Jiwa seni Filuz Mursalin semasa kecil mulai tampak saat Ia mengurai
kreativitasnya dengan membuat alat-alat musik sendiri untuk bernyanyi
dan bersenang-senang. Dengan papan seadanya, Ia merakit gitar. Dan
dengan ember-ember Ia bereksperimen membuat tetabuhan drum. Ketika
kelas lima sekolah dasar, Filuz mencoba bermain alat muik “sungguhan.”
Gitar menarik minatnya. Seorang teman sekolah berbaik hati mengajarinya
bermain gitar. Hari-harinya dihabiskan untuk terus berlatih sembari
mendengarkan lagu-lagu favoritnya termasuk “Golden Wing” yang
dinyanyikan oleh Karel Simon, dan lagu-lagu milik Koes Plus. Di saat
yang hampir sama, Filuz kecil menciptakan sendiri lagunya yang pertama
berjudul “Oh Mama, Oh papa.”
Tahun 1981, Filuz mencoba
mencari penghasilan dengan cara menghibur para pengunjung beberapa
rumah makan. Katakanlah, Ia salah satu pelopor dunia perngamenan di
Kota Palembang. Berbekal gitar dan harmonika, Filuz menyusuri
jalan-jalan di kota Palembang, terutama di kawasan Jalan Veteran..
Pergelutan waktu mempertemukannya dengan hitam putih dunia jalanan.
Sempat ia mencoba ganja yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi
mentalnya dua puluh tahun lamanya. Ia menjadi paranoid. Sebuah
perkenalan yang mesti Ia bayar mahal. Banyak kesempatan emas yang gagal
diraih. Tahun 1989 kesempatan rekaman di Musica Studio Jakarta atas
bantuan Iwan Fals, harus dilepas karena bayang-bayang kematian yang
memburunya. Bahkan tawaran dari Ken Zuraida, istri mendiang WS Rendra
untuk memimpin kelompok musik binaan beliau, “Kelompok Musik 89” juga
tak kesampaian.
Namun di balik sisi kelam itu,
Filuz juga berjumpa dengan teman-teman yang berjiwa seni sama
dengannya, hingga mulai tertarik dan bergabung dengan teater Kembara.
Di Kembara, Filuz tetap pada talentanya sebagai pemusik. Ia mengiringi
lajur teater dengan petikan-petikan gitarnya. Prestasi gemilang
diraihnya saat di tahun 1982, Ia dan teman-teman memenangi musik
terbaik festival teater “Sebambangan”, sebagai juara pertama. Rekam
jejak Filuz semakin matang, Ia berkesempatan pentas bersama WS. Rendra
di Bengkulu. Lalu tahun 1995, Ia menyumbang sebuah lagu “Cerita Cinta”
di album band rock kota Palembang, Steel Warrior, dan pada tahun 1996
ia berkesempatan berkolaborasi dengan penyanyi religius, Opick di Bella
Studio Jakarta.
19 Mei 2008, Filuz mendirikan sebuah band
bernama Ponjen, bersama teman-teman di studio Bayangan Semesta Alam, di
Jalan Talang Ratu, Palembang. Dan meski dikenal oleh banyak orang
berkat karyanya bersama Conie Sema pada lagu berjudul “Yakwa” yang
sempat populer di kalangan warga kota Palembang dan sekitarnya pada
tahun 2003 dan 2004, Filuz tetap ingin hidup mandiri dan sederhana.
“Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya beternak ayam kampung di
rumah,” ujar Filuz. “Saya tidak ingin mencari uang dalam berkesenian.”
Kini,
pria lajang ini telah membangun Komunitas Gudang Seni di rumahnya di
bilangan Sekojo, Palembang, yang berkonsentrasi pada musik tradisional
Batanghari Sembilan. Tanggal 14 Desember 2010 lalu, Dewan Kesenian
Sumatera Selatan memberikan anugerah seni dengan tajuk Anugerah
Batanghari Sembilan kategori musik. Dan terakhir, Ia diminta oleh Iwan
Fals untuk memberi sebuah karyanya berjudul “Semua Ada Kesudahan.”
Sungguh, sebuah proses menuju pencapaian yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar