Pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) dan penarikan
pasukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia oleh Panglima ABRI
Jenderal TNI Wiranto atas restu dari Presiden Habibie, beberapa fakta
kejahatan kemanusiaan mulai terungkap. Selain diketemukannya beberapa
kuburan massal eks korban pembantaian, salah satu yang menjadi sorotan
tajam adalah keterlibatan korporat multi nasional minyak raksasa asal
Amerika ExxonMobil yang berada di balik pelanggaran hak asasi
kemanusiaan atas rakyat Aceh.
Pada hakekatnya status DOM
diberlakukan di wilayah-wilayah dalam kondisi darurat dalam hal ini
perang. Di Indonesia, daerah yang dinilai berpotensi konflik berskala
besar dengan indikator munculnya gerakan separatis, status ini
diberlakukan termasuk Aceh. Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM)--yang
secara internasional dikenal sebagai Aceh Sumatra National Liberation
Front (ASNLF)--pada tahun 1976 merupakan bentuk ketidakpuasan
pendirinya, Hasan Tiro, ketika penemuan sumber minyak bumi besar di
Aceh Utara pada tahun 1971 tidak diperuntukkan bagi kemakmuran ekonomi
lokal. Pada tahun 1989 GAM muncul kembali dengan kampanye serangan
terhadap polisi dan instalasi militer dan fasilitas pemerintah sebagai
respon atas kekerasan yang dialami oleh warga Aceh oleh militer
Indonesia yang menjaga aset korporasi asing di Aceh.
Menanggapi
aksi GAM, di tahun yang sama Presiden Soeharto menetapkan Aceh sebagai
Daerah Operasi Militer. DOM merupakan wilayah dimana hukum-hukum dan
tatanan sipil dapat diabaikan karena status darurat, dan sebagai
gantinya adalah pemberlakuan hukum militer. Di wilayah ini, tentara
yang melakukan kejahatan dalam bentuk apapun tidak bisa ditangkap oleh
polisi berdasarkan hukum sipil dan hanya bisa ditangkap oleh polisi
militer untuk diajukan ke mahkamah militer. Ketika Soeharto lengser
dari kerajaannya pada tahun 1998, atas desakan aktivis kemanusiaan
lokal dan internasional maka status DOM di Aceh dicabut.
Exxon
pertama kali membuka kantor pemasaran di Indonesia pada 1898. Lalu pada
1968 Exxon mulai resmi beroperasi di Provinsi Aceh. Exxon mulai
menambang gas di ladang Arun, Aceh dan sekitarnya pada tahun 1978.
ExxonMobil merupakan merger dua korporasi penghasil dan pengecer minyak
asal Texas, Amerika, yakni Exxon dan Mobil menjadi ExxonMobil
Corporation pada 30 November 1999, dan kini merupakan perusahaan
terbuka terbesar di dunia yang bahkan pendapatannya lebih besar dari
Produk Domestik Bruto Arab Saudi. ExxonMobil menguasai lapangan gas
Aceh dengan kapasitas produksi 1,5 miliar kaki kubik gas per hari atau
11 persen dari produksi ExxonMobil di seluruh dunia untuk tahun 2004.
Korporat tersebut juga telah membukukan keuntungan mencapai 25,33
miliar dollar di tahun yang sama, dan konon memecahkan rekor dunia.
Keuntungan ini juga yang disumbangkan dalam bentuk dana kampanye
Presiden George Walker Bush dan Wapres Dick Cheney, serta sejumlah
politisi dari Partai Republik selama musim kampanye 2004 lalu.
Raksasa
tambang ini merupakan produsen gas alam terbesar kedua di Indonesia,
setelah Total Indonesie. ExxonMobil juga memegang 45 persen dari total
saham partisipasi Blok Cepu dan berperan sebagai operator mewakili para
Kontraktor. Penguasaan blok Cepu akan berlangsung sampai tahun 2036.
Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil
memperoleh keuntungan sebesar USD 40.6 billion atau setara dengan Rp
3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan
ExxonMobil mencapai USD 404 billion, melebihi Gross Domestic Product
(GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil
berpendapatan Rp 11.801.790. Lalu pada 2008, Exxon Mobil meraup
keuntungan Rp. 444.7 triliun atau Rp. 1, 2 trilun per hari. Berdasarkan
hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP) yang
direview kembali oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak 2008 hingga
2010, Exxon Mobil Oil Indonesia Inc. masuk ke dalam golongan penunggak
pajak terbesar yakni sebesar USD 41.763.
Eksplorasi yang
dilakukan Exxon Mobil di daerah Arun dan sekitarnya hingga tahun 2002
sudah menguras 70 persen cadangan gas. ExxonMobil mengoperasikan
Lapangan Arun sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bagi Badan
Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BPMIGAS). Walaupun perusahaan
ini dapat mengeksploitasi hasil bumi hingga mencapai 3,4 juta ton per
tahunnya, tetapi secara ekonomi masyarakat adat di sekitar pabrik tetap
miskin. Fasilitas publik milik Exxon mobil, seperti poliklinik dan
sekolah hanya dapat dinikmati oleh segelintir elit dan karyawan Exxon
Mobil.
Sejumlah laporan aktivis hak asasi manusia
menyebutkan, di masa pemberlakuan DOM, salah satu fasilitas ExxonMobil
bernama Rancung, Lhokseumawe, digunakan sebagai tempat penangkapan dan
penyiksaan bagi masyarakat yang menentang eksistensinya. Meski tidak
ada pernyataan resmi, ExxonMobil diperkirakan memberi setoran sebesar
500.000 dollar AS per bulan untuk 3.000 prajurit TNI termasuk, dukungan
dalam bentuk pengadaan perlengkapan dan kendaraan lainnya dan kontingen
besar tentara yang disewa untuk menyediakan keamanan bagi operasi
ExxonMobil di Kabupaten Aceh Utara. Sebuah laporan tanggal 13 Desember
2000, menemukan bahwa penduduk dari lima desa di sekitar titik A
operasi ExxonMobil telah mengeluh kepada ExxonMobil bahwa insiden
kekerasan telah meningkat sejak perusahaan mempekerjakan 100 tentara
Indonesia untuk menjaga titik tersebut.
Ketidakterbukaan
ExxonMobil ini berbeda dengan kasus PT Freeport Indonesia (PT FI) yang
secara resmi mengumumkan telah membayar ‘biaya keamanan’ kepada
sedikitnya 2.300 personel TNI sebesar 5,6 juta dollar AS pada tahun
2002, dan 4,7 juta dollar AS di tahun sebelumnya walau pernyataan resmi
ini juga akibat bocornya sistem informasi rahasia internal. Laporan ini
mencuat ke permukaan setelah perusahaan induk mereka, Freeport McMoran
Copper & Gold, Inc. membuat laporan kepada US Securities and
Exchange Commission (badan pengawas pasar modal) tentang besarnya dana
yang diberikan kepada TNI. Dalam laporan yang dibuat pada Maret 2003
itu, juga disebutkan biaya sebesar 400 ribu dollar AS untuk berbagai
prasarana pertahanan selama tahun 2002, dan 500.000 dollar AS di tahun
sebelumnya.
ExxonMobil bertanggung jawab terhadap
pelanggaran HAM dan kerusakan ekologi tidak hanya di Aceh saja. Pada 11
Januari 1998, ExxonMobil menumpahkan 40 ribu barel minyak mentah di
peraian Akwa State, Nigeria yang mengakibatkan sungai-sungai yang
dilalui aliran air tersebut dan tanah pertanian sekitarnya tercemar.
Lalu, pada 24 Maret 1998 Exxon juga menumpahkan 11.000.000 barel minyak
mentah dari kapal Exxon Valdez di daerah Valdez perairan Alaska.
Pada
9 Juli 2011 lalu, Pengadilan Federal Amerika Serikat memutuskan untuk
melanjutkan sidang gugatan perdata korban DOM Aceh terhadap Exxon
Mobil. Gugatan ini datang dari 11 warga Aceh yang mewakili rakyat Aceh
didampingi oleh International Labor Rights Fund di Pengadilan Federal
Distrik Columbia untuk memperoleh kompensasi klaim kerugian akibat
kematian yang diakibatkan kelalaian, penganiayaan, dan penahanan
sewenang-wenang. Tindakan kekerasan dan kerugian tersebut dilakukan
oleh sejumlah anggota TNI yang mendapatkan bayaran atau dukungan dari
Exxon Mobile. Gugatan tersebut juga ditujukan kepada Exxon Mobil dan
dua perusahaan afiliasinya di AS, Mobil Corp dan ExxonMobil Oil Corp,
serta perusahaan cabangnya di Indonesia, ExxonMobil Oil Indonesia
(EMOI) yang bertanggungjawab atas keterlibatannya dalam teror yang
dilakukan pihak militer Indonesia di Aceh dengan melakukan pembunuhan
massal, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan dan “penghilangan” paksa
tanpa hukum secara sewenang-wenang melalui dana yang dikucurkan melalui
EMOI kepada militer Indonesia.
******
Sejarah ExxonMobil di Indonesia
1898 Kantor pemasaran dibuka di Indonesia
1912 Dimulainya kegiatan eksplorasi
1921 Penemuan Lapangan Talang Akar di Sumatra Tengah
1968 Awal operator KKS di Provinsi Aceh
1971 Penemuan Lapangan Arun
1973 Penandatanganan kontrak LNG pertama dengan Jepang
1977 Dimulainya kegiatan di cluster satu Lapangan Arun
1978 Dimulainya kegiatan di cluster dua Lapangan Arun
1980 Penandatanganan KKS untuk lapangan Natuna D-Alpha
1981 Penandatanganan kontrak LNG kedua dengan Jepang
1982 Dimulainya kegiatan di cluster tiga Lapangan Arun
1983 Dimulainya kegiatan di cluster empat Lapangan
Penandatanganan kontrak LNG dengan Korea Selatan
Pengiriman gas pertama ke pabrik pupuk PT ASEAN Aceh Fertilizer
1986 Pengiriman gas pertama ke pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda
1988 Pengiriman gas pertama ke PT Kertas Kraft Aceh
1992 Pencapaian produksi 500 juta barel kondensat
1993 Mobil mendirikan kantor penjualan di Indonesia
1996 Esso mendirikan kantor penjualan di Indonesia
1997 Pengiriman kargo ke-3.000 dari Lapangan Gas Arun
1998 Perayaan 100 tahun di Indonesia
Perayaan 30 tahun menjadi operator KKS di Provinsi Aceh
1999 Exxon dan Mobil bergabung - Exxon Mobil Corporation
2000 Operator Technical Assistance Contract (TAC) di Blok Cepu, Provinsi Jawa Timur
dan Jawa Tengah
2001 Penemuan minyak di sumur Banyu Urip #3 pada Cepu TAC di Provinsi Jawa Timur
dan Jawa Tengah
2004 Pendirian PT ExxonMobil Lubricants Indonesia (PT EMLI) 2004 Sejak 1978,
telah lebih dari 3,900 kargo LNG dikirimkan pada pembeli di Jepang dan Korea.
2005 Penandatanganan KKS untuk Blok Cepu 2006 Seak 1978,
telah lebih 4,000 kargo LNG dikirimkan kepada pembeli di Jepang dan Korea
2006 Penandatanganan Joint Operations Agreement antara Mobil Cepu Ltd.,
Ampolex (Cepu) PTE. LTD and PT Pertamina EP Cepu 2006 Blok Surumana di Selat Makassar,
dianugerahkan kepada ExxonMobil
2007 Blok Mandar di Selat Makassar, dianugerahkan kepada ExxonMobil
2008 Blok Gunting di Jawa Timur, dianugerahkan kepada ExxonMobil
2008 Dimulainya produksi minyak dalam jumlah terbatas dari Lapangan Banyu Urip
2009 Blok Cenderawasih di Papua, dianugerahkan kepada ExxonMobil
2009 Fasilitas Produksi Awal Banyu Urip mulai beroperasi dengan kapasitas
hingga 20.000 barrel per hari
2010 Juli - Dengan aman mencapai jumlah total produksi sebesar 5 juta barel
dari Lapangan Banyu Urip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar