Rabu, 01 Agustus 2012

Antara Perayaan Tubuh dan Kontrol Didalamnya



"Benar bahwa saya punya pengalaman di industri film porno itu. Kalaupun ada orang yang memberikan pandangan negatif, saya tak mau ambil pusing. Sebab, ini pilihan hidup saya. Saya merasa bahwa saya masih ada di jalan yang benar. Jadi, kalau ada kritik seperti itu, tidak saya tanggapi. Begitulah perempuan di Jepang yang saya tahu. Sejak saya lahir sampai berkembang remaja, saya sudah mengenal kemerdekaan hak-hak perempuan. Saya merasa ini sudah seharusnya. Saya tidak tahu dulu kondisinya seperti apa, tapi seharusnya memang begitu. Yang namanya diskriminasi itu seharusnya tidak ada lagi pada zaman sekarang ini. Saat ini keputusan ada di tangan saya. "--Sora Aoi, perempuan yang telah sembilan tahun berkecimpung di dunia film dewasa Jepang dalam wawancara dengan Kompas.com


Beberapa feminis menyebutkan bahwa pornografi merupakan bagian dari dehumanisasi, diskriminasi seks dan praktek subordinasi kaum perempuan. Pornografi dinilai sebagai bentuk-bentuk seksisme dan eksploitasi komersial, karena ini dianggap sebagai kontruksi sosial untuk meyakinkan bahwa perempuan merupakan pelayan laki-laki. Secara bahasa, Pornografi merupakan paduan dua kata yakni ‘pornea’ yang berasal dari istilah Yunani kuno yang berarti budak seks perempuan atau dapat juga dikatakan pelacur rendahan. Kata pornea dirujuk dari Porne, nama sebuah kota di Yunani kuno yang kerap disambangi para pelaut karena industri seks di kuil bernama Aphrodite. Sedangkan ‘graphos’ berarti penulisan atau penggambaran. Secara singkat, kata pornografi dapat disimpulkan sebagai penggambaran mengenai budak seks perempuan atau pelacur kelas rendahan.

Ada beberapa hal yang cukup penting menurut saya untuk diperhatikan. Mari sama-sama kita lihat kembali film, aktivitas, teks, ataupun gambar-gambar yang dikategorikan sebagai pornografi, pornoaksi dan porno teks. Bila kata porno merujuk pada perempuan yangmana faktanya juga melibatkan relasi antar dua insan berlainan jenis, tentu kita tidak bicaranya mengenai siapa si pelaku dan siapa si penderita. Karena definisi bahasa dan definisi fakta ternyata berbeda. Pornografi dalam beberapa fakta juga melibatkan laki-laki sebagai ‘lakon utama’. Yang sering dipermasalahkan adalah, pornografi yang menjadikan laki-laki sebagai subjek ternyata tidak laku dipasaran. Ah, berarti kita tengah membicarakan daya serap pasar. Karena bila membicarakan tingkat konsumsi, berarti kita juga membicarakan motif produksi. Saya tidak sepakat bahwa cuma perempuan yang menjadi objek eksploitasi komersial, karena di mata industri, laki-laki dan perempuan sama-sama berada di posisi sebagai objek belaka. Mereka adalah kelas pekerja. Silahkan buka situs-situs video porno, sebagai industri dunia pornografi yang paling populer selain majalah dewasa, silikon dan sex toys. Produksi film dan aneka ekplorasi seksualitas dikelola secara profesional. Dengan detil dipilih bintang-bintang yang melewati seleksi ketat. Dan siapa sangka bahwa pada kenyataannya, pada tahun 2006 saja, industri pornografi sedunia meraup laba 97,6 miliar dollar AS.

Dalam industri film dewasa, pemeran dituntut untuk membohongi penonton dengan bertingkah seolah mereka menikmati aktivitas hubungan seks yang dilakukan. Tidak ada motif lain bagi pelaku selain ekonomi. Belum lagi bila karir sebagai pemeran fim porno melejit dan membawa berkah kepopuleran. Seperti yang diungkapkan oleh mantan bintang film dewasa terkenal, Shelley Lubben; “Aku butuh uang. Aku tidak butuh alat kelaminmu”. Para pemeran sendiri seringkali tidak tahu menahu tentang peran apa nantinya yang akan dilakoni, sampai mereka tiba di studio dengan dua tawaran: “Lakukan atau pulang tanpa bayaran. Kerja atau tidak akan bisa kerja lagi," tambah Shelley Lubben. Pengalaman Lubben menyatakan bahwa sesungguhnya, perempuan dalam film sendiri mendapat tekanan luar biasa secara psikis. "Kenyataan sebenarnya kami artis film porno ingin mengakhiri semua rasa malu ini dan semua trauma dalam hidup kami. Tapi sayangnya kami tidak bisa melakukannya sendiri. Kami berharap kalian kaum laki-laki membantu kami, memperjuangkan kebebasan dan kehormatan kami. Kami ingin kalian memeluk kami saat kami menghapus air mata dan menyembuhkan luka di hati kami. Industri film porno tidak lebih dari 'seks palsu' dan 'tipuan kamera'. Percayalah!" Shelley Lubben sendiri diidentifikasi menderita herpes dan kanker serviks akibat berperan pada beberapa judul film porno.

Pernyataan serupa juga diakui oleh Ron Jeremy, laki-laki yang sudah makan asam garam dalam dunia perlakonan industri film porno, dan telah berperan pada banyak judul dengan lebih dari empat ribu perempuan. Ron Jeremy menyebut bahwa apa yang dilakukannya tidak lebih pekerjaan mencari nafkah semata. Nyaris tidak ada kenikmatan didalamnya, karena untuk satu adegan saja mereka mesti puluhan kali melakukan pengulangan. Tentu saja, karena dalam aktivitas seksual yang telah mengindustri, laki-laki dan perempuan tak lebih dari pekerja seks. Berputar-putar dengan upah dan keuntungan sang bos. Baik dalam relasi homoseksual, lesbian, atau heteroseksual, mereka melakukan hubungan seks dengan pasif.

Menantang asumsi-asumsi dominan laki-laki tentang seks

Tahun 1960-an yang dianggap sebagai gelombang kedua feminisme, atau yang secara luas dikenal sebagai revolusi seksual, menemukan kontradiksinya sendiri. Andrea Dworkin, seorang feminis radikal menyebut pornografi sebagai propaganda fasisme seksual. Laki-laki dan perempuan merupakan kelas yang terpisah. Kepentingan laki-laki dinyatakan melalui dan dikelola oleh struktur kapitalistik yang kita kenal sebagai "patriarki." Kaum laki-laki menjadikan pornografi sebagai cara untuk mendefinisikan perempuan. Pendefinisian ini kemudian menjadi pendukung kontruksi sosial seksisme, dan mendekatkannya pada kekerasan seksual pada kaum perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang feminis radikal lainnya, Robin Morgan, bahwa pornografi adalah teori dan perkosaan adalah prakteknya. Perang terhadap pornografi oleh para feminis radikal ini mendapat sambutan hangat dari kalangan moralis yang memberi dukungan dalam bentuk sensoritas pada beberapa media yang dinilai menjurus porno. Kondisi ini yang melahirkan tentangan dari kalangan perempuan pekerja pornografi yang diresahkan oleh lahirnya pasar gelap eksploitasi. Kritik juga dikontarkan oleh kalangan feminis liberal yang terkesan mendua--yang walau tidak anti pornografi--beranggapan sensor yang dilakukan oleh otoritas penguasa justru membatasi kebebasan perempuan untuk berekspresi termasuk pembatasan karya-karya seni erotis. Dan keyakinan moral tentang seks tidak lantas bisa seenaknya digunakan untuk menyensor selera individu yang mengkonsumsi pornografi. Pornografi bukan satu-satunya indikasi eksploitasi pada kaum perempuan. Kekerasan seksual pada perempuan telah terjadi berabad-abad lampau sebelum terminologi pornografi menjadi sebuah industri. Perempuan tertindas dalam segala bidang.

Di masa yang sama, kalangan feminis pro-seks, menyatakan bahwa tubuh perempuan adalah hak perempuan. Maka berhak untuk berpartisipasi atau mengkonsumsi semua yang berbau porno. Ia berhak menentukan apa yang membebaskan dirinya meski pada kenyataannya ia mengalami ketertindasan, seperti yang diamini oleh Sora Aoi di awal tulisan ini, sebagai pekerja pada industri film porno. Gayle Rubin, seorang feminis yang juga antropolog lebih memilih melihat pornografi sebagai bentuk pergeseran makna aktivitas seksual, dari sebuah kebutuhan menjadi sebuah pemuasan. Seksualitas biologis berubah menjadi produk aktivitas manusia. Dalam kehidupan sosial, perempuan bukan hanya harus keluar dari belenggu kaum macho, namun mesti bersama laki-laki memerdekakan dirinya dari kelas sosial yang menciptakan patriarki itu sendiri.

Apa Yang Terjadi dengan Film Porno di Luar Konteks Industri Pornografi?

Setelah kritik yang menjejar industri film porno, mari kita lihat apa yang terjadi di video-video aktivitas seksual pribadi ataupun hasil hiddencam jahil yang banyak tersebar di dunia maya. Meski tanpa sutradara dan rekaan dari pihak production house, ada sebuah kesamaan dalam film-film itu, entah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi di semak belukar atau di hotel mahal sekalipun: hampir selalu laki-laki yang mendominasi. Perempuan terlihat tidak mengalami gejolak ejakulasi. Permainan selalu berakhir dengan laki-laki yang mencapai klimaks, bahkan sebelum si perempuan sempat mencoba posisi yang diinginkan sekalipun. Hanya laki-laki! Rekaman amatir ini--yang lebih jujur daripada video porno mainstream, menjadi penanda bahwa aktivitas seksual yang terjadi dalam kehidupan real nyaris seperti itu. Bukan hanya pada pekerja seks komersial, tapi juga pada sepasang kekasih yang menjadikan cinta sebagai dalihnya. Ini bukan gejala. Ini telah menjadi penyakit kronis yang melanda pola relasi seks massa yang dimulai sejak sejarah penundukan kaum perempuan oleh laki-laki dan meluncur deras dalam kultur patriarki massa. Kaum lelaki mempelajari superioritas tidak secara tekstual, bukan pula dari video porno semata. Mereka mempelajarinya dari kekerasan dan penghinaan bagi perempuan dalam keluarga dan masyarakat.

Pornografi mainstream ataupun 'independen' cuma masalah menu. Eksploitasi terhadap kaum perempuan tidak bermuara di titik ini saja. Yang menjadi masalah dalam pornografi bukan tentang pembatasan kebebasan individu--baik laki-laki ataupun perempuan--dalam relasi, profesi, kreativitas, imajinasi dan aktivitas seksualitas, tapi lebih pada kontrol industri dan patriarki didalamnya. Bagaimanapun, setiap individu berhak menentukan pendapat dan jalan hidup yang ia pilih. Tidak ada otonomi dan perayaan tubuh ketika masih ada kontrol didalamnya. "Singkatnya: tubuh saya, aturan saya. Perempuan lain tidak bisa mentitah apa yang 'benar' untuk saya," seperti yang dikatakan oleh Nina Hartley, seorang feminis dan eks aktris video porno.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar