertama sepatu berhak tinggi
modern--bagi para perempuan Eropa, yang saat itu mencapai tinggi hingga
25 sentimeter. Sepatu hak tinggi memberikan ilusi estetika bahwa kaki
yang mengenakannya akan terlihat lebih ramping dan tubuhnya terlihat
semampai, meski pada kenyataannya sepatu berhak tinggi menyebabkan
nyeri betis dan berpotensi menyebabkan cacat pada otot.
Pengorbanan-pengorbanan untuk sebuah penilaian yang harus dibayar mahal.
Lalu
apa itu kecantikan? Siapa yang menjadi juri penilaian atasnya? Apakah
dengan mengonsumsi produk-produk pemutih wajah lantas kau bisa dibilang
cantik? Apakah dengan berganti hari maka berganti pula rupa kecantikan?
Meski tidak bisa dikatakan bahwa kecantikan berteman intim dengan
penderitaan, beberapa orang dari berbagai belahan dunia rela menjadi
bagian dari rasa sakit deminya. Seperti sebuah ungkapan di Perancis,
"L'un receh souffrir pour etre pacar" yang diterjemahkan menjadi
"Seseorang harus menderita untuk menjadi cantik."
Footbinding, Penderitaan Para Perempuan di Cina
Banyak cara dilakukan perempuan untuk mempercantik dirinya. Meski
tidak ada catatan-catatan spesifik yang bisa mengungkap sejarah metode
kecantikan di Cina dengan mengikat kaki para perempuannya, ada banyak
legenda yang merujuk pada hal ini. Tradisi mengikat kaki di Cina
diyakini dimulai di era dinasti Shang pada abad 1700-1027 SM oleh sang
Ratu Shang yang memiliki kelainan pada kakinya. Untuk menutupi
kekurangannya, Ia lantas mewajibkan para perempuan di bawah
pemerintahannya agar mengecilkan kaki mereka. Namun catatan lain
menyatakan bahwa tradisi ini telah dimulai satu abad sebelumnya di masa
pemerintahan Li Yu, yang jatuh hati pada Yao Niang, seorang selir dan
juga penari berbakat yang mengikat kakinya dalam sebuah pertunjukan
tari. Hal ini diadopsi sebagai fashion di kalangan kelas atas dan
segera tersebar menjadi populer di kalangan borjuis Cina. Footbinding
dianggap bagian dari kecantikan yang mewakili status sosial seorang
perempuan. Untuk menembus paradigma prestise ini, tidak ada persyaratan
selain mengecilkan kaki normal menjadi hanya sepanjang tiga inci.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa kecantikan merupakan sebuah
budaya bentukan. Ini berlaku bagi setiap perempuan. Maka dari itu,
dengan cepat tradisi ini merambah ke desa-desa. Perempuan pedesaan
menjadikan ini sebagai tiket untuk mendapatkan pengakuan sosial.
Harapan untuk mendapat masa depan yang cerah itu dilegitimasi oleh
institusi pernikahan. Sangat jelas bahwa saat itu tanpa kaki yang
terikat tidak mungkin untuk menemukan suami. Seorang wanita berkaki
normal secara umum dipandang sebagai sebuah keanehan. Para orang tua
berbondong-bondong mempersiapkan masa depan anak gadisnya dengan
mengikat kaki mereka sejak usia dini. Ini untuk memudahkan teknik
pengikatan mengingat tekstur tulang rawan yang masih mudah untuk
dibentuk. Metodenya dengan melumaskan salep khusus pada sekujur telapak
kaki untuk menyingkirkan setiap kulit mati, mematahkan semua jari kaki
selain ibu jari, melipatnya ke bagian telapak kaki, lalu mengikatnya
hingga ke tumit. Tak perlu kau bayangkan seberapa nyeri rasa yang
mereka pendam, yang butuh waktu bertahun-tahun untuk menghentikan
pertumbuhan telapak kaki yang menyatu dengan tulang dan daging yang
membusuk. Perlu waktu setidaknya sepuluh tahun untuk mempertahankan
ikatan agar mendapat hasil yang yang permanen. Tidak sedikit pelaku
metode ini yang meninggal karena infeksi.
Saat itu, kaki
terikat dipahami sebagai bagian yang paling intim dan erotis dari
anatomi perempuan yang mewakili estetika kecantikan dan mistik seksual.
Kecantikan tidak lagi dinilai dari paras dan bentuk tubuh, siapapun
dia, entah calon istri maupun pelacur, dipilih semata-mata pada ukuran
dan bentuk kaki mereka. Sebelum tradisi ini berkembang, kaum perempuan
memegang hak independen untuk properti dan kekayaan. Mereka berhak
memutuskan perceraian dan keinginanan untuk menikah kembali. Abad-abad
berikutnya, footbinding secara terbuka dipandang sebagai metode
pengendalian perempuan dan menumbuhkan perilaku moral mereka. Di abad
1100 SM, Gubernur Chu Hsi dari Provinsi Fujian, mengkritik kebebasan
kaum perempuan yang dinilai telah melampaui porsinya. Ia lalu mencoba
mendefinisi ulang status perempuan dan memerintahkan mereka untuk
mengikat kaki dengan ekstrim sebagai simbol kesucian. Footbinding
lantas menjadi budaya penaklukan perempuan agar lebih tergantung pada
laki-laki. ara wanita berkaki kecil kemudian tidak lagi bebas untuk
meninggalkan rumah tangga sesuka hati. Mereka dimasukkan dalam kubangan
bernama pendidikan dalam keluarga. Kepatuhan ditanamkan sejak mereka
kecil agar patuh pada bapak dan kakak-kakak lelaki, lalu ketika dewasa
dipatuhkan sebagai pelayan suami. Sejak mula perempuan dipersiapkan
untuk menjadi pekerja domestik dan pemuas seks sang suami. Secara
fisik, footbinding hampir sama dengan pasung. Kelebihannya, cuma karena
masih tetap bisa beraktivitas meski sangat terbatas. Hak untuk memiliki
pun hilang, sebagai gantinya, mereka justru menjadi properti anggota
keluarga laki-laki.
Tradisi ini bertahan dan menjadi
bagian dari masyarakat Cina hingga abad ke-20. Reformasi politik Cina
dengan masuknya misonaris Barat, melahirkan kritik dari kalangan
cendekiawan terhadap prakek sadis ini. Lalu pada tahun 1928, pemerintah
Nasionalis mengumumkan pelarangan footbinding, dan memberlakukan denda
bagi siapapun yang masih menerapkan teknik ini. Diperlukan waktu yang
sangat lama untuk menghapus tradisi ini, dan tahun-tahun setelah
revolusi Komunis di Cina pada tahun 1949 menjadi akhir bagi
kelangsungan footbinding.
![]() |
Ethel Granger, Perempuan Rumania yang memilki pinggang terkecil di dunia, hasil dari melakukan terapi korset ekstrim. |
Penggunaan korset kali pertama diperkenalkan oleh kaum pedagang
Minoa sebagai bangsa Eropa pertama yang berbasis dagang di Mediterania.
Bangsa ini berkembang sebelum Abad Kegelapan dan dianggap juga sebagai
cikal bakal peradaban Yunani. Mereka mengenakan korset bukan hanya pada
perempuan tapi juga pada laki-laki. Di Abad Kegelapan, korset melenyap
dan muncul kembali di abad ke-17 dan abad ke-18 setelah meletusnya
Revolusi Perancis. Seiring terjadinya restrukturisasi radikal pada
kekuasaan dan dominasi gereja, revolusi ini menjadi pintu pembuka juga
pada perubahan gaya berpakaian pada waktu itu, meski tanda-tanda
tekanan dalam berpakaian kaum perempuan masih tetap sama hingga jaman
Victoria. Para perempuan mengalami siksaan dengan pakaian yang
berlapis-lapis, yang dimitoskan untuk membedakan mana kalangan
perempuan baik-baik dan mana yang pelacur. Penggunaan korset kembali
populer walau sebatas digunakan oleh kalangan bangsawan. Disini
penderitaan itu dimulai.
Kecantikan dinilai dari
kerampingan pinggang, payudara bulat penuh dan pinggul yang menonjol.
Perempuan-perempuan istana dan kalangan bangsawan melakukan sebuah
metode ekstrim untuk mendapatkan tubuh ideal bak jam pasir. Istilah itu
dikenal sebagai tightlacing atau pengenaan korset super
ketat. Sejak usia remaja, para perempuan aristokrat mulai diarahkan
untuk membentuk tubuh mereka melalui metode ini. Putri-putri bangsawan
dan dari kalangan istana menjadi panduan tren dan pengenaan korset.
Perempuan-perempuan jelata justru terbantu dengan terjadinya revolusi
industri yang menandai pula lahirnya industri di bidang garmen. Mesin
jahit menggantikan metode pembuatan korset yang semula merupakan salah
satu kerajinan tangan seperti halnya pakaian lain. Ini jelas
mempengaruhi dunia fashion pada saat itu tatkala korset telah
diproduksi secara massal dengan bahan lebih sederhana dan harga
terjangkau. Dan pengenaan korset segera melintasi batas-batas kelas
sosial. Perempuan manapun bisa mendapatkannya. Maraknya prostitusi
sebagai akibat krisis ekonomi di masa itu juga turut mempengaruhi
tingginya permintaan atas korset, termasuk terapi ekstrim, walau harus
menanggung konsekuensinya--tulang rusuk menusuk ke dalam, organ dalam
tubuh bergerak lebih dekat secara bersamaan, kapasitas paru-paru
berkurang yang menyebabkan kesulitan bernapas dan mengakibatkan batuk
terus-menerus, menekan posisi hati ke atas, perut mulas dan gangguan
pencernaan. Selain dinilai membatasi aktivitas harian perempuan, tightlacing juga
dapat menyebabkan perubahan struktural tubuh secara permanen, seperti
pergeseran tulang dan redistribusi organ internal. Gerakan feminisme di
akhir abad ke-19 turut mendorong terjadinya reformasi mode
berpakaian--menjadi lebih fleksibel bagi aktivitas perempuan. Sedikit
demi sedikit budaya pengenaan korset secara ekstrim mulai terkikis.
Lip Plate, Antara Perempuan dan Status Sosial
Meski bukti arkeologi menyatakan bahwa lip plate atau
peregangan bibir dengan menggunakan media berbentuk seperti piring
telah dilakukan berabad-abad sebelum masehi, namun ia tetap eksis
hingga kini. Beberapa suku di Amazon dan Afrika masih berpegang teguh
padanya. Dipercaya, tradisi ini mulai berkembang di masa perbudakan,
untuk membedakan mutu tiap budak yang hendak diperjualbelikan. Saat itu
orisinalitas dinilai dari seberapa 'lugu'nya calon budak. Dan
peregangan bibir dianggap dapat mewakili kemurnian itu. Dalam
sumber-sumber yang lebih tua banyak dilaporkan bahwa ukuran piring pada
bibir itu adalah tanda status sosial atau ekonomis dalam beberapa suku,
walau pada beberapa suku peletakan piring pada bibir berbeda-beda. Dan
yang paling populer adalah peregangan bibir bawah seperti yang
dilakukan oleh suku Mursi di Ethiopia, Afrika. Suku Mursi merupakan
suku nomaden di lembah Omo yang berbatasan dengan Sudan. Mereka adalah
suku yang paling terisolasi di Ethiopia yang hanya mengenal bahasa
lisan. Tradisi peregangan bibir berkembang menjadi ukuran nilai
kecantikan perempuan di suku-suku yang sampai saat ini memakai teknik
peregangan bibir ini. Teknik ini juga merupakan bentuk ekspresi
kematangan perempuan dan tanda bahwa dia telah mencapai usia subur.
Tradisi lazim dilakukan antara 6 bulan hingga setahun sebelum seorang
gadis muda menikah. Usia lima belas hingga delapan belas tahun dinilai
usia yang tepat. Peregangan bibir juga dianggap sebagai ukuran seberapa
besar mas kawin yang diberikan oleh pihak pengantin laki-laki.
Ritual
ini dimulai dengan menyayat bagian dalam bibir bawah perempuan yang
telah memasuki usia tersebut, lalu memasukkan pasak kayu didalamnya
selama satu bulan hingga luka mengering. Untuk memasukkan cincin lebar
kedalamnya, beberapa gigi bagian bawah mesti dengan rela ditanggalkan
terlebih dahulu. Pelebaran ini dilakukan secara bertahap. Semakin
lebar, maka semakin mewujudkan rasa bangga bagi si empunya bibir.
Berbeda dengan jejak-jejak sejarah yang terekam, beberapa ahli
berpendapat bahwa budaya peregangan bibir yang dilakukan oleh suku
Mursi merupakan cara untuk menghindarkan kaum perempuan suku dari
perdagangan budak karena secara fisik dianggap tidak menarik.
Pada
dasarnya, perempuan yang memakai cincin bibir berhubungan dengan segala
sesuatu yang dihormati dan dikagumi. Mereka akan di cap sebagai
perempuan pemalas bila tidak mengenakannya, dan dianggap rendah oleh
lingkungan sekitar. Dalam kehidupan harian, perempuan yang tidak
mengenakan cincin bibr akan kehilangan rasa percaya diri dihadapan
laki-laki. Selain itu, cincin bibir menandakan "Komitmen wanita pada
budaya dan suaminya." Hal ini diyakini bahwa jika suami seorang wanita
meninggal, dia tidak lagi diizinkan untuk memakainya.
Pemasangan cincin pada leher berangkat dari asumsi dominan tentang
kecantikan dan keindahan pada perempuan yang berleher panjang. Mereka
dikenakan untuk kecantikan, karena berbagai suku bersaing untuk
perhatian dalam semacam 'kontes kecantikan'. Untuk wanita anak suku
Karen yakni suku Padaung atau Kayan Lahwi di Myanmar, kumparan cincin
memberikan mereka identitas suku, terkait dengan kecantikan. Bahkan,
kumparan pada suku memastikan bahwa wanita akan menikah hanya di dalam
suku mereka sendiri. Meski ada pendapat yang mengatakan bahwa pemakaian
cincin di leher untuk melindungi diri dari serangan harimau, tapi ini
terbantahkan karena kenapa hanya berlaku bagi kaum perempuannya saja.
Nyatanya bahwa leher ekstra panjang dianggap sebagai identitas budaya
penanda keindahan dan simbol kekayaan--mengingat ada perempuan yang
mengenakan cincin berupa emas untuk memperpanjang lehernya, dan bahwa
hal itu akan menarik perhatian calon suami yang lebih baik. Leher
jenjang juga memiliki makna erotis untuk membangkitkan hasrat seksual
laki-laki terhadap perempuan tersebut.
Kumparan ini mulai
dipasang ketika seorang perempuan berusia lima tahun. Awalnya mereka
dikenakan sebuah cincin kuningan berat. Lalu jumlah cincin ditambah
jumlahnya secara bertahap selama bertahun-tahun setelahnya, hingga
total cincin berjumlah 20 hingga 25 buah. Berat kumparan yang akhirnya
memberi tekanan pada tulang selangka hingga peregangannya menghasilkan
modifikasi tubuh secara permanen, meski beberapa ahli membantahnya dan
menyatakan bahwa leher yang terlihat panjang hanyalah ilusi visual
belaka. Sebuah rumor mengatakan cincin leher merupakan alat kontrol
sosial yang diberlakukan oleh otoritas adat setempat, bahwa apabila
perempuan-perempuan suku Kayan Lahwi tidak loyal terhadap sukunya, maka
cincin pada lehernya akan dilenyapkan, yang dapat menyebabkan si
perempuan tersedak hingga tewas sebagai akibat rusaknya struktur otot
saluran pernapasan, dan kenyataannya kulit dibalik kumparan itu lecet
karena melepuh dan menimbulkan nyeri luar biasa.
Kini
tradisi ini mulai ditinggalkan oleh sebagian perempuan suku. Sisanya
tetap mengenakan cincin dilehernya tidak lain sebagai salah satu
penopang pendapatan, mengingat banyak wisatawan yang datang mengunjungi
mereka sekedar untuk berfoto dan menyaksikan sekumpulan perempuan
'jerapah' ini.
Operasi plastik pada awalnya dikembangkan ribuan tahun lalu di India
untuk mengobati luka dan cacat lahir. Kemudian hanya lebih dari satu
abad yang lalu pada tahun 1885 ketika obat bius lokal ditemukan, ahli
bedah mulai melakukan berbagai operasi kosmetik. Kemajuan teknologi
merambah segala bidang termasuk pula pada dunia kecantikan dan bedah
plastik, yang kombinasi keduanya disebut bedah kosmetik. Rekonstruksi
tubuh dan wajah dalam operasi plastik tidak bisa dilepaskan dari
silikon, polimer kimia yang dihasilkan dari proses pemanasan karbon,
oksigen, hidrogen, dan unsur kimia lainnya. Umumnya, silikon berbentuk
karet dan minyak gel. Silikon biasa digunakan untuk produk-produk
keperluan rumah tangga semisal dot bayi, permen karet, pelumas, lem,
pelapis tahan air, make up, produk perawatan rambut, dan makanan
olahan. Selain itu silikon juga digunakan sebagai peralatan medis
seperti jarum suntik dan lensa kontak. Semula silikon dimanfaatkan
untuk menangani. Modifikasi ini dengan menggunakan teknik implan atau
penanaman silikon ke beberapa bagian tubuh yang dinilai kurang
proporsional. Dalam perkembangannya, silikon digunakan sebagai media
untuk melakukan 'make over' tubuh dan wajah. Ia dipakai sebagai
penunjang estetika kecantikan. Implan silikon kerap dilakukan untuk
memadatkan dagu, hidung, bisep, pantat, dan yang paling terkenal,
implantasi payudara. Tahun 1985 tercatat merupakan saat pertama kali
implantasi payudara dilakukan oleh seorang ahli bedah berkebangsaan
Austria dan Jerman terhadap pasiennya yang menderita tumor payudara.
Sejak itu, implantasi payudara digunakan untuk kepentingan lain. Para
perempuan melakukan implantasi ini untuk memperbaiki ukuran dan bentuk
payudara mereka menjadi lebih ideal.
Payudara dipandang
sebagai salah satu unsur bentuk tubuh penting dalam menunjang
penampilan seorang perempuan selain kulit, rambut, betis, pantat dan
wajah. Perempuan yang merasa 'kekurangan' pada bagian-bagian
ini--khususnya payudara, menemukan jawabannya pada implantasi. Hampir
bisa dipastikan bahwa sebagian besar pasien pembesaran payudara
biasanya adalah seorang wanita muda yang profilnya menunjukkan tekanan
psikologis tentang penampilan pribadi dan tubuhnya. Bila ada bagian
tubuh yang terasa lebih naka akan dikurangi, bila ada yang kurang akan
ditambahi. Tanpa menyadari bahaya yang mengancam. Para perempuan yang
melakukan operasi transplantasi silikon mengalami kesulitan untuk
menyusui bayinya dan menjadi sulit melakukan deteksi kanker pada
payudaranya. Meskipun silikon adalah mineral alami yang ditemukan dalam
tubuh manusia, penyerapan silikon dengan cara lain selain
mengonsumsinya secara langsung dipandang tidak baik, bahkan cenderung
berbahaya. Silikon sangat mungkin pecah ataupun bocor, tapi tidak
selamanya mengakibatkan kematian. Hasil sebuah riset menunjukkan bahwa
perempuan dengan silikon yang bocor, mengalami rasa lelah
berkepanjangan, nyeri kronis di sekujur tubuh dan gangguan memori
jangka pendek. Dan hasil studi yang dilakukan oleh National Cancer
Institute di Amerika Serikat pada 2011 lalu, juga menyebutkan bahwa
perempuan yang mengalami pecahnya silikon pada payudara, dua kali lebih
mungkin untuk meninggal akibat kanker otak, tiga kali lebih mungkin
untuk meninggal akibat kanker paru-paru atau penyakit pernapasan
lainnya, dan empat kali lebih mungkin untuk melakukan bunuh diri.
Mereka dibayangi-bayangi oleh sederetan penyakit mematikan
lainnya,semisal lupus dan kanker payudara. Beberapa wanita yang
mengalami implan silikon payudara bocor, harus menghadapi mastektomi
atau operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara mereka seperti
halnya yang terjadi pada penderita kanker payudara. Inilah tragedi,
keinginan untuk mendapatkan payudara indah justru harus kehilangan
indahnya payudara.
![]() |
Kepala 'rata' ala masyarakat Maya |
![]() | ||||
Tato perempuan Maori dan rasa nyeri |
![]() | |||||||||
Stiletto Heel, trik menopang tubuh semampai |
![]() |
Diet ekstrim |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar