
Awal
80-an, Iir mencoba-coba menyalurkan minatnya bermusik sambil
menyambangi beberapa rumah makan sepanjang Jalan Sudirman hingga Jalan
Veteran. Ia mengemas apik kemampuannya untuk menghibur para pengunjung
yang hendak bersantap. Perjalanan panjangnya menyusuri satu demi satu
rumah makan sambil menyandang gitar ini kian mematangkan pengalamannya.
Disini ia bertemu banyak orang, termasuk perjumpaannya dengan Filuz
Mursalin. Debu jalanan mereka arungi bersama. Dan disinilah kisah itu
bermula.
Keakraban dengan Filuz Mursalin menghantarkannya
pada gerbang dunia teater. Meski mulanya merasa asing, penggemar
Gombloh dan Iwan Fals ini cepat beradaptasi dengan dunia barunya. Ia
mengkombinasikan kemahirannya memainkan alat musik dengan dunia peran.
Tahun 1987, Iir sempat berperan dalam sebuah acara sandiwara di studio
TVRI Palembang. Secara spesifik Ia lebih memilih ilustrasi teater. Dan
ini membuahkan hasil. Salah satu prestasinya, pada tahun 1988 Iir
menyabet juara pertama sebagai penata musik dalam festival teater
se-Sumatera Selatan yang diadakan di kota Lubuk Linggau.
Relasi
Iir dengan Filuz Mursalin kian terjalin. Walaupun kini mereka berbeda
kelompok musik, persahabatan keduanya teraplikasi dengan saling memberi
kontribusi berupa saran dan masukan. Mereka kerap mendiskusikan karya
masing-masing, termasuk urusan penggarapan album. Tahun 2009, Iir
mendapat anugerah refleksi seni dari Dewan Kesenian Sumatera Selatan.
Setidaknya,
pada 2011 ini, tiga album telah dilahirkan oleh Iir Stoned. Album
pertama berupa musikalisasi puisi karya M. Iqbal Permana bertitel Siberian Flight,
kisah sekumpulan burung bangau yang bermigrasi dari Mongolia ke Taman
Nasional Sungai Sembilang, Kecamatan Sungsang, Kabupaten Banyuasin,
Sumatera Selatan. Pesan dalam puisi ini tentang bagaimana seringkali
kita abai terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita,
termasuk pola migrasi ribuan burung dari negeri seberang ke taman yang
mulai terlupakan ini.
Album kedua Iir, Rumah Petani,
juga merupakan musikalisasi dari puisi milik Polong, yang berpesan
moral tentang desa-desa yang ditinggalkan oleh penghuninya saat
paceklik tiba, untuk menuju pertarungan melawan kemajuan kota. Di album
ketiga, Iir mengemas lima lagu karyanya dalam kelakar atau guyonan
sehari-hari dalam bahasa Palembang yang kental. Lagu pamungkas dalam
album ini bernama sama dengan nama albumnya, “Berejo,” serta “Banyak
Rasan,” “Jadi Pikiran,” “ Songket,” dan “Abah Ebok (Berentilah Dugem).”
Walaupun dikemas dengan pola gurauan, lagu-lagu dalam album ini
memiliki filosofinya masing-masing.
Niat Iir yang juga merupakan Ketua Komite Musik di Dewan Kesenian
Kota Palembang ini dalam bermusik sederhana, “Saya ingin memasukkan
pesan-pesan ke dalam lagu-lagu ciptaan saya, sama halnya dengan apa
yang telah dilakukan oleh beberapa pemusik seperti Iwan Fals dan Franky
Sahilatua.”
Harapan baik Iir ini juga dilakukannya
bersama Orkestra Rejung Pesirah, sebuah wadah beberapa pemusik yang
mengkolaborasikan musik-musik tradisional Sumatera Selatan dengan musik
bernuansa modern. Ini mereka lakukan demi melestarikan musik Batanghari
Sembilan di kalangan kaum muda, termasuk melalui sumbangan album Iir
yang bernapaskan religi Pesung Pesirah, berisi tiga materi
lagu; “Sahabat,” “Fisabilillah,” dan “Zikir.” Iir menjadi salah
seorang seniman yang mendapat kehormatan dari Dewan Kesenian Sumatera
Selatan untuk mendapat anugerah seni dengan tajuk Anugerah Batanghari
Sembilan untuk kategori musik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar