Di awal kelahirannya, film menjadi sarana penghibur yang bersusah
payah untuk tidak melepaskan perannya sebagai penyampai informasi.
Terutama ketika film menjadi barang dagangan industri raksasa perfilman
yang lebih menempatkan keuntungan di bangku terdepan para penonton, dan
memposisikan informasi di bangku cadangan. Selera pasar tentu menjadi
tolak ukur yang malah menjadikan film-film tersebut bersifat normatif
dan terkonsep amat membosankan. Kejujuran tutur sebuah film
menjadikannya tidak layak tayang karena berpeluang besar mendatangkan
sepinya penonton.
Lebih dari satu abad silam, atau
tepatnya di tahun 1878, Eadweard James Muybridge seorang fotografer
Inggris yang juga pengelana untuk kali pertama mengenalkan teknik objek
gambar bergerak dengan menggunakan kameranya. Sesungguhnya
gambar-gambar itu tidak nyata-nyata bergerak, hanya saja kecepatan dan
akurasi jepretannya kameranya mampu membuat 16 frame secara berurutan.
Penemuan gambar bergerak inilah yang bisa disebut menginspirasi sebuah
potongan film pertama kali di dunia pada satu dekade setelahnya, yakni
film yang mendekati apa yang kita kenal seperti sekarang. Cuplikan yang
disutradarai oleh Louis Le Prince asal Prancis itu berdurasi 2 detik
dan dinamai "Roundhay Garden Scene". Dan pada 1895, dua bersaudara asal
Perancis yakni Auguste Marie Louis Nicolas dan Louis Jean yang lebih
dikenal sebagai Lumiere bersaudara, mengadakan pemutaran beberapa film
produksi mereka di hadapan publik sebagai pemutaran film pertama di
dunia.
Film merupakan kombinasi dari tiga media utama
yakni yang tidak dapat saling berlepasan yakni kinetograph yang
berfungsi sebagai alat perekam gerak, lalu kinetoscope yang berfungsi
untuk memproyeksikan gerak, dan phonograph yang berdaya merekam suara.
Tahun 1903, sebuah aksi perampokan kereta besar-besaran yang terjadi di
Amerika menginspirasi Thomas Edison untuk menulis film berdurasi dua
belas menit yang dirilis pertama kali di dunia berjudul "The Great
Train Robbery".
Tabir sejarah perfilman Indonesia dibuka
dengan film yang diangkat dari legenda Jawa Barat berjudul "Loetoeng
Kasaroeng" pada tahun 1926, yang meski merupakan hasil karya pembuat
film asal Belanda namun merupakan rilisan komersial pertama yang
melibatkan artis Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, sebuah film
karya Umar Ismail berjudul "Darah dan Doa" pada tahun 1950 menjadi film
pertama yang secara resmi diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional
Indonesia atau Perfini, yang lantas tanggal pertama kali syuting film
ini yakni pada 30 Maret 1950 didaulat sebagai Hari Film Nasional.
Bangku
Merah merupakan sebuah komunitas penggemar film di Kota Palembang yang
selama ini kerap menggarap pemutaran film kecil-kecilan secara kolektif
di beberapa tempat yang dinilai memungkinkan, entah itu pada sebuah
cafe atau rumah salah satu anggotanya, dan berlanjut dengan diskusi
perihal film yang selesai ditonton bersama bagaimanapun muaranya. Nama
Bangku Merah sendiri diambil dari bangku penonton dalam gedung bioskop
yang memang acap berwarna merah. Dan dari maraton nonton bersama ini,
Bangku Merah merangkai sebuah event berskala lebih besar bertajuk
Gambar-Gambar Kehidupan, yang diharap menjadi sebuah momen para pecinta
film di Kota Palembang untuk dapat saling menyapa.
Setali
dengan namanya, event Gambar-Gambar Kehidupan merupakan penayangan
film-film yang bersentuhan dengan kehidupan keseharian kita saat ini.
Tentang pedihnya kehidupan seorang buruh, bagaimana ruang publik
diperuntukkan, bagaimana sistem ekonomi berlaku, serta bagaimana sistem
sosial dan fenomena sosial berjalan. Melalui event ini Bangku Merah
selaku penggagas event yang bekerjasama dengan Dewan Kesenian Sumatera
Selatan (DKSS), mencoba mengembalikan film sebagai media penyampai
informasi dan alat untuk berkomunikasi. Akan ada diskusi setelah
pemutaran beberapa film seperti “Lords of Dogtown”, “Persepolis”, “The
Bang-Bang Club”, “The Story Of Stuff”, “Marsinah” dan “Sanubari
Jakarta” dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar