Kaos benefit Info House Utopia; Food Not Bombs Palembang, Sangkakalam Publishing, dan Hoax edisi "Nestle, Good Food, Good Lies!". Tersedia dalam ukuran S, M dan L. Informasi lebih komplit silahkan hubungi 0819-58531-1968.
Jumat, 03 Agustus 2012
Kamis, 02 Agustus 2012
Andreas Baader dan Para Bidadari Besi
Didedikasikan bagi para petani Ogan Ilir -Sumsel, Donggala-Sulteng, dan korban yang berjatuhan di seantero Indonesia dalam memperjuangkan hidupnya melawan tirani agraria.
"Kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menjawab kekerasan."--Gudrun Ensslin
![]() |
Markas Korps V di Frankfurt Jerman yang diledakkan geng Baader 11 Mei 1972 |
Beberapa kejadian di atas merupakan serangkaian aksi teror yang
dilakukan oleh Baader-Meinhof, yang di kemudian hari juga dikenal
dengan nama RAF, Rote Armee Fraktion atau Red Army Faction (Fraksi
Tentara Merah). Dalam setiap aksi, mereka menamakannya dengan titel
berbeda; "The Manfred GrashofCommando”,"Commando Fifteenth July”, atau “The 2 July Commando“ dan nama-nama asing lainnya. Inilah taktik gerilya kota berkonsep sel
partisipatoris yang diterapkan oleh kalangan revolusioner Jerman yang
kala itu terinspirasi oleh salah satu induk pedomannya, Carlos
Marighella, seorang pejuang marxis asal Brazil, yang dalam sebuah
bukunya berjudul Minimanual of the Urban Guerrilla (1969)
berkata: “Gerilya kota harus mengikuti tujuan politik, dan hanya
menyerang pemerintah, bisnis besar, dan imperialis asing”. Mereka
mendapat banyak ilmu dari 'sang mentor' yang mengadopsi gerilya desa
Che Guevara menjadi gerilya kota, tentang pelatihan senjata ringan,
trik sabotase, pemilihan tempat persembunyian, langkah pengambilalihan,
serta cara memperoleh dukungan substansial di antara penduduk perkotaan.
***
Semua bermula dari kemarahan seorang anggota partai komunis dan
jurnalis berhaluan kiri, Ulrike Meinhoff atas sikap kalangan pers sayap
kanan yang mendeskreditkan gelombang demonstrasi radikal mahasiswa,
sebagai muara dari protes terhadap pembunuhan salah seorang aktivis
mahasiswa oleh fasis fanatik Jerman Barat. Di sela kemarahannya
tersebut, pada 2 April 1968, seorang berandalan bernama Andreas Baader
berlibat bersama kekasihnya, seorang mahasiswi filsafat Gudrun Ensslin
dalam meledakkan pusat perbelanjaan Kaufhaus Schneider di pusat kota
Frankfurt. Meski tak melukai seorangpun, dua hari kemudian Baader,
Ensslin dan dua temannya, Horst Söhnlein dan Thorwald Proll ditangkap
atas serangan yang mereka daku sebagai balasan atas pembantaian Amerika
Serikat terhadap Vietnam. Mereka divonis tiga tahun penjara namun
dibebaskan sementara di bawah amnesti khusus bagi tahanan politik.
![]() |
Andreas Baader dan Gudrun Ensslin di sela persidangan. |
Ketika pengadilan hendak melimpahkan kembali mereka ke ruang
tahanan, pada November 1969 Baader, Ensslin, dan Thorwald Proll mangkir
dan berhasil melarikan diri, bersembunyi berpindah tempat, ke Swiss,
Perancis dan Italia. Namun Baader yang ternyata belum beruntung kembali
tertangkap satu bulan kemudian di sebuah razia lalu lintas.
Ensslin
tak tahan melihat kekasihnya berada dalam tahanan. Skenario pelarian
Baader Ia rancang dengan meminta bantuan Meinhoff selaku wartawati yang
hendak mewawancara Baader. Udara kebebasan rupanya selalu berpihak pada
Baader. Upaya itu berhasil setelah melumpuhkan dua penjaga bersenjata.
Keterlibatan Ulrike Meinhoff lebih dalam pada grup dimulai disini.
Pasca
aksi penglolosan Baader dari penjara, Meinhoff belajar ilmu militer dan
mengasah mental militansinya dalam sebuah kamp pelatihan militan kiri
Fatah di Yordania selama beberapa waktu, untuk lantas kembali ke Jerman
Barat. Lalu pada tahun 1970, Ulrike Meinhof mengeluarkan manifesto yang
untuk kali pertama menyertakan nama RAF, lengkap dengan logo bintang
merah dan senapan mesin Heckler & Koch MP5. Meinhof mengikrarkan
berdirinya RAF.
Gerilya Kota dan Sel Terorisme
RAF
dibentuk salah satunya dengan tujuan untuk saling melengkapi sejumlah
besar kelompok revolusioner dan radikal di Eropa khususnya Jerman
Barat. Mereka salah sekian dari gerakan-gerakan serupa di Jerman di
masa yang sama. Sebutlah grup anarkis Second Of June Movement alias
Movement 2 June yang terkenal akan aksi pemboman dan termasuk aksi
tersohor penculikan walikota Jerman Barat Peter Lorenz; lalu ada
Revolutionary Cells alias Revolutionäre Zellen (RZ), geng pembajak
pesawat perpaduan elemen kiri radikal, anti patriarki, dan anti zionis,
yang bertanggung jawab atas serangkaian pemboman terhadap pelbagai
infrastruktur antek Israel; dan terakhir adalah Rote Zora alias Red
Zora, kelompok feminis militan yang melakukan serangkaian pemboman pada
toko-toko perlengkapan seks, termasuk peledakan di luar kantor Asosiasi
Dokter Jerman sebagai bentuk protes pada undang-undang aborsi serta
serangan-serangan lain terhadap kantor-kantor korporat.
![]() |
Andreas Baader, pemuda putus sekolah yang gemar mencuri mobil-mobil keren demi menjalankan misi perampokan RAF. |
![]() |
Ulrike Meinhof, jurnalis modis yang kritis, penggemar teori dan berani mati. |
![]() |
Gudrun Ensslin, kekasih Andreas Baader, penerap liberasi seksual. |
Saturday Channel
"Kontrak rekaman label besar tidak lantas menjadikanmu seorang bintang.
Dirimulah yang mewujudkannya."--Lady Gaga

Sejak
musik menjadi penafsir dan tumpahan emosional manusia yang juga
mempengaruhi mental sekira obat penawar kepedihan dan sukacita, saat
itu pula musik mulai disusun berdasar estetika. Untuk mengiringi
keriangan panen raya dipilihlah musik yang meriah, untuk menghibur hati
raja yang terluka dipilihkan musik yang sendu, lalu digunakan sebagai
media terapi kejiwaan penyakit mental, pemikat kekasih, dan belakangan
konon sebagai perantara penumbuh kecerdasan jabang bayi dalam perut
emaknya.
Dulu kala, di masa-masa kerajaan nusantara,
gamelan menjadi alat musik penghibur istana. Alat musik satu ini sudah
ada pra masuknya pengaruh Hindu- Buddha. Tak berapa lama, dua negeri
besar tumbuh di Asia. Cina dan India, yang tingkat peradabannya
cenderung tinggi kala itu, merapat ke Indonesia yang notabene memiliki
jalur perdagangan laut strategis Selat Malaka. Selat ini menjadi tempat
favorit untuk bersandarnya kapal-kapal dagang dan berjumpanya para
pedagang yang juga datang dari Arab dan Persia. Tidak hanya pedagang,
namun juga para pelarian perang besar antar golongan dalam masyarakat
yang terjadi masa itu di India.
Kedatangan bangsa-bangsa
ini mempengaruhi banyak hal bagi masyarakat nusantara pada saat itu.
Sebagian dari mereka tidak lagi menganut animisme dan dinamisme tapi
menganut ajaran Hindu, sistem kerajaan-kerajaan dibenahi hingga muncul
kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya.
Tidak hanya reformasi dalam bidang politik dan kepercayaan, namun juga
bahasa, sastra, termasuk pula seni musik. Demikian pula ketika
ajaran-ajaran lain masuk, Islam melalui bangsa Arab dan Kristen bersama
bangsa Eropa. Sejak datangnya bangsa-bangsa ini beserta kebudayaannya
masing-masing hingga kolonialisme menjejakkan kaki di Indonesia,
terjadi perkembangan yang signifikan di dunia kesenian Indonesia. Ini
ditandai dengan berkembangnya alat-alat dan aliran-aliran musik,
seperti gamelan dengan versi baru, gambus, rebana, hingga keroncong.
Revolusi
musik modern yang terjadi di negeri Barat turut mempengaruhi peta musi
di tanah air. Termasuk ketika gitar listrik diperkenalkan di tahun
1930-an dan ketika agen-agen kebudayaan pop dan rock 'n roll melanda
Amerika dan Eropa yang diwakili oleh sederet nama semacam Frank
Sinatra, Elvis Priesley, dan The Beatles, yang menjadi ikon musik
populer. Pengaruh ini didatangkan ke Indonesia bersama cakram piringan
hitam di kalangan tertentu. Masuknya televisi di Indonesia kemudian
menjadi salah satu corong penyampai musik gaya baru ini.
Di
awal abad ke-18 para pemusik Barat didukung penuh oleh gereja dan
aristokrat. Belum ada yang namanya komersialisasi musik. Lalu
setelahnya, Mozart dan kawan-kawan mulai mencari peluang komersial
untuk memasarkan musik dan pertunjukan mereka kepada masyarakat umum.
Pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mulai lahir label-label kecil
yang mengambil keuntungan tidak hanya dari penjualan tiket semata.
Piringan hitam menjadi sumber keuntungan baru dengan merekam konser
langsung para musisi lalu memperbanyak dan menjualnya ke khalayak
dengan jumlah yang masih terbatas. Beberapa nama menjadi pemain dalam
bisnis baru ini; The Gramophone Company, Columbia Records, Victor
Talking Machine Company dan lainnya yang beberapa waktu kemudian juag
melahirkan industri baru sekelas Universal Music Group, Sony Music
Entertainment, Warner Music Group dan EMI Group.
Industri
rekaman yang kini kita kenal dengan terminologi major label ini sama
halnya dengan perusahaan dagang lainnya. Mereka mengatur segala tetek
bengek yang bersangkutan dengan pemasaran rekaman, memikirkan
distribusinya, menyusun formula promosinya. Tentu saja, pemusik di situ
cuma terandai barang dagangan. Mereka harus berdaya jual yang mesti
melalui serangkai seleksi ketat pula dalam proses rekrutmen, meskipun
sudah tentu nantinya harus menuruti tata cara yang diberlakukan oleh
perusahaan, itu pun masih melewati proses sensor yang jangan pernah
terbayang akan selonggar keinginan kita.
Pada akhirnya,
label independen lah yang menjadi perbincangan kita. Ketatnya aturan
tersebut yang bermuara pada keinginan band-band penolak kompetisi untuk
mengurus sendiri albumnya. Bisa jadi juga mulanya mereka adalah barisan
musisi-musisi yang patah hati karena demonya tak kunjung mendapat
sambutan dari perusahaan rekaman atau bisa juga ini sekedar batu
loncatan dengan harapan nanti pada finalnya mendapat perhatian dari
perusahaan rekaman. Maka dipilihlah jalan independen. Urus-mengurus
rekaman bisa disamakan sejak mulai proses produksi; memilih studio
rekaman yang mumpuni, memilah jenis sound sesuai keinginan, memikirkan
titik-titik distribusi, mau dijual atau digratiskan, merancang sampul
album, berformat CD ataupun digital, menggarap poster publikasi serta
metode promosi lainnya, menggelar konser peluncuran album, dan mengatur
sendiri jadwal pertunjukkan. Apapun alasannya, di titik ini kemandirian
menang telak.
Internet patut mendapat pujian rasa terima
kasih bagi para musisi independen yang ingin menyebar kabar dan rekaman
mereka hingga ke seluruh dunia. Biaya produksi dan distribusi bisa
ditekan amat jauh. Dan pembajakan yang amat ditakutkan oleh perusahaan
rekaman, menjadi siasat yang sangat jitu dan menguntungkan bagi si
musisi untuk mengenalkan band dan karya mereka. Semakin banyak orang
mengkopi lagu mereka, berarti semakin banyak yang mendengar dan
mengenalinya.
Ada kabar baik lagi datang hari ini--di
tengah-tengah istilah indie atau independen yang justru menjadi sebuah
tren baru bagi para pengejar keuntungan--bahwa event bertajuk "Saturday
Channel" menjadi media bagi musisi-musisi independen di Kota Palembang
untuk dapat saling menyapa, memberi dan menerima perihal segala
informasi yang berkaitan dengan independensi dalam bermusik, yang
termasuk didalamnya pengalaman membentuk dan mengelola sendiri sebuah
band, mengatur prosesi perekaman album secara mandiri sejak
memproduksinya, mempromosikan, mendistribusikan dan strategi-strategi
ampuh lainnya. Dan pastinya dengan menghadirkan band-band independen di
Kota Palembang untuk berpentas dan berdiskusi; Grey, The ICU, dan [C54].
Hanya
ada harapan kecil bagi kami pasca event kali ini, yaitu ada bekal baru
untuk menyemangati kembali kemandirian agar tak tumpul dimangsa dunia
yang serba instan.
Stupidzero: Emosi Tanpa Keramaian
Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Jaraknya cuma kisaran 80
kilometer dari Kota Medan. Kota tempat pelukis Pak Tino Sidin berasal
ini, menyimpan sejarah kelam saat meletusnya kerusuhan di tahun 1998
yang menjalar menjadi isu rasial. Ah, semoga saja itu semua cukup
menjadi pembelajaran dan kiranya traumatis sejarah itu dapat terobati
dengan mencicip kelezatan jajanan khas lemang dan kue kacang
rajawalinya.
Tak disangka-sangka, di kota perlintasan
lalu lalang transportasi antar provinsi ini, gemuruh grunge terdengar
hingga kota-kota dan provinsi-provinsi sekitarnya bahkan ke negeri
tetangga, Malaysia. Gejalanya terasa di kisaran 1996. Band-band lokal
sekira Nirvana dan Sonic Youth bermunculan. Stupid Zero menjadi salah
satu yang masih berdiri hingga kini. Mereka terbentuk hampir 15 tahun
yang lalu, atau tepatnya 10 Oktober 1997. Dengan meng-cover lagu-lagu
dari The Need dan varian Seattle Sound, band ini menjelajah panggung di
event-event komunitas underground Sumatera Utara.
Tidak
mudah untuk mempertahankan sebuah band di masa-masa kritis yang melanda
Kota Tebing Tinggi di era-era itu. Senasib dengan band-band lain,
mereka mesti berhadapan dengan penolakan studio-studio musik yang
memasang plakat larangan bagi band punk maupun grunge untuk berlatih di
studio musik kolot ini. Dan ini bukan satu-satunya kendala.
Keterbatasan pengadaan event juga mereka rasakan sebagai imbas dari
mahalnya tarif gedung hingga proses birokrasi yang seperti benang kusut.
Secara
internal, Stupidzero mesti merombak berulang-ulang formasi dalam
tubuhnya hingga menjadi sebuah band yang solid. Format terkini yakni
berempat-- Ivan Tigabelas gitaris sekaligus vokalis, Oyde pemeran
gitaris, Boy pemain bas, Pudja Rahim di posisi gitar, dan Yudhi pemukul
drum--dimulai tahun 2007 silam yang aktif berkarya hingga saat ini.
Ritme perjalanan hidup band ini membawa mereka berproses menuju apa
yang sebagian orang sebut sebagai pendewasaan. Nanti dulu, warna musik
mereka yang kini bernuansa post rock atau experimental bukan berdasar
kehendak pasar. Seperti yang kubilang tadi, bahwa ini meruoakan bagian
dari proses panjang pergelutan mereka melawan kemonotonan. Dan itu
terjawab dengan karya-kerya yang sepintas lalu beraroma shoegaze dan
noise, yang juga akan kau temui kompleksitas pada lirik-liriknya.
Ivan
Tigabelas, sang vokalis sekaligus si penulis lagu yang menggemari
penyair Chairil Anwar, percaya bahwa sebuah lagu akan hambar tanpa
kekuatan lirik didalamnya. Coba kau simak single "Tiga Kali Lebih
Tenang" yang pernah diikutsertakan dalam kompilasi Total Feedback
vol.VI di Jakarta tahun 2011 silam, atau single berjudul “Aku
Tinggalkan Kau di Pintu Terakhir” di kompilasi Grungee Jumping-Noise
Grunge Compilation tahun 2011. Disitulah akan kau lihat betapa lirik
menjadi roh dalam sebuah lagu, dan tentu saja dengan musikalitas yang
tak kalah kualitasnya.
Selain dua kompilasi yang kusebut
di atas, Stupidzero juga melibatkan single "Tiga Kali Lebih Tenang"
versi remix di kompilasi Asal Malaysia, Gerakan Grunge Bangkit di tahun
2011. Lalu tahun 2012, single yang sama juga tergabung dalam kompilasi
Surabaya, Grunge Indonesia yangmana CD-nya dipaketkan dalam buku
pergerakan subkultur grunge di Indonesia bertajuk "Perjalanan Grunge
Indonesia". Setahun setelahnya, yakni 2012, single "Tidak Sedang Sadar"
dilibatkan dalam Maximum Grunge Compilation dari Kota Bandung.
Berlanjut dengan cover single Nirvana "You Know You're Right" dalam
Indonesian Tribute to Nirvana Compilation di Jakarta, dan single
"Experimentalia Menuju Surga" di Malaysia yang kini dalam proses
penyelesaian.
Kesibukan Stupidzero menggarap full album
telah dimulai sejak 2007 lampau, termasuk video klip untuk single
"Tidak Sedang Sadar". Akhirnya, setelah berkonsentrasi cukup lama,
album Anomalia siap rilis di kisaran Agustus tahun ini. Seluruhnya
berisi 12 track segar yang kesemuanya dimatangkan di Chinese Food
Record milik Ivan Tigabelas di Kota Tebing Tinggi, yang juga akan
dirilis oleh dua label nasional yakni The Drexter asal Kota Depok dan
Erassed Record dari Jakarta.
Album dalam format CD
sebanyak 1.000 copy ini sangat berwarna karena bereferensi dengan
band-band semisal Sigur Ros, Radiohead, Mogwai, Nirvana, Sonic Youth,
Sleep Party People, Placebo, Merzbow, Boris, Blgtz, Bjork, The Doors,
dan tentu saja yang tak terlupakan, Chairil Anwar.
Ego dan Alter Ego
Saya baru saja membaca ulang sebuah novel karya Sidney Sheldon yang
berjudul "Tell Me Your Dreams". Novel tersebut berkisah hampir sama
dengan kisah dalam film "Fight Club" yang diperankan oleh Edward Norton
dan Brad Pitt. Masih ingat film ini? Betul sekali. Film keren dan
cerdas ini mengangkat kisah dua kepribadian yang terangkum dalam satu
tubuh. Tokoh sekaligus narator tak bernama yang diperankan oleh Norton,
mengenal Tyler Durden sebagai seorang teman tanpa Ia sadari bahwa
Durden merupakan bagian dari dirinya. Dalam dunia nyata, hal yang
serupa dengan apa yang dialami tokoh dalam film di atas dinamai
gangguan kepribadian ganda atau multiple personality disorder, lalu demi alasan kenyamanan belakangan diberi nama gangguan identitas disosiatif atau dissociative identity disorder.
Diberi
nama "gangguan" karena memang pada umumnya para pengidapnya merasa
terganggu dengan adanya kepribadian lain atau alter ego yang merebut
kendali perilaku dalam dirinya. Dalam kasus film di atas, "pemilik asli
tubuh" tidak menyadari bahwa alter ego tersebut adalah bagian dari
dirinya, meskipun kepribadian yang lain menyadari hal itu. Dalam
kasus-kasus kepribadian ganda, tidak selamanya ego mengenal alter ego
sebagai teman khayalan, teman nyata atau orang-orang lain, tapi
terdapat banyak kasus yangmana si ego tidak menyadari bahwa dirinya
telah dikuasai oleh alter ego-alter ego itu.
Sangat
mungkin kepribadian ganda sudah ada sejak zaman manusia baru mengenal
peradaban. Disinyalir di masa itu para pengidapnya dikaitkan dengan
orang yang kerasukan roh-roh halus. Sayangnya tidak ada
pencatatan-pencatatan untuk membuktikan hal ini. Lalu di tahun 1815,
kasus serupa gangguan kepribadian ganda terdiagnosa pada Mary Reynolds
sebagai kasus pertama kali yang tercatat di Amerika. Tidak ada yang
berani menyimpulkan hal apa yang menimpa Mary Reynolds sampai pada
akhirnya kasus Sybil Isabel Dorset mencuat di tahun 1973.
Sybil
Isabel Dorset yang bernama asli Shirley Ardell Mason di diagnosa
mempunya banyak kepribadian. Bermula dari kegelisahannya terhadap
beberapa kejadian hariannya yang tidak Ia ingat sama sekali, maka Sybil
berinisiatif mengunjungi Dr. Cornelia B. Wilbur, seorang psikiater di
kotanya. Hasil diagnosa Wilbur, mengungkap bahwa Sybil memiliki enam
belas kepribadian yang berbeda watak, nama, usia dan jenis kelamin.
Masing-masing
alter ego saling berhubungan dan menjaga satu sama lain bahkan saling
berbagi peran dengan kemampuan yang berbeda-beda. Alter ego yang pandai
secara ekonomi akan berperan mengatur sistem keuangan Sybil, alter ego
yang pandai berkomunikasi akan ada ketika dirinya berhadapan dengan
orang-orang lain. Tiap-tiap alter memiliki karakter yang juga berbeda.
Seperti alter ego bernama Sid Vicious yang mewakili karakter dalam
dirinya yang bengal, atau karakter ibu kandung Sybil yang perannya
untuk menjaga kerukunan semua kepribadian yang ada. Dalam kasus-kasus
serupa, terdapat alter ego-alter ego yang berbeda ras, agama, jenis
kelamin, dan gaya bicara. Bagaimana mungkin belasan bahkan ratusan
kepribadian berkumpul dalam satu tubuh?
Analisis beberapa
ahli mentalis menyatakan bahwa pemicu utama kepribadian ganda ini
adalah trauma mental pada saat si pengidap berusia kanak-kanak. Usia
pra remaja merupakan masa yang sangat berpotensi untuk itu, mengingat
pada usia ini mental manusia cenderung rapuh. Sederhananya begini,
ketika seorang anak kecil mengalami kekerasan baik fisik ataupun
mental, menjadi "diri" orang lain adalah satu-satunya jalan untuk
berlindung dari kejaran traumatis. Ia akan memecah kepribadiannya dan
memilih pribadi atau lain termasuk menciptakan tokoh yang ideal.
Semakin sering kekerasan-kekerasan lain terjadi, semakin banyak koleksi
identitas ia miliki. Tentu saja akan ada alter ego yang bersifat baik
untuk mewakili rasa takut dan kesedihan, serta ada alter ego jahat yang
mewakili dendam dan rasa ingin berontak. Sebuah penghalang memori
kemudian dibangun antara anak itu dengan identitas baru yang telah
diciptakan. Dalam beberapa waktu ia akan melupakan peristiwa-peristiwa
menyakitkan yang pernah ia alami sekaligus melupakan pribadi yang
pernah ia ciptakan. Lalu adakalanya menjelang dewasa,
pengalaman-pengalama buruk di masa lalu itu terulang dalam memori yang
tidak terkunci rapat di otak si pengidap dan mengambil alih tubuh dalam
seketika, atau dalam bahasa kejiwaan diberi istilah switching.
Sumber
masalah berikutnya adalah ketika kepribadian utama tanpa sengaja lebih
mengasah dendam dalam alter ego yang bersifat jahat. Seperti yang
dialami oleh William Stanley Milligan atas Billy Milligan, yang didakwa
tidak bersalah atas kasus perkosaan yang terbukti "Ia" lakukan terhadap
tiga perempuan di Ohio, Amerika Serikat, karena berdasarkan penyidikan
ternyata Billy memiliki 24 kepribadian. Ia menjadi orang pertama yang
lolos dari jeratan hukum karena gangguan yang diidapnya.
Tidak
berbeda jauh dengan Billy Milligan yang mengalami kekerasan masa kecil
berupa pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayah tirinya, semasa kecil
Sybil mengalami perlakuan kasar dan penyiksaan yang dilakukan oleh
ibunya sehingga mendorongnya menciptakan pribadi-pribadi yang
"diharapkan" oleh sang ibu.
Perdebatan terjadi antar para
mentalis pada saat itu yang meragukan hasil diagnosa Dr. Cornelia B.
Wilbur terhadap Sybil yang dianggap terlalu mengada-ada. Meski begitu
ada hal-hal yang tidak bisa disangkal oleh para ahli tersebut, yakni
dimana masing-masing kepribadian yang ada, memiliki keahlian
masing-masing yang justru tidak bisa dilakukan oleh si pribadi utama.
Semisal beberapa kepribadian Sybil yang pandai bermain piano, melukis
dan berbahasa asing, walau pada kenyataannya Ia sama sekali belum
pernah mempelajarinya. Ini pula yang pada akhirnya menjadi tiket
kebebasan bagi Billy Milligan dan "diri-dirinya" yang lain setelah
berhasil melewati serangkaian uji kebohongan.
Di Mana Kau Letakkan Puisinya, Perempuan?
Berhentilah menyusupkan lalat ke dalam cangkir kopiku
yang diracik oleh tahi mata demi kejutan pagi hari.
Bahkan mi instan,
yang kini terlalu malu untuk hidang di atas perapian itu,
mulai membuat jengkel atas jejak-jejaknya dilambungku.
Ataukah kau coba-coba meracuniku dengan karat
yang meleleh di tepi-tepi panci
untuk lantas mengumpulkan serdadu semut
yang menggalang aksi protes
menuntut bon gula dari warung tetangga?
Dan perempuan, berhentilah kau cucikan
pakaianku dengan pertaruhan senyumku
yang bercorak kelelaki-lelakian,
tersungging kaku di sudut bibir
ketika mendapati pantatmu menungging
sekembaliku memburuh di pergadaian kodrati.
Serahkan semua beban tugasmu
pada kebesaran lembaga Leasing yang maha agung,
maha penjerat.
Sebuah karya yang telat dikirim kepada kawan-kawan di Pontianak
untuk event Lady Riot Fest 2 beberapa waktu lalu.
Rabu, 01 Agustus 2012
DROP OUT
"It's all about fun and rockin the sick world!"--Deadeye

Formasi
bertiga ini eksis hingga saat ini tanpa secuil pun perombakan meski
ketiganya berasal dari kabupaten berbeda yang saling berjauhan di
Sumatera Selatan. "Tidak ada tips khusus, untuk saya band itu layakya
keluarga kecil kita, dimana suka duka ditanggung bersama, ada masalah
diselesaikan secara kekeluargaan, saling mendukung dan membimbing tapi
tidak menggurui, dan menempatkan ego di urutan terakhir." tutur Deadeye
perihal bagaimana mempertahankan usia sebuah band, bahkan ketika
kendala-kendala datang dalam wujud waktu luang yang hilang dan
kesibukan yang menjadi padat oleh urusan pekerjaan dan menafkahi
keluarga.
Bermacam panggung menjadi sarana bagi Drop Out
untuk menampilkan karya-karya mereka. Dari panggung lokal bahkan
Nasional. Sejak festival beratmosfer spektakuler berisi manusia-manusia
"normal" yang cuma manggut-manggut kecil mengikuti hentakan musik
dengan wajah tolol, hingga audiens yang jumpalitan liar di panggung
gigs punk. Kedekatan emosional scene grunge dan hardcore punk di Kota
Palembang memungkinkan untuk itu, termasuk persoalan lokasi tongkrongan
dan penggarapan kompilasi bersama yang menjadikan Drop Out tidak
membangun wacana dengan sesama scene grunge semata. Salah satunya bisa
dilihat dari keterlibatan single "Sahabatku, Musuhku" dalam kompilasi
di Kota Palembang, Take Control tahun 2006.
Berbagai band
seluruh penjuru dunia menjadi rujukan bagi Drop Out untuk mendukung
ide-idenya. Sebut saja, untuk di ranah lokal ada Cupumanik, Toilet
Sounds, Freak, Klepto Opera, dan Navicula. Lalu dari negeri di luar
sana ada Sheeter, Pearl Jam, Deftones, Nirvana, Silverchair, Chevelle,
Staind, Puddle Of Mudd, The Ataris, Poison Of The Well, Smashing
Pumpkins, Bush, Weezer, Muse, Finch, Stone Temple Pilot, The Vines, Foo
Fighter, Sonic Youth, GodSmack, 3 Doors Down, Story Of The Year, Tool,
A Perfect Circle, Hole, dan banyak lagi. Drop Out tidak menampik bahwa
Nirvana menjadi figur utama yang mempersatukan mereka bertiga dan
menjadi panutan utamanya. Referensi dari sekian banyak band ini yang
tidak membatasi Drop Out ketika akan menulis lirik, entah itu tentang
perang, ketakutan, kebencian, bunuh diri, anti politik, kebahagiaan,
persahabatan dan keluarga.
Lirik-lirik ini yang bisa kita
temukan pada debut CD Album EP Rasa Sakit yang dirilis 2006 silam dan
dalam CD album Fade In a Away yang rilis pada 2007 lampau. Lirik yang
sama yang akan kita temukan dalam album Drop Out berikutnya yang sedang
dalam proses perekaman yang dikelola secara mandiri, tentunya dengan
tetap bersenang-bersenang dalam upaya menjadi sebuah band yang muda
selamanya.
Kisah Flanel dan Para Penebang Pohon
Menelusuri sejarah flanel hampir sama sulitnya dengan mencarinya di
bursa pakaian bekas. Hampir setiap artikel yang saya jumpai
mengeratkannya dengan grunge movement yang melanda di era 90-an.
Lagi-lagi Nirvana dan gerombolannya dianggap sebagai pemicu mewabahnya
tren penggunaan kemeja tebal bermotif kotak-kotak ini.
Bagi
sebagian orang, flanel alias felt, ditaksir merupakan jenis kain tertua
dalam sejarah manusia. Ini ditandai dengan penemuan bekas-bekas kain
serupa flanel yang diketemukan di Turki dan ditaksir berasal dari tahun
6.500 SM. Hal serupa juga ditemukan di sebuah makam di Siberia dalam
kondisi telah diawetkan dan diperkirakan berasal dari tahun 600 M.
Meskipun begitu, asal muasal penggunaan flanel zaman semi modern
hingga saat ini masih menjadi bahan pertanyaan, tapi disinyalir pertama
kali digunakan di Wales dan Inggris barat daya pada abad ke-16--yang
menyebutnya flannelette. Para petani bangsa Welsh di dataran
Inggris diketahui mulai mengenakan kain berbahan flanel yang cukup
tebal karena terbuat dari serat wol tanpa ditenun untuk melindungi diri
mereka dari reranting pepohonan dan karang. Tidak hanya itu, tapi kala
itu bahan flanel juga digunakan untuk keperluan lain semisal karpet di
ruangan kaum bangsawan, topi berkuda, syal, alas tidur dan selimut.
Lalu kain flanel mulai menyeruak dari kepulauan Inggris dan menyebar ke
pelbagai daratan Eropa lainnya seperti Perancis pada abad ke-17 dengan
sebutan flanelle, dan Jerman di abad ke-18 dengan menyebutnya Flannell.
Iklim empat musim dan ketersediaan bahan baku wol yang melimpah di
Eropa menjadikan flanel sebagai salah satu bahan pakaian alternatif
ketika cuaca dingin mendera.
Seiring dengan Revolusi
Industri, di abad ke-18 produksi flanel yang mulanya hanya diproduksi
secara rumahan dan tradisional akhirnya mulai menjadi produk pabrikasi.
Ia mulai dicetak secara massal, tentu saja ketika permintaan akan
flanel semakin meningkat. Karena perhitungan ekonomis, bahan baku wol
yang dinilai mahal ditambah atau digantikan dengan serat kapas dan
sutera serta beberapa serat sintetis. Perusahaan Carhartt yang bergerak
di industri garmen asal Michigan, Amerika Serikat, milik Hamilton
Carhartt di tahun 1889 mengklaim sebagai penemu pertama kemeja berbahan
baku flanel termasuk motif kotak-kotak yang terinspirasi oleh Kilt atau
pakaian tradisional Skotlandia, walau tidak semua yang bermotif
kotak-kotak itu adalah flanel demikian pula sebaliknya. Semuanya
diawali dengan order pertama Hamilton Carhartt untuk memenuhi kebutuhan
seragam para pekerja kereta api Amerika yang tahan di segala medan,
nyaman namun tetap trendi.
Di awal abad ke-20 produksi
flanel khususnya untuk pakaian mulai disesuaikan dengan beberapa musim
selain musim dingin. Beberapa diantaranya dirancang untuk di cuaca
hangat yakni dengan memaksimalkan pencampuran katun dan sutera serta
kapas sehingga kemeja flanel menjadi lebih ringan. Di abad yang sama,
ketika flanel masuk ke Amerika Utara, flanel--terutama dengan motif
kotak-kotak, diidentikkan dengan orang-orang udik, para pekerja kerah
biru, terutama petani, penggembala, pekerja tambang, penebang pohon,
dan mereka yang bekerja di luar ruangan. Daya tahan bahannya,
kemudahannya untuk dicuci serta juga kehangatannya, sangat ideal
sehingga memungkinkan mereka bebas bergerak dan bekerja berlama-lama di
bawah suhu yang dingin. Sejak itu, para penebang pohon disimbolkan
dengan sepasang sepatu boots dan flanel.
Ketika Perang Dunia I melanda, flanel digunakan sebagai bahan
alternatif pengganti perban di rumah sakit-rumah sakit dan perlengkapan
tentara termasuk untuk seragam dan selimut selama di medan pertempuran.
Depresi ekonomi besar-besaran pasca perang yang melanda Eropa
menjadikan pakaian berbahan flanel sebagai pilihan utama karena lebih
murah dan tahan lama bila dibandingkan dengan pakaian katun. Realita
ini membiaskan status sosial yang sebelumnya disimbolkan dengan pola
berpakaian seseorang. Yang mulanya flanel identik dengan kelas bawah,
pada akhirnya menjadi milik seluruh lapisan sosial. Di masa ini pula
flanel diidentikkan dengan kelelaki-lelakian.
Entah
apakah memang berhubungan dengan tempat asalnya di Aberdeen yang
bercuaca dingin dan didominasi oleh para penebang pohon berflanel,
ataukah karena dengan sengaja mengenakan flanel sebagai simbol kelas
bawah, Kurt Cobain dianggap mempopulerkan kembali kemeja flanel
bermotif kotak-kotak di era 90-an. Masa keemasan grunge saat itu
ditandai dengan perubahan pola berpakaian para pemuda subkultur. Tidak
ada lagi jaket kulit yang sempat berjaya oleh kalangan glam rock dan
hair metal. Mereka beramai-ramai mengenakan kombinasi flanel, jeans,
dan boots juga sneakers.
Bagaimana dengan sekarang? Meski
kini beragam produk dan beraneka merk telah mengenakan bahan baku
flanel selain pakaian, setidaknya ada sebuah fenomena karena hampir
dikenakan hanya oleh kalangan subkultur sahaja selama tiga dekade
terakhir. Hebatnya, nyaris tanpa campur tangan periklanan namun menjadi
kostum baru bagi para hipster untuk mengisi budayanya yang kosong.
The Story of Stuff
Pernahkah anda sadari berapa banyak sudah produk-produk yang
kita konsumsi atas dasar keinginan? Motif dasar ekonomi seorang
konsumen pada dasarnya adalah untuk memenuhi 'kebutuhan'nya yang tidak
terbatas. Namun 'kebutuhan' itu berubah menjadi sebuah 'keinginan' yang
malah lebih tak terbatas bila dibandingkan dengan 'kebutuhan'.
'Kebutuhan' untuk menghilangkan dahaga tentu cukup dengan sekedar air
putih, tapi 'keinginan' mendorong untuk lebih memilih Coca-Cola.
Dalam ekonomi modern dikenal istilah product life cycle
atau siklus hidup sebuah produk, yakni proses lahirnya sebuah produk
hingga kematiannya baik dalam jangka waktu panjang ataupun sebaliknya.
Layaknya sesuatu yang hidup, sebuah produk akan berkompetisi dengan
produk lain. Lalu ketika kejenuhan pasar terhadap produk si pemenang
persaingan menjelang, itu dianggap sebagai suatu kelumrahan.
Kebanyakan
dari kita tidak berpikir terlalu panjang untuk mengkonsumsi sebuah
produk--mengkonsumsi saya artikan disini sebagai tindakan membeli
sesuatu--bahwa ternyata sebuah produk melalui jalan yang panjang hingga
Ia benar-benar siap untuk dikonsumsi. Inilah yang ingin disampaikan
oleh Annie Leonard dalam filmnya The Story of Stuff, kisah perjalanan
produk dan "sumbangan"nya kepada dunia sejak dari ekstraksi, produksi,
distribusi, konsumsi, hingga pembuangan.
Kelahiran sebuah
produk bukan tanpa pertimbangan sama sekali. Ia melalui perencanaan
yang ketat oleh produsennya. Pertimbangan bahan baku, peluang pasar,
seleksi pasar, sumber daya, dan sebagainya, termasuk bagaimana ia bisa
melewati batasan-batasan yang bisa menjadi faktor penghambat. Karena
itulah, kekuasaan dibutuhkan. Maka tidaklah aneh bila pemegang
otoritas--dalam hal ini negara yang berwenang menerbitkan surat
perizinan bagi para pengusaha--bersahabat dengan para produsen. Tatkala
si produsen bertumbuh dan semakin besar, kendali beralih ke tangannya.
Maka jalur dan jejaring operasi produsen semakin luas dan dapat
memaksimalkan pengurasan sumber daya yang tersedia, memasarkan produk,
termasuk bagaimana ia membuang sisa produksi.
Siklus
hidup sebuah produk melalui sistem matematis yangmana ia tak terbatas.
Lalu bagaimana ia dapat beroperasi di bumi yang terbatas sumber daya
alamnya? Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa para produsen menyadari hal
itu. Bahwa hutan sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui pun akan
sulit digantikan dengan kecepatan perputaran siklus hidup produk itu
sendiri, apalagi sumber daya tambang yang tidak dapat diperbaharui.
Untuk itu mereka berekspansi ke negara-negara miskin tetangga untuk
melakukan pengrusakan yang sama parahnya. Ibarat sambil menyelam minum
air laut hingga kering, sambil berproduksi mereka juga langsung menjual
barang dagangannya di negara-negara tersebut, hitung-hitung menghemat
biaya distribusi dan ditambah mendapat tenaga kerja yang murah pula.
Ketika
proses produksi dan distribusi selesai, tahap berikutnya adalah
menawarkan produk tersebut kepada pasar. Sarana pendukung yang paling
berperan besar adalah televisi sebagai salah satu keajaiban peradaban
dalam dunia konsumsi. Televisi menayangkan iklan-iklan sebuah produk
dengan iming-iming yang menggiurkan yang pada akhirnya menciptakan dua
pola utama yang dilakukan oleh manusia ketika lelah bekerja: menonton
televisi dan berbelanja.
Masyarakat konsumer menemukan
jatidirinya dalam barang-barang yang mereka beli. Ketika itu tercapai,
tidak ada kepuasan yang bisa menggantikannya. Para produsen
mendramatisir hal ini dengan menciptakan sebuah tren dalam menggunakan
sebuah produk. Sebagai contoh, ketika seorang konsumen memiliki sebuah
telepon genggam maka ia akan terjerat dalam tren teknologi yang
ditawarkan oleh si produsen telepon genggam tersebut yang tentu saja
itu akan selalu berubah. Sesungguhnya itu merupakan akal-akalan si
produsen, karena bisa saja mereka mengeluarkan produk dan teknologi
pendampingnya dalam satu edisi, tapi, meski ini berujung pada tumpukan
barang-barang bekas yang menyampah, siapa yang kelak membeli produk
lanjutannya selain konsumen yang berhasil dikibuli masak-masak?
Annie
Leonard membawa film ini begitu ringan untuk dipahami dengan tutur dan
animasi yang asyik untuk disimak. Dengan menyadari dampak lingkungan
dan sosial dari perjalanan sebuah produk, khalayak dapat lebih bijak
menelaah kebutuhannya sebelum memutuskan membeli sebuah produk.
Gambar-Gambar Kehidupan: Kejutan Dari Bangku Cadangan
Di awal kelahirannya, film menjadi sarana penghibur yang bersusah
payah untuk tidak melepaskan perannya sebagai penyampai informasi.
Terutama ketika film menjadi barang dagangan industri raksasa perfilman
yang lebih menempatkan keuntungan di bangku terdepan para penonton, dan
memposisikan informasi di bangku cadangan. Selera pasar tentu menjadi
tolak ukur yang malah menjadikan film-film tersebut bersifat normatif
dan terkonsep amat membosankan. Kejujuran tutur sebuah film
menjadikannya tidak layak tayang karena berpeluang besar mendatangkan
sepinya penonton.
Lebih dari satu abad silam, atau
tepatnya di tahun 1878, Eadweard James Muybridge seorang fotografer
Inggris yang juga pengelana untuk kali pertama mengenalkan teknik objek
gambar bergerak dengan menggunakan kameranya. Sesungguhnya
gambar-gambar itu tidak nyata-nyata bergerak, hanya saja kecepatan dan
akurasi jepretannya kameranya mampu membuat 16 frame secara berurutan.
Penemuan gambar bergerak inilah yang bisa disebut menginspirasi sebuah
potongan film pertama kali di dunia pada satu dekade setelahnya, yakni
film yang mendekati apa yang kita kenal seperti sekarang. Cuplikan yang
disutradarai oleh Louis Le Prince asal Prancis itu berdurasi 2 detik
dan dinamai "Roundhay Garden Scene". Dan pada 1895, dua bersaudara asal
Perancis yakni Auguste Marie Louis Nicolas dan Louis Jean yang lebih
dikenal sebagai Lumiere bersaudara, mengadakan pemutaran beberapa film
produksi mereka di hadapan publik sebagai pemutaran film pertama di
dunia.
Film merupakan kombinasi dari tiga media utama
yakni yang tidak dapat saling berlepasan yakni kinetograph yang
berfungsi sebagai alat perekam gerak, lalu kinetoscope yang berfungsi
untuk memproyeksikan gerak, dan phonograph yang berdaya merekam suara.
Tahun 1903, sebuah aksi perampokan kereta besar-besaran yang terjadi di
Amerika menginspirasi Thomas Edison untuk menulis film berdurasi dua
belas menit yang dirilis pertama kali di dunia berjudul "The Great
Train Robbery".
Tabir sejarah perfilman Indonesia dibuka
dengan film yang diangkat dari legenda Jawa Barat berjudul "Loetoeng
Kasaroeng" pada tahun 1926, yang meski merupakan hasil karya pembuat
film asal Belanda namun merupakan rilisan komersial pertama yang
melibatkan artis Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, sebuah film
karya Umar Ismail berjudul "Darah dan Doa" pada tahun 1950 menjadi film
pertama yang secara resmi diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional
Indonesia atau Perfini, yang lantas tanggal pertama kali syuting film
ini yakni pada 30 Maret 1950 didaulat sebagai Hari Film Nasional.
Bangku
Merah merupakan sebuah komunitas penggemar film di Kota Palembang yang
selama ini kerap menggarap pemutaran film kecil-kecilan secara kolektif
di beberapa tempat yang dinilai memungkinkan, entah itu pada sebuah
cafe atau rumah salah satu anggotanya, dan berlanjut dengan diskusi
perihal film yang selesai ditonton bersama bagaimanapun muaranya. Nama
Bangku Merah sendiri diambil dari bangku penonton dalam gedung bioskop
yang memang acap berwarna merah. Dan dari maraton nonton bersama ini,
Bangku Merah merangkai sebuah event berskala lebih besar bertajuk
Gambar-Gambar Kehidupan, yang diharap menjadi sebuah momen para pecinta
film di Kota Palembang untuk dapat saling menyapa.
Setali
dengan namanya, event Gambar-Gambar Kehidupan merupakan penayangan
film-film yang bersentuhan dengan kehidupan keseharian kita saat ini.
Tentang pedihnya kehidupan seorang buruh, bagaimana ruang publik
diperuntukkan, bagaimana sistem ekonomi berlaku, serta bagaimana sistem
sosial dan fenomena sosial berjalan. Melalui event ini Bangku Merah
selaku penggagas event yang bekerjasama dengan Dewan Kesenian Sumatera
Selatan (DKSS), mencoba mengembalikan film sebagai media penyampai
informasi dan alat untuk berkomunikasi. Akan ada diskusi setelah
pemutaran beberapa film seperti “Lords of Dogtown”, “Persepolis”, “The
Bang-Bang Club”, “The Story Of Stuff”, “Marsinah” dan “Sanubari
Jakarta” dan lainnya.
Kisah Para Penonton di Balik Layar
"Jangan hanya menjadi penonton, jangan biarkan hidup berlalu begitu saja"--Lou Holtz
Lebih dari satu abad silam, atau tepatnya di tahun 1878,
Eadweard James Muybridge seorang fotografer Inggris yang juga pengelana
untuk kali pertama mengenalkan teknik objek gambar bergerak dengan
menggunakan kameranya. Sesungguhnya gambar-gambar itu tidak nyata-nyata
bergerak, hanya saja kecepatan dan akurasi jepretannya kameranya mampu
membuat 16 frame secara berurutan. Penemuan gambar bergerak inilah yang
bisa disebut menginspirasi sebuah potongan film pertama kali di dunia
pada satu dekade setelahnya, yakni film yang mendekati apa yang kita
kenal seperti sekarang. Cuplikan yang disutradarai oleh Louis Le Prince
asal Prancis itu berdurasi 2 detik dan dinamai "Roundhay Garden Scene".
Dan pada 1895, dua bersaudara asal Perancis yakni Auguste Marie Louis
Nicolas dan Louis Jean yang lebih dikenal sebagai Lumiere bersaudara,
mengadakan pemutaran beberapa film produksi mereka di hadapan publik
sebagai pemutaran film pertama di dunia.
Film merupakan
kombinasi dari tiga media utama yakni yang tidak dapat saling
berlepasan yakni kinetograph yang berfungsi sebagai alat perekam gerak,
lalu kinetoscope yang berfungsi untuk memproyeksikan gerak, dan
phonograph yang berdaya merekam suara. Tahun 1903, sebuah aksi
perampokan kereta besar-besaran yang terjadi di Amerika menginspirasi
Thomas Edison untuk menulis film berdurasi dua belas menit yang dirilis
pertama kali di dunia berjudul "The Great Train Robbery".
Tabir
sejarah perfilman Indonesia dibuka dengan film yang diangkat dari
legenda Jawa Barat berjudul "Loetoeng Kasaroeng" pada tahun 1926, yang
meski merupakan hasil karya pembuat film asal Belanda namun merupakan
rilisan komersial pertama yang melibatkan artis Indonesia. Setelah
Indonesia merdeka, sebuah film karya Umar Ismail berjudul "Darah dan
Doa" pada tahun 1950 menjadi film pertama yang secara resmi diproduksi
oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia atau Perfini, yang lantas
tanggal pertama kali syuting film ini yakni pada 30 Maret 1950 didaulat
sebagai Hari Film Nasional.
Di era 70-an perfilman
Indonesia diramaikan oleh genre komedi yang kala itu dibintangi oleh
Benyamin Sueb dan kawan-kawan yang bersaing ketat dengan film-film
drama percintaan yang dirajai oleh Rhoma Irama. Lalu pada era 80-an
genre komedi kedatangan pendatang baru yakni Warkop DKI, yang di akhir
eranya mesti bersaing dengan film-film laga yang diangkat dari
sandiwara radio. Kelatahan para produsen film di Indonesia terhadap
selera pasar bisa dilacak dari tren yang mulai terjadi pasca era ini.
Sebut saja di pertengahan 90-an mewabah film-film laga dan horor
berbalut erotis yang dibintangi artis-artis yang sama di tiap film yang
beredar di saat yang nyaris sama pula. Kelatahan paling parah terjadi
satu dekade setelahnya, yakni ketika hantu-hantu bergentayangan di
layar bioskop dan televisi.
Layaknya siklus kompetisi,
produsen dalam industri perfilman di Indonesia berlahiran dan banyak
diantaranya yang mati dilahap persaingan. Satu-satunya cara untuk
bertahan di masa kritis ini adalah dengan mengambil resiko mengikuti
selera pasar yang membosankan. Jalan keluar ini yang lama-kelamaan
membawa industri perfilman di Indonesia berputar-putar di ranah cerita
yang itu-itu saja, tanpa sadar bahwa bangku terakhir yang tersisa telah
ditinggalkan oleh penonton yang memasuki barisan menuju tayangan
film-film mancanegara. Lalu lagi-lagi para pembajak film dipersalahkan
atas krisis ini. Meski pemberantasan yang dilakukan oleh otoritas
terkait tidak lantas mendongkrak penjualan tiket bioskop dan pembelian
CD original, karena mutu cerita yang ditawarkan memang begitu
menyedihkan.
Film berkembang tidak hanya perpaduan antara
seni dan teknologi semata, Ia juga menjadi perpaduan antara ekonomi dan
politik normatif. Lalu posisi para seniman pegiat film untuk menghibur
para penonton diisi oleh para pengejar keuntungan belaka, yang ternyata
justru menghilangkan rempah-rempah penyedap film itu sendiri. Tidak
hanya disitu, film-film yang dianggap mengganggu stabilitas negeri pun
dilarang beredar meski diramu oleh koki-koki handal, sebagai contoh
adalah film-film garapan Garin Nugroho seperti "Daun di atas Bantal"
dan "Pasir Berbisik" yang tidak diperbolehkan beredar di masa Orde Baru
karena dinilai bertutur terlalu jujur tentang kondisi sosial yang
terjadi di Indonesia, atau pelarangan film karya Slamet Raharjo pada
tahun 2001 berjudul "Marsinah", karena dianggap menggelitik naluri
kritis masyarakat dan mengusik kewibawaan Tentara Nasional Indonesia
(TNI).
Dan, bagaimana ketika para penonton mulai
mengambil peran untuk berada di balik layar? Keresahan para penggemar
film di Indonesia terhadap grasak-grusuk film-film yang berteknik
tinggi namun berkualitas cerita rendah, melahirkan film-film independen
atau indie, baik berdurasi singkat maupun sebaliknya. Ini adalah salah
satu metode alternatif yang dikembangkan oleh para penggemar film yang
lelah oleh rasa bosan menjadi penonton. Dengan modal semampunya,
kemampuan seadanya dan fasilitas sedapatnya, berlahiran karya-karya
hebat penuh kejutan yang berupaya keluar dari gagasan-gagasan standar.
Disini para penonton dapat berkesperimen dalam mematerialkan
keinginan-keinginan mereka dengan konsep kemandirian. Penonton memiliki
kebebasan untuk menafsirkan sepuasnya, mempunyai kebebasan untuk
mempertanyakan tanpa perlu orang lain mejawabnya. Keberagaman lahir
dari sini. Dengan begitu, wacana kekhasan para sineas indie sulit untuk
dilacak dan dipetakan. Semoga saya tidak keliru.
Suicide Reject Membuat Grunge Kembali Bernyawa
Selama ini bertebaran prasangka bahwa scene grunge di Sumatera
Selatan telah jauh terkubur dalam lubang kematian. Dugaan itu ada
benarnya mengingat lenyapnya aktivitas yang dahulu sempat diramaikan
oleh tongkrongan berflanel dan jeans compang-camping yang bergerombol
di event-event punk menanti giliran untuk mengisi stage. Dan
sejujurnya, kita merindukan penampilan band-band ala Alice In Chain,
Soundgarden, Sonic Youth, Nirvana dan sederet Seattle Sound lainnya
ini. Bagaimana mungkin kita lupa cara mereka meraung dengan
sayatan-sayatan melodius berbalut noisy effect, atau merintih dengan
lirik-lirik segelisah Jim Morrison, bahkan mendekati kenihilan
Nietzsche?
Dan rupanya SSgrungeunited Digital Record
(SSDR) menyimpan kerinduan serupa dendam yang segera dibayar dengan
menghunus Suicide Reject, yang mungkin cukup untuk menjadi negasi
penusuk bagi prasangka-prasangka tak bertuan tentang grunge yang berupa
kawanan orang-orang yang berbaring menunggu mati. Suicide Reject bukan
sebuah misi agung penyelamatan grunge dari kematian, bahkan jauh dari
pesona sesumbar murahan penarik simpati di lapangan laga pertarungan
antar band-band populer. Suicide Reject hanya mencoba membangun kembali
pondasi semangat yang nyaris menjadi puing.
SSDR
merangkul dua belas band untuk terlibat dalam project kompilasi
berformat digital ini. Sebagian merupakan materi-materi lama dari tiap
band berstatus layak dengar namun kurang memuaskan, dan sebagian berupa
rekaman terbaru berkualitas mendekati prima. Kedua belas band ini
memiliki nama yang tidak asing di scene grunge Sumatera Selatan dan
Kota Palembang pada khususnya. Sebutlah Soundfinger, Corridor Sick
Heaven, Wyde, Noise!, Sunday Morning, Youth 77, Aqua Channel, Drop Out,
Ballerina's Killer, D3pression, Uptight03, dan Nol Persen, yang
menjadikan bulan kelima tahun ini sebagai tenggat untuk mengusik scene
alternative rock di Tanah Sriwijaya.
Depresi adalah isu
konyol dan basi yang terus merekat pada scene grunge di tengah
modernitas dan teror globalisasi. Seperti namanya, Suicide Reject
menolak konsep bunuh diri, baik yang dimaknai kematian daya kreasi atau
binasanya tali pertemanan di ranah grunge Sumatera Selatan.
Zine: Just Make It!
"Ayo semua bikin zine!"—Bikin Zine, Up to Rage.
Pendapat bahwa relasi sosial dunia modern bergantung dengan media
massa ada benarnya. Karena dalam perkembangannya, media tidak lagi
menjadi alat berkomunikasi untuk menyampaikan gagasan dan informasi
saja. Banyak kepentingan lain dibelakangnya entah yang berorientasi
laba, entah itu sarana propaganda, saluran pemasaran produk, penopang
pilar kekuasaan atau pondasi stabilitas. Motif keuntungan ini pulalah
yang membatasi informasi-informasi yang ingin disampaikan oleh informan
demi alasan kelanggengan bisnis media. Selain itu, konsep-konsep moral
yang diciptakan oleh masyarakat arus utama dan penguasa turut memagari
setiap informasi dengan melahirkan sistem sensoritas hingga pada
akhirnya membatasi kreasi dari setiap ide.
Ide yang
terlahir bebas tentu tak bisa dibendung oleh batasan-batasan. Tidak ada
yang bisa menghadang hasrat untuk berbagi informasi dan gagasan.
Kebebasan ini teraktualisasi dengan mewujudnya bentuk media tandingan
bernama media alternatif—termasuk media cetak alternatif—yang tidak
cuma kritik pada media mainstream tapi pada peran media itu sendiri. Di
kalangan scene hardcore/punk, media cetak alternatif populer dengan
nama zine meskipun memang banyak variannya.
Untuk menjadi
seorang editor zine tidak diharuskan memiliki latar belakang
jurnalistik. Profesionalitas menjadi urusan nomor dua. Yang terpenting
adalah bagaimana mengemas informasi ke dalam kreatifitas dan semangat
untuk menyalurkan informasi gratis, yang ternyata memang dimiliki oleh
setiap orang apapun latar belakang sosialnya.
Di awal
kelahirannya dipertengahan 1960-an oleh kalangan penggemar fiksi
ilmiah, distribusi zine dibatasi oleh teknologi yangmana pada waktu itu
belum diketemukannya mesin pengganda arsip atau yang kita kenal dengan
nama mesin fotokopi. Setelah teknologi ini mumpuni satu dekade
setelahnya, para editor zine mulai bisa mencetak zine dalam skala yang
lebih besar meski juga tetap beredar di kalangan terbatas. Populernya
teknik kolase dari kalangan punk juga turut mempengaruhi style baru
dalam dunia zine. Jelas sekali bahwa siapapun bisa menjadi editor zine,
karena bayangkan, dengan bermodal gunting, lem dan kertas semuanya bisa
diatasi. Keterbatasan kemampuan dalam mengolah kata dan gambar tidak
diindahkan, karena dalam metode ini orisinalitas atau hak cipta
dikesampingkan. Semua gambar dan teks dari sumber manapun bisa
digunakan sebagai materi dalam menyampaikan informasi, yang ternyata
menjadi lebih artistik daripada seni itu sendiri. Di kalangan
hardcore/punk yangmana semula zine berisi informasi-informasi seputar
rilisan band-band, kalender event dan reportase event dan lain-lain
yang hanya berputar-putar di lingkar komuniti, pada akhirnya mulai
berkembang menjadi sebuah media yang bisa sangat personal dan bisa
sangat massif peredarannya tanpa menghilangkan semangatnya sebagai
sebuah media untuk bersenang-senang. Maka dari itu berbagai kalangan di
luar scene hardcore/punk mulai mengadopsi semangat yang terkandung di
dalam zine untuk membuat media mereka sendiri, yang menelurkan zine
dari klub hobi, fashion, olahraga, komik,dan sebagainya.
Sebagai
sarana penyampai informasi gratis, sebagian zine memang dibagikan
secara cuma-cuma, namun sebagian lainnya dijual demi kepentingan
penggalangan dana. Editor zine dan kontributor-kontributor didalamnya
telah bersedia sejak awal untuk meniadakan profit. Tidak cukup dengan
merogoh kocek sendiri, untuk kelangsungan nyawa zine beberapa editor
hanya meminta uang pengganti ongkos produksinya saja berupa biaya untuk
fotokopi, atau menjual merchandise yang iklannya dipajang dalam zine.
Dan pada umumnya para editor zine memiliki jejaring titik distribusi di
setiap daerah di luar wilayahnya untuk dapat membantu pendistribusian
zine-nya termasuk saling bertukar zine dengan sistem barter. Ini jelas
membantu perkembangan komuniti di setiap daerah untuk saling bertukar
informasi tentang permasalahan dan kebutuhan di daerahnya masing-masing.
Zaman
terus berganti. Tapi tidak demikian dengan semangat yang diapikan oleh
zine. Tentang sebuah media otonom yang bisa dikelola secara personal
atau bersama teman-teman, diolah secara digital atau manual, berisi
elegi atau amarah, total bergambar atau teks keseluruhan, difotokopi
atau dicetak, bahkan semua aturan dapat ditentukan sendiri oleh si
pembuat zine tanpa terpatok keinginan pimpinan redaksi, tanpa tenggat
waktu yang ditentukan oleh perusahaan. Tanpa kesenangan didalamnya,
bisa dipastikan bahwa itu bukanlah sebuah zine.
From Our Scene
From Our Scene merupakan sebuah project temporer yang kami buat
dalam upaya berbagi informasi dalam membangun komunikasi dan wacana di
dalam scene termasuk orang-orang di luar sana yang merasa dirinya lebih
normal dari kita. Karena hingga saat ini kami merasa tidak ada hal yang
senormal perayaan kebebasan hasrat dan imajinasi tanpa menghilangkan
kenyamanan orang-orang di sekitar kita.
Scene ini
berkembang dalam proses panjang dan berbagai kontradiksi didalamnya;
dari mohawk dengan lem kayu hingga street punk sandal jepit; boots
tentara hingga Doc Martens; istilah konyol punk politis dan apolitis;
senior dan abal-abal; poser dan hipster; panggung tujuhbelasan hingga
panggung rigging; rilisan rekaman bersampul koran hingga berdesain
mutakhir. Perjalanan demi perjalanan membawa scene ini ke dalam ritme
yang mengharukan sekaligus mematangkan emosional tiap-tiap individunya.
Lalu hal yang paling ditakutkan terjadi. Yakni ketika punk menjadi
sebuah tren yang bebas diekspresikan oleh siapapun. Membawa pemahaman
yang buta. Lantas kekuatan komunikasi dikalahkan oleh pertikaian yang
justru terjadi di dalam scene ini sendiri. Begitulah operasi hegemoni
yang ditebar para produsen bekerja, membunuh sebuah kekuatan dari dalam
dirinya sendiri. Serangan tidak hanya dari dalam, tapi juga datang dari
luar berupa upaya penertiban yang dilakukan oleh negara dalam rumusan
undang-undang. Siapkah kita menghadapi kehancuran ini?
Kami
sama sekali tidak tidak berpikir media ini menjadi juru selamat bagi
scene. Yang kami inginkan adalah scene ini menyelamatkan dirinya dengan
caranya sendiri. Kemudi berada di tangan kita masing-masing tanpa ada
siapapun yang berhak merebutnya dari kebersamaan kita bahkan walaupun
itu mengatasnamakan kekuasaan negara maupun korporasi—yang tidak pernah
tidur dan terus mencari-cari celah untuk mencerabut kita dari akar yang
kita yakini. Kami tidak pernah membenarkan segala bentuk kekerasan,
tapi bila itu sudah mengancam kehidupan tiap dari kita, tidak ada jalan
lain selain meresponnya dengan amarah dan cinta.
Semoga
media ini menjadi suplemen menyerupa pemantik bagi api yang tidak
pernah padam dalam diri kita semua yang ingin melihat dunia dengan cara
berbeda. Maka biarkan semangat itu tetap menyala seperti adanya.
KINI ZAMANNYA PARA KOBOI BERAKSI DI GIGS: Sebuah Kritik Terhadap Para Scenester Pembuat Onar
"Kau menyulut keributan dan mencari musuh di dalam moshpit. Ingin jadi
jagoan? Kau rusak kesenangan semua orang. Apa yang kau cari? Macho tai
babi! Ayo teman-teman, kita usir para jagoan" --Usir Para Jagoan, Milisi Kecoa--
Dalam beberapa tahun terakhir, scene hardcore/punk di Kota
Palembang mengalami kemajuan luar biasa yang bukan secara kuantitas
belaka. Ini ditandai dengan munculnya begitu banyak band berkualitas
baik seiring pula dengan rilisan-rilisan album, zine, event-event,
lapak, distro dan komunitas-komunitas yang saling menyokong satu sama
lain. Hampir bisa dipastikan setiap minggu selalu ada event baik berupa
event skala akbar ataupun kecil-kecilan, event penggalangan dana maupun
event pameran, launching album atau peluncuran zine, pemutaran film,
workshop, pendistribusian makanan gratis bahkan aksi-aksi politis.
Meskipun masing-masing individu di dalam scene memiliki ketertarikan
yang tidak sama satu sama lain, event-event inilah yang diharap bisa
menjadi semacam corong komunikasi antar komunitas-komunitas di dalam
scene, saling bertukar informasi dan membangun keintiman jejaring
pertemanan. Lalu apakah kemudian keakraban ini berjalan dengan baik?
Belakangan
punk tumbuh bak gelombang pasang—yang kemungkinan juga bisa surut.
Fenomena ini yang melahirkan begitu banyaknya geng-geng dalam scene.
Terbentuknya geng-geng ini tentu lebih baik bila harus dibandingkan
dengan sebuah komunitas yang tersentral pada satu titik saja. Karena
setiap individu dalam komunitas telah mampu mengorganisir dirinya
masing-masing ke dalam suatu grup yang lebih kecil dan sangat mungkin
berpotensi menjadi grup yang solid. Maka tidaklah mengherankan bila di
event-event yang bisa disebut berskala besar mempertemukan antar geng
didalamnya bahkan yang bertipikal fasis sekalipun. Dan tentu saja ini
rawan perselisihan yang dapat dipicu oleh hal-hal klasik dan sepele
semisal persenggolan saat pogo. Siapapun tahu bagaimana kondisi di
venue saat sebuah band perform. Dan siapapun tahu
resiko-resiko—tersikut, terkena pukulan, tendangan—ketika berada di
tengah mosher yang tumpah ruah. Tapi ada kalanya mereka yang berada di
moshpit tidak siap menanggung resiko-resiko itu. Mereka lebih memilih
euforia dalam perebutan sticker yang ditebar oleh band-band pengumbar
popularitas, berpogo tanpa ambil pusing suka atau tidaknya dengan lagu
atau band yang sedang perform, atau mencari tahu hal-hal apa saja yang
terkandung dalam lirik sebuah band—yang memang tidak disertakan
eksplanasinya—yang sedang berpentas. Maka ketika sebuah insiden kecil
tanpa sengaja terjadi—meski telah diantisipasi dengan tidak merokok dan
tidak mengenakan aksesoris yang dianggap berbahaya—itu berpeluang besar
menyulut sebuah pertikaian yang semula antar individu lantas menjadi
pertikaian antar geng. Perkelahian demi perkelahian berlanjut menjadi
dendam yang akan terulang di luar venue atau menjalar menjadi aksi
pembalasan di event-event selanjutnya.
Aksi para jagoan
dari geng-geng fasis ini mengesampingkan fakta emosional partisipan
panitia dan pengada event yang justru semestinya mendapat dukungan
penuh oleh individu-individu dalam scene itu sendiri. Kerja keras
panitia pengada event seringkali harus dibayar dengan terhentinya event
oleh pihak keamanan dan pengelola gedung. Ini berdampak panjang dengan
tidak diizinkannya lagi pengadaan event di lokasi yang sama. Para
jagoan jelas tidak ambil pusing dengan ada atau tidak event kedepannya,
karena secara esensi mereka tidak pernah ambil bagian dalam event-event
yang dilaksanakan hingga menjauhkan empati darinya. Jangankan berpikir
untuk membuat atau melakukan sesuatu demi scene dan kemajuan komunitas,
justru sebaliknya, kelompok pembuat onar ini ibarat duri dalam daging,
sulit dibuang namun terus menikam dari dalam. Mereka tidak berusaha
memahami bahwa event-event ini sebenarnya adalah salah satu penopang
silahturahmi dalam komunitas yang beberapa diantaranya merupakan event
penggalangan dana demi kemajuan scene itu sendiri. Beberapa di antara
mereka ini malah lebih memilih membeli atribut penopang penampilan
"punk"nya, daripada membeli tiket saat event berlangsung, membeli zine
atau rilisan band-band. Dengan kata lain, lebih baik patungan membeli
minuman lalu setelah mabuk masuk ke venue dengan gratis, dan masa bodoh
dengan panitia yang harus menanggung resiko kerugian. Entah apa yang
membuat geng-geng ini menjadi begitu apatis dengan kemajuan scene,
menjadi tidak peduli sehingga tidak menempatkan distro atau zine
sebagaimana mestinya, yakni sarana pengembang wacana melalui pertukaran
informasi. Dan menjadi begitu pasif tanpa berpikir bagaimana membentuk
sebuah band, menerbitkan zine, mengorganisir event, atau hal-hal
progres lainnya.
Bila kebebasan dimaknai dengan
menghilangkan kenyamanan dan kebebasan-kebebasan disekitarnya, tentulah
itu sesuatu yang sangat tidak punk. Mereka menebar teror dan ancaman
bagi kenyamanan suasana persahabatan yang telah tertanam dalam scene
sejak bertahun-tahun lalu. Semudah itukah mereka merusak kebersamaan
yang telah terbangun sejak lama ini? Tentu tidak ada tempat bagi
geng-geng fasis yang mengatasnamakan punk. Banyaknya emblem yang
melekat di rompi atau banyaknya sticker yang menempel di helm bukan
ukuran punk atau tidaknya kalian. Jangan beri ruang bagi para jagoan.
Silahkan atur pertarungan kalian masing-masing di luar sana, hingga
kelak kalian berjumpa dengan musuh abadi punk sebenarnya: penindasan
dan ketidakadilan.
SUARA-SUARA YANG LAHIR DARI JALANAN: Merebut Kembali Definisi Punk
Menanggapi isu rancangan peraturan daerah oleh pemerintah
kota Palembang tentang penertiban punk, dan didedikasikan bagi scene
tercinta.
"Aku menentang imej yang mereka harap aku menjadi seperti apa."--Symbols (1995), Refused.
"Aku menentang imej yang mereka harap aku menjadi seperti apa."--Symbols (1995), Refused.
Setiap orang tentu memiliki definisinya sendiri untuk menerjemahkan punk,
bahkan bagi individu-individu yang memilih untuk menjadikan punk
sebagai jalan hidupnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa punk lahir sebagai
bentuk penolakan sekelompok kecil masyarakat dalam melawan kultur
dominan. Di era awal kelahiran di negeri asalnya Inggris, punk lebih
sebagai subkultur yang mengadopsi Situasionis Internasional—grup
gerakan seni radikal—dalam menentang budaya kemapanan yang dikukuhkan
oleh moralitas masyarakat. Mereka berusaha keluar dari konstruksi
budaya massa melalui alternatif-alternatif yang coba mereka buat
sendiri, menciptakan fashion, membuat lagu, mencetak poster, membuat
media dan membangun jejaring sesama komunitas. Singkatnya, mereka
mencoba membangun sebuah ruang budaya otonom. Lantas, dari sebuah
subkultur yang berupaya melawan etika dan budaya induknya melalui
budaya tandingan atau alternatif, punk berkembang menjadi sebuah kritik
tidak hanya pada kultur utamanya—yang kala itu disimbolkan pula oleh
industri rekaman musik besa—melainkan juga pada otoritas negara dan
kondisi sosial yang terjadi. Punk menjadi bagian yang tidak terlepaskan
dari gerakan politis feminisme, aktivisme literasi, environmentalis,
anti rasis, anti perang, anti neoliberalisme, perjuangan hak-hak kaum
buruh, perlindungan satwa, pendistribusian makanan gratis, dan berbagai
bentuk aksi memerangi ketidakadilan, baik yang dituangkan dalam bentuk
lirik lagu, esai, ataupun aksi-aksi langsung tanpa menjadi bagian
kompromis dari partai politik dan lembaga swadaya masyarakat manapun.
Mereka lebih memilih membentuk grup-grup resistensi kecil berprinsip
egaliter dan konsensus yang tidak bergantung pada seberapa besar jumlah
anggota dalam grup, namun lebih bersandar pada partispasi aktif tiap
personilnya.
Lantas bagaimana dengan Palembang? Kota
merupakan penampung beragam budaya yang tidak cuma berdiri pada ranah
ketradisionalan semata. Dan sebagai kota yang berkembang pesat,
tidaklah aneh bila Palembang menjadi bagian dari tumbuhnya punk secara
dinamis sama halnya dengan kota-kota lain di Indonesia. Di Palembang,
kaum ini mulai terlihat gejala kelahirannya di akhir 90-an hingga awal
milenium. Masa transisi ini merupakan saat-saat yang begitu sulit untuk
mereka lewati. Meski tidak membutuhkan sebuah pengakuan akan
eksistensinya, khalayak umum belum mendapatkan definisi yang tepat
untuk menamai sekelompok pemuda berdandan aneh yang saat itu kerap
bergerombol di belakang pusat pertokoan di bilangan jalan Kolonel Atmo
Palembang ini. Berbeda sekali dengan satu dekade lebih setelahnya, di
saat media telah dengan masif membuat beragam pemberitaan tentangnya
seperti sekarang, dan berhasil memberi pemahaman kepada masyarakat
tentang pendefinisan itu meskipun mungkin sebatas kulit luarnya saja.
Meskipun berulangkali wacana tentang asal-usul punk telah menjadi
kajian sosial budaya, hingga saat ini masyarakat umum—sebagai hakim
mayoritas yang memiliki penilaian baik dan buruknya sesuatu—lebih
berada di sisi yang melihat punk tidak lebih dari sekumpulan pembuat
onar dan sampah masyarakat yang mengalami disorientasi arah dan perlu
untuk diluruskan.
Di Indonesia sendiri, di awal hingga
pertengahan 90-an, punk mulai diadopsi oleh kaum muda kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta. Ia tidaklah lahir dari bagian
terbawah kelas sosial seperti di negeri asalnya, tapi justru
diapresiasi oleh masyarakat lapisan ekonomi menengah. Di sini, Punk
dianggap mampu memediasi penolakan mereka terhadap pendisiplinan yang
dilakukan oleh keluarga dan sekolah, serta dirasa merupakan bentuk
penolakan ketertundukan pada nilai-nilai dalam masyarakat, yang
disuarakan melalui studio-studio musik dan panggung-panggung kecil,
juga divisualisasi secara simbolik melalui seni tato dan body piercing.
Budaya literasi melalui terbitan-terbitan komunitas (zine) yang
merupakan media komunikasi perlahan mulai terbangun.
Informasi-informasi seputar agenda komunitas, rilisan album dan profil
band-band didapat dari media ini. Gejolak ekonomi dan politik di
Indonesia di akhir 90-an turut membentuk aura politis dalam komunitas
punk yang mulai memposisikan peran mereka dalam budaya perlawanan.
Seperti halnya musik, para editor zine dalam komunitas ini menggunakan
zine sebagai sarana alternatif penyampai gagasan-gagasan ideologis
terutama yang tidak mendapat tempat di media arus utama. Disinilah
komunitas ini mendapat pendidikan politik khas jalanan.
Sejak
sistem jual beli menjadi panutan dunia modern dan berkembang menjadi
sebuah ideologi yang mendominasi dalam bentuk konsumerisme, setiap hal
dikomodifikasi tidak terkecuali punk. Konsumerisme melahirkan sebuah
budaya palsu yang menjadikan dunia berisi manusia-manusia pasif melalui
keseragaman yang mereka ciptakan, dan memposisikan manusia hanya
sebagai penonton. Kapitalisme menciptakan dunia konsumsi yang
mengerdilkan keberdayaan manusia dengan membuat sebuah pola
seolah-seolah segala sesuatu bisa diselesaikan hanya dengan uang dan
produk-produk yang mereka tawarkan. Setelah berhasil menjual
simbol-simbol pemberontakan dan membangun tren semangat kebebasan yang
diwakili oleh citra semisal Che Guevara dan Bob Marley, pihak industri
melihat punk sebagai sebuah produk yang berdaya besar untuk dijual.
Punk digiring ke dalam arus utama bagian spektakuler budaya pop.
Sebagai khalayak yang hidup dalam aura konsumerisme, masyarakat
terutama kaum pemuda menjadikan punk sebagai sebuah citra diri bahkan
tanpa mereka mengenal lebih jauh tentang apa dan bagaimana punk itu
sebetulnya. Realitas yang didapat secara instan ini menjerat pemahaman
individu-individu yang terjebak dalam dekadensi tentang makna anti
kemapanan. Menggelandang di jalanan dipahami sebagai salah satu bentuk
anti kemapanan, meski sebenarnya leluhur punk semisal Crass, Discharge
dan lain-lain justru melihat anti kemapanan sebagai negasi terhadap
norma-norma hasil dari logika formal masyarakat. Seperti apa yang
diteriakkan oleh Crass dalam lagu mereka berjudul Punk Is Dead: "Punk
menjadi tren seperti halnya kaum hippy dulu!" Perlahan punk menemukan
kontradiksinya sendiri: ia menjadi sebuah identitas.
Do It Yourself dan Do It With Your Friends
Jauh
hari setelah badai sistem ekonomi pasar yang dilegitimasi oleh negara
menghajar, pada hakekatnya kaum punk memiliki sebuah filosofi
kemandirian yang dikenal dengan istilah Do It Yourself. Dalam terjemahan bebas, Do It Yourself
(DIY) bermakna melakukan atau mengerjakan sendiri sesuatu, atau lebih
sederhananya lagi, DIY berarti semangat dan praktek kemandirian dalam
melakukan apa saja yang diinginkan oleh seorang individu. DIY lahir
sebagai sebuah konsep kesadaran individual yang tidak sepakat dengan
kerja-kerja formal, dan juga untuk meredam bahkan meniadakan
ketergantungan manusia dengan produk atau barang-barang yang
diperjualbelikan. Dalam perjalanan panjang punk, DIY menjadi semangat
yang tak terlepaskan dari aksi keseharian mereka dengan berpandangan
bahwa setiap individu berhak berimajinasi dan mewujudkan impiannya.
Bila punk merupakan protes terhadap kontrol ekonomi pasar dan kondisi
sosial yang terjadi, maka DIY adalah metode alternatifnya. Keduanya
merupakan ketidakpuasan terhadap kondisi dunia yang membosankan dan
kritik terhadap budaya dominan yang menuntut keseragaman. DIY merupakan
sebuah jawaban atas kebebasan ide dari keinginan yang senantiasa
terkurung dan dihakimi oleh pendapat mayoritas, dan sebuah cerminan
bahwa setiap individu berhak atas alat-alat produksi dan berpartisipasi
pada prosesnya sehingga berhak memutuskan minat dan kebutuhan apa yang
hendak dikonsumsi tanpa menghapuskan kesenangan-kesenangan individual
didalamnya. Intinya tidak ada keterpaksaan yang membatasi saat
menjalani sebuah pilihan. Batasan-batasan itu justru melenyap ketika
setiap orang menyadari potensi yang ada didalam dirinya, dan
menomorduakan titik pencapaian atau hasil, tetapi lebih menikmati
proses yang mesti dijalani.
DIY tidak berarti setiap
individu melakukan segala sesuatunya sendiri-sendiri. Peran orang-orang
terutama dalam komunitas saling berkaitan. Berbeda dengan dunia
komodifikasi yang membuat jarak dan memisahkan antara penjual dan
pembeli, DIY justru menjadi media yang mempererat pertemanan dalam
komunitas. Ini diwujudkan seperti ketika beberapa individu merintis
sebuah band lalu memproses rekaman secara independen, mengorganisir
sebuah pertunjukan musik atau saling bertukar rekaman dan
informasi-informasi melalui workshop bersama. Disinilah jejaring mutual
itu terbangun untuk dapat saling melengkapi kebutuhan masing-masing.
Katakanlah seseorang memproduksi pin, lalu distro (distributor outlet)
individu lain yang mendistribusikannya. Atau ketika seorang individu
lebih suka mendesain tas, mengajak individu lain yang lebih suka
menjahit. Atau ketika seorang individu membuat komik dan ingin
mentranslitnya ke dalam bahasa Inggris tapi mengalami keterbatasan
dipersoalan bahasa, ia bisa meminta bantuan pada individu lain yang
memiliki kemampuan untuk itu tanpa lantas selamanya menggantungkan diri
padanya. DIY merupakan media antar individu dan grup untuk dapat saling
belajar dan bekerjasama tanpa harus bergantung pada apapun, karena
sikap ketergantungan ini yang seringkali menjadi penghambat dalam
melakukan dan mengerjakan sesuatu.
Bila dulu hidup di
jalan-jalan dikarenakan tekanan ekonomi yang meniadakan pilihan lain
selain opsi tersebut, maka kini hedonisme di jalanan merupakan sebuah
pilihan yang bebas untuk dilakukan bagi siapapun, namun tetap menjadi
masalah—bahkan bagi kalangan punk itu sendiri—bila lantas menjadi
pengganggu kenyamanan manusia sekitarnya. Punk merupakan fenomena
sosial yang tidaklah misterius dan tidak sulit untuk dipetakan akar
permasalahannya. Disini terlihat, bahwa selama penindasan dan
ketidakadilan tetap eksis di muka bumi, maka selama itu pula punk tidak
akan pernah terkubur.
Langganan:
Postingan (Atom)