"Benar bahwa saya punya pengalaman di industri film porno itu.
Kalaupun ada orang yang memberikan pandangan negatif, saya tak mau
ambil pusing. Sebab, ini pilihan hidup saya. Saya merasa bahwa saya
masih ada di jalan yang benar. Jadi, kalau ada kritik seperti itu,
tidak saya tanggapi. Begitulah perempuan di Jepang yang saya tahu.
Sejak saya lahir sampai berkembang remaja, saya sudah mengenal
kemerdekaan hak-hak perempuan. Saya merasa ini sudah seharusnya. Saya
tidak tahu dulu kondisinya seperti apa, tapi seharusnya memang begitu.
Yang namanya diskriminasi itu seharusnya tidak ada lagi pada zaman
sekarang ini. Saat ini keputusan ada di tangan saya. "--Sora Aoi, perempuan yang telah sembilan tahun berkecimpung di dunia film dewasa Jepang dalam wawancara dengan Kompas.com
Beberapa
feminis menyebutkan bahwa pornografi merupakan bagian dari
dehumanisasi, diskriminasi seks dan praktek subordinasi kaum perempuan.
Pornografi dinilai sebagai bentuk-bentuk seksisme dan eksploitasi
komersial, karena ini dianggap sebagai kontruksi sosial untuk
meyakinkan bahwa perempuan merupakan pelayan laki-laki. Secara bahasa,
Pornografi merupakan paduan dua kata yakni ‘pornea’ yang berasal dari
istilah Yunani kuno yang berarti budak seks perempuan atau dapat juga
dikatakan pelacur rendahan. Kata pornea dirujuk dari Porne,
nama sebuah kota di Yunani kuno yang kerap disambangi para pelaut
karena industri seks di kuil bernama Aphrodite. Sedangkan ‘graphos’
berarti penulisan atau penggambaran. Secara singkat, kata pornografi
dapat disimpulkan sebagai penggambaran mengenai budak seks perempuan
atau pelacur kelas rendahan.
Ada beberapa hal yang cukup
penting menurut saya untuk diperhatikan. Mari sama-sama kita lihat
kembali film, aktivitas, teks, ataupun gambar-gambar yang dikategorikan
sebagai pornografi, pornoaksi dan porno teks. Bila kata porno merujuk
pada perempuan yangmana faktanya juga melibatkan relasi antar dua insan
berlainan jenis, tentu kita tidak bicaranya mengenai siapa si pelaku
dan siapa si penderita. Karena definisi bahasa dan definisi fakta
ternyata berbeda. Pornografi dalam beberapa fakta juga melibatkan
laki-laki sebagai ‘lakon utama’. Yang sering dipermasalahkan adalah,
pornografi yang menjadikan laki-laki sebagai subjek ternyata tidak laku
dipasaran. Ah, berarti kita tengah membicarakan daya serap pasar.
Karena bila membicarakan tingkat konsumsi, berarti kita juga
membicarakan motif produksi. Saya tidak sepakat bahwa cuma perempuan
yang menjadi objek eksploitasi komersial, karena di mata industri,
laki-laki dan perempuan sama-sama berada di posisi sebagai objek
belaka. Mereka adalah kelas pekerja. Silahkan buka situs-situs video
porno, sebagai industri dunia pornografi yang paling populer selain
majalah dewasa, silikon dan sex toys. Produksi film dan aneka ekplorasi
seksualitas dikelola secara profesional. Dengan detil dipilih
bintang-bintang yang melewati seleksi ketat. Dan siapa sangka bahwa
pada kenyataannya, pada tahun 2006 saja, industri pornografi sedunia
meraup laba 97,6 miliar dollar AS.
Dalam industri film
dewasa, pemeran dituntut untuk membohongi penonton dengan bertingkah
seolah mereka menikmati aktivitas hubungan seks yang dilakukan. Tidak
ada motif lain bagi pelaku selain ekonomi. Belum lagi bila karir
sebagai pemeran fim porno melejit dan membawa berkah kepopuleran.
Seperti yang diungkapkan oleh mantan bintang film dewasa terkenal,
Shelley Lubben; “Aku butuh uang. Aku tidak butuh alat kelaminmu”. Para
pemeran sendiri seringkali tidak tahu menahu tentang peran apa nantinya
yang akan dilakoni, sampai mereka tiba di studio dengan dua tawaran:
“Lakukan atau pulang tanpa bayaran. Kerja atau tidak akan bisa kerja
lagi," tambah Shelley Lubben. Pengalaman Lubben menyatakan bahwa
sesungguhnya, perempuan dalam film sendiri mendapat tekanan luar biasa
secara psikis. "Kenyataan sebenarnya kami artis film porno ingin
mengakhiri semua rasa malu ini dan semua trauma dalam hidup kami. Tapi
sayangnya kami tidak bisa melakukannya sendiri. Kami berharap kalian
kaum laki-laki membantu kami, memperjuangkan kebebasan dan kehormatan
kami. Kami ingin kalian memeluk kami saat kami menghapus air mata dan
menyembuhkan luka di hati kami. Industri film porno tidak lebih dari
'seks palsu' dan 'tipuan kamera'. Percayalah!" Shelley Lubben sendiri
diidentifikasi menderita herpes dan kanker serviks akibat berperan pada
beberapa judul film porno.
Pernyataan serupa juga diakui
oleh Ron Jeremy, laki-laki yang sudah makan asam garam dalam dunia
perlakonan industri film porno, dan telah berperan pada banyak judul
dengan lebih dari empat ribu perempuan. Ron Jeremy menyebut bahwa apa
yang dilakukannya tidak lebih pekerjaan mencari nafkah semata. Nyaris
tidak ada kenikmatan didalamnya, karena untuk satu adegan saja mereka
mesti puluhan kali melakukan pengulangan. Tentu saja, karena dalam
aktivitas seksual yang telah mengindustri, laki-laki dan perempuan tak
lebih dari pekerja seks. Berputar-putar dengan upah dan keuntungan sang
bos. Baik dalam relasi homoseksual, lesbian, atau heteroseksual, mereka
melakukan hubungan seks dengan pasif.
Menantang asumsi-asumsi dominan laki-laki tentang seks
Tahun
1960-an yang dianggap sebagai gelombang kedua feminisme, atau yang
secara luas dikenal sebagai revolusi seksual, menemukan kontradiksinya
sendiri. Andrea Dworkin, seorang feminis radikal menyebut pornografi
sebagai propaganda fasisme seksual. Laki-laki dan perempuan merupakan
kelas yang terpisah. Kepentingan laki-laki dinyatakan melalui dan
dikelola oleh struktur kapitalistik yang kita kenal sebagai
"patriarki." Kaum laki-laki menjadikan pornografi sebagai cara untuk
mendefinisikan perempuan. Pendefinisian ini kemudian menjadi pendukung
kontruksi sosial seksisme, dan mendekatkannya pada kekerasan seksual
pada kaum perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang feminis
radikal lainnya, Robin Morgan, bahwa pornografi adalah teori dan
perkosaan adalah prakteknya. Perang terhadap pornografi oleh para
feminis radikal ini mendapat sambutan hangat dari kalangan moralis yang
memberi dukungan dalam bentuk sensoritas pada beberapa media yang
dinilai menjurus porno. Kondisi ini yang melahirkan tentangan dari
kalangan perempuan pekerja pornografi yang diresahkan oleh lahirnya
pasar gelap eksploitasi. Kritik juga dikontarkan oleh kalangan feminis
liberal yang terkesan mendua--yang walau tidak anti
pornografi--beranggapan sensor yang dilakukan oleh otoritas penguasa
justru membatasi kebebasan perempuan untuk berekspresi termasuk
pembatasan karya-karya seni erotis. Dan keyakinan moral tentang seks
tidak lantas bisa seenaknya digunakan untuk menyensor selera individu
yang mengkonsumsi pornografi. Pornografi bukan satu-satunya indikasi
eksploitasi pada kaum perempuan. Kekerasan seksual pada perempuan telah
terjadi berabad-abad lampau sebelum terminologi pornografi menjadi
sebuah industri. Perempuan tertindas dalam segala bidang.
Di
masa yang sama, kalangan feminis pro-seks, menyatakan bahwa tubuh
perempuan adalah hak perempuan. Maka berhak untuk berpartisipasi atau
mengkonsumsi semua yang berbau porno. Ia berhak menentukan apa yang
membebaskan dirinya meski pada kenyataannya ia mengalami ketertindasan,
seperti yang diamini oleh Sora Aoi di awal tulisan ini, sebagai pekerja
pada industri film porno. Gayle Rubin, seorang feminis yang juga
antropolog lebih memilih melihat pornografi sebagai bentuk pergeseran
makna aktivitas seksual, dari sebuah kebutuhan menjadi sebuah pemuasan.
Seksualitas biologis berubah menjadi produk aktivitas manusia. Dalam
kehidupan sosial, perempuan bukan hanya harus keluar dari belenggu kaum
macho, namun mesti bersama laki-laki memerdekakan dirinya dari kelas
sosial yang menciptakan patriarki itu sendiri.
Apa Yang Terjadi dengan Film Porno di Luar Konteks Industri Pornografi?
Setelah
kritik yang menjejar industri film porno, mari kita lihat apa yang
terjadi di video-video aktivitas seksual pribadi ataupun hasil hiddencam jahil yang banyak tersebar di dunia maya. Meski tanpa sutradara dan rekaan dari pihak production house,
ada sebuah kesamaan dalam film-film itu, entah yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi di semak belukar atau di hotel mahal sekalipun:
hampir selalu laki-laki yang mendominasi. Perempuan terlihat tidak
mengalami gejolak ejakulasi. Permainan selalu berakhir dengan laki-laki
yang mencapai klimaks, bahkan sebelum si perempuan sempat mencoba
posisi yang diinginkan sekalipun. Hanya laki-laki! Rekaman amatir
ini--yang lebih jujur daripada video porno mainstream, menjadi penanda
bahwa aktivitas seksual yang terjadi dalam kehidupan real nyaris
seperti itu. Bukan hanya pada pekerja seks komersial, tapi juga pada
sepasang kekasih yang menjadikan cinta sebagai dalihnya. Ini bukan
gejala. Ini telah menjadi penyakit kronis yang melanda pola relasi seks
massa yang dimulai sejak sejarah penundukan kaum perempuan oleh
laki-laki dan meluncur deras dalam kultur patriarki massa. Kaum lelaki
mempelajari superioritas tidak secara tekstual, bukan pula dari video
porno semata. Mereka mempelajarinya dari kekerasan dan penghinaan bagi
perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Pornografi
mainstream ataupun 'independen' cuma masalah menu. Eksploitasi terhadap
kaum perempuan tidak bermuara di titik ini saja. Yang menjadi masalah
dalam pornografi bukan tentang pembatasan kebebasan individu--baik
laki-laki ataupun perempuan--dalam relasi, profesi, kreativitas,
imajinasi dan aktivitas seksualitas, tapi lebih pada kontrol industri
dan patriarki didalamnya. Bagaimanapun, setiap individu berhak
menentukan pendapat dan jalan hidup yang ia pilih. Tidak ada otonomi
dan perayaan tubuh ketika masih ada kontrol didalamnya. "Singkatnya:
tubuh saya, aturan saya. Perempuan lain tidak bisa mentitah apa yang
'benar' untuk saya," seperti yang dikatakan oleh Nina Hartley, seorang
feminis dan eks aktris video porno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar