Rabu, 01 Agustus 2012

Merak Berjubah Peluru

           Cahaya bulan berpendar dan lampu jalan saling hiruk pikuk di pelabuhan ujung kota bersama balon-balon gas, akrobatik, gula-gula, komedi putar. Berpasang muda-mudi cekikikan setengah mabuk mariyuana dan sisanya mabuk asmara berbalut birahi. Saling berangkulan. Si laki-laki senantiasa mencari-cari celah untuk dapat meraba lebih dalam. Anak-anak menyerbu arena ketangkasan menghindari orang tua-orang tua mereka yang taat keteraturan. Sejak kapan para orang tua ini menjadi tertib mereka sendiri tidak tahu. Mereka juga dulu kanak-kanak yang menggemari hal-hal seru biru. Bling-bling kota  yang selama ini berkejaran dengan napas pemburu kebahagiaan menggiring ras manusia masuk semakin dalam ke pelosok keterasingan satu sama lain. Dan parade ini tetaplah kejanggalan yang khas metropolitan. Terkumpul tanpa saling menyapa. Terpisah-pisah secara utuh. Di sini hari-hari berputar sendiri. Hanya beberapa komitmen diantaranya yang membuat pasangan muda-mudi dan para orangtua dan anak-anaknya itu saling terikat, termasuk pulalah para penjual dan pembeli. Terkucil dalam daya beli yang menggilakan para penggemar belanja.



          Seorang perempuan yang belum betul-betul tua dan sangat jauh bila disebut muda, berdiri membatu bersama jijik yang meringkuk di kedalaman hati pesaing-pesaing mudanya. Setengah mati dia pasang posisi payudaranya semenarik mungkin. Tua tetaplah tua. Bila kau dalam kemiskinan akut, kau akan sadar betul bahwa kecantikan adalah kebohongan besar. Dia sungguh ingin keberadaannya dapat diindera. Oleh Jenderal-jenderal yang taat pada sejarah mungkin, atau bankir yang terlalu lelah dan mulai muak mencari nasabah, atau pemuda penuh gagasan yang terabaikan cintanya oleh seni yang rumit.

          Ia bertopang dengan satu kaki, ketika pegal dan ribuan semut menjalari kakinya, patung itu mengganti pola berdiri dengan bertopang pada kaki lainnya. Ia sudah terlalu jauh keluar dari konseptual masa muda seorang gadis dua puluh lima tahun yang lalu. Sang gadis keluar dengan sangat payah dari norma-norma desa pramodern dengan bermimpi banyak. Kekasih tercinta membawanya ke petaka para gadis perawan ciptaan kerajaan norma. Lalu melenyap bersama cinta yang ditinggalkan membusuk dengan sebab dan sembab.
Kala itu sang kekasih bernada dengan gusar,
“Aku memilih untuk tidak hidup denganmu lebih lama lagi.”
Si gadis yang tidak peduli akan hak dan pilihan tergerus lumat-lumat.
“Aku ingin mencintai seperti halnya orang ingin menangis.”
Sang kekasih senyap. Bergegas dengan sangat. Selanjutnya si gadis hidup dalam kesengsaraan pikiran dan apa yang selanjutnya kau sebut batin.
Tapi itu dua puluh lima tahun yang lalu. Kini penantian demi penantian dia hadapi sebetapa beratnya itu, sama halnya ketika kau pasrahkan dirimu pada harapan. Seperti hari di ujung kota ini yang dipenuhi banyak laki-laki dengan sekarung tujuan.

"Sial, bagaimana mungkin tak satupun lalat yang menyinggahi bangkai tua bermaskara ini?"
Perempuan itu mengutuk dirinya dengan membabi buta. Hari ini berbeda. Lebih membosankan dari sebelum-sebelumnya. Dia mulai menceramahi dirinya tentang kebosanan rutinitas menunggu yang tak kunjung menjelang. Dia membentak-bentaki falsafah umur dan kecantikan dan ritual persaingannya dengan para pelacur muda yang terus saja berdatangan ke kota ini. Suatu firasat menyakiti dadanya. Mencoba mengandaikan surga. Andaikan sayap-sayapku tak mengkerut di hajar usia.

          Angin-angin malam menjadi lebih dingin dari malam-malam milik dunia yang pernah ada. Bulan dan meteor menerangi wajahnya dengan waspada, wajah menor itu. Keragu-raguan bangunan pelabuhan menjadi dewan juri pada pesakitan yang satu ini. Dia berjalan sempoyongan oleh lampu-lampu kota dan aneka kembang api yang meletus di langit prahara. Perutnya semual gunung berapi. Ditelusurinya keriuhan dengan semangat yang tersisa menuju sarang persembunyiannya untuk melepaskan tubuh yang dibalut oleh keindahan temporer ini. Katakpun enggan melirik siluetnya yang lenyap di ombak yang bergulung. Tidak ada yang menyadari arti dari tawa panjang yang meledak sejadi-jadinya dari seorang pelacur tua yang berharap dapat menantang siapapun  bahagia saat ini, esok dan lusa. Dan dunia raya terus berputar dengan sendirinya. Tak ada pertukaran. Tak ada yang gratis. Bahkan untuk cinta dan penderitaan.


Pasca dari perjumpaan dengan tawa berisi umpatan dari pelacur tua di penghujung pergantian tahun 2009-2010, yang mengutuk pembangunan klab malam papan atas di Kota Palembang.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar