Rabu, 01 Agustus 2012

Cantik, Apakah Layak Diperjuangkan?


Aku ingin kurus! Aku tak mau gemuk! Makanan membuatku gemuk. Aku melahap makanan seperti orang kelaparan, lalu, kumasukkan jariku jauh ke kerongkongan untuk memuntahkannya.”

Demikian kalimat yang dilontarkan seorang remaja perempuan anonim penderita anoreksia-bulimia dalam jurnal hariannya yang dibukukan dengan judul Kim: Empty Inside. Ia tidak meredam hasratnya untuk mengkonsumsi makanan yang ingin ia makan. Ia tetap menikmati kelezatannya. Tapi itu hanya sesaat, karena nyaris semua yang terkandung dalam makanan tersebut harus ia buang bersama asam yang keluar dari lambungnya dengan sengaja. Kalori menjadi musuh besarnya. Falsafah bahwa kelangsingan tubuh adalah sebuah esensi kecantikan membuat si gadis justru hidup dalam penderitaan. Anoreksia merupakan perkembangan dari diet ekstrim, yakni hilangnya selera makan seseorang sebagai akibat dari gangguan psikis bagi mereka yang takut pada kegemukan. Dan Bulimia juga berupa penyakit psikiatri yang sama, dengan gejala mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan tak terkendali lalu memuntahkannya kembali. Anoreksia dan Bulimia sama-sama gangguan pola makan sebagai akibat krisis kepercayadirian seseorang mengenai persepsi gambaran tubuh yang ideal. Paling tidak, setiap tahun 150.000 perempuan Amerika meninggal karena anoreksia.

Secara konvensional, kecantikan sesuatu yang identik dengan tubuh perempuan. Label kecantikan diciptakan oleh masyarakat dimana laki-laki lebih berkuasa. Bila dilihat dari sisi ini, berarti perempuan ditempatkan pada posisi sebagai objek penilaian, karena tentu saja kecantikan berarti perspektif dari kaum laki-laki. Ini tentu kecantikan versi subjektifitas belaka, karena kecantikan itu sendiri beragam versinya. Bermacam cara ditempuh. Bangsa Maya dahulu kala mempercayai bahwa wujud kecantikan berupa kepala yang digepengkan dan melonjong ke belakang, yang dilakukan ketika si perempuan masih bayi dengan meletakkan kepala bayi pada dua bilah papan dan lalu mengikatnya untuk membentuk tengkorak bayi yang masih lunak. Berbeda dengan para perempuan suku Maori di Selandia Baru yang melakukan praktek Ta Moko (seni tato tradisional Maori) dengan mentato di bibir dan sekitar dagu. Seorang perempuan Maori dianggap cantik bila bibir mereka ditato dengan tinta berwarna biru yang memenuhi bibirnya. Lalu pada 1950-an merupakan momen kepopuleran stiletto heel--generasi pertama sepatu berhak tinggi modern--bagi para perempuan Eropa, yang saat itu mencapai tinggi hingga 25 sentimeter. Sepatu hak tinggi memberikan ilusi estetika bahwa kaki yang mengenakannya akan terlihat lebih ramping dan tubuhnya terlihat semampai, meski pada kenyataannya sepatu berhak tinggi menyebabkan nyeri betis dan berpotensi menyebabkan cacat pada otot. Pengorbanan-pengorbanan untuk sebuah penilaian yang harus dibayar mahal.

Lalu apa itu kecantikan? Siapa yang menjadi juri penilaian atasnya? Apakah dengan mengonsumsi produk-produk pemutih wajah lantas kau bisa dibilang cantik? Apakah dengan berganti hari maka berganti pula rupa kecantikan? Meski tidak bisa dikatakan bahwa kecantikan berteman intim dengan penderitaan, beberapa orang dari berbagai belahan dunia rela menjadi bagian dari rasa sakit deminya. Seperti sebuah ungkapan di Perancis, "L'un receh souffrir pour etre pacar" yang diterjemahkan menjadi "Seseorang harus menderita untuk menjadi cantik."


Footbinding, Penderitaan Para Perempuan di Cina

Banyak cara dilakukan perempuan untuk mempercantik dirinya. Meski tidak ada catatan-catatan spesifik yang bisa mengungkap sejarah metode kecantikan di Cina dengan mengikat kaki para perempuannya, ada banyak legenda yang merujuk pada hal ini. Tradisi mengikat kaki di Cina diyakini dimulai di era dinasti Shang pada abad 1700-1027 SM oleh sang Ratu Shang yang memiliki kelainan pada kakinya. Untuk menutupi kekurangannya, Ia lantas mewajibkan para perempuan di bawah pemerintahannya agar mengecilkan kaki mereka. Namun catatan lain menyatakan bahwa tradisi ini telah dimulai satu abad sebelumnya di masa pemerintahan Li Yu, yang jatuh hati pada Yao Niang, seorang selir dan juga penari berbakat yang mengikat kakinya dalam sebuah pertunjukan tari. Hal ini diadopsi sebagai fashion di kalangan kelas atas dan segera tersebar menjadi populer di kalangan borjuis Cina. Footbinding dianggap bagian dari kecantikan yang mewakili status sosial seorang perempuan. Untuk menembus paradigma prestise ini, tidak ada persyaratan selain mengecilkan kaki normal menjadi hanya sepanjang tiga inci. Seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa kecantikan merupakan sebuah budaya bentukan. Ini berlaku bagi setiap perempuan. Maka dari itu, dengan cepat tradisi ini merambah ke desa-desa. Perempuan pedesaan menjadikan ini sebagai tiket untuk mendapatkan pengakuan sosial. Harapan untuk mendapat masa depan yang cerah itu dilegitimasi oleh institusi pernikahan. Sangat jelas bahwa saat itu tanpa kaki yang terikat tidak mungkin untuk menemukan suami. Seorang wanita berkaki normal secara umum dipandang sebagai sebuah keanehan. Para orang tua berbondong-bondong mempersiapkan masa depan anak gadisnya dengan mengikat kaki mereka sejak usia dini. Ini untuk memudahkan teknik pengikatan mengingat tekstur tulang rawan yang masih mudah untuk dibentuk. Metodenya dengan melumaskan salep khusus pada sekujur telapak kaki untuk menyingkirkan setiap kulit mati, mematahkan semua jari kaki selain ibu jari, melipatnya ke bagian telapak kaki, lalu mengikatnya hingga ke tumit. Tak perlu kau bayangkan seberapa nyeri rasa yang mereka pendam, yang butuh waktu bertahun-tahun untuk menghentikan pertumbuhan telapak kaki yang menyatu dengan tulang dan daging yang membusuk. Perlu waktu setidaknya sepuluh tahun untuk mempertahankan ikatan agar mendapat hasil yang yang permanen. Tidak sedikit pelaku metode ini yang meninggal karena infeksi.

Saat itu, kaki terikat dipahami sebagai bagian yang paling intim dan erotis dari anatomi perempuan yang mewakili estetika kecantikan dan mistik seksual. Kecantikan tidak lagi dinilai dari paras dan bentuk tubuh, siapapun dia, entah calon istri maupun pelacur, dipilih semata-mata pada ukuran dan bentuk kaki mereka. Sebelum tradisi ini berkembang, kaum perempuan memegang hak independen untuk properti dan kekayaan. Mereka berhak memutuskan perceraian dan keinginanan untuk menikah kembali. Abad-abad berikutnya, footbinding secara terbuka dipandang sebagai metode pengendalian perempuan dan menumbuhkan perilaku moral mereka. Di abad 1100 SM, Gubernur Chu Hsi dari Provinsi Fujian, mengkritik kebebasan kaum perempuan yang dinilai telah melampaui porsinya. Ia lalu mencoba mendefinisi ulang status perempuan dan memerintahkan mereka untuk mengikat kaki dengan ekstrim sebagai simbol kesucian. Footbinding lantas menjadi budaya penaklukan perempuan agar lebih tergantung pada laki-laki. ara wanita berkaki kecil kemudian tidak lagi bebas untuk meninggalkan rumah tangga sesuka hati. Mereka dimasukkan dalam kubangan bernama pendidikan dalam keluarga. Kepatuhan ditanamkan sejak mereka kecil agar patuh pada bapak dan kakak-kakak lelaki, lalu ketika dewasa dipatuhkan sebagai pelayan suami. Sejak mula perempuan dipersiapkan untuk menjadi pekerja domestik dan pemuas seks sang suami. Secara fisik, footbinding hampir sama dengan pasung. Kelebihannya, cuma karena masih tetap bisa beraktivitas meski sangat terbatas. Hak untuk memiliki pun hilang, sebagai gantinya, mereka justru menjadi properti anggota keluarga laki-laki.

Tradisi ini bertahan dan menjadi bagian dari masyarakat Cina hingga abad ke-20. Reformasi politik Cina dengan masuknya misonaris Barat, melahirkan kritik dari kalangan cendekiawan terhadap prakek sadis ini. Lalu pada tahun 1928, pemerintah Nasionalis mengumumkan pelarangan footbinding, dan memberlakukan denda bagi siapapun yang masih menerapkan teknik ini. Diperlukan waktu yang sangat lama untuk menghapus tradisi ini, dan tahun-tahun setelah revolusi Komunis di Cina pada tahun 1949 menjadi akhir bagi kelangsungan footbinding.

Tightlacing, Merampingkan Tubuh Sekira Jam Pasir

Ethel Granger, Perempuan Rumania yang memilki pinggang terkecil di dunia, hasil dari melakukan terapi korset ekstrim.

Penggunaan korset kali pertama diperkenalkan oleh kaum pedagang Minoa sebagai bangsa Eropa pertama yang berbasis dagang di Mediterania. Bangsa ini berkembang sebelum Abad Kegelapan dan dianggap juga sebagai cikal bakal peradaban Yunani. Mereka mengenakan korset bukan hanya pada perempuan tapi juga pada laki-laki. Di Abad Kegelapan, korset melenyap dan muncul kembali di abad ke-17 dan abad ke-18 setelah meletusnya Revolusi Perancis. Seiring terjadinya restrukturisasi radikal pada kekuasaan dan dominasi gereja, revolusi ini menjadi pintu pembuka juga pada perubahan gaya berpakaian pada waktu itu, meski tanda-tanda tekanan dalam berpakaian kaum perempuan masih tetap sama hingga jaman Victoria. Para perempuan mengalami siksaan dengan pakaian yang berlapis-lapis, yang dimitoskan untuk membedakan mana kalangan perempuan baik-baik dan mana yang pelacur. Penggunaan korset kembali populer walau sebatas digunakan oleh kalangan bangsawan. Disini penderitaan itu dimulai.

Kecantikan dinilai dari kerampingan pinggang, payudara bulat penuh dan pinggul yang menonjol. Perempuan-perempuan istana dan kalangan bangsawan melakukan sebuah metode ekstrim untuk mendapatkan tubuh ideal bak jam pasir. Istilah itu dikenal sebagai tightlacing atau pengenaan korset super ketat. Sejak usia remaja, para perempuan aristokrat mulai diarahkan untuk membentuk tubuh mereka melalui metode ini. Putri-putri bangsawan dan dari kalangan istana menjadi panduan tren dan pengenaan korset. Perempuan-perempuan jelata justru terbantu dengan terjadinya revolusi industri yang menandai pula lahirnya industri di bidang garmen. Mesin jahit menggantikan metode pembuatan korset yang semula merupakan salah satu kerajinan tangan seperti halnya pakaian lain. Ini jelas mempengaruhi dunia fashion pada saat itu tatkala korset telah diproduksi secara massal dengan bahan lebih sederhana dan harga terjangkau. Dan pengenaan korset segera melintasi batas-batas kelas sosial. Perempuan manapun bisa mendapatkannya. Maraknya prostitusi sebagai akibat krisis ekonomi di masa itu juga turut mempengaruhi tingginya permintaan atas korset, termasuk terapi ekstrim, walau harus menanggung konsekuensinya--tulang rusuk menusuk ke dalam, organ dalam tubuh bergerak lebih dekat secara bersamaan, kapasitas paru-paru berkurang yang menyebabkan kesulitan bernapas dan mengakibatkan batuk terus-menerus, menekan posisi hati ke atas, perut mulas dan gangguan pencernaan. Selain dinilai membatasi aktivitas harian perempuan, tightlacing juga dapat menyebabkan perubahan struktural tubuh secara permanen, seperti pergeseran tulang dan redistribusi organ internal. Gerakan feminisme di akhir abad ke-19 turut mendorong terjadinya reformasi mode berpakaian--menjadi lebih fleksibel bagi aktivitas perempuan. Sedikit demi sedikit budaya pengenaan korset secara ekstrim mulai terkikis.


Lip Plate, Antara Perempuan dan Status Sosial

Meski bukti arkeologi menyatakan bahwa lip plate atau peregangan bibir dengan menggunakan media berbentuk seperti piring telah dilakukan berabad-abad sebelum masehi, namun ia tetap eksis hingga kini. Beberapa suku di Amazon dan Afrika masih berpegang teguh padanya. Dipercaya, tradisi ini mulai berkembang di masa perbudakan, untuk membedakan mutu tiap budak yang hendak diperjualbelikan. Saat itu orisinalitas dinilai dari seberapa 'lugu'nya calon budak. Dan peregangan bibir dianggap dapat mewakili kemurnian itu. Dalam sumber-sumber yang lebih tua banyak dilaporkan bahwa ukuran piring pada bibir itu adalah tanda status sosial atau ekonomis dalam beberapa suku, walau pada beberapa suku peletakan piring pada bibir berbeda-beda. Dan yang paling populer adalah peregangan bibir bawah seperti yang dilakukan oleh suku Mursi di Ethiopia, Afrika. Suku Mursi merupakan suku nomaden di lembah Omo yang berbatasan dengan Sudan. Mereka adalah suku yang paling terisolasi di Ethiopia yang hanya mengenal bahasa lisan. Tradisi peregangan bibir berkembang menjadi ukuran nilai kecantikan perempuan di suku-suku yang sampai saat ini memakai teknik peregangan bibir ini. Teknik ini juga merupakan bentuk ekspresi kematangan perempuan dan tanda bahwa dia telah mencapai usia subur. Tradisi lazim dilakukan antara 6 bulan hingga setahun sebelum seorang gadis muda menikah. Usia lima belas hingga delapan belas tahun dinilai usia yang tepat. Peregangan bibir juga dianggap sebagai ukuran seberapa besar mas kawin yang diberikan oleh pihak pengantin laki-laki.

Ritual ini dimulai dengan menyayat bagian dalam bibir bawah perempuan yang telah memasuki usia tersebut, lalu memasukkan pasak kayu didalamnya selama satu bulan hingga luka mengering. Untuk memasukkan cincin lebar kedalamnya, beberapa gigi bagian bawah mesti dengan rela ditanggalkan terlebih dahulu. Pelebaran ini dilakukan secara bertahap. Semakin lebar, maka semakin mewujudkan rasa bangga bagi si empunya bibir. Berbeda dengan jejak-jejak sejarah yang terekam, beberapa ahli berpendapat bahwa budaya peregangan bibir yang dilakukan oleh suku Mursi merupakan cara untuk menghindarkan kaum perempuan suku dari perdagangan budak karena secara fisik dianggap tidak menarik.

Pada dasarnya, perempuan yang memakai cincin bibir berhubungan dengan segala sesuatu yang dihormati dan dikagumi. Mereka akan di cap sebagai perempuan pemalas bila tidak mengenakannya, dan dianggap rendah oleh lingkungan sekitar. Dalam kehidupan harian, perempuan yang tidak mengenakan cincin bibr akan kehilangan rasa percaya diri dihadapan laki-laki. Selain itu, cincin bibir menandakan "Komitmen wanita pada budaya dan suaminya." Hal ini diyakini bahwa jika suami seorang wanita meninggal, dia tidak lagi diizinkan untuk memakainya.

Neck Ring, Penanda Bahwa Ia Bukan Budak

Pemasangan cincin pada leher berangkat dari asumsi dominan tentang kecantikan dan keindahan pada perempuan yang berleher panjang. Mereka dikenakan untuk kecantikan, karena berbagai suku bersaing untuk perhatian dalam semacam 'kontes kecantikan'. Untuk wanita anak suku Karen yakni suku Padaung atau Kayan Lahwi di Myanmar, kumparan cincin memberikan mereka identitas suku, terkait dengan kecantikan. Bahkan, kumparan pada suku memastikan bahwa wanita akan menikah hanya di dalam suku mereka sendiri. Meski ada pendapat yang mengatakan bahwa pemakaian cincin di leher untuk melindungi diri dari serangan harimau, tapi ini terbantahkan karena kenapa hanya berlaku bagi kaum perempuannya saja. Nyatanya bahwa leher ekstra panjang dianggap sebagai identitas budaya penanda keindahan dan simbol kekayaan--mengingat ada perempuan yang mengenakan cincin berupa emas untuk memperpanjang lehernya, dan bahwa hal itu akan menarik perhatian calon suami yang lebih baik. Leher jenjang juga memiliki makna erotis untuk membangkitkan hasrat seksual laki-laki terhadap perempuan tersebut.

Kumparan ini mulai dipasang ketika seorang perempuan berusia lima tahun. Awalnya mereka dikenakan sebuah cincin kuningan berat. Lalu jumlah cincin ditambah jumlahnya secara bertahap selama bertahun-tahun setelahnya, hingga total cincin berjumlah 20 hingga 25 buah. Berat kumparan yang akhirnya memberi tekanan pada tulang selangka hingga peregangannya menghasilkan modifikasi tubuh secara permanen, meski beberapa ahli membantahnya dan menyatakan bahwa leher yang terlihat panjang hanyalah ilusi visual belaka. Sebuah rumor mengatakan cincin leher merupakan alat kontrol sosial yang diberlakukan oleh otoritas adat setempat, bahwa apabila perempuan-perempuan suku Kayan Lahwi tidak loyal terhadap sukunya, maka cincin pada lehernya akan dilenyapkan, yang dapat menyebabkan si perempuan tersedak hingga tewas sebagai akibat rusaknya struktur otot saluran pernapasan, dan kenyataannya kulit dibalik kumparan itu lecet karena melepuh dan menimbulkan nyeri luar biasa.

Kini tradisi ini mulai ditinggalkan oleh sebagian perempuan suku. Sisanya tetap mengenakan cincin dilehernya tidak lain sebagai salah satu penopang pendapatan, mengingat banyak wisatawan yang datang mengunjungi mereka sekedar untuk berfoto dan menyaksikan sekumpulan perempuan 'jerapah' ini.


Rekayasa Bentuk Payudara


Operasi plastik pada awalnya dikembangkan ribuan tahun lalu di India untuk mengobati luka dan cacat lahir. Kemudian hanya lebih dari satu abad yang lalu pada tahun 1885 ketika obat bius lokal ditemukan, ahli bedah mulai melakukan berbagai operasi kosmetik. Kemajuan teknologi merambah segala bidang termasuk pula pada dunia kecantikan dan bedah plastik, yang kombinasi keduanya disebut bedah kosmetik. Rekonstruksi tubuh dan wajah dalam operasi plastik tidak bisa dilepaskan dari silikon, polimer kimia yang dihasilkan dari proses pemanasan karbon, oksigen, hidrogen, dan unsur kimia lainnya. Umumnya, silikon berbentuk karet dan minyak gel. Silikon biasa digunakan untuk produk-produk keperluan rumah tangga semisal dot bayi, permen karet, pelumas, lem, pelapis tahan air, make up, produk perawatan rambut, dan makanan olahan. Selain itu silikon juga digunakan sebagai peralatan medis seperti jarum suntik dan lensa kontak. Semula silikon dimanfaatkan untuk menangani. Modifikasi ini dengan menggunakan teknik implan atau penanaman silikon ke beberapa bagian tubuh yang dinilai kurang proporsional. Dalam perkembangannya, silikon digunakan sebagai media untuk melakukan 'make over' tubuh dan wajah. Ia dipakai sebagai penunjang estetika kecantikan. Implan silikon kerap dilakukan untuk memadatkan dagu, hidung, bisep, pantat, dan yang paling terkenal, implantasi payudara. Tahun 1985 tercatat merupakan saat pertama kali implantasi payudara dilakukan oleh seorang ahli bedah berkebangsaan Austria dan Jerman terhadap pasiennya yang menderita tumor payudara. Sejak itu, implantasi payudara digunakan untuk kepentingan lain. Para perempuan melakukan implantasi ini untuk memperbaiki ukuran dan bentuk payudara mereka menjadi lebih ideal.

Payudara dipandang sebagai salah satu unsur bentuk tubuh penting dalam menunjang penampilan seorang perempuan selain kulit, rambut, betis, pantat dan wajah. Perempuan yang merasa 'kekurangan' pada bagian-bagian ini--khususnya payudara, menemukan jawabannya pada implantasi. Hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar pasien pembesaran payudara biasanya adalah seorang wanita muda yang profilnya menunjukkan tekanan psikologis tentang penampilan pribadi dan tubuhnya. Bila ada bagian tubuh yang terasa lebih naka akan dikurangi, bila ada yang kurang akan ditambahi. Tanpa menyadari bahaya yang mengancam. Para perempuan yang melakukan operasi transplantasi silikon mengalami kesulitan untuk menyusui bayinya dan menjadi sulit melakukan deteksi kanker pada payudaranya. Meskipun silikon adalah mineral alami yang ditemukan dalam tubuh manusia, penyerapan silikon dengan cara lain selain mengonsumsinya secara langsung dipandang tidak baik, bahkan cenderung berbahaya. Silikon sangat mungkin pecah ataupun bocor, tapi tidak selamanya mengakibatkan kematian. Hasil sebuah riset menunjukkan bahwa perempuan dengan silikon yang bocor, mengalami rasa lelah berkepanjangan, nyeri kronis di sekujur tubuh dan gangguan memori jangka pendek. Dan hasil studi yang dilakukan oleh National Cancer Institute di Amerika Serikat pada 2011 lalu, juga menyebutkan bahwa perempuan yang mengalami pecahnya silikon pada payudara, dua kali lebih mungkin untuk meninggal akibat kanker otak, tiga kali lebih mungkin untuk meninggal akibat kanker paru-paru atau penyakit pernapasan lainnya, dan empat kali lebih mungkin untuk melakukan bunuh diri. Mereka dibayangi-bayangi oleh sederetan penyakit mematikan lainnya,semisal lupus dan kanker payudara. Beberapa wanita yang mengalami implan silikon payudara bocor, harus menghadapi mastektomi atau operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara mereka seperti halnya yang terjadi pada penderita kanker payudara. Inilah tragedi, keinginan untuk mendapatkan payudara indah justru harus kehilangan indahnya payudara.

Kepala 'rata' ala masyarakat Maya
 
Tato perempuan Maori dan rasa nyeri
























Stiletto Heel, trik menopang tubuh semampai

Diet ekstrim




Tidak ada komentar:

Posting Komentar