"Ayo semua bikin zine!"—Bikin Zine, Up to Rage.
Pendapat bahwa relasi sosial dunia modern bergantung dengan media
massa ada benarnya. Karena dalam perkembangannya, media tidak lagi
menjadi alat berkomunikasi untuk menyampaikan gagasan dan informasi
saja. Banyak kepentingan lain dibelakangnya entah yang berorientasi
laba, entah itu sarana propaganda, saluran pemasaran produk, penopang
pilar kekuasaan atau pondasi stabilitas. Motif keuntungan ini pulalah
yang membatasi informasi-informasi yang ingin disampaikan oleh informan
demi alasan kelanggengan bisnis media. Selain itu, konsep-konsep moral
yang diciptakan oleh masyarakat arus utama dan penguasa turut memagari
setiap informasi dengan melahirkan sistem sensoritas hingga pada
akhirnya membatasi kreasi dari setiap ide.
Ide yang
terlahir bebas tentu tak bisa dibendung oleh batasan-batasan. Tidak ada
yang bisa menghadang hasrat untuk berbagi informasi dan gagasan.
Kebebasan ini teraktualisasi dengan mewujudnya bentuk media tandingan
bernama media alternatif—termasuk media cetak alternatif—yang tidak
cuma kritik pada media mainstream tapi pada peran media itu sendiri. Di
kalangan scene hardcore/punk, media cetak alternatif populer dengan
nama zine meskipun memang banyak variannya.
Untuk menjadi
seorang editor zine tidak diharuskan memiliki latar belakang
jurnalistik. Profesionalitas menjadi urusan nomor dua. Yang terpenting
adalah bagaimana mengemas informasi ke dalam kreatifitas dan semangat
untuk menyalurkan informasi gratis, yang ternyata memang dimiliki oleh
setiap orang apapun latar belakang sosialnya.
Di awal
kelahirannya dipertengahan 1960-an oleh kalangan penggemar fiksi
ilmiah, distribusi zine dibatasi oleh teknologi yangmana pada waktu itu
belum diketemukannya mesin pengganda arsip atau yang kita kenal dengan
nama mesin fotokopi. Setelah teknologi ini mumpuni satu dekade
setelahnya, para editor zine mulai bisa mencetak zine dalam skala yang
lebih besar meski juga tetap beredar di kalangan terbatas. Populernya
teknik kolase dari kalangan punk juga turut mempengaruhi style baru
dalam dunia zine. Jelas sekali bahwa siapapun bisa menjadi editor zine,
karena bayangkan, dengan bermodal gunting, lem dan kertas semuanya bisa
diatasi. Keterbatasan kemampuan dalam mengolah kata dan gambar tidak
diindahkan, karena dalam metode ini orisinalitas atau hak cipta
dikesampingkan. Semua gambar dan teks dari sumber manapun bisa
digunakan sebagai materi dalam menyampaikan informasi, yang ternyata
menjadi lebih artistik daripada seni itu sendiri. Di kalangan
hardcore/punk yangmana semula zine berisi informasi-informasi seputar
rilisan band-band, kalender event dan reportase event dan lain-lain
yang hanya berputar-putar di lingkar komuniti, pada akhirnya mulai
berkembang menjadi sebuah media yang bisa sangat personal dan bisa
sangat massif peredarannya tanpa menghilangkan semangatnya sebagai
sebuah media untuk bersenang-senang. Maka dari itu berbagai kalangan di
luar scene hardcore/punk mulai mengadopsi semangat yang terkandung di
dalam zine untuk membuat media mereka sendiri, yang menelurkan zine
dari klub hobi, fashion, olahraga, komik,dan sebagainya.
Sebagai
sarana penyampai informasi gratis, sebagian zine memang dibagikan
secara cuma-cuma, namun sebagian lainnya dijual demi kepentingan
penggalangan dana. Editor zine dan kontributor-kontributor didalamnya
telah bersedia sejak awal untuk meniadakan profit. Tidak cukup dengan
merogoh kocek sendiri, untuk kelangsungan nyawa zine beberapa editor
hanya meminta uang pengganti ongkos produksinya saja berupa biaya untuk
fotokopi, atau menjual merchandise yang iklannya dipajang dalam zine.
Dan pada umumnya para editor zine memiliki jejaring titik distribusi di
setiap daerah di luar wilayahnya untuk dapat membantu pendistribusian
zine-nya termasuk saling bertukar zine dengan sistem barter. Ini jelas
membantu perkembangan komuniti di setiap daerah untuk saling bertukar
informasi tentang permasalahan dan kebutuhan di daerahnya masing-masing.
Zaman
terus berganti. Tapi tidak demikian dengan semangat yang diapikan oleh
zine. Tentang sebuah media otonom yang bisa dikelola secara personal
atau bersama teman-teman, diolah secara digital atau manual, berisi
elegi atau amarah, total bergambar atau teks keseluruhan, difotokopi
atau dicetak, bahkan semua aturan dapat ditentukan sendiri oleh si
pembuat zine tanpa terpatok keinginan pimpinan redaksi, tanpa tenggat
waktu yang ditentukan oleh perusahaan. Tanpa kesenangan didalamnya,
bisa dipastikan bahwa itu bukanlah sebuah zine.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar