“BBM naik tinggi, susu tak terbeli. Orang pintar cabut subsidi, anak kami kurang gizi…”—Galang Rambu Anarki, Iwan Fals.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah di depan mata. Biaya
kebutuhan hidup meningkat telak sebesar 30 persen. Hidup kita terancam
dalam bahaya yang sesungguhnya. Bagaimana skenario atas penderitaan ini
berlangsung?
Sektor Migas memegang peranan yang sangat
krusial dan mempengaruhi banyak sektor lainnya karena jika terjadi
perubahan pada kondisi sektor Migas, maka pengaruhnya akan terasa bagi
sektor-sektor perdagangan, pertanian, transportasi, pendidikan dan
sektor-sektor kehidupan lainnya. Minyak dan gas bumi masih sebagai
sektor penyumbang terbesar pendapatan negara dibandingkan sektor-sektor
lain. Kisarannya 20-30%, tergantung fluktuasi nilai Indonesia Crude Price (ICP – indeks harga minyak mentah Indonesia).
Sejarah
mencatat bahwa sejak pemerintah Sukarno runtuh dan terbukanya pintu
masuk bagi sistem ekonomi kapitalis di Indonesia yang ditandai dengan
pertemuan para ekonom Orde Baru dan sejumlah pejabat tinggi korporasi
di Swiss pada November 1967, telah terjadi 28 kali kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) hingga tahun 2008. Dan kini, rakyat Indonesia
kembali terancam oleh rencana pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
untuk menaikkan harga BBM pada 1 Maret 2012.
Banyak dalih
yang dilontarkan pemerintah di setiap menaikkan harga BBM. Alasan yang
dikemukakan pada kenaikan harga BBM kali ini adalah naiknya harga
minyak dunia pada Februari 2012—yang diantaranya disebabkan oleh krisis
politik di Libya dan negara-negara di Timur Tengah, krisis di Eropa
serta embargo Iran oleh Amerika—menjadi USD120 per barel. Ini di luar
asumsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang diprediksi
sebesar USD90 per barel yang menimbulkan selisih sebesar USD 30 yang
tentu saja berpengaruh pada subsdidi yang selama ini diberikan
pemerintah pada BBM. Maka, pemerintah berdalih bahwa tanpa dilakukan
pencabutan subsidi BBM, maka APBN akan merugi sebesar Rp 178, 62
triliun dan, menaikkan harga BBM merupakan opsi untuk menekan subsidi
hingga mencapai Rp137,38 triliun. Angka subsidi tersebut dengan asumsi
harga minyak mentah Indonesia 105 dolar AS per barel, kurs Rp9.000 per
dolar AS, dan kuota BBM 40 juta kiloliter.
Sejak
dikeluarkannya Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas)
No.22 tahun 2001, pihak swasta termasuk asing diberi keleluasaan untuk
berkiprah dalam bisnis migas dari hulu ke hilir. UU Migas ini sendiri
diprakarsai bukan dari gagasan pemerintah Indonesia, tapi lebih
merupakanskenario liberalisasi industri minyak di seluruh dunia oleh
kepentingan Amerika Serikat dan negara-negara maju dunia, yang menekan
secara politis untuk melegalkan jejaring modal mereka. Krisis moneter
Indonesia di penghujung tahun 1997 menjadikan Indonesia sebagai
pesakitan yang membutuhkan lembaga donor pengucur utang melalui lembaga
kreditor internasional seperti IMF dan World Bank. Salah satu poin
kesepakatan dalam kontrak tersebut--selain liberalisasi melalui
pencabutan subsidipendidikan, kesehatan dan pangan--adalah liberalisasi
ener gi yang membuka peluang bagi masuknya investor asing di sektor
hulu dan hilir migas dengan merujuk pembentukan UU Migas menggantikan
UU No 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(UU Pertamina). Sejak diterapkannya undang-undang ini pada 23 Oktober
2001, Pertamina tak lagi berpola usaha yang terintegrasi (hulu dan
hilir).
Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38
di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar
barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Perlu diketahui,
perusahaan asing yang mendominasi sumur minyak Indonesia saat ini
mencapai 71 perusahaan, sedangkan yang sudah mendapat izin total 105
perusahaan, yang meliputi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) terdapat 9
perusahaan; Riau ada 21 perusahaan; Sumatera Selatan sebanyak 22
perusahaan; Babelan Bekasi-Jawa Barat dan Jawa Timur sebanyak 13
perusahaan; Kalimantan Timur, 19 perusahan migas.
Blok
Cepu merupakan salah satu ladang minyak yang meliputi tiga Kabupaten di
Jawa Timur, yakni Blora, Bojonegoro, dan Tuban, dan yang paling
potensial di Indonesia. Setiap harinya, ladang minyak Blok Cepu ini
bisa menghasilkan sekitar sekitar 200.000 barel perhari. Jumlah itu
dengan asumsi harga minyak USD60 perbarel, maka dalam sebulan bisa
menghasilkan dana Rp 3,6 triliun atau Rp 43, 2 trilun setahun. Tahun
2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk ExxonMobi l--
perusahaan penghasil dan pengecer minyak asal Amerika yang bermarkas di
Texas -- sebagai operator utama di Blok Cepu melalui sebuah kontrak
perjanjian pengelolaan selama 30 tahun. Komposisi penyertaan saham
masing-masing 45 persen untuk ExxonMobil dan Pertamina serta 10 persen
untuk pemerintah setempat dengan perincian 4,48 persen Bojonegoro, 2,18
persen Blora, 2,24 persen Jawa Timur dan 1,09 persen Jawa Tengah. Di
sisi lain, Exxon juga dituduh sebuah grup riset Council on Economic
Priorities sebagai perusahaan nomor satu atas penyebab polusi sepanjang
tahun 1994. Begitu juga kasus tumpahnya minyak dari tangker raksasa
Exxon Valdez di Prince William Sound, pantai barat AS, pada Maret 1989
lalu yang menyebabkan lebih dari 11 juta gallon (41 juta liter) minyak
mencemari perairan dan lingkungan di teluk Alaska. Kebutuhan minyak
Amerika memang cukup besar, per harinya mengonsumsi minyak sebesar 19
juta barel. Tak heran jika beberapa perusahaan besar minyak dan tambang
Amerika beroperasi di Indonesia seperti ExxonMobile, Chevron,
Conoco-Phillips, Freeport-McMoran, dan NewMont.
Kini,
sekitar 80-90 persen industri hulu minyak Indonesia dikuasai perusahaan
asing yang bekerja sama dengan negara melalui skema production sharing
contract (PSC). Dominasi asing ini semakin massif setelah pemerintah
melelang 15 blok migas kepada 10 perusahaan asing akhir tahun lalu. 15
blok migas tersebut memiliki kapasitas produksi 1,15 miliar standar
kubik per hari gas alam serta 35.200 barel minyak bumi per hari.
Ketertundukan pemerintah pada pihak asing ini harus dibayar mahal oleh
rakyat dengan pengurangan subsidi BBM. Ini adalah bentuk ‘kesesatan’
lainnya dari perilaku pemerintah dalam mengelola industri minyak
nasional.
Untuk bisnis migas di sektor hilir telah ada
sekitar 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan
SPBU. Sejak berlakunya UU Migas, Pertamina tidak lagi menjadi pemain
tunggal di bisnis hilir ini. Masing-masing perusahaan diberi ‘jatah’
membangun sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Indonesia. Dan diantaranya,
tiga korporasi asing telah menjadi ‘pemain’ resmi dalam bisnis ritel
hilir migas sejak tahun 2005. Ketiga perusahaan itu adalah Shell dari
Belanda, Petronas dari Malaysia dan Total dari Perancis. Kini, saluran
pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik ketiga perusahaan asing itu
telah ‘bertebaran’ di wilayah Jabodetabek, dan akan merambah ke
kota-kota lainnya di Jawa dan Bali. Shell misalnya, kini telah membuka
35 SPBU di Jabodetabek dan Surabaya. Sedangkan Petronas telah memiliki
20 SPBU di Jabodetabek. Sedangkan untuk Total yang keberadaannya
relatif baru dibandingkan kedua perusahaan tersebut saat ini baru
memiliki 5 SPBU di Jabodetabek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar