Rabu, 01 Agustus 2012

DUNIA TIDAK SELEBAR KOTAK SABUN: Iklan, Televisi dan Bagaimana Ia Berperan Dalam Membangun Mitos Kecantikan


"Kecantikan adalah tirani yang berumur singkat"--Socrates


Seperti halnya telepon seluler, televisi adalah salah satu keajaiban peradaban yang, wajar rasanya bila hidup harian terasa sulit jika tidak berdampingan dengannya. Bahwa hidup yang modern, ya berarti hidup sebagai penonton. Televisi tentulah tidak melepaskan perannya. Ia tetap sebagai penyampai informasi meski itu berdiri diatas kepentingan korporasi dan daya hipnotis produk. Maka kewajaran yang saya sebut di baris atas, layak juga dikatakan bahwa televisi merupakan perpanjangan tangan kapitalis yang paling ideal dalam melontarkan garda terdepannya: iklan. Para ahli periklanan televisi memiliki prediksi yang tepat dalam membidik jam tayang untuk bersinggungan dengan target pasarnya. Mereka tahu betul jam-jam seorang anak kecil lelah bermain dan menghisap botol dot sambil berbaring di depan layar televisi menonton kartun kesukaannya, atau jam di saat para pekerja kantoran pulang kerja dan melepas lelah sambil menonton berita, atau seorang ibu rumah tangga yang bosan bergosip dengan tetangga lalu duduk di depan layar monitor mengikuti acara gosip selanjutnya seputar selebriti-selebriti lokalan, dan tahu betul kapan remaja putri menonton sinetron Korea sebagai salah satu trend channel--istilah yang saya buat untuk menganalogikan tren sebuah tayangan. Di momen inilah, produk-produk diinformasikan. Semakin tinggi ratingnya, semakin masif pula iklan yang berkenaan dengan jadwal audiens. Ini juga lantas kenapa sinetron-sinetron lokalan dengan kualitas cerita dan animasi yang rendah mutu ditempatkan oleh pihak televisi di jam-jam yang cenderung sepi penonton. Bukan, bukan karena tayangan itu sepi peminat yang membuat otoritas siaran stasiun televisi dan para pemasang iklan enggan menjajakan produknya, tapi karena memang pada umumnya sinetron-sinetron seperti itu lebih digemari oleh audiens yang berdaya beli rendah. Karena televisi dan iklan itu bisa diibaratkan sebagai biji dan batang kontol, mereka begitu karib.

Iklan tidak sejatinya definisi yang melekat padanya sebagai media komunikasi antara pengiklan dan pemirsa. Ia lebih layak untuk disebut sebagai pendefinisi makna dan perayu manakala komunikasi itu hanya berjalan satu arah. Harapan lebih dari si pengiklan bukan lain adalah untuk mendapat feedback berupa hasrat pemirsa selaku calon konsumer untuk memiliki produk yang ditawarkan. Produsen yang mengiklankan produknya telah menyiapkan pundi khusus untuk itu dengan kisaran yang tentu saja tidaklah sedikit. Besarnya uang yang mesti dikeluarkan dikarenakan proses produksi iklan termasuk juga sewa bintang iklan. Belum lagi biaya pasang sejumlah puluhan juta per slot dengan durasi 15 detik sampai 30 detik, tergantung kepopuleran stasiun televisi, jam tayang iklan dan rating acara. Meski begitu, iklan televisi dirasa lebih mengena ke sasaran, mengingat kini jamannya keeratan budaya televisi dan masyarakat. Jadi tak mengapa keluar uang banyak untuk menimba uang yang lebih banyak lagi.

Mempermainkan emosi penonton, menjadi siasat jitu bagi pemasang iklan televisi. Kemasan iklan yang berupa kombinasi suara dan gambar yang bergerak menjadikannya memiliki keunggulan tiada banding. Tanpa perlu membeberkan harga dan spesifikasi produk di iklan, toh konsumer akan mencari tahu sendiri. Penonton menjadi lebih ingin tahu dengan semisal produk rokok terbaru tanpa mesti menayangkan si bintang iklan menghisap rokoknya.

Perempuan telah sejak lama menjadi target khusus para produsen, sejak sejarah dan kultur menundukkan peran mereka dalam relasi sosial. Para produsen tinggal berpikir bagaimana menjadi bagian dari sejarah itu melalui budaya konsumer, dengan memanfaatkan mentalitas perempuan yang telah menjadi sebuah bentukan, yang membutuhkan lebih dari sekedar pengakuan akan keberadaannya agar dapat lebih diindera. Kecantikan adalah sesuatu yang tampak. Ia ragawi. Tapi iklan menembus batas-batas tubuh. Ia merumuskan kesempurnaan dan menyusup dalam-dalam ke benak para perempuan, mewujud berbentuk kontruksi ilusi. Ilusi yang berwujud fashion dan kosmetika. Keseragaman dibangun terpola secara sadar, dan diterima dengan setengah waras oleh para penonton. Bila itu adalah iklan yang berkenaan dengan rambut, maka seorang perempuan berambut panjang lurus yang menjadi pemerannya. Jika itu berkaitan dengan kulit, maka perempuan berkulit putih mulus dan bertubuh langsing yang menjadi lakonnya. Kewarasan apa yang mempengaruhi penonton untuk lantas berpikir bahwa cantik itu harus berambut panjang dan berkulit putih mulus? Apakah berkulit putih menjadi sandaran untuk menyebut nilai-nilai kecantikan? Tidak juga. Bila di negara-negara tropis iklan kecantikan yang digencarkan merupakan produk pemutih tubuh, beda pula di negara-negara beriklim dingin yang memang secara lahiriah berkulit putih yang merasa lebih disukai lawan jenis bila berkulit gelap. Seperti produk, iklan memainkan perannya sesuai tempat dimana ia berpijak. Para perempuan penggemar kulit berwarna gelap, tidak perlu risau dan berlama-lama berjemur di bawah terik matahari, karena aneka produk untuk itu telah tersedia. Tapi tentu saja produk tersebut tak bakalan laris manis di pasar negara beriklim tropis. Maka, terutama di Indonesia, belum pernah saya lihat adanya iklan produk penghitam kulit. Bukan tidak mungkin pada nantinya terbangun sebuah persepsi baru tentang kecantikan pada masyarakat. Bisa jadi berkulit gelap dan berambut ikal akan lebih digandrungi ketimbang berkulit putih dan berambut lurus di negara tropis, atau sebaliknya dengan negara-negara beriklim dingin atau tempat-tempat yang mayoritas secara lahiriah berambut keriting. Selama ada televisi dan iklan yang mendikte norma-norma budaya dominan, hal apa yang tak mungkin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar