
Seorang
perempuan yang belum betul-betul tua dan sangat jauh bila disebut muda,
berdiri membatu bersama jijik yang meringkuk di kedalaman hati
pesaing-pesaing mudanya. Setengah mati dia pasang posisi payudaranya
semenarik mungkin. Tua tetaplah tua. Bila kau dalam kemiskinan akut,
kau akan sadar betul bahwa kecantikan adalah kebohongan besar. Dia
sungguh ingin keberadaannya dapat diindera. Oleh Jenderal-jenderal yang
taat pada sejarah mungkin, atau bankir yang terlalu lelah dan mulai
muak mencari nasabah, atau pemuda penuh gagasan yang terabaikan
cintanya oleh seni yang rumit.
Ia bertopang dengan satu
kaki, ketika pegal dan ribuan semut menjalari kakinya, patung itu
mengganti pola berdiri dengan bertopang pada kaki lainnya. Ia sudah
terlalu jauh keluar dari konseptual masa muda seorang gadis dua puluh
lima tahun yang lalu. Sang gadis keluar dengan sangat payah dari
norma-norma desa pramodern dengan bermimpi banyak. Kekasih tercinta
membawanya ke petaka para gadis perawan ciptaan kerajaan norma. Lalu
melenyap bersama cinta yang ditinggalkan membusuk dengan sebab dan
sembab.
Kala itu sang kekasih bernada dengan gusar,
“Aku memilih untuk tidak hidup denganmu lebih lama lagi.”
Si gadis yang tidak peduli akan hak dan pilihan tergerus lumat-lumat.
“Aku ingin mencintai seperti halnya orang ingin menangis.”
Sang
kekasih senyap. Bergegas dengan sangat. Selanjutnya si gadis hidup
dalam kesengsaraan pikiran dan apa yang selanjutnya kau sebut batin.
Tapi
itu dua puluh lima tahun yang lalu. Kini penantian demi penantian dia
hadapi sebetapa beratnya itu, sama halnya ketika kau pasrahkan dirimu
pada harapan. Seperti hari di ujung kota ini yang dipenuhi banyak
laki-laki dengan sekarung tujuan.
"Sial, bagaimana mungkin tak satupun lalat yang menyinggahi bangkai tua bermaskara ini?"
Perempuan
itu mengutuk dirinya dengan membabi buta. Hari ini berbeda. Lebih
membosankan dari sebelum-sebelumnya. Dia mulai menceramahi dirinya
tentang kebosanan rutinitas menunggu yang tak kunjung menjelang. Dia
membentak-bentaki falsafah umur dan kecantikan dan ritual persaingannya
dengan para pelacur muda yang terus saja berdatangan ke kota ini. Suatu
firasat menyakiti dadanya. Mencoba mengandaikan surga. Andaikan sayap-sayapku tak mengkerut di hajar usia.
Angin-angin
malam menjadi lebih dingin dari malam-malam milik dunia yang pernah
ada. Bulan dan meteor menerangi wajahnya dengan waspada, wajah menor
itu. Keragu-raguan bangunan pelabuhan menjadi dewan juri pada pesakitan
yang satu ini. Dia berjalan sempoyongan oleh lampu-lampu kota dan aneka
kembang api yang meletus di langit prahara. Perutnya semual gunung
berapi. Ditelusurinya keriuhan dengan semangat yang tersisa menuju
sarang persembunyiannya untuk melepaskan tubuh yang dibalut oleh
keindahan temporer ini. Katakpun enggan melirik siluetnya yang lenyap
di ombak yang bergulung. Tidak ada yang menyadari arti dari tawa
panjang yang meledak sejadi-jadinya dari seorang pelacur tua yang
berharap dapat menantang siapapun bahagia saat ini, esok dan lusa. Dan
dunia raya terus berputar dengan sendirinya. Tak ada pertukaran. Tak
ada yang gratis. Bahkan untuk cinta dan penderitaan.
Pasca dari perjumpaan dengan tawa berisi umpatan dari pelacur tua di penghujung pergantian tahun 2009-2010, yang mengutuk pembangunan klab malam papan atas di Kota Palembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar