Rabu, 01 Agustus 2012

Satu Hal Kenapa Sejak Dulu Kami Tidak Pernah Percaya Pada Negara dan Korporasi



BBM naik tinggi, susu tak terbeli. Orang pintar cabut subsidi, anak kami kurang gizi…”—Galang Rambu Anarki, Iwan Fals.



Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah di depan mata. Biaya kebutuhan hidup meningkat telak sebesar 30 persen. Hidup kita terancam dalam bahaya yang sesungguhnya. Bagaimana skenario atas penderitaan ini berlangsung?

Sektor Migas memegang peranan yang sangat krusial dan mempengaruhi banyak sektor lainnya karena jika terjadi perubahan pada kondisi sektor Migas, maka pengaruhnya akan terasa bagi sektor-sektor perdagangan, pertanian, transportasi, pendidikan dan sektor-sektor kehidupan lainnya. Minyak dan gas bumi masih sebagai sektor penyumbang terbesar pendapatan negara dibandingkan sektor-sektor lain. Kisarannya 20-30%, tergantung fluktuasi nilai Indonesia Crude Price (ICP – indeks harga minyak mentah Indonesia).

Sejarah mencatat bahwa sejak pemerintah Sukarno runtuh dan terbukanya pintu masuk bagi sistem ekonomi kapitalis di Indonesia yang ditandai dengan pertemuan para ekonom Orde Baru dan sejumlah pejabat tinggi korporasi di Swiss pada November 1967, telah terjadi 28 kali kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga tahun 2008. Dan kini, rakyat Indonesia kembali terancam oleh rencana pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menaikkan harga BBM pada 1 Maret 2012.

Banyak dalih yang dilontarkan pemerintah di setiap menaikkan harga BBM. Alasan yang dikemukakan pada kenaikan harga BBM kali ini adalah naiknya harga minyak dunia pada Februari 2012—yang diantaranya disebabkan oleh krisis politik di Libya dan negara-negara di Timur Tengah, krisis di Eropa serta embargo Iran oleh Amerika—menjadi USD120 per barel. Ini di luar asumsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang diprediksi sebesar USD90 per barel yang menimbulkan selisih sebesar USD 30 yang tentu saja berpengaruh pada subsdidi yang selama ini diberikan pemerintah pada BBM. Maka, pemerintah berdalih bahwa tanpa dilakukan pencabutan subsidi BBM, maka APBN akan merugi sebesar Rp 178, 62 triliun dan, menaikkan harga BBM merupakan opsi untuk menekan subsidi hingga mencapai Rp137,38 triliun. Angka subsidi tersebut dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia 105 dolar AS per barel, kurs Rp9.000 per dolar AS, dan kuota BBM 40 juta kiloliter.

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) No.22 tahun 2001, pihak swasta termasuk asing diberi keleluasaan untuk berkiprah dalam bisnis migas dari hulu ke hilir. UU Migas ini sendiri diprakarsai bukan dari gagasan pemerintah Indonesia, tapi lebih merupakanskenario liberalisasi industri minyak di seluruh dunia oleh kepentingan Amerika Serikat dan negara-negara maju dunia, yang menekan secara politis untuk melegalkan jejaring modal mereka. Krisis moneter Indonesia di penghujung tahun 1997 menjadikan Indonesia sebagai pesakitan yang membutuhkan lembaga donor pengucur utang melalui lembaga kreditor internasional seperti IMF dan World Bank. Salah satu poin kesepakatan dalam kontrak tersebut--selain liberalisasi melalui pencabutan subsidipendidikan, kesehatan dan pangan--adalah liberalisasi ener gi yang membuka peluang bagi masuknya investor asing di sektor hulu dan hilir migas dengan merujuk pembentukan UU Migas menggantikan UU No 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU Pertamina). Sejak diterapkannya undang-undang ini pada 23 Oktober 2001, Pertamina tak lagi berpola usaha yang terintegrasi (hulu dan hilir).

Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Perlu diketahui, perusahaan asing yang mendominasi sumur minyak Indonesia saat ini mencapai 71 perusahaan, sedangkan yang sudah mendapat izin total 105 perusahaan, yang meliputi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) terdapat 9 perusahaan; Riau ada 21 perusahaan; Sumatera Selatan sebanyak 22 perusahaan; Babelan Bekasi-Jawa Barat dan Jawa Timur sebanyak 13 perusahaan; Kalimantan Timur, 19 perusahan migas.

Blok Cepu merupakan salah satu ladang minyak yang meliputi tiga Kabupaten di Jawa Timur, yakni Blora, Bojonegoro, dan Tuban, dan yang paling potensial di Indonesia. Setiap harinya, ladang minyak Blok Cepu ini bisa menghasilkan sekitar sekitar 200.000 barel perhari. Jumlah itu dengan asumsi harga minyak USD60 perbarel, maka dalam sebulan bisa menghasilkan dana Rp 3,6 triliun atau Rp 43, 2 trilun setahun. Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk ExxonMobi l-- perusahaan penghasil dan pengecer minyak asal Amerika yang bermarkas di Texas -- sebagai operator utama di Blok Cepu melalui sebuah kontrak perjanjian pengelolaan selama 30 tahun. Komposisi penyertaan saham masing-masing 45 persen untuk ExxonMobil dan Pertamina serta 10 persen untuk pemerintah setempat dengan perincian 4,48 persen Bojonegoro, 2,18 persen Blora, 2,24 persen Jawa Timur dan 1,09 persen Jawa Tengah. Di sisi lain, Exxon juga dituduh sebuah grup riset Council on Economic Priorities sebagai perusahaan nomor satu atas penyebab polusi sepanjang tahun 1994. Begitu juga kasus tumpahnya minyak dari tangker raksasa Exxon Valdez di Prince William Sound, pantai barat AS, pada Maret 1989 lalu yang menyebabkan lebih dari 11 juta gallon (41 juta liter) minyak mencemari perairan dan lingkungan di teluk Alaska. Kebutuhan minyak Amerika memang cukup besar, per harinya mengonsumsi minyak sebesar 19 juta barel. Tak heran jika beberapa perusahaan besar minyak dan tambang Amerika beroperasi di Indonesia seperti ExxonMobile, Chevron, Conoco-Phillips, Freeport-McMoran, dan NewMont.

Kini, sekitar 80-90 persen industri hulu minyak Indonesia dikuasai perusahaan asing yang bekerja sama dengan negara melalui skema production sharing contract (PSC). Dominasi asing ini semakin massif setelah pemerintah melelang 15 blok migas kepada 10 perusahaan asing akhir tahun lalu. 15 blok migas tersebut memiliki kapasitas produksi 1,15 miliar standar kubik per hari gas alam serta 35.200 barel minyak bumi per hari. Ketertundukan pemerintah pada pihak asing ini harus dibayar mahal oleh rakyat dengan pengurangan subsidi BBM. Ini adalah bentuk ‘kesesatan’ lainnya dari perilaku pemerintah dalam mengelola industri minyak nasional.

Untuk bisnis migas di sektor hilir telah ada sekitar 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU. Sejak berlakunya UU Migas, Pertamina tidak lagi menjadi pemain tunggal di bisnis hilir ini. Masing-masing perusahaan diberi ‘jatah’ membangun sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Indonesia. Dan diantaranya, tiga korporasi asing telah menjadi ‘pemain’ resmi dalam bisnis ritel hilir migas sejak tahun 2005. Ketiga perusahaan itu adalah Shell dari Belanda, Petronas dari Malaysia dan Total dari Perancis. Kini, saluran pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik ketiga perusahaan asing itu telah ‘bertebaran’ di wilayah Jabodetabek, dan akan merambah ke kota-kota lainnya di Jawa dan Bali. Shell misalnya, kini telah membuka 35 SPBU di Jabodetabek dan Surabaya. Sedangkan Petronas telah memiliki 20 SPBU di Jabodetabek. Sedangkan untuk Total yang keberadaannya relatif baru dibandingkan kedua perusahaan tersebut saat ini baru memiliki 5 SPBU di Jabodetabek.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar