"Kau menyulut keributan dan mencari musuh di dalam moshpit. Ingin jadi
jagoan? Kau rusak kesenangan semua orang. Apa yang kau cari? Macho tai
babi! Ayo teman-teman, kita usir para jagoan" --Usir Para Jagoan, Milisi Kecoa--
Dalam beberapa tahun terakhir, scene hardcore/punk di Kota
Palembang mengalami kemajuan luar biasa yang bukan secara kuantitas
belaka. Ini ditandai dengan munculnya begitu banyak band berkualitas
baik seiring pula dengan rilisan-rilisan album, zine, event-event,
lapak, distro dan komunitas-komunitas yang saling menyokong satu sama
lain. Hampir bisa dipastikan setiap minggu selalu ada event baik berupa
event skala akbar ataupun kecil-kecilan, event penggalangan dana maupun
event pameran, launching album atau peluncuran zine, pemutaran film,
workshop, pendistribusian makanan gratis bahkan aksi-aksi politis.
Meskipun masing-masing individu di dalam scene memiliki ketertarikan
yang tidak sama satu sama lain, event-event inilah yang diharap bisa
menjadi semacam corong komunikasi antar komunitas-komunitas di dalam
scene, saling bertukar informasi dan membangun keintiman jejaring
pertemanan. Lalu apakah kemudian keakraban ini berjalan dengan baik?
Belakangan
punk tumbuh bak gelombang pasang—yang kemungkinan juga bisa surut.
Fenomena ini yang melahirkan begitu banyaknya geng-geng dalam scene.
Terbentuknya geng-geng ini tentu lebih baik bila harus dibandingkan
dengan sebuah komunitas yang tersentral pada satu titik saja. Karena
setiap individu dalam komunitas telah mampu mengorganisir dirinya
masing-masing ke dalam suatu grup yang lebih kecil dan sangat mungkin
berpotensi menjadi grup yang solid. Maka tidaklah mengherankan bila di
event-event yang bisa disebut berskala besar mempertemukan antar geng
didalamnya bahkan yang bertipikal fasis sekalipun. Dan tentu saja ini
rawan perselisihan yang dapat dipicu oleh hal-hal klasik dan sepele
semisal persenggolan saat pogo. Siapapun tahu bagaimana kondisi di
venue saat sebuah band perform. Dan siapapun tahu
resiko-resiko—tersikut, terkena pukulan, tendangan—ketika berada di
tengah mosher yang tumpah ruah. Tapi ada kalanya mereka yang berada di
moshpit tidak siap menanggung resiko-resiko itu. Mereka lebih memilih
euforia dalam perebutan sticker yang ditebar oleh band-band pengumbar
popularitas, berpogo tanpa ambil pusing suka atau tidaknya dengan lagu
atau band yang sedang perform, atau mencari tahu hal-hal apa saja yang
terkandung dalam lirik sebuah band—yang memang tidak disertakan
eksplanasinya—yang sedang berpentas. Maka ketika sebuah insiden kecil
tanpa sengaja terjadi—meski telah diantisipasi dengan tidak merokok dan
tidak mengenakan aksesoris yang dianggap berbahaya—itu berpeluang besar
menyulut sebuah pertikaian yang semula antar individu lantas menjadi
pertikaian antar geng. Perkelahian demi perkelahian berlanjut menjadi
dendam yang akan terulang di luar venue atau menjalar menjadi aksi
pembalasan di event-event selanjutnya.
Aksi para jagoan
dari geng-geng fasis ini mengesampingkan fakta emosional partisipan
panitia dan pengada event yang justru semestinya mendapat dukungan
penuh oleh individu-individu dalam scene itu sendiri. Kerja keras
panitia pengada event seringkali harus dibayar dengan terhentinya event
oleh pihak keamanan dan pengelola gedung. Ini berdampak panjang dengan
tidak diizinkannya lagi pengadaan event di lokasi yang sama. Para
jagoan jelas tidak ambil pusing dengan ada atau tidak event kedepannya,
karena secara esensi mereka tidak pernah ambil bagian dalam event-event
yang dilaksanakan hingga menjauhkan empati darinya. Jangankan berpikir
untuk membuat atau melakukan sesuatu demi scene dan kemajuan komunitas,
justru sebaliknya, kelompok pembuat onar ini ibarat duri dalam daging,
sulit dibuang namun terus menikam dari dalam. Mereka tidak berusaha
memahami bahwa event-event ini sebenarnya adalah salah satu penopang
silahturahmi dalam komunitas yang beberapa diantaranya merupakan event
penggalangan dana demi kemajuan scene itu sendiri. Beberapa di antara
mereka ini malah lebih memilih membeli atribut penopang penampilan
"punk"nya, daripada membeli tiket saat event berlangsung, membeli zine
atau rilisan band-band. Dengan kata lain, lebih baik patungan membeli
minuman lalu setelah mabuk masuk ke venue dengan gratis, dan masa bodoh
dengan panitia yang harus menanggung resiko kerugian. Entah apa yang
membuat geng-geng ini menjadi begitu apatis dengan kemajuan scene,
menjadi tidak peduli sehingga tidak menempatkan distro atau zine
sebagaimana mestinya, yakni sarana pengembang wacana melalui pertukaran
informasi. Dan menjadi begitu pasif tanpa berpikir bagaimana membentuk
sebuah band, menerbitkan zine, mengorganisir event, atau hal-hal
progres lainnya.
Bila kebebasan dimaknai dengan
menghilangkan kenyamanan dan kebebasan-kebebasan disekitarnya, tentulah
itu sesuatu yang sangat tidak punk. Mereka menebar teror dan ancaman
bagi kenyamanan suasana persahabatan yang telah tertanam dalam scene
sejak bertahun-tahun lalu. Semudah itukah mereka merusak kebersamaan
yang telah terbangun sejak lama ini? Tentu tidak ada tempat bagi
geng-geng fasis yang mengatasnamakan punk. Banyaknya emblem yang
melekat di rompi atau banyaknya sticker yang menempel di helm bukan
ukuran punk atau tidaknya kalian. Jangan beri ruang bagi para jagoan.
Silahkan atur pertarungan kalian masing-masing di luar sana, hingga
kelak kalian berjumpa dengan musuh abadi punk sebenarnya: penindasan
dan ketidakadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar