Rabu, 01 Agustus 2012


Nirvana pernah berkata: “Hello, we're major label corporate rock sell outs!” 
Lalu The (International) Noise Conspiracy berujar: “We’re all cultural prostitutes!”
Nirvana berpendapat: “Nobody dies a virgin... Life fucks us all!” 
Dan The (International) Noise Conspiracy berucap: “Capitalism stole my virginity!”

Bagi sebagian orang mungkin kutipan dari dua band tingkat dunia diatas merupakan upaya untuk berkelit dari kebenaran, walaupun versi kebenaran dan kesalahan itu sendiri masih berada di area kelabu. Nirvana dan T(I)NC dua diantara sekian banyak pelaku seni yang masuk kedalam lingkar komodifikasi. Dan mereka adalah dua diantara sangat sedikitnya budak-budak yang berupaya melawan tuannya sendiri. Lantas kenapa mereka memilih cara untuk berkompromi dengan tiran? Mengubah dirinya ke dalam segala sesuatu yang dibencinya? Pertanyaannya lagi, seberapa berhargakah mempertahankan idealisme, di dunia yang semakin menepikan idealisme? Kompromi dalam deal-deal kesepakatan kontrak kerjasama dengan label rekaman besar bukan hal yang mustahil untuk tetap mempertahankan keyakinan untuk dapat melawannya. Banyak cara untuk menjalankan itu. Cukup sulit memang untuk menakar tingkat militansi sebuah band bertipikal pembangkang yang berada dibawah kebesaran korporasi rekaman yang sesak akan kejayaan yang menidurkan. Ketajaman lirik dan aksi panggung yang gila-gilaan tidak menjamin dunia akan baik-baik saja. Meskipun harapan tetap menanti diujung jalan, namun tanpa aktivisme perlawanan terhadap diluar hingar bingar panggung hiburan, bisa jadi jalan yang dilalui untuk menjadikan dunia lebih baik akan semakin menanjak dan sulit untuk dilalui. Apa yang dilakukan oleh Nirvana dan T(I)NC merupakan salah satu strategi tidak langsung dalam mendemoralisasi musuh. Secara fisik mereka memang terpenjara dan diperdagangkan, tapi tidak secara ide. Sedapat mungkin mereka mencari kesempatan untuk melawan kapitalisme. Melalui simbol dan pesan-pesan? Ah, seberapa bisanya kita menggunakan itu ketika harus berhadapan dengan layar kekuasaan yang tayang ditengah ruang keluarga dari kelas bawah hingga kelas atas? Simbol-simbol perlawanan justru menjadi barang yang laris diperjualbelikan. Perlah lihat cover majalah Rolling Stone--dimana bersama Nirvana, Kurt Cobain mengenakan kaos bertuliskan “Corporate Media Still Sucks?” Kurt Cobain mencoba melawan simbol dengan simbol, meski bisa jadi Rolling Stone justru diuntungkan dengan foto cover yang kontroversial tersebut. Atau bisa jadi juga Rolling Stone tengah berjudi dengan kemungkinan bahwa para penggemar Nirvana menganggap itu adalah hal yang biasa-biasa saja, bahkan cool yang lantas menyetak kaos itu tanpa sama sekali mengenali maknanya.

Nirvana dan band-band yang memilih langkah ‘ekstrim’ dengan cara bergabung dengan major label untuk menyampaikan pesan-pesannya harus bersusah payah menjaga kewarasan dan beradu cerdas dengan para korporat dunia rekaman. Ketika melihat budak-budaknya semakin tidak terkendali, kemungkinan terbesar yang dimiliki oleh korporat dunia rekaman adalah memutus nyawa band itu sedini mungkin.
Zaman telah berubah sesuai sabda modernitas. Band-band anti kompromi kini memiliki banyak opsi untuk menyebar karya tanpa harus menjadi mesin pencetak uang bagi raksasa rekaman. Internet memudahkan segalanya, yang menjadi primadona bagi band-band anti komersil, dan yang cukup membuat industri rekaman kehilangan sebagian lahan jajahannya. Ibaratkan lolos dari mulut jurang masuk ke laut dalam, serigala-serigala pengeruk laba lainnya telah siap menanti. Mereka adalah penyedia jasa web, operator selular, dan lihat betapa kita tidak bisa lepas dari jerat kapitalisme.

Menelisik pesan yang disampaikan oleh Nirvana dan T(I)NC, bisa di simak pada hal-hal yang terlihat sederhana disekitar kita yang tidak melulu berada di ranah permusikan. Hidup harian kita telah terkepung. Bisa dibilang hampir seluruh dari kita melacurkan diri terhadap kuasa dunia pasar. Tidak perlu susah-susah mencari jalan keluar. Korporasi dan segala perpanjangan tangannya memberi jalan untuk memudahkan kita—tentu saja, untuk terus mengkonsumsi produk-produk mereka. Kita berpacu dalam sekolah, dunia kerja, dengan segala macam kompetisi untuk menjadi siapa yang paling diterima oleh masyarakat. Tentunya dengan satu tiket dan satu piala kemenangan: membeli dan dibeli.

Hidup tidak berakhir sampai disini meski mata-mata korporat dan agen-agennya terus mengintai kita dan siap menyerang dari segala kemungkinan. Dua langkah yang bisa dilakukan dalam meredam bahkan memutus rantai komodifikasi bisa dimulai dengan pembajakan dan penciptaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar