Di siang yang panas dan amat biasa-biasa saja itu, kakak perempuanku
membawa tiga rekaman bekas Ugly Kid Joe, Enuff Zenuff, dan Nirvana,
hasil pertukaran koleksi MC Hammer, Run DMC, dan Vanilla Ice dengan
seorang teman sekolahnya. Aku masih membenamkan kepala di bantal. Kipas
angin menyala dengan terengah-engah di sisa umurnya yang tinggal
menunggu ajal, dan tak sanggup memberikan kenyamanan di kamar kecil
yang harus kubagi tempat dengan kakak dan dua adikku. Dalam beberapa
hari aku memutar koleksi terbaru itu berulang-ulang. Tidak ada yang
istimewa. Hanya saja aku menjadi begitu tertarik dengan band yang satu
ini: Nirvana. Beberapa hits mereka semacam Smells Like Teen Spirit atau
Come As You Are memang sudah tidak begitu asing di telinga, namun album
yang satu ini sungguh berbeda. Album In Utero, yang bergambar bidadari
yang menampakkan sisi dalam tubuhnya. Beberapa minggu kedepannya, album
ini menjadi favorit kami berdua. Heart Shaped Box membuat kami gila.
Rape Me membuat kami merasa menjadi pelupa yang tiba-tiba teringat
sesuatu. Radio Friendly Unit Shifter membuat kami merasa gagah namun
bingung mau berbuat apa. Satu tahun setelahnya, kami mendengar kabar
kematian Kurt Cobain, ujung peluru dari band ini yang kepalanya
ditembus peluru pula. Tidak ada pengaruh psikologis apa-apa pada diri
kami saat itu, para kecoa kecil yang mencoba-coba menyukai rock
alternative.
Tidak di Amerika dan Eropa, tidak pula di
Indonesia, yang dipisahkan oleh ribuan kilometer jarak, Nirvana adalah
pahlawan bagi para penggemarnya. Bisa dibilang, mereka rela melakukan
apa saja demi “mendekatkan” diri pada sang idola, hal yang begitu sulit
diterima oleh kacamata generasi diluarnya. Sekian banyak pandangan
miring digunakan otoritas untuk menegasikan semua itu, bahwa bagaimana
mungkin seorang pemabuk gila yang memiliki kecenderungan bunuh diri itu
lantas bisa dipercaya oleh sekian banyak orang sebagai wakil dari
generasinya? Masyarakat awam atau generasi yang merasa tidak terwakili
lantas menudingnya sebagai contoh yang salah bagi kaum muda. Ia
dipersalahkan atas pertumbuhan generasi yang pemalas, putus asa dan
pemarah, meski para muda beranggapan sebaliknya.
Kapitalisme
dunia musik kala itu tidak berdaya berhadapan dengan kejenuhan selera
pasar--yang saat itu didominasi oleh kalangan muda. Spirit dari rasa
bosan itu tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meledak, dan Nirvana,
sebuah band dari sudut dunia yang sunyi, menyulut sumbunya. Tidak hanya
label besar yang dibuat terpana, namun juga band-band glam rock yang
merasa diperolok dengan band bau kencur yang minim harmoni. Siapa
sangka lagu-lagu band kampungan yang hanya mengandalkan jurus tiga
kunci dan bernyanyi seenaknya diatas panggung bisa mengalahkan raungan
gitar dan vokal melengking bervibrasi dari para pendahulu. Tanpa
bling-bling aksesoris perak, hidung ditindik dan jaket kulit. Tanpa
panggung jutaan watt. Nirvana hadir dengan segala kesederhanaannya.
Ibaratkan Nirvana sebuah cermin, maka para rockstar akan melihat
refleksi diri mereka sebagai kumpulan bintang yang duduk di bangku VIP
tanpa bisa ambil bagian dalam gemuruh paduan suara di bangku gratisan.
Kurt
Cobain berbicara dengan jujur tentang masa lalu, masa kini dan masa
depan dalam lagu-lagunya. Dan memang kejujuran ini berhasil
menelanjangi fakta tentang kepalsuan dunia. Membongkar iming-iming dan
janji-janji tak berujung. Bersama Nirvana, Kurt Cobain meruntuhkan
tembok yang selama ini dibangun oleh tata nilai masyarakat. Upayanya
dalam membuat sebuah band punk yang esensinya menghancurkan mitos-mitos
perwakilan tak disangka-sangka justru membuatnya berpretensi menjadi
sebuah simbol pemberontakan generasi muda yang merasakan datangnya
seorang juru selamat dan juru bicara yang mewakili keresahan mereka
terhadap sikap politik, tuntutan hidup, represi ekonomi, dan tekanan
kultural. Kurt menyadari itu. Dia melihat kapasitas pemberhalaan atas
dirinya. Ini membuatnya merasa semakin terasing.
In Utero
merupakan salah satu keajaiban dari band ini yang menjadikan aku
seorang penggila Nirvana. Melalui In Utero, Kurt Cobain mencoba
mengangkat porsi pembantahan dirinya dalam masyarakat. Didekasikan
bukan sebagai sebuah pembelaan, tapi cermin besar untuk berefleksi bagi
siapapun yang mendengarkannya. Album Nirvana yang satu ini betul-betul
menunjukan kejeniusan Kurt Cobain dalam mengemas lirik-lirik yang
cerdas kedalam balutan instrumen-instrumen bernada khawatir dan
gelisah. Kita diajak melupakan sopan-santun saat mendengar lagu-lagu
dalam band ini, dan membawa pergi jauh-jauh peradaban serta menikmati
rasa takut dalam keliaran yang murung. Kurt Cobain menjadikan In-Utero
sebagai sebuah pertimbangan perlunya untuk mulai keluar melawan seni,
karena ia telah melihat dibalik kepalsuannya sebagai keran keamanan
moral. Sepintas tidak ada masa depan di tengah jeritan dan
loncatan-loncatan tempo yang berkejaran dengan dengung feedback dan
riff gitar yang mentah, tapi siapa yang bisa menduga bahwa kelak justru
melalui In Utero, mereka di beri penghargaan yang antara lain datang
dari majalah Rolling Stone, yang menempatkan album ini pada urutan
ke-431 dalam list 500 Greatest Albums of All Time. Bersama Nirvana,
Kurt memang telah mencapai hasil brilian dengan menciptakan karya-karya
yang jenius, artistik dan sukses di pasaran. Upayanya untuk menghadang
tudingan masyarakat harus berbanding terbalik dengan segala keluhan dan
kebenciannya terhadap industri. Dia dipuja sekaligus merasa terpencil,
menjadi pahlawan sekaligus pesakitan.
Masa-masa sebelum
dan saat mengenal Nirvana adalah saat dimana aku begitu sulit
berkomunikasi dengan orang-orang. Dengan kepercayadirian yang rendah,
aku ditempatkan dalam pergaulan yang menyudutkan. Tuhan memang begitu
adil karena di posisi itu aku dianugerahi keingintahuan yang begitu
besar. Kesukaanku dengan musik tumbuh hampir bersamaan dengan
ketertarikanku pada dunia literasi. Aku berkomunikasi dengan diri
sendiri dan beberapa bacaan. Dan dalam Nirvana aku mendapatkan semacam
analisa kritis terhadap kondisi sosial yang terjadi, dan
mempertemukanku dengan banyak orang termasuk dalam band, lingkar
diskusi dan aksi-aksi protes. Walau tidak bisa kusebut sebagai
satu-satunya yang mempengaruhi jalan hidupku, setidaknya tanpa Nirvana,
belum tentu kita saling bertegur sapa, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar