Rabu, 01 Agustus 2012

Merekam Jejak Taufik Wijaya

Terlahir di kota Palembang empat puluh tahun silam, Taufik Wijaya mulai berkenalan dengan dunia seni sejak beranjak remaja. Teater Gembel menjadi salah satu media perkenalannya lebih intim dengan kesenian. Di usia itu, Taufik berkenalan dengan ide-ide dari para pemikir eksistensialis semisal Ivan Illich, Friedrich Nietzsche, Paulo Freire, Albert Camus, Søren Kierkegaard, Jean Paul Sartre, dan sederet filsuf lainnya. Mempelajari ide-ide materialis tentu juga mempertemukan dengan proses dialektika, yang menggiring Taufik pada keresahan. Ia mempertanyakan ide-ide tersebut, dan alhasil, pemikiran-pemikiran para filsuf itu lambat laun mulai Ia tinggalkan.

Taufik semakin dekat dengan dunia literasi. Kecintaannya pada sastra melahirkan banyak karya termasuk novel, esei, naskah teater, sajak dan liputan panjang, baik itu tunggal atau karya bersama penyair-penyair lain. Tahun 1995, ia melahirkan kumpulan sajak Krisis di Kamar Mandi dan sebuah karya bersama penyair-penyair lain Mimbar Penyair Abad 21. Satu tahun setelahnya lahir pula kumpulan sajak Dari Pesan Nyonya. Lalu tahun 2005 Ia meluncurkan Novel Juaro. Tahun 2006, Taufik melahirkan karya tunggal kumpulan puisi 1001 Tukang Becak Mengejarku, karya kolaborasi Cakrawala Sastra Indonesia, dan Kumpulan Puisi Penyair Internasional. Keproduktifan Taufik Wijaya kian mengencang, ini ditandai dengan lahirnya novel Buntung pada 2007, serta kumpulan puisi penyair Portugal, Indonesia, dan Malaysia, dalam Antologi de Poeticas. Tahun 2009 Ia mengeluarkan karya  berupa kumpulan sajak digital Aku Dimarahi Istri, dan kumpulan puisi penyair Nusantara Akulah Musi pada 2011.

Baginya, perkembangan dunia literasi di kota Palembang bisa dilihat dari fenomena “langka”nya karya-karya sastra lokal yang beredar dalam masyarakat. “Sebelum bertanya masalah seberapa besar minat baca pada masyarakat, pertanyakan dulu seberapa banyak karya yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat itu sendiri. Sebelum bicara mengenai output, bicarakan dulu inputnya,” seru ayah dua orang anak ini. “Dunia baca, kini mesti berhadapan dengan budaya tontonan, walaupun sebenarnya pola ini mengerdilkan mereka.” Ia menekankan, bahwa mencipta karya berarti harus siap menanggung resiko karya tersebut tidak diapresiasi.

Plagiarisme menjadi perdebatan banyak kalangan. Beberapa diantaranya menyebut ini sebuah kejahatan moral, walaupun kebenaran versi mayoritas itu sendiri masih berada di wilayah kelabu. Pertanyaan yang mungkin dilupakan oleh para pengagung orisinalitas adalah, siapa yang mencipta aksara, siapa penemu kata, dan apakah para perangkai bahasa yang kini kita gunakan sehari-hari menuntut royalti saat kita menggunakan bahasa yang mereka ciptakan?  Di saat plagiasi dalam seni dianggap sebagai petaka dan ironi intelektual bagi banyak orang, Taufik Wijaya yang kini bekerja di detik.com. dan mengelola majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir, memiliki pendapatnya sendiri. Ia justru menyatakan ketidaksepakatan pandangannya pada orisinalitas. “Segala sesuatu telah ada bahkan jauh sebelum manusia mengenal sesuatu itu sendiri,” katanya berapi-api. “Seni tetap ada meski kita tidak berkesenian.”

Tahun 2010, Taufik Wijaya menjadi salah seorang seniman yang mendapat kehormatan dari Dewan Kesenian Sumatera Selatan dengan mendapat anugerah seni bertajuk Anugerah Batanghari Sembilan kategori sastra. Ini menandai, bahwa perjuangannya dalam melestarikan seni dan budaya Sumatera Selatan tidaklah main-main.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar