Rabu, 01 Agustus 2012
Sajak yang Tersangkut di Aspal Jalan
Aku tahu bahwa tak bisa melawan angin kemarau
yang kau bawa bersama remah-remah petang.
Karena itulah tuhan-tuhanmu menitahkan airmata,
untuk kita berbagi lapuk dan dingin,
sebelum matahari tahu dimana lagi akan terbit,
sebelum hari-hari tahu dimana lagi akan melahirkan insiden,
walau lusa belum tentu ada, bahkan sekumpulan siang
yang kembali mendurhakai janji-janjinya pada hujan yang berlapis.
Kau tahu bahwa tak bisa menuntunku
jauh lebih dalam ke arus utama yang lama kau bangun.
Karena disinilah pembantahan dan penyangkalan bersemayam.
Sebelum puisi-puisi berperilaku berantakan.
Sebelum bait antiprosa menghilang beberapa bayang.
“Lekaslah, lekaslah!”
Mereka berteriak-teriak.
“Jalan-jalan beranjak masai.”
Huru-hara, hura-hura.
Menjelang isu pencabutan subsidi bahan bakar minyak, Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ada kontradiksi yang terjadi ketika
BalasHapus"Aku tahu tak bisa melawan angin kemarau" yang nyaris nihil bertemu dengan "aku" yang menolak untuk mengikuti arus.
kenihilan tersebut menjadi mentah ketika ada sedikit pemberontakan, meskipun pada hal yang sama. namun, ada dua sikap yang yang sangat berbeda. penghayatan terhadap kenilihan vs harapan yang meskipun berprilaku berantakan namun membawa pada kenyataan, penyair tidak terburu-buru untuk menjadi nihil.
salam santun