Rabu, 01 Agustus 2012

SMELLS LIKE TEEN SNEAKERS: Kurt Cobain, Converse, dan Komodifikasi

Suatu hari, saya melihat seorang anak kecil yang mengenakan celana pendek bertuliskan ”Forever in The Future: Revolution.”.Anak sekecil itu atau bahkan orang tuanya dan siapapun yang membelinya mungkin tidak tahu persis makna dari tulisan tersebut yang kini sangat gampang kita temukan dibeberapa produk lainnya di pusat-pusat perbelanjaan tradisional dan modern. Beberapa tahun yang lalu, segala hal yang berbau ”revolusi” adalah sebuah hal yang menakutkan karena dianggap sebagai ancaman bagi sistem ekonomi. Tapi di abad dimana integrasi ekonomi dari sistem kapitalisme telah menjadi sistem organisasi ekonomi dunia dan ideologi dominan saat ini, tidak ada hal yang menyeramkan untuk dapat dijual. Revolusi berhasil dijinakkan dan dipoles menjadi lebih bersahabat. Pemberontakan dikemas menjadi lebih pop dan dapat diterima oleh masyarakat arus utama. Dan Che Guevara akan terlihat modis dan seksi di kaos-kaos para remaja urban. Hingga kini, masyarakat lebih mengenal wajah Che Guevara daripada ide-idenya dalam dunia yang telah dikonstruk secara sistemik dan teratur oleh kapitalisme yang kamuflatif dan menanamkan citarasa citra, image is everything. 

Kita berada di era komodifikasi yang mengkonsumsi simbol-simbol berisi tawar-menawar identitas. Manusia dipenuhi hasrat untuk memenuhi keinginan akut akan sebuah pencitraan diri yang sesungguhnya imaterial. Imajinasi manusia tidak bisa diraba namun sangat bisa diakomodir melalui ilusi yang merupakan perekayasaan mimpi. Generasi muda adalah pangsa yang sangat menjanjikan. Revolusi dianggap merepresentasikan spirit anak-anak muda yang merindukan kebebasan yang serba penuh keterbatasan. Untuk memfasilitasi citra rebellion kaum muda, diciptakan produk-produk yang dirasa dapat mewakilinya. Sid Vicious dengan Doc Marts, Bob Marley dengan Billabong, Mao Zedong dengan Subaru.

Dari awal sejarah pembuatannya oleh Marquis Converse Mills melalui The Converse Rubber Company di luar kota Bosston pada tahun 1908, lalu menjadi sepatu resmi NBA (National Basketball Association) pada tahun 1949, hingga pada akhirnya dibeli oleh Nike pada tahun 2003, Converse bukan hanya sebuah alas yang melindungi kaki tapi menjadi instrumen pendukung identitas sosial generasi muda. Tahun 1917, Converse mengklaim bahwa mereka merupakan sepatu pertama di dunia olahraga basket. Keberhasilan ini terutama setelah mengadopsi dan bergabungnya Chuck Taylor pada tahun 1920 sebagai salesman yang piawai. Selama 1970 sampai dengan 1980an, Converse menjadi kian modis dan menjadi kegemaran kaum Hippie yang mewakili kebebasan kaum muda karena tergolong murah, tahan lama dan tidak termakan oleh fashion yang selalu berubah-ubah. Converse lantas menjadi sponsor resmi Olimpiade tahun 1984. Dari jumlah produksi sekitar empat ribu pasang perhari di tahun 1910, sepatu basket Converse All-Star menjadi yang pertama di industri alas kaki atletik, dan pada1994, lebih dari 500 juta pasang, di lebih dari 56 warna dan gaya, telah dijual di lebih dari 90 negara di seluruh dunia. Selain itu, perusahaan telah melakukan diversifikasi ke produk-produk karet yang bervariasi, pakaian olahraga, dan sepatu untuk olahraga tenis, olahraga lari, sepatu santai anak-anak dan remaja.

Secara fungsional produk adalah sebuah produk, demikian juga sepatu tetaplah sepatu. Tapi nilai kegunaan ini berubah ketika ditanamkan sebuah estetika bentukan. Sepatu polos berbahan dasar sama harganya akan lebih tinggi berlipat-lipat setelah diberi label Converse. Dalam hal ini bagi pembeli kenyamanan menjadi nomor dua. Yang terpenting adalah bagaimana mereka mendapat pengakuan dari lingkungan sosialnya. Perusahaan menyadari bahwa selera pasar akan menemui titik kejenuhan, dan untuk mempertahankan  dan meningkatkan volume penjualan dibutuhkan maskot pendukung. Ia haruslah seorang yang berpengaruh besar sebagai simbol pemberontakan kaum muda, yang saat ini sedang booming. Pada selebrasi ulang tahun mereka yang ke 100 di tahun 2008 yang bertajuk ”Welcome to Converse Century,” Converse meluncurkan koleksi sepatu dalam edisi terbatas yang menggunakan citra Kurt Cobain, Sid Vicious (pemain bas band The Sex Pistols), Ian Curtis (vokalis band Joy Division), dan beberapa nama lain. Mereka dipilih karena dirasa menjadi panutan generasi muda yang sudah disusupi ilusi pemberontakan yang bermain ditataran prestise.

Ini bukan kali pertama Kurt Cobain menjadi ikon produk. Beberapa waktu sebelumnya, Doc Marts juga menggunakan Kurt Cobain, Sid Vicious, Joey Ramone and Joe Strummer sebagai bagian dari strategi promosi untuk ”menghidupkan” kembali semangat yang belum mati. Namun hal ini berbuntut pada kemarahan Courtney Love (janda mendiang Kurt Cobain) karena merasa suaminya ”dijual” tanpa izin dari dirinya. Yang lalu menjalin kontrak kerjasama dengan pihak Converse untuk menjadikan Kurt Cobain sebagai logo produk mereka, termasuk beberapa tagline cakar ayam Kurt dari jurnal miliknya. Courtney Love, istri mendiang Kurt Cobain, dianggap kembali berulah oleh para penggemar Kurt dan Nirvana, karena terlibat kontrak dengan korporasi yang menjual kepopuleran dan semangat Kurt. Protes bermunculan. Terutama dari mereka yang menolak sang idola menjadi sasaran tangan-tangan peraih laba. Tapi inilah dunia konsumsi. Penggemar silakan terus menggonggong, namun Converse akan kian melaju. Semakin keras dirimu dan band melancarkan protes terhadap kondisi sosial yang terjadi saat ini, maka persiapkan dirimu berhadapan dengan sesuatu yang lebih menakutkan dari rezim totaliter sekalipun. Setan itu bernama komodifikasi!








1 komentar: