Nirvana pernah berkata: “Hello, we're major label corporate rock sell outs!”
Lalu The (International) Noise Conspiracy berujar: “We’re all cultural prostitutes!”
Nirvana berpendapat: “Nobody dies a virgin... Life fucks us all!”
Dan The (International) Noise Conspiracy berucap: “Capitalism stole my virginity!”
Bagi
sebagian orang mungkin kutipan dari dua band tingkat dunia diatas
merupakan upaya untuk berkelit dari kebenaran, walaupun versi kebenaran
dan kesalahan itu sendiri masih berada di area kelabu. Nirvana dan
T(I)NC dua diantara sekian banyak pelaku seni yang masuk kedalam
lingkar komodifikasi. Dan mereka adalah dua diantara sangat sedikitnya
budak-budak yang berupaya melawan tuannya sendiri. Lantas kenapa mereka
memilih cara untuk berkompromi dengan tiran? Mengubah dirinya ke dalam
segala sesuatu yang dibencinya? Pertanyaannya lagi, seberapa
berhargakah mempertahankan idealisme, di dunia yang semakin menepikan
idealisme? Kompromi dalam deal-deal kesepakatan kontrak kerjasama
dengan label rekaman besar bukan hal yang mustahil untuk tetap
mempertahankan keyakinan untuk dapat melawannya. Banyak cara untuk
menjalankan itu. Cukup sulit memang untuk menakar tingkat militansi
sebuah band bertipikal pembangkang yang berada dibawah kebesaran
korporasi rekaman yang sesak akan kejayaan yang menidurkan. Ketajaman
lirik dan aksi panggung yang gila-gilaan tidak menjamin dunia akan
baik-baik saja. Meskipun harapan tetap menanti diujung jalan, namun
tanpa aktivisme perlawanan terhadap diluar hingar bingar panggung
hiburan, bisa jadi jalan yang dilalui untuk menjadikan dunia lebih baik
akan semakin menanjak dan sulit untuk dilalui. Apa yang dilakukan oleh
Nirvana dan T(I)NC merupakan salah satu strategi tidak langsung dalam
mendemoralisasi musuh. Secara fisik mereka memang terpenjara dan
diperdagangkan, tapi tidak secara ide. Sedapat mungkin mereka mencari
kesempatan untuk melawan kapitalisme. Melalui simbol dan pesan-pesan?
Ah, seberapa bisanya kita menggunakan itu ketika harus berhadapan
dengan layar kekuasaan yang tayang ditengah ruang keluarga dari kelas
bawah hingga kelas atas? Simbol-simbol perlawanan justru menjadi barang
yang laris diperjualbelikan. Perlah lihat cover majalah Rolling
Stone--dimana bersama Nirvana, Kurt Cobain mengenakan kaos bertuliskan
“Corporate Media Still Sucks?” Kurt Cobain mencoba melawan simbol
dengan simbol, meski bisa jadi Rolling Stone justru diuntungkan dengan
foto cover yang kontroversial tersebut. Atau bisa jadi juga Rolling
Stone tengah berjudi dengan kemungkinan bahwa para penggemar Nirvana
menganggap itu adalah hal yang biasa-biasa saja, bahkan cool yang lantas menyetak kaos itu tanpa sama sekali mengenali maknanya.
Nirvana
dan band-band yang memilih langkah ‘ekstrim’ dengan cara bergabung
dengan major label untuk menyampaikan pesan-pesannya harus bersusah
payah menjaga kewarasan dan beradu cerdas dengan para korporat dunia
rekaman. Ketika melihat budak-budaknya semakin tidak terkendali,
kemungkinan terbesar yang dimiliki oleh korporat dunia rekaman adalah
memutus nyawa band itu sedini mungkin.
Zaman telah
berubah sesuai sabda modernitas. Band-band anti kompromi kini memiliki
banyak opsi untuk menyebar karya tanpa harus menjadi mesin pencetak
uang bagi raksasa rekaman. Internet memudahkan segalanya, yang menjadi
primadona bagi band-band anti komersil, dan yang cukup membuat industri
rekaman kehilangan sebagian lahan jajahannya. Ibaratkan lolos dari
mulut jurang masuk ke laut dalam, serigala-serigala pengeruk laba
lainnya telah siap menanti. Mereka adalah penyedia jasa web, operator
selular, dan lihat betapa kita tidak bisa lepas dari jerat kapitalisme.
Menelisik
pesan yang disampaikan oleh Nirvana dan T(I)NC, bisa di simak pada
hal-hal yang terlihat sederhana disekitar kita yang tidak melulu berada
di ranah permusikan. Hidup harian kita telah terkepung. Bisa dibilang
hampir seluruh dari kita melacurkan diri terhadap kuasa dunia pasar.
Tidak perlu susah-susah mencari jalan keluar. Korporasi dan segala
perpanjangan tangannya memberi jalan untuk memudahkan kita—tentu saja,
untuk terus mengkonsumsi produk-produk mereka. Kita berpacu dalam
sekolah, dunia kerja, dengan segala macam kompetisi untuk menjadi siapa
yang paling diterima oleh masyarakat. Tentunya dengan satu tiket dan
satu piala kemenangan: membeli dan dibeli.
Hidup tidak
berakhir sampai disini meski mata-mata korporat dan agen-agennya terus
mengintai kita dan siap menyerang dari segala kemungkinan. Dua langkah
yang bisa dilakukan dalam meredam bahkan memutus rantai komodifikasi
bisa dimulai dengan pembajakan dan penciptaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar