"Kecantikan adalah tirani yang berumur singkat"--Socrates
Seperti halnya telepon seluler, televisi adalah salah satu keajaiban
peradaban yang, wajar rasanya bila hidup harian terasa sulit jika tidak
berdampingan dengannya. Bahwa hidup yang modern, ya berarti hidup
sebagai penonton. Televisi tentulah tidak melepaskan perannya. Ia tetap
sebagai penyampai informasi meski itu berdiri diatas kepentingan
korporasi dan daya hipnotis produk. Maka kewajaran yang saya sebut di
baris atas, layak juga dikatakan bahwa televisi merupakan perpanjangan
tangan kapitalis yang paling ideal dalam melontarkan garda terdepannya:
iklan. Para ahli periklanan televisi memiliki prediksi yang tepat dalam
membidik jam tayang untuk bersinggungan dengan target pasarnya. Mereka
tahu betul jam-jam seorang anak kecil lelah bermain dan menghisap botol
dot sambil berbaring di depan layar televisi menonton kartun
kesukaannya, atau jam di saat para pekerja kantoran pulang kerja dan
melepas lelah sambil menonton berita, atau seorang ibu rumah tangga
yang bosan bergosip dengan tetangga lalu duduk di depan layar monitor
mengikuti acara gosip selanjutnya seputar selebriti-selebriti lokalan,
dan tahu betul kapan remaja putri menonton sinetron Korea sebagai salah
satu trend channel--istilah yang saya buat untuk menganalogikan tren
sebuah tayangan. Di momen inilah, produk-produk diinformasikan. Semakin
tinggi ratingnya, semakin masif pula iklan yang berkenaan dengan jadwal
audiens. Ini juga lantas kenapa sinetron-sinetron lokalan dengan
kualitas cerita dan animasi yang rendah mutu ditempatkan oleh pihak
televisi di jam-jam yang cenderung sepi penonton. Bukan, bukan karena
tayangan itu sepi peminat yang membuat otoritas siaran stasiun televisi
dan para pemasang iklan enggan menjajakan produknya, tapi karena memang
pada umumnya sinetron-sinetron seperti itu lebih digemari oleh audiens
yang berdaya beli rendah. Karena televisi dan iklan itu bisa
diibaratkan sebagai biji dan batang kontol, mereka begitu karib.
Iklan
tidak sejatinya definisi yang melekat padanya sebagai media komunikasi
antara pengiklan dan pemirsa. Ia lebih layak untuk disebut sebagai
pendefinisi makna dan perayu manakala komunikasi itu hanya berjalan
satu arah. Harapan lebih dari si pengiklan bukan lain adalah untuk
mendapat feedback berupa hasrat pemirsa selaku calon konsumer untuk
memiliki produk yang ditawarkan. Produsen yang mengiklankan produknya
telah menyiapkan pundi khusus untuk itu dengan kisaran yang tentu saja
tidaklah sedikit. Besarnya uang yang mesti dikeluarkan dikarenakan
proses produksi iklan termasuk juga sewa bintang iklan. Belum lagi
biaya pasang sejumlah puluhan juta per slot dengan durasi 15 detik
sampai 30 detik, tergantung kepopuleran stasiun televisi, jam tayang
iklan dan rating acara. Meski begitu, iklan televisi dirasa lebih
mengena ke sasaran, mengingat kini jamannya keeratan budaya televisi
dan masyarakat. Jadi tak mengapa keluar uang banyak untuk menimba uang
yang lebih banyak lagi.
Mempermainkan emosi penonton,
menjadi siasat jitu bagi pemasang iklan televisi. Kemasan iklan yang
berupa kombinasi suara dan gambar yang bergerak menjadikannya memiliki
keunggulan tiada banding. Tanpa perlu membeberkan harga dan spesifikasi
produk di iklan, toh konsumer akan mencari tahu sendiri. Penonton
menjadi lebih ingin tahu dengan semisal produk rokok terbaru tanpa
mesti menayangkan si bintang iklan menghisap rokoknya.
Perempuan
telah sejak lama menjadi target khusus para produsen, sejak sejarah dan
kultur menundukkan peran mereka dalam relasi sosial. Para produsen
tinggal berpikir bagaimana menjadi bagian dari sejarah itu melalui
budaya konsumer, dengan memanfaatkan mentalitas perempuan yang telah
menjadi sebuah bentukan, yang membutuhkan lebih dari sekedar pengakuan
akan keberadaannya agar dapat lebih diindera. Kecantikan adalah sesuatu
yang tampak. Ia ragawi. Tapi iklan menembus batas-batas tubuh. Ia
merumuskan kesempurnaan dan menyusup dalam-dalam ke benak para
perempuan, mewujud berbentuk kontruksi ilusi. Ilusi yang berwujud
fashion dan kosmetika. Keseragaman dibangun terpola secara sadar, dan
diterima dengan setengah waras oleh para penonton. Bila itu adalah
iklan yang berkenaan dengan rambut, maka seorang perempuan berambut
panjang lurus yang menjadi pemerannya. Jika itu berkaitan dengan kulit,
maka perempuan berkulit putih mulus dan bertubuh langsing yang menjadi
lakonnya. Kewarasan apa yang mempengaruhi penonton untuk lantas
berpikir bahwa cantik itu harus berambut panjang dan berkulit putih
mulus? Apakah berkulit putih menjadi sandaran untuk menyebut
nilai-nilai kecantikan? Tidak juga. Bila di negara-negara tropis iklan
kecantikan yang digencarkan merupakan produk pemutih tubuh, beda pula
di negara-negara beriklim dingin yang memang secara lahiriah berkulit
putih yang merasa lebih disukai lawan jenis bila berkulit gelap.
Seperti produk, iklan memainkan perannya sesuai tempat dimana ia
berpijak. Para perempuan penggemar kulit berwarna gelap, tidak perlu
risau dan berlama-lama berjemur di bawah terik matahari, karena aneka
produk untuk itu telah tersedia. Tapi tentu saja produk tersebut tak
bakalan laris manis di pasar negara beriklim tropis. Maka, terutama di
Indonesia, belum pernah saya lihat adanya iklan produk penghitam kulit.
Bukan tidak mungkin pada nantinya terbangun sebuah persepsi baru
tentang kecantikan pada masyarakat. Bisa jadi berkulit gelap dan
berambut ikal akan lebih digandrungi ketimbang berkulit putih dan
berambut lurus di negara tropis, atau sebaliknya dengan negara-negara
beriklim dingin atau tempat-tempat yang mayoritas secara lahiriah
berambut keriting. Selama ada televisi dan iklan yang mendikte
norma-norma budaya dominan, hal apa yang tak mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar