Rabu, 01 Agustus 2012

KINI ZAMANNYA PARA KOBOI BERAKSI DI GIGS: Sebuah Kritik Terhadap Para Scenester Pembuat Onar

 
"Kau menyulut keributan dan mencari musuh di dalam moshpit. Ingin jadi jagoan? Kau rusak kesenangan semua orang. Apa yang kau cari? Macho tai babi! Ayo teman-teman, kita usir para jagoan" --Usir Para Jagoan, Milisi Kecoa--
 
 
 
Dalam beberapa tahun terakhir, scene hardcore/punk di Kota Palembang mengalami kemajuan luar biasa yang bukan secara kuantitas belaka. Ini ditandai dengan munculnya begitu banyak band berkualitas baik seiring pula dengan rilisan-rilisan album, zine, event-event, lapak, distro dan komunitas-komunitas yang saling menyokong satu sama lain. Hampir bisa dipastikan setiap minggu selalu ada event baik berupa event skala akbar ataupun kecil-kecilan, event penggalangan dana maupun event pameran, launching album atau peluncuran zine, pemutaran film, workshop, pendistribusian makanan gratis bahkan aksi-aksi politis. Meskipun masing-masing individu di dalam scene memiliki ketertarikan yang tidak sama satu sama lain, event-event inilah yang diharap bisa menjadi semacam corong komunikasi antar komunitas-komunitas di dalam scene, saling bertukar informasi dan membangun keintiman jejaring pertemanan. Lalu apakah kemudian keakraban ini berjalan dengan baik?

Belakangan punk tumbuh bak gelombang pasang—yang kemungkinan juga bisa surut. Fenomena ini yang melahirkan begitu banyaknya geng-geng dalam scene. Terbentuknya geng-geng ini tentu lebih baik bila harus dibandingkan dengan sebuah komunitas yang tersentral pada satu titik saja. Karena setiap individu dalam komunitas telah mampu mengorganisir dirinya masing-masing ke dalam suatu grup yang lebih kecil dan sangat mungkin berpotensi menjadi grup yang solid. Maka tidaklah mengherankan bila di event-event yang bisa disebut berskala besar mempertemukan antar geng didalamnya bahkan yang bertipikal fasis sekalipun. Dan tentu saja ini rawan perselisihan yang dapat dipicu oleh hal-hal klasik dan sepele semisal persenggolan saat pogo. Siapapun tahu bagaimana kondisi di venue saat sebuah band perform. Dan siapapun tahu resiko-resiko—tersikut, terkena pukulan, tendangan—ketika berada di tengah mosher yang tumpah ruah. Tapi ada kalanya mereka yang berada di moshpit tidak siap menanggung resiko-resiko itu. Mereka lebih memilih euforia dalam perebutan sticker yang ditebar oleh band-band pengumbar popularitas, berpogo tanpa ambil pusing suka atau tidaknya dengan lagu atau band yang sedang perform, atau mencari tahu hal-hal apa saja yang terkandung dalam lirik sebuah band—yang memang tidak disertakan eksplanasinya—yang sedang berpentas. Maka ketika sebuah insiden kecil tanpa sengaja terjadi—meski telah diantisipasi dengan tidak merokok dan tidak mengenakan aksesoris yang dianggap berbahaya—itu berpeluang besar menyulut sebuah pertikaian yang semula antar individu lantas menjadi pertikaian antar geng. Perkelahian demi perkelahian berlanjut menjadi dendam yang akan terulang di luar venue atau menjalar menjadi aksi pembalasan di event-event selanjutnya.

Aksi para jagoan dari geng-geng fasis ini mengesampingkan fakta emosional partisipan panitia dan pengada event yang justru semestinya mendapat dukungan penuh oleh individu-individu dalam scene itu sendiri. Kerja keras panitia pengada event seringkali harus dibayar dengan terhentinya event oleh pihak keamanan dan pengelola gedung. Ini berdampak panjang dengan tidak diizinkannya lagi pengadaan event di lokasi yang sama. Para jagoan jelas tidak ambil pusing dengan ada atau tidak event kedepannya, karena secara esensi mereka tidak pernah ambil bagian dalam event-event yang dilaksanakan hingga menjauhkan empati darinya. Jangankan berpikir untuk membuat atau melakukan sesuatu demi scene dan kemajuan komunitas, justru sebaliknya, kelompok pembuat onar ini ibarat duri dalam daging, sulit dibuang namun terus menikam dari dalam. Mereka tidak berusaha memahami bahwa event-event ini sebenarnya adalah salah satu penopang silahturahmi dalam komunitas yang beberapa diantaranya merupakan event penggalangan dana demi kemajuan scene itu sendiri. Beberapa di antara mereka ini malah lebih memilih membeli atribut penopang penampilan "punk"nya, daripada membeli tiket saat event berlangsung, membeli zine atau rilisan band-band. Dengan kata lain, lebih baik patungan membeli minuman lalu setelah mabuk masuk ke venue dengan gratis, dan masa bodoh dengan panitia yang harus menanggung resiko kerugian. Entah apa yang membuat geng-geng ini menjadi begitu apatis dengan kemajuan scene, menjadi tidak peduli sehingga tidak menempatkan distro atau zine sebagaimana mestinya, yakni sarana pengembang wacana melalui pertukaran informasi. Dan menjadi begitu pasif tanpa berpikir bagaimana membentuk sebuah band, menerbitkan zine, mengorganisir event, atau hal-hal progres lainnya.

Bila kebebasan dimaknai dengan menghilangkan kenyamanan dan kebebasan-kebebasan disekitarnya, tentulah itu sesuatu yang sangat tidak punk. Mereka menebar teror dan ancaman bagi kenyamanan suasana persahabatan yang telah tertanam dalam scene sejak bertahun-tahun lalu. Semudah itukah mereka merusak kebersamaan yang telah terbangun sejak lama ini? Tentu tidak ada tempat bagi geng-geng fasis yang mengatasnamakan punk. Banyaknya emblem yang melekat di rompi atau banyaknya sticker yang menempel di helm bukan ukuran punk atau tidaknya kalian. Jangan beri ruang bagi para jagoan. Silahkan atur pertarungan kalian masing-masing di luar sana, hingga kelak kalian berjumpa dengan musuh abadi punk sebenarnya: penindasan dan ketidakadilan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar