
Di sudut-sudut matamu kujelang rahasia pekat malam.
Dan cukup adil bagi penantian jemariku yang pegal menggarap
senyum hati-hatimu diatas lembar-lembar kertas bekas,
dan kosong seperti kain-kain di keranda hatimu.
Aku mengharap lekas siksa yang tergurat menjelang surat,
hingga luka menguap dan bara yang tersimpan menjadi abu yang
menerjemahkan dingin pengkastaan.
Kala itu bibirmu mulai menebar kepulan yang membuat rinduku tenang.
Atas birahiku yang lama menguap.
Kali pertama kulihat tubuhmu yang telanjang malu-malu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar