
Taufik
semakin dekat dengan dunia literasi. Kecintaannya pada sastra
melahirkan banyak karya termasuk novel, esei, naskah teater, sajak dan
liputan panjang, baik itu tunggal atau karya bersama penyair-penyair
lain. Tahun 1995, ia melahirkan kumpulan sajak Krisis di Kamar Mandi dan sebuah karya bersama penyair-penyair lain Mimbar Penyair Abad 21. Satu tahun setelahnya lahir pula kumpulan sajak Dari Pesan Nyonya. Lalu tahun 2005 Ia meluncurkan Novel Juaro. Tahun 2006, Taufik melahirkan karya tunggal kumpulan puisi 1001 Tukang Becak Mengejarku, karya kolaborasi Cakrawala Sastra Indonesia, dan Kumpulan Puisi Penyair Internasional. Keproduktifan Taufik Wijaya kian mengencang, ini ditandai dengan lahirnya novel Buntung pada 2007, serta kumpulan puisi penyair Portugal, Indonesia, dan Malaysia, dalam Antologi de Poeticas. Tahun 2009 Ia mengeluarkan karya berupa kumpulan sajak digital Aku Dimarahi Istri, dan kumpulan puisi penyair Nusantara Akulah Musi pada 2011.
Baginya,
perkembangan dunia literasi di kota Palembang bisa dilihat dari
fenomena “langka”nya karya-karya sastra lokal yang beredar dalam
masyarakat. “Sebelum bertanya masalah seberapa besar minat baca pada
masyarakat, pertanyakan dulu seberapa banyak karya yang bisa dikonsumsi
oleh masyarakat itu sendiri. Sebelum bicara mengenai output, bicarakan
dulu inputnya,” seru ayah dua orang anak ini. “Dunia baca, kini mesti
berhadapan dengan budaya tontonan, walaupun sebenarnya pola ini
mengerdilkan mereka.” Ia menekankan, bahwa mencipta karya berarti harus
siap menanggung resiko karya tersebut tidak diapresiasi.
Plagiarisme
menjadi perdebatan banyak kalangan. Beberapa diantaranya menyebut ini
sebuah kejahatan moral, walaupun kebenaran versi mayoritas itu sendiri
masih berada di wilayah kelabu. Pertanyaan yang mungkin dilupakan oleh
para pengagung orisinalitas adalah, siapa yang mencipta aksara, siapa
penemu kata, dan apakah para perangkai bahasa yang kini kita gunakan
sehari-hari menuntut royalti saat kita menggunakan bahasa yang mereka
ciptakan? Di saat plagiasi dalam seni dianggap sebagai petaka dan
ironi intelektual bagi banyak orang, Taufik Wijaya yang kini bekerja di
detik.com. dan mengelola majalah kebudayaan Musi Terus Mengalir,
memiliki pendapatnya sendiri. Ia justru menyatakan ketidaksepakatan
pandangannya pada orisinalitas. “Segala sesuatu telah ada bahkan jauh
sebelum manusia mengenal sesuatu itu sendiri,” katanya berapi-api.
“Seni tetap ada meski kita tidak berkesenian.”
Tahun
2010, Taufik Wijaya menjadi salah seorang seniman yang mendapat
kehormatan dari Dewan Kesenian Sumatera Selatan dengan mendapat
anugerah seni bertajuk Anugerah Batanghari Sembilan kategori sastra.
Ini menandai, bahwa perjuangannya dalam melestarikan seni dan budaya
Sumatera Selatan tidaklah main-main.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar