Menelusuri sejarah flanel hampir sama sulitnya dengan mencarinya di
bursa pakaian bekas. Hampir setiap artikel yang saya jumpai
mengeratkannya dengan grunge movement yang melanda di era 90-an.
Lagi-lagi Nirvana dan gerombolannya dianggap sebagai pemicu mewabahnya
tren penggunaan kemeja tebal bermotif kotak-kotak ini.
Bagi
sebagian orang, flanel alias felt, ditaksir merupakan jenis kain tertua
dalam sejarah manusia. Ini ditandai dengan penemuan bekas-bekas kain
serupa flanel yang diketemukan di Turki dan ditaksir berasal dari tahun
6.500 SM. Hal serupa juga ditemukan di sebuah makam di Siberia dalam
kondisi telah diawetkan dan diperkirakan berasal dari tahun 600 M.
Meskipun begitu, asal muasal penggunaan flanel zaman semi modern
hingga saat ini masih menjadi bahan pertanyaan, tapi disinyalir pertama
kali digunakan di Wales dan Inggris barat daya pada abad ke-16--yang
menyebutnya flannelette. Para petani bangsa Welsh di dataran
Inggris diketahui mulai mengenakan kain berbahan flanel yang cukup
tebal karena terbuat dari serat wol tanpa ditenun untuk melindungi diri
mereka dari reranting pepohonan dan karang. Tidak hanya itu, tapi kala
itu bahan flanel juga digunakan untuk keperluan lain semisal karpet di
ruangan kaum bangsawan, topi berkuda, syal, alas tidur dan selimut.
Lalu kain flanel mulai menyeruak dari kepulauan Inggris dan menyebar ke
pelbagai daratan Eropa lainnya seperti Perancis pada abad ke-17 dengan
sebutan flanelle, dan Jerman di abad ke-18 dengan menyebutnya Flannell.
Iklim empat musim dan ketersediaan bahan baku wol yang melimpah di
Eropa menjadikan flanel sebagai salah satu bahan pakaian alternatif
ketika cuaca dingin mendera.
Seiring dengan Revolusi
Industri, di abad ke-18 produksi flanel yang mulanya hanya diproduksi
secara rumahan dan tradisional akhirnya mulai menjadi produk pabrikasi.
Ia mulai dicetak secara massal, tentu saja ketika permintaan akan
flanel semakin meningkat. Karena perhitungan ekonomis, bahan baku wol
yang dinilai mahal ditambah atau digantikan dengan serat kapas dan
sutera serta beberapa serat sintetis. Perusahaan Carhartt yang bergerak
di industri garmen asal Michigan, Amerika Serikat, milik Hamilton
Carhartt di tahun 1889 mengklaim sebagai penemu pertama kemeja berbahan
baku flanel termasuk motif kotak-kotak yang terinspirasi oleh Kilt atau
pakaian tradisional Skotlandia, walau tidak semua yang bermotif
kotak-kotak itu adalah flanel demikian pula sebaliknya. Semuanya
diawali dengan order pertama Hamilton Carhartt untuk memenuhi kebutuhan
seragam para pekerja kereta api Amerika yang tahan di segala medan,
nyaman namun tetap trendi.
Di awal abad ke-20 produksi
flanel khususnya untuk pakaian mulai disesuaikan dengan beberapa musim
selain musim dingin. Beberapa diantaranya dirancang untuk di cuaca
hangat yakni dengan memaksimalkan pencampuran katun dan sutera serta
kapas sehingga kemeja flanel menjadi lebih ringan. Di abad yang sama,
ketika flanel masuk ke Amerika Utara, flanel--terutama dengan motif
kotak-kotak, diidentikkan dengan orang-orang udik, para pekerja kerah
biru, terutama petani, penggembala, pekerja tambang, penebang pohon,
dan mereka yang bekerja di luar ruangan. Daya tahan bahannya,
kemudahannya untuk dicuci serta juga kehangatannya, sangat ideal
sehingga memungkinkan mereka bebas bergerak dan bekerja berlama-lama di
bawah suhu yang dingin. Sejak itu, para penebang pohon disimbolkan
dengan sepasang sepatu boots dan flanel.
Ketika Perang Dunia I melanda, flanel digunakan sebagai bahan
alternatif pengganti perban di rumah sakit-rumah sakit dan perlengkapan
tentara termasuk untuk seragam dan selimut selama di medan pertempuran.
Depresi ekonomi besar-besaran pasca perang yang melanda Eropa
menjadikan pakaian berbahan flanel sebagai pilihan utama karena lebih
murah dan tahan lama bila dibandingkan dengan pakaian katun. Realita
ini membiaskan status sosial yang sebelumnya disimbolkan dengan pola
berpakaian seseorang. Yang mulanya flanel identik dengan kelas bawah,
pada akhirnya menjadi milik seluruh lapisan sosial. Di masa ini pula
flanel diidentikkan dengan kelelaki-lelakian.
Entah
apakah memang berhubungan dengan tempat asalnya di Aberdeen yang
bercuaca dingin dan didominasi oleh para penebang pohon berflanel,
ataukah karena dengan sengaja mengenakan flanel sebagai simbol kelas
bawah, Kurt Cobain dianggap mempopulerkan kembali kemeja flanel
bermotif kotak-kotak di era 90-an. Masa keemasan grunge saat itu
ditandai dengan perubahan pola berpakaian para pemuda subkultur. Tidak
ada lagi jaket kulit yang sempat berjaya oleh kalangan glam rock dan
hair metal. Mereka beramai-ramai mengenakan kombinasi flanel, jeans,
dan boots juga sneakers.
Bagaimana dengan sekarang? Meski
kini beragam produk dan beraneka merk telah mengenakan bahan baku
flanel selain pakaian, setidaknya ada sebuah fenomena karena hampir
dikenakan hanya oleh kalangan subkultur sahaja selama tiga dekade
terakhir. Hebatnya, nyaris tanpa campur tangan periklanan namun menjadi
kostum baru bagi para hipster untuk mengisi budayanya yang kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar