Kamis, 02 Agustus 2012

Saturday Channel


"Kontrak rekaman label besar tidak lantas menjadikanmu seorang bintang.
Dirimulah yang mewujudkannya."--Lady Gaga


Musik disinyalir sudah ada sejak zaman manusia mulai mengenali kepercayaan-kepercayaan. Penemuan alat musik serupa flute di Jerman Selatan menjadi salah satu buktinya. Selain menggunakan siulan, dendang, tepukan-tepukan dengan menggunakan bagian tubuh, kayu-kayu berongga, tulang burung dan gading gajah purba, menjadi instrumen pengiring puji-pujian kepada sosok yang mereka yakini sebagai tuhan, dan disenandungkan dalam gubahan nada yang pada akhirnya diseragamkan. Demikian kiranya keseragaman ini digunakan di masa reformasi gereja abad pertengahan demi keteraturan umat. Seiring dengan terjadinya reformasi budaya dan penemuan-penemuan di pelbagai bidang, pada akhirnya musik berkembang melintasi berbagai zaman.

Sejak musik menjadi penafsir dan tumpahan emosional manusia yang juga mempengaruhi mental sekira obat penawar kepedihan dan sukacita, saat itu pula musik mulai disusun berdasar estetika. Untuk mengiringi keriangan panen raya dipilihlah musik yang meriah, untuk menghibur hati raja yang terluka dipilihkan musik yang sendu, lalu digunakan sebagai media terapi kejiwaan penyakit mental, pemikat kekasih, dan belakangan konon sebagai perantara penumbuh kecerdasan jabang bayi dalam perut emaknya.

Dulu kala, di masa-masa kerajaan nusantara, gamelan menjadi alat musik penghibur istana. Alat musik satu ini sudah ada pra masuknya pengaruh Hindu- Buddha. Tak berapa lama, dua negeri besar tumbuh di Asia. Cina dan India, yang tingkat peradabannya cenderung tinggi kala itu, merapat ke Indonesia yang notabene memiliki jalur perdagangan laut strategis Selat Malaka. Selat ini menjadi tempat favorit untuk bersandarnya kapal-kapal dagang dan berjumpanya para pedagang yang juga datang dari Arab dan Persia. Tidak hanya pedagang, namun juga para pelarian perang besar antar golongan dalam masyarakat yang terjadi masa itu di India.

Kedatangan bangsa-bangsa ini mempengaruhi banyak hal bagi masyarakat nusantara pada saat itu. Sebagian dari mereka tidak lagi menganut animisme dan dinamisme tapi menganut ajaran Hindu, sistem kerajaan-kerajaan dibenahi hingga muncul kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya. Tidak hanya reformasi dalam bidang politik dan kepercayaan, namun juga bahasa, sastra, termasuk pula seni musik. Demikian pula ketika ajaran-ajaran lain masuk, Islam melalui bangsa Arab dan Kristen bersama bangsa Eropa. Sejak datangnya bangsa-bangsa ini beserta kebudayaannya masing-masing hingga kolonialisme menjejakkan kaki di Indonesia, terjadi perkembangan yang signifikan di dunia kesenian Indonesia. Ini ditandai dengan berkembangnya alat-alat dan aliran-aliran musik, seperti gamelan dengan versi baru, gambus, rebana, hingga keroncong.

Revolusi musik modern yang terjadi di negeri Barat turut mempengaruhi peta musi di tanah air. Termasuk ketika gitar listrik diperkenalkan di tahun 1930-an dan ketika agen-agen kebudayaan pop dan rock 'n roll melanda Amerika dan Eropa yang diwakili oleh sederet nama semacam Frank Sinatra, Elvis Priesley, dan The Beatles, yang menjadi ikon musik populer. Pengaruh ini didatangkan ke Indonesia bersama cakram piringan hitam di kalangan tertentu. Masuknya televisi di Indonesia kemudian menjadi salah satu corong penyampai musik gaya baru ini.

Di awal abad ke-18 para pemusik Barat didukung penuh oleh gereja dan aristokrat. Belum ada yang namanya komersialisasi musik. Lalu setelahnya, Mozart dan kawan-kawan mulai mencari peluang komersial untuk memasarkan musik dan pertunjukan mereka kepada masyarakat umum.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mulai lahir label-label kecil yang mengambil keuntungan tidak hanya dari penjualan tiket semata. Piringan hitam menjadi sumber keuntungan baru dengan merekam konser langsung para musisi lalu memperbanyak dan menjualnya ke khalayak dengan jumlah yang masih terbatas. Beberapa nama menjadi pemain dalam bisnis baru ini; The Gramophone Company, Columbia Records, Victor Talking Machine Company dan lainnya yang beberapa waktu kemudian juag melahirkan industri baru sekelas Universal Music Group, Sony Music Entertainment, Warner Music Group dan EMI Group.

Industri rekaman yang kini kita kenal dengan terminologi major label ini sama halnya dengan perusahaan dagang lainnya. Mereka mengatur segala tetek bengek yang bersangkutan dengan pemasaran rekaman, memikirkan distribusinya, menyusun formula promosinya. Tentu saja, pemusik di situ cuma terandai barang dagangan. Mereka harus berdaya jual yang mesti melalui serangkai seleksi ketat pula dalam proses rekrutmen, meskipun sudah tentu nantinya harus menuruti tata cara yang diberlakukan oleh perusahaan, itu pun masih melewati proses sensor yang jangan pernah terbayang akan selonggar keinginan kita.

Pada akhirnya, label independen lah yang menjadi perbincangan kita. Ketatnya aturan tersebut yang bermuara pada keinginan band-band penolak kompetisi untuk mengurus sendiri albumnya. Bisa jadi juga mulanya mereka adalah barisan musisi-musisi yang patah hati karena demonya tak kunjung mendapat sambutan dari perusahaan rekaman atau bisa juga ini sekedar batu loncatan dengan harapan nanti pada finalnya mendapat perhatian dari perusahaan rekaman. Maka dipilihlah jalan independen. Urus-mengurus rekaman bisa disamakan sejak mulai proses produksi; memilih studio rekaman yang mumpuni, memilah jenis sound sesuai keinginan, memikirkan titik-titik distribusi, mau dijual atau digratiskan, merancang sampul album, berformat CD ataupun digital, menggarap poster publikasi serta metode promosi lainnya, menggelar konser peluncuran album, dan mengatur sendiri jadwal pertunjukkan. Apapun alasannya, di titik ini kemandirian menang telak.

Internet patut mendapat pujian rasa terima kasih bagi para musisi independen yang ingin menyebar kabar dan rekaman mereka hingga ke seluruh dunia. Biaya produksi dan distribusi bisa ditekan amat jauh. Dan pembajakan yang amat ditakutkan oleh perusahaan rekaman, menjadi siasat yang sangat jitu dan menguntungkan bagi si musisi untuk mengenalkan band dan karya mereka. Semakin banyak orang mengkopi lagu mereka, berarti semakin banyak yang mendengar dan mengenalinya.

Ada kabar baik lagi datang hari ini--di tengah-tengah istilah indie atau independen yang justru menjadi sebuah tren baru bagi para pengejar keuntungan--bahwa event bertajuk "Saturday Channel" menjadi media bagi musisi-musisi independen di Kota Palembang untuk dapat saling menyapa, memberi dan menerima perihal segala informasi yang berkaitan dengan independensi dalam bermusik, yang termasuk didalamnya pengalaman membentuk dan mengelola sendiri sebuah band, mengatur prosesi perekaman album secara mandiri sejak memproduksinya, mempromosikan, mendistribusikan dan strategi-strategi ampuh lainnya. Dan pastinya dengan menghadirkan band-band independen di Kota Palembang untuk berpentas dan berdiskusi; Grey, The ICU, dan [C54].

Hanya ada harapan kecil bagi kami pasca event kali ini, yaitu ada bekal baru untuk menyemangati kembali kemandirian agar tak tumpul dimangsa dunia yang serba instan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar