Rabu, 01 Agustus 2012

Kisah Flanel dan Para Penebang Pohon


Menelusuri sejarah flanel hampir sama sulitnya dengan mencarinya di bursa pakaian bekas. Hampir setiap artikel yang saya jumpai mengeratkannya dengan grunge movement yang melanda di era 90-an. Lagi-lagi Nirvana dan gerombolannya dianggap sebagai pemicu mewabahnya tren penggunaan kemeja tebal bermotif kotak-kotak ini.

Bagi sebagian orang, flanel alias felt, ditaksir merupakan jenis kain tertua dalam sejarah manusia. Ini ditandai dengan penemuan bekas-bekas kain serupa flanel yang diketemukan di Turki dan ditaksir berasal dari tahun 6.500 SM. Hal serupa juga ditemukan di sebuah makam di Siberia dalam kondisi telah diawetkan dan diperkirakan berasal dari tahun 600 M. Meskipun begitu, asal muasal penggunaan flanel  zaman semi modern hingga saat ini masih menjadi bahan pertanyaan, tapi disinyalir pertama kali digunakan di Wales dan Inggris barat daya pada abad ke-16--yang menyebutnya flannelette. Para petani bangsa Welsh di dataran Inggris diketahui mulai mengenakan kain berbahan flanel yang cukup tebal karena terbuat dari serat wol tanpa ditenun untuk melindungi diri mereka dari reranting pepohonan dan karang. Tidak hanya itu, tapi kala itu bahan flanel juga digunakan untuk keperluan lain semisal karpet di ruangan kaum bangsawan, topi berkuda, syal, alas tidur dan selimut. Lalu kain flanel mulai menyeruak dari kepulauan Inggris dan menyebar ke pelbagai daratan Eropa lainnya seperti Perancis pada abad ke-17 dengan sebutan flanelle, dan Jerman di abad ke-18 dengan menyebutnya Flannell. Iklim empat musim dan ketersediaan bahan baku wol yang melimpah di Eropa menjadikan flanel sebagai salah satu bahan pakaian alternatif ketika cuaca dingin mendera.

Seiring dengan Revolusi Industri, di abad ke-18 produksi flanel yang mulanya hanya diproduksi secara rumahan dan tradisional akhirnya mulai menjadi produk pabrikasi. Ia mulai dicetak secara massal, tentu saja ketika permintaan akan flanel semakin meningkat. Karena perhitungan ekonomis, bahan baku wol yang dinilai mahal ditambah atau digantikan dengan serat kapas dan sutera serta beberapa serat sintetis. Perusahaan Carhartt yang bergerak di industri garmen asal Michigan, Amerika Serikat, milik Hamilton Carhartt di tahun 1889 mengklaim sebagai penemu pertama kemeja berbahan baku flanel termasuk motif kotak-kotak yang terinspirasi oleh Kilt atau pakaian tradisional Skotlandia, walau tidak semua yang bermotif kotak-kotak itu adalah flanel demikian pula sebaliknya. Semuanya diawali dengan order pertama Hamilton Carhartt untuk memenuhi kebutuhan seragam para pekerja kereta api Amerika yang tahan di segala medan, nyaman namun tetap trendi.

Di awal abad ke-20 produksi flanel khususnya untuk pakaian mulai disesuaikan dengan beberapa musim selain musim dingin. Beberapa diantaranya dirancang untuk di cuaca hangat yakni dengan memaksimalkan pencampuran katun dan sutera serta kapas sehingga kemeja flanel menjadi lebih ringan. Di abad yang sama, ketika flanel masuk ke Amerika Utara, flanel--terutama dengan motif kotak-kotak, diidentikkan dengan orang-orang udik, para pekerja kerah biru, terutama petani, penggembala, pekerja tambang, penebang pohon, dan mereka yang bekerja di luar ruangan. Daya tahan bahannya, kemudahannya untuk dicuci serta juga kehangatannya, sangat ideal sehingga memungkinkan mereka bebas bergerak dan bekerja berlama-lama di bawah suhu yang dingin. Sejak itu, para penebang pohon disimbolkan dengan sepasang sepatu boots dan flanel.



Ketika Perang Dunia I melanda, flanel digunakan sebagai bahan alternatif pengganti perban di rumah sakit-rumah sakit dan perlengkapan tentara termasuk untuk seragam dan selimut selama di medan pertempuran. Depresi ekonomi besar-besaran pasca perang yang melanda Eropa menjadikan pakaian berbahan flanel sebagai pilihan utama karena lebih murah dan tahan lama bila dibandingkan dengan pakaian katun. Realita ini membiaskan status sosial yang sebelumnya disimbolkan dengan pola berpakaian seseorang. Yang mulanya flanel identik dengan kelas bawah, pada akhirnya menjadi milik seluruh lapisan sosial. Di masa ini pula flanel diidentikkan dengan kelelaki-lelakian.

Entah apakah memang berhubungan dengan tempat asalnya di Aberdeen yang bercuaca dingin dan didominasi oleh para penebang pohon berflanel, ataukah karena dengan sengaja mengenakan flanel sebagai simbol kelas bawah, Kurt Cobain dianggap mempopulerkan kembali kemeja flanel bermotif kotak-kotak di era 90-an. Masa keemasan grunge saat itu ditandai dengan perubahan pola berpakaian para pemuda subkultur. Tidak ada lagi jaket kulit yang sempat berjaya oleh kalangan glam rock dan hair metal. Mereka beramai-ramai mengenakan kombinasi flanel, jeans, dan boots juga sneakers.

Bagaimana dengan sekarang? Meski kini beragam produk dan beraneka merk telah mengenakan bahan baku flanel selain pakaian, setidaknya ada sebuah fenomena karena hampir dikenakan hanya oleh kalangan subkultur sahaja selama tiga dekade terakhir. Hebatnya, nyaris tanpa campur tangan periklanan namun menjadi kostum baru bagi para hipster untuk mengisi budayanya yang kosong.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar