Rabu, 01 Agustus 2012

Karya Juru Selamat Dalam Menuding Balik Masyarakat

Di siang yang panas dan amat biasa-biasa saja itu, kakak perempuanku membawa tiga rekaman bekas Ugly Kid Joe, Enuff Zenuff, dan Nirvana, hasil pertukaran koleksi MC Hammer, Run DMC, dan Vanilla Ice dengan seorang teman sekolahnya. Aku masih membenamkan kepala di bantal. Kipas angin menyala dengan terengah-engah di sisa umurnya yang tinggal menunggu ajal, dan tak sanggup memberikan kenyamanan di kamar kecil yang harus kubagi tempat dengan kakak dan dua adikku. Dalam beberapa hari aku memutar koleksi terbaru itu berulang-ulang. Tidak ada yang istimewa. Hanya saja aku menjadi begitu tertarik dengan band yang satu ini: Nirvana. Beberapa hits mereka semacam Smells Like Teen Spirit atau Come As You Are memang sudah tidak begitu asing di telinga, namun album yang satu ini sungguh berbeda. Album In Utero, yang bergambar bidadari yang menampakkan sisi dalam tubuhnya. Beberapa minggu kedepannya, album ini menjadi favorit kami berdua. Heart Shaped Box membuat kami gila. Rape Me membuat kami merasa menjadi pelupa yang tiba-tiba teringat sesuatu. Radio Friendly Unit Shifter membuat kami merasa gagah namun bingung mau berbuat apa. Satu tahun setelahnya, kami mendengar kabar kematian Kurt Cobain, ujung peluru dari band ini yang kepalanya ditembus peluru pula. Tidak ada pengaruh psikologis apa-apa pada diri kami saat itu, para kecoa kecil yang mencoba-coba menyukai rock alternative.

Tidak di Amerika dan Eropa, tidak pula di Indonesia, yang dipisahkan oleh ribuan kilometer jarak, Nirvana adalah pahlawan bagi para penggemarnya. Bisa dibilang, mereka rela melakukan apa saja demi “mendekatkan” diri pada sang idola, hal yang begitu sulit diterima oleh kacamata generasi diluarnya. Sekian banyak pandangan miring digunakan otoritas untuk menegasikan semua itu, bahwa bagaimana mungkin seorang pemabuk gila yang memiliki kecenderungan bunuh diri itu lantas bisa dipercaya oleh sekian banyak orang sebagai wakil dari generasinya? Masyarakat awam atau generasi yang merasa tidak terwakili lantas menudingnya sebagai contoh yang salah bagi kaum muda. Ia dipersalahkan atas pertumbuhan generasi yang pemalas, putus asa dan pemarah, meski para muda beranggapan sebaliknya.

Kapitalisme dunia musik kala itu tidak berdaya berhadapan dengan kejenuhan selera pasar--yang saat itu didominasi oleh kalangan muda. Spirit dari rasa bosan itu tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meledak, dan Nirvana, sebuah band dari sudut dunia yang sunyi, menyulut sumbunya. Tidak hanya label besar yang dibuat terpana, namun juga band-band glam rock yang merasa diperolok dengan band bau kencur yang minim harmoni. Siapa sangka lagu-lagu band kampungan yang hanya mengandalkan jurus tiga kunci dan bernyanyi seenaknya diatas panggung bisa mengalahkan raungan gitar dan vokal melengking bervibrasi dari para pendahulu. Tanpa bling-bling aksesoris perak, hidung ditindik dan jaket kulit. Tanpa panggung jutaan watt. Nirvana hadir dengan segala kesederhanaannya. Ibaratkan Nirvana sebuah cermin, maka para rockstar akan melihat refleksi diri mereka sebagai kumpulan bintang yang duduk di bangku VIP tanpa bisa ambil bagian dalam gemuruh paduan suara di bangku gratisan.

Kurt Cobain berbicara dengan jujur tentang masa lalu, masa kini dan masa depan dalam lagu-lagunya. Dan memang kejujuran ini berhasil menelanjangi fakta tentang kepalsuan dunia. Membongkar iming-iming dan janji-janji tak berujung. Bersama Nirvana, Kurt Cobain meruntuhkan tembok yang selama ini dibangun oleh tata nilai masyarakat. Upayanya dalam membuat sebuah band punk yang esensinya menghancurkan mitos-mitos perwakilan tak disangka-sangka justru membuatnya berpretensi menjadi sebuah simbol pemberontakan generasi muda yang merasakan datangnya seorang juru selamat dan juru bicara yang mewakili keresahan mereka terhadap sikap politik, tuntutan hidup, represi ekonomi, dan tekanan kultural. Kurt menyadari itu. Dia melihat kapasitas pemberhalaan atas dirinya. Ini membuatnya merasa semakin terasing.

In Utero merupakan salah satu keajaiban dari band ini yang menjadikan aku seorang penggila Nirvana. Melalui In Utero, Kurt Cobain mencoba mengangkat porsi pembantahan dirinya dalam masyarakat. Didekasikan bukan sebagai sebuah pembelaan, tapi cermin besar untuk berefleksi bagi siapapun yang mendengarkannya. Album Nirvana yang satu ini betul-betul menunjukan kejeniusan Kurt Cobain dalam mengemas lirik-lirik yang cerdas kedalam balutan instrumen-instrumen bernada khawatir dan gelisah. Kita diajak melupakan sopan-santun saat mendengar lagu-lagu dalam band ini, dan membawa pergi jauh-jauh peradaban serta menikmati rasa takut dalam keliaran yang murung. Kurt Cobain menjadikan In-Utero sebagai sebuah pertimbangan perlunya untuk mulai keluar melawan seni, karena ia telah melihat dibalik kepalsuannya sebagai keran keamanan moral. Sepintas tidak ada masa depan di tengah jeritan dan loncatan-loncatan tempo yang berkejaran dengan dengung feedback dan riff gitar yang mentah, tapi siapa yang bisa menduga bahwa kelak justru melalui In Utero, mereka di beri penghargaan yang antara lain datang dari majalah Rolling Stone, yang menempatkan album ini pada urutan ke-431 dalam list 500 Greatest Albums of All Time. Bersama Nirvana, Kurt memang telah mencapai hasil brilian dengan menciptakan karya-karya yang jenius, artistik dan sukses di pasaran. Upayanya untuk menghadang tudingan masyarakat harus berbanding terbalik dengan segala keluhan dan kebenciannya terhadap industri. Dia dipuja sekaligus merasa terpencil, menjadi pahlawan sekaligus pesakitan.

Masa-masa sebelum dan saat mengenal Nirvana adalah saat dimana aku begitu sulit berkomunikasi dengan orang-orang. Dengan kepercayadirian yang rendah, aku ditempatkan dalam pergaulan yang menyudutkan. Tuhan memang begitu adil karena di posisi itu aku dianugerahi keingintahuan yang begitu besar. Kesukaanku dengan musik tumbuh hampir bersamaan dengan ketertarikanku pada dunia literasi. Aku berkomunikasi dengan diri sendiri dan beberapa bacaan. Dan dalam Nirvana aku mendapatkan semacam analisa kritis terhadap kondisi sosial yang terjadi, dan mempertemukanku dengan banyak orang termasuk dalam band, lingkar diskusi dan aksi-aksi protes. Walau tidak bisa kusebut sebagai satu-satunya yang mempengaruhi jalan hidupku, setidaknya tanpa Nirvana, belum tentu kita saling bertegur sapa, bukan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar