potongan-potongan kecil
lautan yang terombang ambing
dalam disorientasi keruangan. Rasa
hangat yang diberikan oleh sore kali ini
mendudukkanku sebagai pesakitan di dalam
realitas tanpa dekor. Aku menatapnya lebih lama
lagi. Dia menunduk tanpa ampun. Menangisi sesal,
mensesali tangis. Rupanya kabar yang berhembus bersama
langit senja yang gemetaran, membuat kesedihan kembali membanjir
di ruangan keluarga ini. Hujan mensabda semua irisan. Alam melepaskan
muak yang sejadi-jadinya. Tanah-tanah bergelombang. Abu menimbun separuh Jawa bersama datangnya spanduk-spanduk sponsor pemberi hadiah atas kemarahan alam. Para pembesar negeri datang dengan safari dan senyum dipenghujung bibir
serta lalat-lalat yang menyembul lalu terbang dari mata-mati para
derita yang terkubur lumpur. Papan-papan bunga dukacita
dan iklan-iklan baris televisi bertempelan penuh warna.
Satu hari. Satu minggu. Sebulan. Rumah-rumah kayu
kembali ke kayu. Jasad-jasad kembali ke tanah.
Jibaku kotak-kotak amal asli dan palsu
kembali digulung. Armada-armada
berita kembali ditarik ke kantor-kantor.
Lalu kesenyapan datang dengan
genggaman. Gemuruh itu
berpindah. Jejaknya tak
terlacak. Air matamu
mengalir sederas
leleran lava, tak
terbendung,
seperti lumpur
Porong
Sido
ar
j
o
** Antara letusan Gunung Merapi dan lautan LSM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar