Salah satu komponen masyarakat yang merasakan langsung kenaikan
harga BBM adalah para pekerja termasuk pekerja industri yang di
Indonesia jumlahnya diperkirakan mencapai 30 juta orang. Karena selain
kebutuhan pokok yang bisa dipastikan naik—dan memang sudah naik
meskipun pemerintah menunda kenaikan harga BBM—ancaman lain datang
dalam perusahaan tempat para pekerja menggantungkan nasib diri dan
keluarganya. Bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan memperkecil
beban dengan melakukan perampingan melalui pemutusan hubungan kerja
(PHK). Meski untuk tahun 2012 pemerintah menaikkan upah minimum
rata-rata secara nasional sebesar 10,27%—sementara biaya hidup akibat
dampak dari kenaikan harga BBM mengalami lonjakan sampai
20-30%—kehidupan kaum pekerja akan lebih memburuk akibat menurunnya
daya beli sebesar 10-20%.
Upah minimum merupakan upah
terendah yang diperuntukkan bagi pekerja lajang dengan masa kerja
kurang dari satu tahun meski pada prakteknya--terutama perusahaan yang
para pekerjanya tidak memiliki serikat didalamnya--banyak perusahaan
yang memberlakukan upah minimum pekerja lajang dan pekerja berumah
tangga dengan jumlah yang sama, bahkan parahnya memberi upah di bawah
upah minimum yang telah ditentukan. Perumusan standar upah minimum
diusulkan oleh dewan pengupahan daerah yang terdiri dari perwakilan
pengusaha, pakar, pemerintah, pengamat, serikat pekerja dan akademisi,
dengan melakukan survei lapangan terhadap 46 komponen kebutuhan hidup
layak (KHL) mencakup kebutuhan pangan, sandang, papan, serta kesehatan,
pendidikan, transportasi, rekreasi hinga tabungan seorang pekerja tiap
bulannya. Usulan dewan oengupahan ini selanjutnya disampaikan kepada
pemerintah daerah setempat, dalam hal ini gubernur dan bupati atau
walikota. Indikator upah minimum provinsi merupakan tingkat inflasi,
pertumbuhan ekonomi, daya beli dan kebutuhan hidup pekerja dan
kemampuan perusahaan di daerah masing-masing.
Belum surut
permasalahan yang akan akan ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM,
masyarakat akan kembali berhadapan dengan kenaikan tarif dasar listrik
(TDL) yang telah dikumandangkan sejak pertengahan tahun 2011 lalu, dan
direncanakan akan naik pada Mei 2012. Pemerintah berkilah bahwa naiknya
TDL sebesar 10% merupakan cara untuk menutupi subsidi listrik yang
turun 20 triliun dibanding 2011. Besaran subsidi listrik di APBN-P 2011
sebesar Rp 65,6 triliun turun menjadi Rp 45 triliun pada APBN 2012.
Asumsi perhitungan subsidi didasarkan dengan nilai tukar dolar sebesar
Rp 8.800, harga minyak mentah sekitar USD 90 per barel, penjualan
listrik sebanyak 173, terawatt hours (TWh), susut jaringan 8,5 persen
dan tercapainya bauran energi. Nyatanya kenaikan TDL ini juga merupakan
imbas dari kenaikan harga BBM mengingat sebagian pembangkit tenaga
listrik masih menggunakan BBM karena tidak tersedianya gas sebagaimana
mestinya, yang disebabkan 55% produksi gas di Indonesia dikuasai oleh
10 korporasi asing yakni Exxon Mobil, Vico, BP, Unocal, Conoco Philips,
Energi, Caltex, Exspan, Premier/Amoseas, Cnooc/YPF/Maxus.
Pemerintah
menyiapkan beberapa opsi kenaikan TDL. Pertama, opsi kenaikan TDL 10
persen bagi semua golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero), kecuali golongan pelanggan 450 VA. Opsi kedua, tarif
golongan pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak naik sampai batas pemakaian
listrik 60 kWh per bulan, karena kedua golongan ini dinilai sebagai
pelanggan kecil berdaya beli rendah sehingga perlu mendapatkan
perlindungan. Sedangkan nyatanya pelanggan listrik berdaya 450 dan 900
VA kini sudah sangat jarang sekali ditemukan terutama di dalam kota
yang rata-rata merupakan pelanggan daya 1.300 VA. Dan meski tidak
mengalami kenaikan TDL, tetap saja pelanggan listrik berdaya 450 dan
900 VA ini akan merasakan dampak turunannya.
Berkaca
dengan kenaikan-kenaikan TDL terdahulu yangmana masih sering terjadi
pemadaman listrik bergilir, kenaikan TDL bukan jaminan perbaikan
kualitas pelayanan yang diberikan oleh Perusahaan Listrik Negara
(PLN)—sebuah BUMN yang mengurusi semua aspek kelistrikan yang ada di
Indonesia—dalam melayani pelanggannya, yang pada kenaikan TDL kali ini
diperkirakan mendapat tambahan revenue (pendapatan) Rp 8,9 triliun.
Apakah
kita yang harus menanggung derita atas kenaikan TDL di balik skenario
liberalisasi listrik seperti yang tertuang dalam Undang-Undang (UU)
Ketenagalistrikan? Sejak disahkannya UU tersebut pada 8 September 2009
lalu, harga listrik yang tadinya didominasi oleh PLN perlahan mulai
diserahkan ke mekanisme pasar secara total. Meski PLN merupakan pemain
tunggal di sektor hilir, adanya liberalisasi listrik memunculkan
perusahaan pembangkit listrik selain PLN, sehingga harga listrik akan
dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan yang bermain di ranah ini.
Sebagian daya listrik PLN dipasok oleh pembangkit-pembangkit swasta
atau Independent Power Producer (IPP), sehingga PLN membeli lebih mahal
daripada harga yang semestinya. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Jawa Tengah yang merupakan pembangkit listrik bertenaga uap terbesar di
Indonesia yang berkapasitas 2x1.000 Megawatt saja kini dikuasai oleh
konsorsium J Power-Itochu-Adaro korporasi asal Jepang.
Bila
kenaikan harga BBM saja sudah begitu menyulitkan masyarakat, tentu saja
kombinasinya dengan kenaikan TDL jauh lebih menyengsarakan. Kebutuhan
tentu tidak meningkat sebesar 30% pasca kenaikan harga BBM, tapi lebih
dari itu. Dan mengingat komponen energi merupakan salah satu komponen
utama dalam produksi yang menentukan harga jual dan daya saing produk
selain biaya bahan baku dan tenaga kerja, maka hampir bisa dipastikan
akan terjadi PHK terhadap para pekerja yang dilakukan demi efisiensi
perusahaan yang sebelumnya didera oleh kenaikan harga BBM.
Meski
pemerintah berencana menunda kenaikan TDL hingga awal 2013 dalam tiga
tahapan, tetap saja ancaman hilangnya sumber nafkah ditengah
kebutuhan-kebutuhan yang melonjak membuat hidup kita dan keluarga layak
untuk diperjuangkan.
*** Selamat merayakan Hari Pekerja Internasional 1 Mei 2012
bersama kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar