"Kontrak rekaman label besar tidak lantas menjadikanmu seorang bintang.
Dirimulah yang mewujudkannya."--Lady Gaga

Sejak
musik menjadi penafsir dan tumpahan emosional manusia yang juga
mempengaruhi mental sekira obat penawar kepedihan dan sukacita, saat
itu pula musik mulai disusun berdasar estetika. Untuk mengiringi
keriangan panen raya dipilihlah musik yang meriah, untuk menghibur hati
raja yang terluka dipilihkan musik yang sendu, lalu digunakan sebagai
media terapi kejiwaan penyakit mental, pemikat kekasih, dan belakangan
konon sebagai perantara penumbuh kecerdasan jabang bayi dalam perut
emaknya.
Dulu kala, di masa-masa kerajaan nusantara,
gamelan menjadi alat musik penghibur istana. Alat musik satu ini sudah
ada pra masuknya pengaruh Hindu- Buddha. Tak berapa lama, dua negeri
besar tumbuh di Asia. Cina dan India, yang tingkat peradabannya
cenderung tinggi kala itu, merapat ke Indonesia yang notabene memiliki
jalur perdagangan laut strategis Selat Malaka. Selat ini menjadi tempat
favorit untuk bersandarnya kapal-kapal dagang dan berjumpanya para
pedagang yang juga datang dari Arab dan Persia. Tidak hanya pedagang,
namun juga para pelarian perang besar antar golongan dalam masyarakat
yang terjadi masa itu di India.
Kedatangan bangsa-bangsa
ini mempengaruhi banyak hal bagi masyarakat nusantara pada saat itu.
Sebagian dari mereka tidak lagi menganut animisme dan dinamisme tapi
menganut ajaran Hindu, sistem kerajaan-kerajaan dibenahi hingga muncul
kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya.
Tidak hanya reformasi dalam bidang politik dan kepercayaan, namun juga
bahasa, sastra, termasuk pula seni musik. Demikian pula ketika
ajaran-ajaran lain masuk, Islam melalui bangsa Arab dan Kristen bersama
bangsa Eropa. Sejak datangnya bangsa-bangsa ini beserta kebudayaannya
masing-masing hingga kolonialisme menjejakkan kaki di Indonesia,
terjadi perkembangan yang signifikan di dunia kesenian Indonesia. Ini
ditandai dengan berkembangnya alat-alat dan aliran-aliran musik,
seperti gamelan dengan versi baru, gambus, rebana, hingga keroncong.
Revolusi
musik modern yang terjadi di negeri Barat turut mempengaruhi peta musi
di tanah air. Termasuk ketika gitar listrik diperkenalkan di tahun
1930-an dan ketika agen-agen kebudayaan pop dan rock 'n roll melanda
Amerika dan Eropa yang diwakili oleh sederet nama semacam Frank
Sinatra, Elvis Priesley, dan The Beatles, yang menjadi ikon musik
populer. Pengaruh ini didatangkan ke Indonesia bersama cakram piringan
hitam di kalangan tertentu. Masuknya televisi di Indonesia kemudian
menjadi salah satu corong penyampai musik gaya baru ini.
Di
awal abad ke-18 para pemusik Barat didukung penuh oleh gereja dan
aristokrat. Belum ada yang namanya komersialisasi musik. Lalu
setelahnya, Mozart dan kawan-kawan mulai mencari peluang komersial
untuk memasarkan musik dan pertunjukan mereka kepada masyarakat umum.
Pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mulai lahir label-label kecil
yang mengambil keuntungan tidak hanya dari penjualan tiket semata.
Piringan hitam menjadi sumber keuntungan baru dengan merekam konser
langsung para musisi lalu memperbanyak dan menjualnya ke khalayak
dengan jumlah yang masih terbatas. Beberapa nama menjadi pemain dalam
bisnis baru ini; The Gramophone Company, Columbia Records, Victor
Talking Machine Company dan lainnya yang beberapa waktu kemudian juag
melahirkan industri baru sekelas Universal Music Group, Sony Music
Entertainment, Warner Music Group dan EMI Group.
Industri
rekaman yang kini kita kenal dengan terminologi major label ini sama
halnya dengan perusahaan dagang lainnya. Mereka mengatur segala tetek
bengek yang bersangkutan dengan pemasaran rekaman, memikirkan
distribusinya, menyusun formula promosinya. Tentu saja, pemusik di situ
cuma terandai barang dagangan. Mereka harus berdaya jual yang mesti
melalui serangkai seleksi ketat pula dalam proses rekrutmen, meskipun
sudah tentu nantinya harus menuruti tata cara yang diberlakukan oleh
perusahaan, itu pun masih melewati proses sensor yang jangan pernah
terbayang akan selonggar keinginan kita.
Pada akhirnya,
label independen lah yang menjadi perbincangan kita. Ketatnya aturan
tersebut yang bermuara pada keinginan band-band penolak kompetisi untuk
mengurus sendiri albumnya. Bisa jadi juga mulanya mereka adalah barisan
musisi-musisi yang patah hati karena demonya tak kunjung mendapat
sambutan dari perusahaan rekaman atau bisa juga ini sekedar batu
loncatan dengan harapan nanti pada finalnya mendapat perhatian dari
perusahaan rekaman. Maka dipilihlah jalan independen. Urus-mengurus
rekaman bisa disamakan sejak mulai proses produksi; memilih studio
rekaman yang mumpuni, memilah jenis sound sesuai keinginan, memikirkan
titik-titik distribusi, mau dijual atau digratiskan, merancang sampul
album, berformat CD ataupun digital, menggarap poster publikasi serta
metode promosi lainnya, menggelar konser peluncuran album, dan mengatur
sendiri jadwal pertunjukkan. Apapun alasannya, di titik ini kemandirian
menang telak.
Internet patut mendapat pujian rasa terima
kasih bagi para musisi independen yang ingin menyebar kabar dan rekaman
mereka hingga ke seluruh dunia. Biaya produksi dan distribusi bisa
ditekan amat jauh. Dan pembajakan yang amat ditakutkan oleh perusahaan
rekaman, menjadi siasat yang sangat jitu dan menguntungkan bagi si
musisi untuk mengenalkan band dan karya mereka. Semakin banyak orang
mengkopi lagu mereka, berarti semakin banyak yang mendengar dan
mengenalinya.
Ada kabar baik lagi datang hari ini--di
tengah-tengah istilah indie atau independen yang justru menjadi sebuah
tren baru bagi para pengejar keuntungan--bahwa event bertajuk "Saturday
Channel" menjadi media bagi musisi-musisi independen di Kota Palembang
untuk dapat saling menyapa, memberi dan menerima perihal segala
informasi yang berkaitan dengan independensi dalam bermusik, yang
termasuk didalamnya pengalaman membentuk dan mengelola sendiri sebuah
band, mengatur prosesi perekaman album secara mandiri sejak
memproduksinya, mempromosikan, mendistribusikan dan strategi-strategi
ampuh lainnya. Dan pastinya dengan menghadirkan band-band independen di
Kota Palembang untuk berpentas dan berdiskusi; Grey, The ICU, dan [C54].
Hanya
ada harapan kecil bagi kami pasca event kali ini, yaitu ada bekal baru
untuk menyemangati kembali kemandirian agar tak tumpul dimangsa dunia
yang serba instan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar