Jumat, 03 Agustus 2012

Kaos Benefit

Kaos benefit Info House Utopia; Food Not Bombs Palembang, Sangkakalam Publishing, dan Hoax edisi "Nestle, Good Food, Good Lies!". Tersedia dalam ukuran S, M dan L. Informasi lebih komplit silahkan hubungi 0819-58531-1968.




Kamis, 02 Agustus 2012

Andreas Baader dan Para Bidadari Besi


Didedikasikan bagi para petani Ogan Ilir -Sumsel, Donggala-Sulteng, dan korban yang berjatuhan di seantero Indonesia dalam memperjuangkan hidupnya melawan tirani agraria.

"Kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menjawab kekerasan."--Gudrun Ensslin


Aksi dalam "Der Baader Meinhof Complex", film yang menceritakan sepak terjang RAF.


Hari itu, 11 Mei 1972 silam, tiga bom pipa yang tertanam dimuka gedung kantor pusat perusahaan dari konglomerat IG Farben, yang menjadi markas Korps V barak milik Amerika Serikat di Frankfurt Jerman, meledak nyaris bersamaan. Seorang perwira Angkatan Darat Amerika Serikat bernama Paul A. Bloomquist, yang kala itu bertugas pada program rehabilitasi obat untuk tentara, ditemukan tewas di tempat kejadian. Dalam sebuah komunike, sebuah geng yang mengatasnamakan "Petra Schelm Commando," menyatakan bertanggung jawab atas peledakan yang membuat gedung hancur berantakan dan turut menciderai 13 orang lainnya itu demi tuntutan diakhirinya perang Vietnam dan pertambangan di Amerika Utara. 

Tak berselang lama, esok harinya 12 Mei 1972, dua bom pipa meledak tengah hari di tempat yang berbeda. Pertama berupa bom pipa rakitan yang melukai lima orang polisi di Augsburg Police department. Lalu kedua, bom mobil yang melantakkan enam puluh mobil di sebuah parkiran Kota Munich. Tidak ada korban tewas dari kedua ledakan. Sebuah geng yang menyebut diri mereka "Tommy Weissbecker Commando", mengklaim bertanggung jawab sepenuhnya atas kedua kejadian itu.


Markas Korps V di Frankfurt Jerman yang diledakkan geng Baader 11 Mei 1972
Beberapa kejadian di atas merupakan serangkaian aksi teror yang dilakukan oleh Baader-Meinhof, yang di kemudian hari juga dikenal dengan nama RAF, Rote Armee Fraktion atau Red Army Faction (Fraksi Tentara Merah). Dalam setiap aksi, mereka menamakannya dengan titel berbeda; "The Manfred GrashofCommando”,"Commando Fifteenth July”, atau “The 2 July Commando“ dan nama-nama asing lainnya. Inilah taktik gerilya kota berkonsep sel partisipatoris yang diterapkan oleh kalangan revolusioner Jerman yang kala itu terinspirasi oleh salah satu induk pedomannya, Carlos Marighella, seorang pejuang marxis asal Brazil, yang dalam sebuah bukunya berjudul Minimanual of the Urban Guerrilla (1969) berkata: “Gerilya kota harus mengikuti tujuan politik, dan hanya menyerang pemerintah, bisnis besar, dan imperialis asing”. Mereka mendapat banyak ilmu dari 'sang mentor' yang mengadopsi gerilya desa Che Guevara menjadi gerilya kota, tentang pelatihan senjata ringan, trik sabotase, pemilihan tempat persembunyian, langkah pengambilalihan, serta cara memperoleh dukungan substansial di antara penduduk perkotaan.


                                                                              ***


Semua bermula dari kemarahan seorang anggota partai komunis dan jurnalis berhaluan kiri, Ulrike Meinhoff atas sikap kalangan pers sayap kanan yang mendeskreditkan gelombang demonstrasi radikal mahasiswa, sebagai muara dari protes terhadap pembunuhan salah seorang aktivis mahasiswa oleh fasis fanatik Jerman Barat. Di sela kemarahannya tersebut, pada 2 April 1968, seorang berandalan bernama Andreas Baader berlibat bersama kekasihnya, seorang mahasiswi filsafat Gudrun Ensslin dalam meledakkan pusat perbelanjaan Kaufhaus Schneider di pusat kota Frankfurt. Meski tak melukai seorangpun, dua hari kemudian Baader, Ensslin dan  dua temannya, Horst Söhnlein dan Thorwald Proll ditangkap atas serangan yang mereka daku sebagai balasan atas pembantaian Amerika Serikat terhadap Vietnam. Mereka divonis tiga tahun penjara namun dibebaskan sementara di bawah amnesti khusus bagi tahanan politik.

Andreas Baader dan Gudrun Ensslin di sela persidangan.
Ketika pengadilan hendak melimpahkan kembali mereka ke ruang tahanan, pada November 1969 Baader, Ensslin, dan Thorwald Proll mangkir dan berhasil melarikan diri, bersembunyi berpindah tempat, ke Swiss, Perancis dan Italia. Namun Baader yang ternyata belum beruntung kembali tertangkap satu bulan kemudian di sebuah razia lalu lintas.

Ensslin tak tahan melihat kekasihnya berada dalam tahanan. Skenario pelarian Baader Ia rancang dengan meminta bantuan Meinhoff selaku wartawati yang hendak mewawancara Baader. Udara kebebasan rupanya selalu berpihak pada Baader. Upaya itu berhasil setelah melumpuhkan dua penjaga bersenjata. Keterlibatan Ulrike Meinhoff lebih dalam pada grup dimulai disini.

Pasca aksi penglolosan Baader dari penjara, Meinhoff belajar ilmu militer dan mengasah mental militansinya dalam sebuah kamp pelatihan militan kiri Fatah di Yordania selama beberapa waktu, untuk lantas kembali ke Jerman Barat. Lalu pada tahun 1970, Ulrike Meinhof mengeluarkan manifesto yang untuk kali pertama menyertakan nama RAF, lengkap dengan logo bintang merah dan senapan mesin Heckler & Koch MP5. Meinhof mengikrarkan berdirinya RAF.

Gerilya Kota dan Sel Terorisme

RAF dibentuk salah satunya dengan tujuan untuk saling melengkapi sejumlah besar kelompok revolusioner dan radikal di Eropa khususnya Jerman Barat. Mereka salah sekian dari gerakan-gerakan serupa di Jerman di masa yang sama. Sebutlah grup anarkis Second Of June Movement alias Movement 2 June yang terkenal akan aksi pemboman dan termasuk aksi tersohor penculikan walikota Jerman Barat Peter Lorenz; lalu ada Revolutionary Cells alias Revolutionäre Zellen (RZ), geng pembajak pesawat perpaduan elemen kiri radikal, anti patriarki, dan anti zionis, yang bertanggung jawab atas serangkaian pemboman terhadap pelbagai infrastruktur antek Israel; dan terakhir adalah Rote Zora alias Red Zora, kelompok feminis militan yang melakukan serangkaian pemboman pada toko-toko perlengkapan seks, termasuk peledakan di luar kantor Asosiasi Dokter Jerman sebagai bentuk protes pada undang-undang aborsi serta serangan-serangan lain terhadap kantor-kantor korporat.

Personil RAF, tak semengerikan yang kau kira.

Mereka memiliki prinsip yang sama dalam metode aksi yang mereka lakukan, yakni berbasis sel. Taktik ini cukup menyulitkan pihak otoritas untuk melakukan penggrebekan markas unit-unit gerakan yang selalu berpindah atau menelisik lebih dalam para pemeran di balik aksi ini. Seringkali otoritas terkait mendapati ikon-ikon fiktif. Pola ikonitas yang sama ini juga yang lantas diciptakan oleh otoritas terhadap Baader dan Meinhof sebagai pimpinan RAF, meski dalam RAF sendiri tidak didapati sistem kepemimpinan serupa yang disebutkan oleh otoritas melalui media-media massa plus dengan RAF yang digambarkan sebagai gerombolan psikopat dengan kekejaman-kekejaman yang dikupas tuntas, demi kebencian publik padanya dan gerakan-gerakan serupa.

Gerilya kota yang dilakukan oleh RAF, yang mereka sebut sebagai "perjuangan anti imperialis", sebagian besar didanai dari hasil perampokan pada sejumlah bank. Satu persatu kantor-kantor pemerintahan dan kepolisian, serta markas militer dan sentra bisnis menjadi target pemboman. Sekian pejabat penting, politisi, aparat hukum, bankir dan pengusaha diculik, disandera dan beberapa diantaranya tewas terbunuh.

Lagi-lagi upaya mereka untuk menginspirasi banyak orang tentang makna pemberontakan harus beradu kuat dengan moralitas yang dibangun oleh otoritas. Alih-alih memicu gerakan-gerakan serupa, rakyat Jerman yang mulanya memberikan dukungan dan simpati pada aksi-aksi mereka, akhirnya harus berbanding terbalik dengan apa yang menjadi mimpi RAF. Hegemoni mengalahkan segalanya.

Juni 1972, setelah melalui perburuan panjang, pihak kepolisian berhasil menangkap hidup-hidup generasi pertama RAF; Andreas Baader, Gudrun Ensslin, Ulrike Meinhof, Holger Meins, dan Jan-Carl Raspe. 

Andreas Baader, Jan-Carl Raspe dan Holger Meins ditangkap setelah terjadi tembak menembak panjang di Frankfurt pada tanggal 1 Juni 1972. Seminggu kemudian, Gudrun Ensslin ditangkap di sebuah butik pada tanggal 8 Juni 1972 di Hamburg setelah pemilik butik menghubungi pihak kepolisian karena melihat pistol yang Ia sembunyikan di balik jaketnya. Ulrike Meinhof ditangkap pada tanggal 14 Juni 1972 di apartemen yang Ia sewa bersama pacarnya di Hannover, setelah sebelumnya sempat melakukan perlawanan dengan perkelahian tangan kosong.

Mereka dibuang ke dalam penjara berkeamanan tinggi Stammheim di Stuttgart, lalu ditempatkan ke dalam sel isolasi yang pengap. Selama mereka mendekam, generasi kedua RAF melakukan serangkaian penculikan dan sabotase sebagai aksi balasan dan negosiasi atas pembebasan Baader cs. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Kematian menjemput mereka satu persatu.

Holger Meins tewas kelaparan pada 9 November 1974 oleh aksi mogok makan yang mereka lakukan terhadap sikap otoritas penjara. Sebelum vonis dijatuhkan, tanggal 9 Mei 1976 Ulrike Meinhof ditemukan tewas tergantung dalam selnya dengan lilitan handuk di leher.

Sementara itu generasi kedua RAF terus melakukan beberapa upaya untuk membebaskan rekan-rekannya dari penjara. Mereka membajak sebuah pesawat sebagai pertaruhan. Upaya ini kembali gagal setelah pesawat bajakan diserbu oleh unit anti-teroris Jerman. Beberapa jam usai pembajakan yang tak berhasil, 18 Oktober 1977, Andreas Baader dan Jan-Carl Raspe tewas dengan luka tembakan di kepala di dalam sel mereka. Jan-Carl Raspe meninggal meski sempat dilarikan ke rumah sakit. Di saat yang sama anggota RAF lain yang juga ditahan di penjara yang sama, Irmgard Möller mencoba menusuk dadanya sendiri namun selamat dari kematian. Lalu Gudrun Ensslin, mengikuti jejak Ulrike Meinhof, menggantung diri hingga tewas. 

Berdasar pengakuan Irmgard Möller yang urung menjelang ajal, terungkap bahwa kematian-kematian tersebut bukan aksi bunuh diri, melainkan pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah Jerman. Bagaimanapun, mereka meninggal pada tanggal  di apa yang dikenang sebagai Stammheim Prison's Death Night--Malam Kematian Penjara Stammheim.

Andreas Baader, pemuda putus sekolah yang gemar mencuri mobil-mobil keren demi menjalankan misi perampokan RAF.
Ulrike Meinhof, jurnalis modis yang kritis, penggemar teori dan berani mati.

















 

Gudrun Ensslin, kekasih Andreas Baader, penerap liberasi seksual.


Saturday Channel


"Kontrak rekaman label besar tidak lantas menjadikanmu seorang bintang.
Dirimulah yang mewujudkannya."--Lady Gaga


Musik disinyalir sudah ada sejak zaman manusia mulai mengenali kepercayaan-kepercayaan. Penemuan alat musik serupa flute di Jerman Selatan menjadi salah satu buktinya. Selain menggunakan siulan, dendang, tepukan-tepukan dengan menggunakan bagian tubuh, kayu-kayu berongga, tulang burung dan gading gajah purba, menjadi instrumen pengiring puji-pujian kepada sosok yang mereka yakini sebagai tuhan, dan disenandungkan dalam gubahan nada yang pada akhirnya diseragamkan. Demikian kiranya keseragaman ini digunakan di masa reformasi gereja abad pertengahan demi keteraturan umat. Seiring dengan terjadinya reformasi budaya dan penemuan-penemuan di pelbagai bidang, pada akhirnya musik berkembang melintasi berbagai zaman.

Sejak musik menjadi penafsir dan tumpahan emosional manusia yang juga mempengaruhi mental sekira obat penawar kepedihan dan sukacita, saat itu pula musik mulai disusun berdasar estetika. Untuk mengiringi keriangan panen raya dipilihlah musik yang meriah, untuk menghibur hati raja yang terluka dipilihkan musik yang sendu, lalu digunakan sebagai media terapi kejiwaan penyakit mental, pemikat kekasih, dan belakangan konon sebagai perantara penumbuh kecerdasan jabang bayi dalam perut emaknya.

Dulu kala, di masa-masa kerajaan nusantara, gamelan menjadi alat musik penghibur istana. Alat musik satu ini sudah ada pra masuknya pengaruh Hindu- Buddha. Tak berapa lama, dua negeri besar tumbuh di Asia. Cina dan India, yang tingkat peradabannya cenderung tinggi kala itu, merapat ke Indonesia yang notabene memiliki jalur perdagangan laut strategis Selat Malaka. Selat ini menjadi tempat favorit untuk bersandarnya kapal-kapal dagang dan berjumpanya para pedagang yang juga datang dari Arab dan Persia. Tidak hanya pedagang, namun juga para pelarian perang besar antar golongan dalam masyarakat yang terjadi masa itu di India.

Kedatangan bangsa-bangsa ini mempengaruhi banyak hal bagi masyarakat nusantara pada saat itu. Sebagian dari mereka tidak lagi menganut animisme dan dinamisme tapi menganut ajaran Hindu, sistem kerajaan-kerajaan dibenahi hingga muncul kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya. Tidak hanya reformasi dalam bidang politik dan kepercayaan, namun juga bahasa, sastra, termasuk pula seni musik. Demikian pula ketika ajaran-ajaran lain masuk, Islam melalui bangsa Arab dan Kristen bersama bangsa Eropa. Sejak datangnya bangsa-bangsa ini beserta kebudayaannya masing-masing hingga kolonialisme menjejakkan kaki di Indonesia, terjadi perkembangan yang signifikan di dunia kesenian Indonesia. Ini ditandai dengan berkembangnya alat-alat dan aliran-aliran musik, seperti gamelan dengan versi baru, gambus, rebana, hingga keroncong.

Revolusi musik modern yang terjadi di negeri Barat turut mempengaruhi peta musi di tanah air. Termasuk ketika gitar listrik diperkenalkan di tahun 1930-an dan ketika agen-agen kebudayaan pop dan rock 'n roll melanda Amerika dan Eropa yang diwakili oleh sederet nama semacam Frank Sinatra, Elvis Priesley, dan The Beatles, yang menjadi ikon musik populer. Pengaruh ini didatangkan ke Indonesia bersama cakram piringan hitam di kalangan tertentu. Masuknya televisi di Indonesia kemudian menjadi salah satu corong penyampai musik gaya baru ini.

Di awal abad ke-18 para pemusik Barat didukung penuh oleh gereja dan aristokrat. Belum ada yang namanya komersialisasi musik. Lalu setelahnya, Mozart dan kawan-kawan mulai mencari peluang komersial untuk memasarkan musik dan pertunjukan mereka kepada masyarakat umum.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mulai lahir label-label kecil yang mengambil keuntungan tidak hanya dari penjualan tiket semata. Piringan hitam menjadi sumber keuntungan baru dengan merekam konser langsung para musisi lalu memperbanyak dan menjualnya ke khalayak dengan jumlah yang masih terbatas. Beberapa nama menjadi pemain dalam bisnis baru ini; The Gramophone Company, Columbia Records, Victor Talking Machine Company dan lainnya yang beberapa waktu kemudian juag melahirkan industri baru sekelas Universal Music Group, Sony Music Entertainment, Warner Music Group dan EMI Group.

Industri rekaman yang kini kita kenal dengan terminologi major label ini sama halnya dengan perusahaan dagang lainnya. Mereka mengatur segala tetek bengek yang bersangkutan dengan pemasaran rekaman, memikirkan distribusinya, menyusun formula promosinya. Tentu saja, pemusik di situ cuma terandai barang dagangan. Mereka harus berdaya jual yang mesti melalui serangkai seleksi ketat pula dalam proses rekrutmen, meskipun sudah tentu nantinya harus menuruti tata cara yang diberlakukan oleh perusahaan, itu pun masih melewati proses sensor yang jangan pernah terbayang akan selonggar keinginan kita.

Pada akhirnya, label independen lah yang menjadi perbincangan kita. Ketatnya aturan tersebut yang bermuara pada keinginan band-band penolak kompetisi untuk mengurus sendiri albumnya. Bisa jadi juga mulanya mereka adalah barisan musisi-musisi yang patah hati karena demonya tak kunjung mendapat sambutan dari perusahaan rekaman atau bisa juga ini sekedar batu loncatan dengan harapan nanti pada finalnya mendapat perhatian dari perusahaan rekaman. Maka dipilihlah jalan independen. Urus-mengurus rekaman bisa disamakan sejak mulai proses produksi; memilih studio rekaman yang mumpuni, memilah jenis sound sesuai keinginan, memikirkan titik-titik distribusi, mau dijual atau digratiskan, merancang sampul album, berformat CD ataupun digital, menggarap poster publikasi serta metode promosi lainnya, menggelar konser peluncuran album, dan mengatur sendiri jadwal pertunjukkan. Apapun alasannya, di titik ini kemandirian menang telak.

Internet patut mendapat pujian rasa terima kasih bagi para musisi independen yang ingin menyebar kabar dan rekaman mereka hingga ke seluruh dunia. Biaya produksi dan distribusi bisa ditekan amat jauh. Dan pembajakan yang amat ditakutkan oleh perusahaan rekaman, menjadi siasat yang sangat jitu dan menguntungkan bagi si musisi untuk mengenalkan band dan karya mereka. Semakin banyak orang mengkopi lagu mereka, berarti semakin banyak yang mendengar dan mengenalinya.

Ada kabar baik lagi datang hari ini--di tengah-tengah istilah indie atau independen yang justru menjadi sebuah tren baru bagi para pengejar keuntungan--bahwa event bertajuk "Saturday Channel" menjadi media bagi musisi-musisi independen di Kota Palembang untuk dapat saling menyapa, memberi dan menerima perihal segala informasi yang berkaitan dengan independensi dalam bermusik, yang termasuk didalamnya pengalaman membentuk dan mengelola sendiri sebuah band, mengatur prosesi perekaman album secara mandiri sejak memproduksinya, mempromosikan, mendistribusikan dan strategi-strategi ampuh lainnya. Dan pastinya dengan menghadirkan band-band independen di Kota Palembang untuk berpentas dan berdiskusi; Grey, The ICU, dan [C54].

Hanya ada harapan kecil bagi kami pasca event kali ini, yaitu ada bekal baru untuk menyemangati kembali kemandirian agar tak tumpul dimangsa dunia yang serba instan.





Stupidzero: Emosi Tanpa Keramaian




Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Jaraknya cuma kisaran 80 kilometer dari Kota Medan. Kota tempat pelukis Pak Tino Sidin berasal ini, menyimpan sejarah kelam saat meletusnya kerusuhan di tahun 1998 yang menjalar menjadi isu rasial.  Ah, semoga saja itu semua cukup menjadi pembelajaran dan kiranya traumatis sejarah itu dapat terobati dengan mencicip kelezatan jajanan khas lemang dan kue kacang rajawalinya.

Tak disangka-sangka, di kota perlintasan lalu lalang transportasi antar provinsi ini, gemuruh grunge terdengar hingga kota-kota dan provinsi-provinsi sekitarnya bahkan ke negeri tetangga, Malaysia. Gejalanya terasa di kisaran 1996. Band-band lokal sekira Nirvana dan Sonic Youth bermunculan. Stupid Zero menjadi salah satu yang masih berdiri hingga kini. Mereka terbentuk hampir 15 tahun yang lalu, atau tepatnya 10 Oktober 1997. Dengan meng-cover lagu-lagu dari The Need dan varian Seattle Sound, band ini menjelajah panggung di event-event komunitas underground Sumatera Utara.

Tidak mudah untuk mempertahankan sebuah band di masa-masa kritis yang melanda Kota Tebing Tinggi di era-era itu. Senasib dengan band-band lain, mereka mesti berhadapan dengan penolakan studio-studio musik yang memasang plakat larangan bagi band punk maupun grunge untuk berlatih di studio musik kolot ini. Dan ini bukan satu-satunya kendala. Keterbatasan pengadaan event juga mereka rasakan sebagai imbas dari mahalnya tarif gedung hingga proses birokrasi yang seperti benang kusut.

Secara internal, Stupidzero mesti merombak berulang-ulang formasi dalam tubuhnya hingga menjadi sebuah band yang solid. Format terkini yakni berempat-- Ivan Tigabelas gitaris sekaligus vokalis, Oyde pemeran gitaris, Boy pemain bas, Pudja Rahim di posisi gitar, dan Yudhi pemukul drum--dimulai tahun 2007 silam yang aktif berkarya hingga saat ini. Ritme perjalanan hidup band ini membawa mereka berproses menuju apa yang sebagian orang sebut sebagai pendewasaan. Nanti dulu, warna musik mereka yang kini bernuansa post rock atau experimental bukan berdasar kehendak pasar. Seperti yang kubilang tadi, bahwa ini meruoakan bagian dari proses panjang pergelutan mereka melawan kemonotonan. Dan itu terjawab dengan karya-kerya yang sepintas lalu beraroma shoegaze dan noise, yang juga akan kau temui kompleksitas pada lirik-liriknya.

Ivan Tigabelas, sang vokalis sekaligus si penulis lagu yang menggemari penyair Chairil Anwar, percaya bahwa sebuah lagu akan hambar tanpa kekuatan lirik didalamnya. Coba kau simak single "Tiga Kali Lebih Tenang" yang pernah diikutsertakan dalam kompilasi Total Feedback vol.VI di Jakarta tahun 2011 silam, atau single berjudul “Aku Tinggalkan Kau di Pintu Terakhir” di kompilasi Grungee Jumping-Noise Grunge Compilation tahun 2011. Disitulah akan kau lihat betapa lirik menjadi roh dalam sebuah lagu, dan tentu saja dengan musikalitas yang tak kalah kualitasnya.

Selain dua kompilasi yang kusebut di atas, Stupidzero juga melibatkan single "Tiga Kali Lebih Tenang" versi remix di kompilasi Asal Malaysia, Gerakan Grunge Bangkit di tahun 2011. Lalu tahun 2012, single yang sama juga tergabung dalam kompilasi Surabaya, Grunge Indonesia yangmana CD-nya dipaketkan dalam buku pergerakan subkultur grunge di Indonesia bertajuk "Perjalanan Grunge Indonesia". Setahun setelahnya, yakni 2012, single "Tidak Sedang Sadar" dilibatkan dalam Maximum Grunge Compilation dari Kota Bandung. Berlanjut dengan cover single Nirvana "You Know You're Right" dalam Indonesian Tribute to Nirvana Compilation di Jakarta, dan single "Experimentalia Menuju Surga" di Malaysia yang kini dalam proses penyelesaian.

Kesibukan Stupidzero menggarap full album telah dimulai sejak 2007 lampau, termasuk video klip untuk single "Tidak Sedang Sadar". Akhirnya, setelah berkonsentrasi cukup lama, album Anomalia siap rilis di kisaran Agustus tahun ini. Seluruhnya berisi 12 track segar yang kesemuanya dimatangkan di Chinese Food Record milik Ivan Tigabelas di Kota Tebing Tinggi, yang juga akan dirilis oleh dua label nasional yakni The Drexter asal Kota Depok dan Erassed Record dari Jakarta.

Album dalam format CD sebanyak 1.000 copy ini sangat berwarna karena bereferensi dengan band-band semisal Sigur Ros, Radiohead, Mogwai, Nirvana, Sonic Youth, Sleep Party People, Placebo, Merzbow, Boris, Blgtz, Bjork, The Doors, dan tentu saja yang tak terlupakan, Chairil Anwar.



Ego dan Alter Ego




Saya baru saja membaca ulang sebuah novel karya Sidney Sheldon yang berjudul "Tell Me Your Dreams". Novel tersebut berkisah hampir sama dengan kisah dalam film "Fight Club" yang diperankan oleh Edward Norton dan Brad Pitt. Masih ingat film ini? Betul sekali. Film keren dan cerdas ini mengangkat kisah dua kepribadian yang terangkum dalam satu tubuh. Tokoh sekaligus narator tak bernama yang diperankan oleh Norton, mengenal Tyler Durden sebagai seorang teman tanpa Ia sadari bahwa Durden merupakan bagian dari dirinya. Dalam dunia nyata, hal yang serupa dengan apa yang dialami tokoh dalam film di atas dinamai gangguan kepribadian ganda atau multiple personality disorder, lalu demi alasan kenyamanan belakangan diberi nama gangguan identitas disosiatif atau dissociative identity disorder.

Diberi nama "gangguan" karena memang pada umumnya para pengidapnya merasa terganggu dengan adanya kepribadian lain atau alter ego yang merebut kendali perilaku dalam dirinya. Dalam kasus film di atas, "pemilik asli tubuh"  tidak menyadari bahwa alter ego  tersebut adalah bagian dari dirinya, meskipun kepribadian yang lain menyadari hal itu. Dalam kasus-kasus kepribadian ganda, tidak selamanya ego mengenal alter ego sebagai teman khayalan, teman nyata atau orang-orang lain, tapi terdapat banyak kasus yangmana si ego tidak menyadari bahwa dirinya telah dikuasai oleh alter ego-alter ego itu.

Sangat mungkin kepribadian ganda sudah ada sejak zaman manusia baru mengenal peradaban. Disinyalir di masa itu para pengidapnya dikaitkan dengan orang yang kerasukan roh-roh halus. Sayangnya tidak ada pencatatan-pencatatan untuk membuktikan hal ini. Lalu di tahun 1815, kasus serupa gangguan kepribadian ganda terdiagnosa pada Mary Reynolds sebagai kasus pertama kali yang tercatat di Amerika. Tidak ada yang berani menyimpulkan hal apa yang menimpa Mary Reynolds sampai pada akhirnya kasus Sybil Isabel Dorset mencuat di tahun 1973.

Sybil Isabel Dorset yang bernama asli Shirley Ardell Mason di diagnosa mempunya banyak kepribadian. Bermula dari kegelisahannya terhadap beberapa kejadian hariannya yang tidak Ia ingat sama sekali, maka Sybil berinisiatif mengunjungi Dr. Cornelia B. Wilbur, seorang psikiater di kotanya. Hasil diagnosa Wilbur, mengungkap bahwa Sybil memiliki enam belas kepribadian yang berbeda watak, nama, usia dan jenis kelamin. 

Masing-masing alter ego saling berhubungan dan menjaga satu sama lain bahkan saling berbagi peran dengan kemampuan yang berbeda-beda. Alter ego yang pandai secara ekonomi akan berperan  mengatur sistem keuangan Sybil, alter ego yang pandai berkomunikasi akan ada ketika dirinya berhadapan dengan orang-orang lain. Tiap-tiap alter memiliki karakter yang juga berbeda. Seperti alter ego bernama Sid Vicious yang mewakili karakter dalam dirinya yang bengal, atau karakter ibu kandung Sybil yang perannya untuk menjaga kerukunan semua kepribadian yang ada. Dalam kasus-kasus serupa, terdapat alter ego-alter ego yang berbeda ras, agama, jenis kelamin, dan gaya bicara. Bagaimana mungkin belasan bahkan ratusan kepribadian berkumpul dalam satu tubuh?

Analisis beberapa ahli mentalis menyatakan bahwa pemicu utama kepribadian ganda ini adalah trauma mental pada saat si pengidap berusia kanak-kanak. Usia pra remaja merupakan masa yang sangat berpotensi untuk itu, mengingat pada usia ini mental manusia cenderung rapuh. Sederhananya begini, ketika seorang anak kecil mengalami kekerasan baik fisik ataupun mental, menjadi "diri" orang lain adalah satu-satunya jalan untuk berlindung dari kejaran traumatis. Ia akan memecah kepribadiannya dan memilih pribadi atau lain termasuk menciptakan tokoh yang ideal. Semakin sering kekerasan-kekerasan lain terjadi, semakin banyak koleksi identitas ia miliki. Tentu saja akan ada alter ego yang bersifat baik untuk mewakili rasa takut dan kesedihan, serta ada alter ego jahat yang mewakili dendam dan rasa ingin berontak. Sebuah penghalang memori kemudian dibangun antara anak itu dengan identitas baru yang telah diciptakan. Dalam beberapa waktu ia akan melupakan peristiwa-peristiwa menyakitkan yang pernah ia alami sekaligus melupakan pribadi yang pernah ia ciptakan. Lalu adakalanya menjelang dewasa, pengalaman-pengalama buruk di masa lalu itu terulang dalam memori yang tidak terkunci rapat di otak si pengidap dan mengambil alih tubuh dalam seketika, atau dalam bahasa kejiwaan diberi istilah switching. 

Sumber masalah berikutnya adalah ketika kepribadian utama tanpa sengaja lebih mengasah dendam dalam alter ego yang bersifat jahat. Seperti yang dialami oleh William Stanley Milligan atas Billy Milligan, yang didakwa tidak bersalah atas kasus perkosaan yang terbukti "Ia" lakukan terhadap tiga perempuan di Ohio, Amerika Serikat, karena berdasarkan penyidikan ternyata Billy memiliki 24 kepribadian. Ia menjadi orang pertama yang lolos dari jeratan hukum karena gangguan yang diidapnya. 

Tidak berbeda jauh dengan Billy Milligan yang mengalami kekerasan masa kecil berupa pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayah tirinya, semasa kecil Sybil mengalami perlakuan kasar dan penyiksaan yang dilakukan oleh ibunya sehingga mendorongnya menciptakan pribadi-pribadi yang "diharapkan" oleh sang ibu.

Perdebatan terjadi antar para mentalis pada saat itu yang meragukan hasil diagnosa Dr. Cornelia B. Wilbur terhadap Sybil yang dianggap terlalu mengada-ada. Meski begitu ada hal-hal yang tidak bisa disangkal oleh para ahli tersebut, yakni dimana masing-masing kepribadian yang ada, memiliki keahlian masing-masing yang justru tidak bisa dilakukan oleh si pribadi utama. Semisal beberapa kepribadian Sybil yang pandai bermain piano, melukis dan berbahasa asing, walau pada kenyataannya Ia sama sekali belum pernah mempelajarinya. Ini pula yang pada akhirnya menjadi tiket kebebasan bagi Billy Milligan dan "diri-dirinya" yang lain setelah berhasil melewati serangkaian uji kebohongan.




Di Mana Kau Letakkan Puisinya, Perempuan?




Berhentilah menyusupkan lalat ke dalam cangkir kopiku
yang diracik oleh tahi mata demi kejutan pagi hari.
Bahkan mi instan,
yang kini terlalu malu untuk hidang di atas perapian itu,
mulai membuat jengkel atas jejak-jejaknya dilambungku.

Ataukah kau coba-coba meracuniku dengan karat
yang meleleh di tepi-tepi panci
untuk lantas mengumpulkan serdadu semut
yang menggalang aksi protes
menuntut bon gula dari warung tetangga?

Dan perempuan, berhentilah kau cucikan
pakaianku dengan pertaruhan senyumku
yang bercorak kelelaki-lelakian,
tersungging kaku di sudut bibir
ketika mendapati pantatmu menungging
sekembaliku memburuh di pergadaian kodrati.
Serahkan semua beban tugasmu
pada kebesaran lembaga Leasing yang maha agung,
maha penjerat.


Sebuah karya yang telat dikirim kepada kawan-kawan di Pontianak
untuk event Lady Riot Fest 2 beberapa waktu lalu.



Rabu, 01 Agustus 2012

DROP OUT


"It's all about fun and rockin the sick world!"--Deadeye

Tahun 2002 silam, sebuah semangat berhasil mempersatukan tiga pemuda penyuka rock 90-an dalam sebuah band yang lalu mereka namai Drop Out. Tiga pemuda itu -- Deddy aka Deadeye yang lebih memilih gitar dan mikrofon sebagai perannya, Daffy yang memegang kendali pada bas dan juga mikrofon, lalu Atok sebagai pemukul drum dan perkusi -- tidak memiliki alasan yang terlampau spesifik untuk membangun sebuah band selain mencari kesenangan-kesenangan dalam musik ber-genre grunge.

Formasi bertiga ini eksis hingga saat ini tanpa secuil pun perombakan meski ketiganya berasal dari kabupaten berbeda yang saling berjauhan di Sumatera Selatan. "Tidak ada tips khusus, untuk saya band itu layakya keluarga kecil kita, dimana suka duka ditanggung bersama, ada masalah diselesaikan secara kekeluargaan, saling mendukung dan membimbing tapi tidak menggurui, dan menempatkan ego di urutan terakhir." tutur Deadeye perihal bagaimana mempertahankan usia sebuah band, bahkan ketika kendala-kendala datang dalam wujud waktu luang yang hilang dan kesibukan yang menjadi padat oleh urusan pekerjaan dan menafkahi keluarga.

Bermacam panggung menjadi sarana bagi Drop Out untuk menampilkan karya-karya mereka. Dari panggung lokal bahkan Nasional. Sejak festival beratmosfer spektakuler berisi manusia-manusia "normal" yang cuma manggut-manggut kecil mengikuti hentakan musik dengan wajah tolol, hingga audiens yang jumpalitan liar di panggung gigs punk. Kedekatan emosional scene grunge dan hardcore punk di Kota Palembang memungkinkan untuk itu, termasuk persoalan lokasi tongkrongan dan penggarapan  kompilasi bersama yang menjadikan Drop Out tidak membangun wacana dengan sesama scene grunge semata. Salah satunya bisa dilihat dari keterlibatan single "Sahabatku, Musuhku" dalam kompilasi di Kota Palembang, Take Control tahun 2006.

Berbagai band seluruh penjuru dunia menjadi rujukan bagi Drop Out untuk mendukung ide-idenya. Sebut saja, untuk di ranah lokal ada Cupumanik, Toilet Sounds, Freak, Klepto Opera, dan Navicula. Lalu dari negeri di luar sana ada Sheeter, Pearl Jam, Deftones, Nirvana, Silverchair, Chevelle, Staind, Puddle Of  Mudd, The Ataris, Poison Of The Well, Smashing Pumpkins, Bush, Weezer, Muse, Finch, Stone Temple Pilot, The Vines, Foo Fighter, Sonic Youth, GodSmack, 3 Doors Down, Story Of The Year, Tool, A Perfect Circle, Hole, dan banyak lagi. Drop Out tidak menampik bahwa Nirvana menjadi figur utama yang mempersatukan mereka bertiga dan menjadi panutan utamanya. Referensi dari sekian banyak band ini yang tidak membatasi Drop Out ketika akan menulis lirik, entah itu tentang perang, ketakutan, kebencian, bunuh diri, anti politik, kebahagiaan, persahabatan dan keluarga.

Lirik-lirik ini yang bisa kita temukan pada debut CD Album EP Rasa Sakit yang dirilis 2006 silam dan dalam CD album Fade In a Away yang rilis pada 2007 lampau. Lirik yang sama yang akan kita temukan dalam album Drop Out berikutnya yang sedang dalam proses perekaman yang dikelola secara mandiri, tentunya dengan tetap bersenang-bersenang dalam upaya menjadi sebuah band yang muda selamanya.


Kisah Flanel dan Para Penebang Pohon


Menelusuri sejarah flanel hampir sama sulitnya dengan mencarinya di bursa pakaian bekas. Hampir setiap artikel yang saya jumpai mengeratkannya dengan grunge movement yang melanda di era 90-an. Lagi-lagi Nirvana dan gerombolannya dianggap sebagai pemicu mewabahnya tren penggunaan kemeja tebal bermotif kotak-kotak ini.

Bagi sebagian orang, flanel alias felt, ditaksir merupakan jenis kain tertua dalam sejarah manusia. Ini ditandai dengan penemuan bekas-bekas kain serupa flanel yang diketemukan di Turki dan ditaksir berasal dari tahun 6.500 SM. Hal serupa juga ditemukan di sebuah makam di Siberia dalam kondisi telah diawetkan dan diperkirakan berasal dari tahun 600 M. Meskipun begitu, asal muasal penggunaan flanel  zaman semi modern hingga saat ini masih menjadi bahan pertanyaan, tapi disinyalir pertama kali digunakan di Wales dan Inggris barat daya pada abad ke-16--yang menyebutnya flannelette. Para petani bangsa Welsh di dataran Inggris diketahui mulai mengenakan kain berbahan flanel yang cukup tebal karena terbuat dari serat wol tanpa ditenun untuk melindungi diri mereka dari reranting pepohonan dan karang. Tidak hanya itu, tapi kala itu bahan flanel juga digunakan untuk keperluan lain semisal karpet di ruangan kaum bangsawan, topi berkuda, syal, alas tidur dan selimut. Lalu kain flanel mulai menyeruak dari kepulauan Inggris dan menyebar ke pelbagai daratan Eropa lainnya seperti Perancis pada abad ke-17 dengan sebutan flanelle, dan Jerman di abad ke-18 dengan menyebutnya Flannell. Iklim empat musim dan ketersediaan bahan baku wol yang melimpah di Eropa menjadikan flanel sebagai salah satu bahan pakaian alternatif ketika cuaca dingin mendera.

Seiring dengan Revolusi Industri, di abad ke-18 produksi flanel yang mulanya hanya diproduksi secara rumahan dan tradisional akhirnya mulai menjadi produk pabrikasi. Ia mulai dicetak secara massal, tentu saja ketika permintaan akan flanel semakin meningkat. Karena perhitungan ekonomis, bahan baku wol yang dinilai mahal ditambah atau digantikan dengan serat kapas dan sutera serta beberapa serat sintetis. Perusahaan Carhartt yang bergerak di industri garmen asal Michigan, Amerika Serikat, milik Hamilton Carhartt di tahun 1889 mengklaim sebagai penemu pertama kemeja berbahan baku flanel termasuk motif kotak-kotak yang terinspirasi oleh Kilt atau pakaian tradisional Skotlandia, walau tidak semua yang bermotif kotak-kotak itu adalah flanel demikian pula sebaliknya. Semuanya diawali dengan order pertama Hamilton Carhartt untuk memenuhi kebutuhan seragam para pekerja kereta api Amerika yang tahan di segala medan, nyaman namun tetap trendi.

Di awal abad ke-20 produksi flanel khususnya untuk pakaian mulai disesuaikan dengan beberapa musim selain musim dingin. Beberapa diantaranya dirancang untuk di cuaca hangat yakni dengan memaksimalkan pencampuran katun dan sutera serta kapas sehingga kemeja flanel menjadi lebih ringan. Di abad yang sama, ketika flanel masuk ke Amerika Utara, flanel--terutama dengan motif kotak-kotak, diidentikkan dengan orang-orang udik, para pekerja kerah biru, terutama petani, penggembala, pekerja tambang, penebang pohon, dan mereka yang bekerja di luar ruangan. Daya tahan bahannya, kemudahannya untuk dicuci serta juga kehangatannya, sangat ideal sehingga memungkinkan mereka bebas bergerak dan bekerja berlama-lama di bawah suhu yang dingin. Sejak itu, para penebang pohon disimbolkan dengan sepasang sepatu boots dan flanel.



Ketika Perang Dunia I melanda, flanel digunakan sebagai bahan alternatif pengganti perban di rumah sakit-rumah sakit dan perlengkapan tentara termasuk untuk seragam dan selimut selama di medan pertempuran. Depresi ekonomi besar-besaran pasca perang yang melanda Eropa menjadikan pakaian berbahan flanel sebagai pilihan utama karena lebih murah dan tahan lama bila dibandingkan dengan pakaian katun. Realita ini membiaskan status sosial yang sebelumnya disimbolkan dengan pola berpakaian seseorang. Yang mulanya flanel identik dengan kelas bawah, pada akhirnya menjadi milik seluruh lapisan sosial. Di masa ini pula flanel diidentikkan dengan kelelaki-lelakian.

Entah apakah memang berhubungan dengan tempat asalnya di Aberdeen yang bercuaca dingin dan didominasi oleh para penebang pohon berflanel, ataukah karena dengan sengaja mengenakan flanel sebagai simbol kelas bawah, Kurt Cobain dianggap mempopulerkan kembali kemeja flanel bermotif kotak-kotak di era 90-an. Masa keemasan grunge saat itu ditandai dengan perubahan pola berpakaian para pemuda subkultur. Tidak ada lagi jaket kulit yang sempat berjaya oleh kalangan glam rock dan hair metal. Mereka beramai-ramai mengenakan kombinasi flanel, jeans, dan boots juga sneakers.

Bagaimana dengan sekarang? Meski kini beragam produk dan beraneka merk telah mengenakan bahan baku flanel selain pakaian, setidaknya ada sebuah fenomena karena hampir dikenakan hanya oleh kalangan subkultur sahaja selama tiga dekade terakhir. Hebatnya, nyaris tanpa campur tangan periklanan namun menjadi kostum baru bagi para hipster untuk mengisi budayanya yang kosong.



The Story of Stuff


Pernahkah anda sadari berapa banyak sudah produk-produk yang kita konsumsi atas dasar keinginan? Motif dasar ekonomi seorang konsumen pada dasarnya adalah untuk memenuhi 'kebutuhan'nya yang tidak terbatas. Namun 'kebutuhan' itu berubah menjadi sebuah 'keinginan' yang malah lebih tak terbatas bila dibandingkan dengan 'kebutuhan'. 'Kebutuhan' untuk menghilangkan dahaga tentu cukup dengan sekedar air putih, tapi 'keinginan' mendorong untuk lebih memilih Coca-Cola.

Dalam ekonomi modern dikenal istilah product life cycle atau siklus hidup sebuah produk, yakni proses lahirnya sebuah produk hingga kematiannya baik dalam jangka waktu panjang ataupun sebaliknya. Layaknya sesuatu yang hidup, sebuah produk akan berkompetisi dengan produk lain. Lalu ketika kejenuhan pasar terhadap produk si pemenang persaingan menjelang, itu dianggap sebagai suatu kelumrahan.

Kebanyakan dari kita tidak berpikir terlalu panjang untuk mengkonsumsi sebuah produk--mengkonsumsi saya artikan disini sebagai tindakan membeli sesuatu--bahwa ternyata sebuah produk melalui jalan yang panjang hingga Ia benar-benar siap untuk dikonsumsi. Inilah yang ingin disampaikan oleh Annie Leonard dalam filmnya The Story of Stuff, kisah perjalanan produk dan "sumbangan"nya kepada dunia sejak dari ekstraksi, produksi, distribusi, konsumsi, hingga pembuangan.

Kelahiran sebuah produk bukan tanpa pertimbangan sama sekali. Ia melalui perencanaan yang ketat oleh produsennya. Pertimbangan bahan baku, peluang pasar, seleksi pasar, sumber daya, dan sebagainya, termasuk bagaimana ia bisa melewati batasan-batasan yang bisa menjadi faktor penghambat. Karena itulah, kekuasaan dibutuhkan. Maka tidaklah aneh bila pemegang otoritas--dalam hal ini negara yang berwenang menerbitkan surat perizinan bagi para pengusaha--bersahabat dengan para produsen. Tatkala si produsen bertumbuh dan semakin besar, kendali beralih ke tangannya. Maka jalur dan jejaring operasi produsen semakin luas dan dapat memaksimalkan pengurasan sumber daya yang tersedia, memasarkan produk, termasuk bagaimana ia membuang sisa produksi.

Siklus hidup sebuah produk melalui sistem matematis yangmana ia tak terbatas. Lalu bagaimana ia dapat beroperasi di bumi yang terbatas sumber daya alamnya? Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa para produsen menyadari hal itu. Bahwa hutan sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui pun akan sulit digantikan dengan kecepatan perputaran siklus hidup produk itu sendiri, apalagi sumber daya tambang yang tidak dapat diperbaharui. Untuk itu mereka berekspansi ke negara-negara miskin tetangga untuk melakukan pengrusakan yang sama parahnya. Ibarat sambil menyelam minum air laut hingga kering, sambil berproduksi mereka juga langsung menjual barang dagangannya di negara-negara tersebut, hitung-hitung menghemat biaya distribusi dan ditambah mendapat tenaga kerja yang murah pula.

Ketika proses produksi dan distribusi selesai, tahap berikutnya adalah menawarkan produk tersebut kepada pasar. Sarana pendukung yang paling berperan besar adalah televisi sebagai salah satu keajaiban peradaban dalam dunia konsumsi. Televisi menayangkan iklan-iklan sebuah produk dengan iming-iming yang menggiurkan yang pada akhirnya menciptakan dua pola utama yang dilakukan oleh manusia ketika lelah bekerja: menonton televisi dan berbelanja.

Masyarakat konsumer menemukan jatidirinya dalam barang-barang yang mereka beli. Ketika itu tercapai, tidak ada kepuasan yang bisa menggantikannya. Para produsen mendramatisir hal ini dengan menciptakan sebuah tren dalam menggunakan sebuah produk. Sebagai contoh, ketika seorang konsumen memiliki sebuah telepon genggam maka ia akan terjerat dalam tren teknologi yang ditawarkan oleh si produsen telepon genggam tersebut yang tentu saja itu akan selalu berubah. Sesungguhnya itu merupakan akal-akalan si produsen, karena bisa saja mereka mengeluarkan produk dan teknologi pendampingnya dalam satu edisi, tapi, meski ini berujung pada tumpukan barang-barang bekas yang menyampah, siapa yang kelak membeli produk lanjutannya selain konsumen yang berhasil dikibuli masak-masak?

Annie Leonard membawa film ini begitu ringan untuk dipahami dengan tutur dan animasi yang asyik untuk disimak. Dengan menyadari dampak lingkungan dan sosial dari perjalanan sebuah produk, khalayak dapat lebih bijak menelaah kebutuhannya sebelum memutuskan membeli sebuah produk.


Gambar-Gambar Kehidupan: Kejutan Dari Bangku Cadangan




Di awal kelahirannya, film menjadi sarana penghibur yang bersusah payah untuk tidak melepaskan perannya sebagai penyampai informasi. Terutama ketika film menjadi barang dagangan industri raksasa perfilman yang lebih menempatkan keuntungan di bangku terdepan para penonton, dan memposisikan informasi di bangku cadangan. Selera pasar tentu menjadi tolak ukur yang malah menjadikan film-film tersebut bersifat normatif dan terkonsep amat membosankan. Kejujuran tutur sebuah film menjadikannya tidak layak tayang karena berpeluang besar mendatangkan sepinya penonton.

Lebih dari satu abad silam, atau tepatnya di tahun 1878, Eadweard James Muybridge seorang fotografer Inggris yang juga pengelana untuk kali pertama mengenalkan teknik objek gambar bergerak dengan menggunakan kameranya. Sesungguhnya gambar-gambar itu tidak nyata-nyata bergerak, hanya saja kecepatan dan akurasi jepretannya kameranya mampu membuat 16 frame secara berurutan. Penemuan gambar bergerak inilah yang bisa disebut menginspirasi sebuah potongan film pertama kali di dunia pada satu dekade setelahnya, yakni film yang mendekati apa yang kita kenal seperti sekarang. Cuplikan yang disutradarai oleh Louis Le Prince asal Prancis itu berdurasi 2 detik dan dinamai "Roundhay Garden Scene". Dan pada 1895, dua bersaudara asal Perancis yakni Auguste Marie Louis Nicolas dan Louis Jean yang lebih dikenal sebagai Lumiere bersaudara, mengadakan pemutaran beberapa film produksi mereka di hadapan publik sebagai pemutaran film pertama di dunia.

Film merupakan kombinasi dari tiga media utama yakni yang tidak dapat saling berlepasan yakni kinetograph yang berfungsi sebagai alat perekam gerak, lalu kinetoscope yang berfungsi untuk memproyeksikan gerak, dan phonograph yang berdaya merekam suara. Tahun 1903, sebuah aksi perampokan kereta besar-besaran yang terjadi di Amerika menginspirasi Thomas Edison untuk menulis film berdurasi dua belas menit yang dirilis pertama kali di dunia berjudul "The Great Train Robbery".

Tabir sejarah perfilman Indonesia dibuka dengan film yang diangkat dari legenda Jawa Barat berjudul "Loetoeng Kasaroeng" pada tahun 1926, yang meski merupakan hasil karya pembuat film asal Belanda namun merupakan rilisan komersial pertama yang melibatkan artis Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, sebuah film karya Umar Ismail berjudul "Darah dan Doa" pada tahun 1950 menjadi film pertama yang secara resmi diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia atau Perfini, yang lantas tanggal pertama kali syuting film ini yakni pada 30 Maret 1950 didaulat sebagai Hari Film Nasional.

Bangku Merah merupakan sebuah komunitas penggemar film di Kota Palembang yang selama ini kerap menggarap pemutaran film kecil-kecilan secara kolektif di beberapa tempat yang dinilai memungkinkan, entah itu pada sebuah cafe atau rumah salah satu anggotanya, dan berlanjut dengan diskusi perihal film yang selesai ditonton bersama bagaimanapun muaranya. Nama Bangku Merah sendiri diambil dari bangku penonton dalam gedung bioskop yang memang acap berwarna merah. Dan dari maraton nonton bersama ini, Bangku Merah merangkai sebuah event berskala lebih besar bertajuk Gambar-Gambar Kehidupan, yang diharap menjadi sebuah momen para pecinta film di Kota Palembang untuk dapat saling menyapa.

Setali dengan namanya, event Gambar-Gambar Kehidupan merupakan penayangan film-film yang bersentuhan dengan kehidupan keseharian kita saat ini. Tentang pedihnya kehidupan seorang buruh, bagaimana ruang publik diperuntukkan, bagaimana sistem ekonomi berlaku, serta bagaimana sistem sosial dan fenomena sosial berjalan. Melalui event ini Bangku Merah selaku penggagas event yang bekerjasama dengan Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS), mencoba mengembalikan film sebagai media penyampai informasi dan alat untuk berkomunikasi. Akan ada diskusi setelah pemutaran beberapa film seperti “Lords of Dogtown”, “Persepolis”, “The Bang-Bang Club”, “The Story Of Stuff”, “Marsinah” dan “Sanubari Jakarta” dan lainnya.


Kisah Para Penonton di Balik Layar


"Jangan hanya menjadi penonton, jangan biarkan hidup berlalu begitu saja"--Lou Holtz

Lebih dari satu abad silam, atau tepatnya di tahun 1878, Eadweard James Muybridge seorang fotografer Inggris yang juga pengelana untuk kali pertama mengenalkan teknik objek gambar bergerak dengan menggunakan kameranya. Sesungguhnya gambar-gambar itu tidak nyata-nyata bergerak, hanya saja kecepatan dan akurasi jepretannya kameranya mampu membuat 16 frame secara berurutan. Penemuan gambar bergerak inilah yang bisa disebut menginspirasi sebuah potongan film pertama kali di dunia pada satu dekade setelahnya, yakni film yang mendekati apa yang kita kenal seperti sekarang. Cuplikan yang disutradarai oleh Louis Le Prince asal Prancis itu berdurasi 2 detik dan dinamai "Roundhay Garden Scene". Dan pada 1895, dua bersaudara asal Perancis yakni Auguste Marie Louis Nicolas dan Louis Jean yang lebih dikenal sebagai Lumiere bersaudara, mengadakan pemutaran beberapa film produksi mereka di hadapan publik sebagai pemutaran film pertama di dunia.

Film merupakan kombinasi dari tiga media utama yakni yang tidak dapat saling berlepasan yakni kinetograph yang berfungsi sebagai alat perekam gerak, lalu kinetoscope yang berfungsi untuk memproyeksikan gerak, dan phonograph yang berdaya merekam suara. Tahun 1903, sebuah aksi perampokan kereta besar-besaran yang terjadi di Amerika menginspirasi Thomas Edison untuk menulis film berdurasi dua belas menit yang dirilis pertama kali di dunia berjudul "The Great Train Robbery".

Tabir sejarah perfilman Indonesia dibuka dengan film yang diangkat dari legenda Jawa Barat berjudul "Loetoeng Kasaroeng" pada tahun 1926, yang meski merupakan hasil karya pembuat film asal Belanda namun merupakan rilisan komersial pertama yang melibatkan artis Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, sebuah film karya Umar Ismail berjudul "Darah dan Doa" pada tahun 1950 menjadi film pertama yang secara resmi diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia atau Perfini, yang lantas tanggal pertama kali syuting film ini yakni pada 30 Maret 1950 didaulat sebagai Hari Film Nasional.

Di era 70-an perfilman Indonesia diramaikan oleh genre komedi yang kala itu dibintangi oleh Benyamin Sueb dan kawan-kawan yang bersaing ketat dengan film-film drama percintaan yang dirajai oleh Rhoma Irama. Lalu pada era 80-an genre komedi kedatangan pendatang baru yakni Warkop DKI, yang di akhir eranya mesti bersaing dengan film-film laga yang diangkat dari sandiwara radio. Kelatahan para produsen film di Indonesia terhadap selera pasar bisa dilacak dari tren yang mulai terjadi pasca era ini. Sebut saja di pertengahan 90-an mewabah film-film laga dan horor berbalut erotis yang dibintangi artis-artis yang sama di tiap film yang beredar di saat yang nyaris sama pula. Kelatahan paling parah terjadi satu dekade setelahnya, yakni ketika hantu-hantu bergentayangan di layar bioskop dan televisi.

Layaknya siklus kompetisi, produsen dalam industri perfilman di Indonesia berlahiran dan banyak diantaranya yang mati dilahap persaingan. Satu-satunya cara untuk bertahan di masa kritis ini adalah dengan mengambil resiko mengikuti selera pasar yang membosankan. Jalan keluar ini yang lama-kelamaan membawa industri perfilman di Indonesia berputar-putar di ranah cerita yang itu-itu saja, tanpa sadar bahwa bangku terakhir yang tersisa telah ditinggalkan oleh penonton yang memasuki barisan menuju tayangan film-film mancanegara. Lalu lagi-lagi para pembajak film dipersalahkan atas krisis ini. Meski pemberantasan yang dilakukan oleh otoritas terkait tidak lantas mendongkrak penjualan tiket bioskop dan pembelian CD original, karena mutu cerita yang ditawarkan memang begitu menyedihkan.

Film berkembang tidak hanya perpaduan antara seni dan teknologi semata, Ia juga menjadi perpaduan antara ekonomi dan politik normatif. Lalu posisi para seniman pegiat film untuk menghibur para penonton diisi oleh para pengejar keuntungan belaka, yang ternyata justru menghilangkan rempah-rempah penyedap film itu sendiri. Tidak hanya disitu, film-film yang dianggap mengganggu stabilitas negeri pun dilarang beredar meski diramu oleh koki-koki handal, sebagai contoh adalah film-film garapan Garin Nugroho seperti "Daun di atas Bantal" dan "Pasir Berbisik" yang tidak diperbolehkan beredar di masa Orde Baru karena dinilai bertutur terlalu jujur tentang kondisi sosial yang terjadi di Indonesia, atau pelarangan film karya Slamet Raharjo pada tahun 2001 berjudul "Marsinah", karena dianggap menggelitik naluri kritis masyarakat dan mengusik kewibawaan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dan, bagaimana ketika para penonton mulai mengambil peran untuk berada di balik layar? Keresahan para penggemar film di Indonesia terhadap grasak-grusuk film-film yang berteknik tinggi namun berkualitas cerita rendah, melahirkan film-film independen atau indie, baik berdurasi singkat maupun sebaliknya. Ini adalah salah satu metode alternatif yang dikembangkan oleh para penggemar film yang lelah oleh rasa bosan menjadi penonton. Dengan modal semampunya, kemampuan seadanya dan fasilitas sedapatnya, berlahiran karya-karya hebat penuh kejutan yang berupaya keluar dari gagasan-gagasan standar. Disini para penonton dapat berkesperimen dalam mematerialkan keinginan-keinginan mereka dengan konsep kemandirian. Penonton memiliki kebebasan untuk menafsirkan sepuasnya, mempunyai kebebasan untuk mempertanyakan tanpa perlu orang lain mejawabnya. Keberagaman lahir dari sini. Dengan begitu, wacana kekhasan para sineas indie sulit untuk dilacak dan dipetakan. Semoga saya tidak keliru.


Suicide Reject Membuat Grunge Kembali Bernyawa


Selama ini bertebaran prasangka bahwa scene grunge di Sumatera Selatan telah jauh terkubur dalam lubang kematian. Dugaan itu ada benarnya mengingat lenyapnya aktivitas yang dahulu sempat diramaikan oleh tongkrongan berflanel dan jeans compang-camping yang bergerombol di event-event punk menanti giliran untuk mengisi stage. Dan sejujurnya, kita merindukan penampilan band-band ala Alice In Chain, Soundgarden, Sonic Youth, Nirvana dan sederet Seattle Sound lainnya ini. Bagaimana mungkin kita lupa cara mereka meraung dengan sayatan-sayatan melodius berbalut noisy effect, atau merintih dengan lirik-lirik segelisah Jim Morrison, bahkan mendekati kenihilan Nietzsche?

Dan rupanya SSgrungeunited Digital Record (SSDR) menyimpan kerinduan serupa dendam yang segera dibayar dengan menghunus Suicide Reject, yang mungkin cukup untuk menjadi negasi penusuk bagi prasangka-prasangka tak bertuan tentang grunge yang berupa kawanan orang-orang yang berbaring menunggu mati. Suicide Reject bukan sebuah misi agung penyelamatan grunge dari kematian, bahkan jauh dari pesona sesumbar murahan penarik simpati di lapangan laga pertarungan antar band-band populer. Suicide Reject hanya mencoba membangun kembali pondasi semangat yang nyaris menjadi puing.

SSDR merangkul dua belas band untuk terlibat dalam project kompilasi berformat digital ini. Sebagian merupakan materi-materi lama dari tiap band berstatus layak dengar namun kurang memuaskan, dan sebagian berupa rekaman terbaru berkualitas mendekati prima. Kedua belas band ini memiliki nama yang tidak asing di scene grunge Sumatera Selatan dan Kota Palembang pada khususnya. Sebutlah Soundfinger, Corridor Sick Heaven, Wyde, Noise!, Sunday Morning, Youth 77, Aqua Channel, Drop Out, Ballerina's Killer, D3pression, Uptight03, dan Nol Persen, yang menjadikan bulan kelima tahun ini sebagai tenggat untuk mengusik scene alternative rock di Tanah Sriwijaya.

Depresi adalah isu konyol dan basi yang terus merekat pada scene grunge di tengah modernitas dan teror globalisasi. Seperti namanya, Suicide Reject menolak konsep bunuh diri, baik yang dimaknai kematian daya kreasi atau binasanya tali pertemanan di ranah grunge Sumatera Selatan.


Zine: Just Make It!


"Ayo semua bikin zine!"—Bikin Zine, Up to Rage.

Pendapat bahwa relasi sosial dunia modern bergantung dengan media massa ada benarnya. Karena dalam perkembangannya, media tidak lagi menjadi alat berkomunikasi untuk menyampaikan gagasan dan informasi saja. Banyak kepentingan lain dibelakangnya entah yang berorientasi laba, entah itu sarana propaganda, saluran pemasaran produk, penopang pilar kekuasaan atau pondasi stabilitas. Motif keuntungan ini pulalah yang membatasi informasi-informasi yang ingin disampaikan oleh informan demi alasan kelanggengan bisnis media. Selain itu, konsep-konsep moral yang diciptakan oleh masyarakat arus utama dan penguasa turut memagari setiap informasi dengan melahirkan sistem sensoritas hingga pada akhirnya membatasi kreasi dari setiap ide.

Ide yang terlahir bebas tentu tak bisa dibendung oleh batasan-batasan. Tidak ada yang bisa menghadang hasrat untuk berbagi informasi dan gagasan. Kebebasan ini teraktualisasi dengan mewujudnya bentuk media tandingan bernama media alternatif—termasuk media cetak alternatif—yang tidak cuma kritik pada media mainstream tapi pada peran media itu sendiri. Di kalangan scene hardcore/punk, media cetak alternatif populer dengan nama zine meskipun memang banyak variannya.

Untuk menjadi seorang editor zine tidak diharuskan memiliki latar belakang jurnalistik. Profesionalitas menjadi urusan nomor dua. Yang terpenting adalah bagaimana mengemas informasi ke dalam kreatifitas dan semangat untuk menyalurkan informasi gratis, yang ternyata memang dimiliki oleh setiap orang apapun latar belakang sosialnya.

Di awal kelahirannya dipertengahan 1960-an oleh kalangan penggemar fiksi ilmiah, distribusi zine dibatasi oleh teknologi yangmana pada waktu itu belum diketemukannya mesin pengganda arsip atau yang kita kenal dengan nama mesin fotokopi. Setelah teknologi ini mumpuni satu dekade setelahnya, para editor zine mulai bisa mencetak zine dalam skala yang lebih besar meski juga tetap beredar di kalangan terbatas. Populernya teknik kolase dari kalangan punk juga turut mempengaruhi style baru dalam dunia zine. Jelas sekali bahwa siapapun bisa menjadi editor zine, karena bayangkan, dengan bermodal gunting, lem dan kertas semuanya bisa diatasi. Keterbatasan kemampuan dalam mengolah kata dan gambar tidak diindahkan, karena dalam metode ini orisinalitas atau hak cipta dikesampingkan. Semua gambar dan teks dari sumber manapun bisa digunakan sebagai materi dalam menyampaikan informasi, yang ternyata menjadi lebih artistik daripada seni itu sendiri. Di kalangan hardcore/punk yangmana semula zine berisi informasi-informasi seputar rilisan band-band, kalender event dan reportase event dan lain-lain yang hanya berputar-putar di lingkar komuniti, pada akhirnya mulai berkembang menjadi sebuah media yang bisa sangat personal dan bisa sangat massif peredarannya tanpa menghilangkan semangatnya sebagai sebuah media untuk bersenang-senang. Maka dari itu berbagai kalangan di luar scene hardcore/punk mulai mengadopsi semangat yang terkandung di dalam zine untuk membuat media mereka sendiri, yang menelurkan zine dari klub hobi, fashion, olahraga, komik,dan sebagainya.

Sebagai sarana penyampai informasi gratis, sebagian zine memang dibagikan secara cuma-cuma, namun sebagian lainnya dijual demi kepentingan penggalangan dana. Editor zine dan kontributor-kontributor didalamnya telah bersedia sejak awal untuk meniadakan profit. Tidak cukup dengan merogoh kocek sendiri, untuk kelangsungan nyawa zine beberapa editor hanya meminta uang pengganti ongkos produksinya saja berupa biaya untuk fotokopi, atau menjual merchandise yang iklannya dipajang dalam zine. Dan pada umumnya para editor zine memiliki jejaring titik distribusi di setiap daerah di luar wilayahnya untuk dapat membantu pendistribusian zine-nya termasuk saling bertukar zine dengan sistem barter. Ini jelas membantu perkembangan komuniti di setiap daerah untuk saling bertukar informasi tentang permasalahan dan kebutuhan di daerahnya masing-masing.

Zaman terus berganti. Tapi tidak demikian dengan semangat yang diapikan oleh zine. Tentang sebuah media otonom yang bisa dikelola secara personal atau bersama teman-teman, diolah secara digital atau manual, berisi elegi atau amarah, total bergambar atau teks keseluruhan, difotokopi atau dicetak, bahkan semua aturan dapat ditentukan sendiri oleh si pembuat zine tanpa terpatok keinginan pimpinan redaksi, tanpa tenggat waktu yang ditentukan oleh perusahaan. Tanpa kesenangan didalamnya, bisa dipastikan bahwa itu bukanlah sebuah zine.


From Our Scene


From Our Scene merupakan sebuah project temporer yang kami buat dalam upaya berbagi informasi dalam membangun komunikasi dan wacana di dalam scene termasuk orang-orang di luar sana yang merasa dirinya lebih normal dari kita. Karena hingga saat ini kami merasa tidak ada hal yang senormal perayaan kebebasan hasrat dan imajinasi tanpa menghilangkan kenyamanan orang-orang di sekitar kita.

Scene ini berkembang dalam proses panjang dan berbagai kontradiksi didalamnya; dari mohawk dengan lem kayu hingga street punk sandal jepit; boots tentara hingga Doc Martens; istilah konyol punk politis dan apolitis; senior dan abal-abal; poser dan hipster; panggung tujuhbelasan hingga panggung rigging; rilisan rekaman bersampul koran hingga berdesain mutakhir. Perjalanan demi perjalanan membawa scene ini ke dalam ritme yang mengharukan sekaligus mematangkan emosional tiap-tiap individunya. Lalu hal yang paling ditakutkan terjadi. Yakni ketika punk menjadi sebuah tren yang bebas diekspresikan oleh siapapun. Membawa pemahaman yang buta. Lantas kekuatan komunikasi dikalahkan oleh pertikaian yang justru terjadi di dalam scene ini sendiri. Begitulah operasi hegemoni yang ditebar para produsen bekerja, membunuh sebuah kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Serangan tidak hanya dari dalam, tapi juga datang dari luar berupa upaya penertiban yang dilakukan oleh negara dalam rumusan undang-undang. Siapkah kita menghadapi kehancuran ini?

Kami sama sekali tidak tidak berpikir media ini menjadi juru selamat bagi scene. Yang kami inginkan adalah scene ini menyelamatkan dirinya dengan caranya sendiri. Kemudi berada di tangan kita masing-masing tanpa ada siapapun yang berhak merebutnya dari kebersamaan kita bahkan walaupun itu mengatasnamakan kekuasaan negara maupun korporasi—yang tidak pernah tidur dan terus mencari-cari celah untuk mencerabut kita dari akar yang kita yakini. Kami tidak pernah membenarkan segala bentuk kekerasan, tapi bila itu sudah mengancam kehidupan tiap dari kita, tidak ada jalan lain selain meresponnya dengan amarah dan cinta.

Semoga media ini menjadi suplemen menyerupa pemantik bagi api yang tidak pernah padam dalam diri kita semua yang ingin melihat dunia dengan cara berbeda. Maka biarkan semangat itu tetap menyala seperti adanya.


KINI ZAMANNYA PARA KOBOI BERAKSI DI GIGS: Sebuah Kritik Terhadap Para Scenester Pembuat Onar

 
"Kau menyulut keributan dan mencari musuh di dalam moshpit. Ingin jadi jagoan? Kau rusak kesenangan semua orang. Apa yang kau cari? Macho tai babi! Ayo teman-teman, kita usir para jagoan" --Usir Para Jagoan, Milisi Kecoa--
 
 
 
Dalam beberapa tahun terakhir, scene hardcore/punk di Kota Palembang mengalami kemajuan luar biasa yang bukan secara kuantitas belaka. Ini ditandai dengan munculnya begitu banyak band berkualitas baik seiring pula dengan rilisan-rilisan album, zine, event-event, lapak, distro dan komunitas-komunitas yang saling menyokong satu sama lain. Hampir bisa dipastikan setiap minggu selalu ada event baik berupa event skala akbar ataupun kecil-kecilan, event penggalangan dana maupun event pameran, launching album atau peluncuran zine, pemutaran film, workshop, pendistribusian makanan gratis bahkan aksi-aksi politis. Meskipun masing-masing individu di dalam scene memiliki ketertarikan yang tidak sama satu sama lain, event-event inilah yang diharap bisa menjadi semacam corong komunikasi antar komunitas-komunitas di dalam scene, saling bertukar informasi dan membangun keintiman jejaring pertemanan. Lalu apakah kemudian keakraban ini berjalan dengan baik?

Belakangan punk tumbuh bak gelombang pasang—yang kemungkinan juga bisa surut. Fenomena ini yang melahirkan begitu banyaknya geng-geng dalam scene. Terbentuknya geng-geng ini tentu lebih baik bila harus dibandingkan dengan sebuah komunitas yang tersentral pada satu titik saja. Karena setiap individu dalam komunitas telah mampu mengorganisir dirinya masing-masing ke dalam suatu grup yang lebih kecil dan sangat mungkin berpotensi menjadi grup yang solid. Maka tidaklah mengherankan bila di event-event yang bisa disebut berskala besar mempertemukan antar geng didalamnya bahkan yang bertipikal fasis sekalipun. Dan tentu saja ini rawan perselisihan yang dapat dipicu oleh hal-hal klasik dan sepele semisal persenggolan saat pogo. Siapapun tahu bagaimana kondisi di venue saat sebuah band perform. Dan siapapun tahu resiko-resiko—tersikut, terkena pukulan, tendangan—ketika berada di tengah mosher yang tumpah ruah. Tapi ada kalanya mereka yang berada di moshpit tidak siap menanggung resiko-resiko itu. Mereka lebih memilih euforia dalam perebutan sticker yang ditebar oleh band-band pengumbar popularitas, berpogo tanpa ambil pusing suka atau tidaknya dengan lagu atau band yang sedang perform, atau mencari tahu hal-hal apa saja yang terkandung dalam lirik sebuah band—yang memang tidak disertakan eksplanasinya—yang sedang berpentas. Maka ketika sebuah insiden kecil tanpa sengaja terjadi—meski telah diantisipasi dengan tidak merokok dan tidak mengenakan aksesoris yang dianggap berbahaya—itu berpeluang besar menyulut sebuah pertikaian yang semula antar individu lantas menjadi pertikaian antar geng. Perkelahian demi perkelahian berlanjut menjadi dendam yang akan terulang di luar venue atau menjalar menjadi aksi pembalasan di event-event selanjutnya.

Aksi para jagoan dari geng-geng fasis ini mengesampingkan fakta emosional partisipan panitia dan pengada event yang justru semestinya mendapat dukungan penuh oleh individu-individu dalam scene itu sendiri. Kerja keras panitia pengada event seringkali harus dibayar dengan terhentinya event oleh pihak keamanan dan pengelola gedung. Ini berdampak panjang dengan tidak diizinkannya lagi pengadaan event di lokasi yang sama. Para jagoan jelas tidak ambil pusing dengan ada atau tidak event kedepannya, karena secara esensi mereka tidak pernah ambil bagian dalam event-event yang dilaksanakan hingga menjauhkan empati darinya. Jangankan berpikir untuk membuat atau melakukan sesuatu demi scene dan kemajuan komunitas, justru sebaliknya, kelompok pembuat onar ini ibarat duri dalam daging, sulit dibuang namun terus menikam dari dalam. Mereka tidak berusaha memahami bahwa event-event ini sebenarnya adalah salah satu penopang silahturahmi dalam komunitas yang beberapa diantaranya merupakan event penggalangan dana demi kemajuan scene itu sendiri. Beberapa di antara mereka ini malah lebih memilih membeli atribut penopang penampilan "punk"nya, daripada membeli tiket saat event berlangsung, membeli zine atau rilisan band-band. Dengan kata lain, lebih baik patungan membeli minuman lalu setelah mabuk masuk ke venue dengan gratis, dan masa bodoh dengan panitia yang harus menanggung resiko kerugian. Entah apa yang membuat geng-geng ini menjadi begitu apatis dengan kemajuan scene, menjadi tidak peduli sehingga tidak menempatkan distro atau zine sebagaimana mestinya, yakni sarana pengembang wacana melalui pertukaran informasi. Dan menjadi begitu pasif tanpa berpikir bagaimana membentuk sebuah band, menerbitkan zine, mengorganisir event, atau hal-hal progres lainnya.

Bila kebebasan dimaknai dengan menghilangkan kenyamanan dan kebebasan-kebebasan disekitarnya, tentulah itu sesuatu yang sangat tidak punk. Mereka menebar teror dan ancaman bagi kenyamanan suasana persahabatan yang telah tertanam dalam scene sejak bertahun-tahun lalu. Semudah itukah mereka merusak kebersamaan yang telah terbangun sejak lama ini? Tentu tidak ada tempat bagi geng-geng fasis yang mengatasnamakan punk. Banyaknya emblem yang melekat di rompi atau banyaknya sticker yang menempel di helm bukan ukuran punk atau tidaknya kalian. Jangan beri ruang bagi para jagoan. Silahkan atur pertarungan kalian masing-masing di luar sana, hingga kelak kalian berjumpa dengan musuh abadi punk sebenarnya: penindasan dan ketidakadilan.



SUARA-SUARA YANG LAHIR DARI JALANAN: Merebut Kembali Definisi Punk

 Menanggapi isu rancangan peraturan daerah oleh pemerintah kota Palembang tentang penertiban punk, dan didedikasikan bagi scene tercinta.

"Aku menentang imej yang mereka harap aku menjadi seperti apa."--Symbols (1995), Refused.


Setiap orang tentu memiliki definisinya sendiri untuk menerjemahkan punk, bahkan bagi individu-individu yang memilih untuk menjadikan punk sebagai jalan hidupnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa punk lahir sebagai bentuk penolakan sekelompok kecil masyarakat dalam melawan kultur dominan. Di era awal kelahiran di negeri asalnya Inggris, punk lebih sebagai subkultur yang mengadopsi Situasionis Internasional—grup gerakan seni radikal—dalam menentang budaya kemapanan yang dikukuhkan oleh moralitas masyarakat. Mereka berusaha keluar dari konstruksi budaya massa melalui alternatif-alternatif yang coba mereka buat sendiri, menciptakan fashion, membuat lagu, mencetak poster, membuat media dan membangun jejaring sesama komunitas. Singkatnya, mereka mencoba membangun sebuah ruang budaya otonom. Lantas, dari sebuah subkultur yang berupaya melawan etika dan budaya induknya melalui budaya tandingan atau alternatif, punk berkembang menjadi sebuah kritik tidak hanya pada kultur utamanya—yang kala itu disimbolkan pula oleh industri rekaman musik besa—melainkan juga pada otoritas negara dan kondisi sosial yang terjadi. Punk menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari gerakan politis feminisme, aktivisme literasi, environmentalis, anti rasis, anti perang, anti neoliberalisme, perjuangan hak-hak kaum buruh, perlindungan satwa, pendistribusian makanan gratis, dan berbagai bentuk aksi memerangi ketidakadilan, baik yang dituangkan dalam bentuk lirik lagu, esai, ataupun aksi-aksi langsung tanpa menjadi bagian kompromis dari partai politik dan lembaga swadaya masyarakat manapun. Mereka lebih memilih membentuk grup-grup resistensi kecil berprinsip egaliter dan konsensus yang tidak bergantung pada seberapa besar jumlah anggota dalam grup, namun lebih bersandar pada partispasi aktif tiap personilnya.

Lantas bagaimana dengan Palembang? Kota merupakan penampung beragam budaya yang tidak cuma berdiri pada ranah ketradisionalan semata. Dan sebagai kota yang berkembang pesat, tidaklah aneh bila Palembang menjadi bagian dari tumbuhnya punk secara dinamis sama halnya dengan kota-kota lain di Indonesia. Di Palembang, kaum ini mulai terlihat gejala kelahirannya di akhir 90-an hingga awal milenium. Masa transisi ini merupakan saat-saat yang begitu sulit untuk mereka lewati. Meski tidak membutuhkan sebuah pengakuan akan eksistensinya, khalayak umum belum mendapatkan definisi yang tepat untuk menamai sekelompok pemuda berdandan aneh yang saat itu kerap bergerombol di belakang pusat pertokoan di bilangan jalan Kolonel Atmo Palembang ini. Berbeda sekali dengan satu dekade lebih setelahnya, di saat media telah dengan masif membuat beragam pemberitaan tentangnya seperti sekarang, dan berhasil memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pendefinisan itu meskipun mungkin sebatas kulit luarnya saja. Meskipun berulangkali wacana tentang asal-usul punk telah menjadi kajian sosial budaya, hingga saat ini masyarakat umum—sebagai hakim mayoritas yang memiliki penilaian baik dan buruknya sesuatu—lebih berada di sisi yang melihat punk tidak lebih dari sekumpulan pembuat onar dan sampah masyarakat yang mengalami disorientasi arah dan perlu untuk diluruskan.

Di Indonesia sendiri, di awal hingga pertengahan 90-an, punk mulai diadopsi oleh kaum muda kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta. Ia tidaklah lahir dari bagian terbawah kelas sosial seperti di negeri asalnya, tapi justru  diapresiasi oleh masyarakat lapisan ekonomi menengah. Di sini, Punk dianggap mampu memediasi penolakan mereka terhadap pendisiplinan yang dilakukan oleh keluarga dan sekolah, serta dirasa merupakan bentuk penolakan ketertundukan pada nilai-nilai dalam masyarakat, yang disuarakan melalui studio-studio musik dan panggung-panggung kecil, juga divisualisasi secara simbolik melalui seni tato dan body piercing. Budaya literasi melalui terbitan-terbitan komunitas (zine) yang merupakan media komunikasi perlahan mulai terbangun. Informasi-informasi seputar agenda komunitas, rilisan album dan profil band-band didapat dari media ini. Gejolak ekonomi dan politik di Indonesia di akhir 90-an turut membentuk aura politis dalam komunitas punk yang mulai memposisikan peran mereka dalam budaya perlawanan. Seperti halnya musik, para editor zine dalam komunitas ini menggunakan zine sebagai sarana alternatif penyampai gagasan-gagasan ideologis terutama yang tidak mendapat tempat di media arus utama. Disinilah komunitas ini mendapat pendidikan politik khas jalanan.

Sejak sistem jual beli menjadi panutan dunia modern dan berkembang menjadi sebuah ideologi yang mendominasi dalam bentuk konsumerisme, setiap hal dikomodifikasi tidak terkecuali punk. Konsumerisme melahirkan sebuah budaya palsu yang menjadikan dunia berisi manusia-manusia pasif melalui keseragaman yang mereka ciptakan, dan memposisikan manusia hanya sebagai penonton. Kapitalisme menciptakan dunia konsumsi yang mengerdilkan keberdayaan manusia dengan membuat sebuah pola seolah-seolah segala sesuatu bisa diselesaikan hanya dengan uang dan produk-produk yang mereka tawarkan. Setelah berhasil menjual simbol-simbol pemberontakan dan membangun tren semangat kebebasan yang diwakili oleh citra semisal Che Guevara dan Bob Marley, pihak industri melihat punk sebagai sebuah produk yang berdaya besar untuk dijual. Punk digiring ke dalam arus utama bagian spektakuler budaya pop. Sebagai khalayak yang hidup dalam aura konsumerisme, masyarakat terutama kaum pemuda menjadikan punk sebagai sebuah citra diri bahkan tanpa mereka mengenal lebih jauh tentang apa dan bagaimana punk itu sebetulnya. Realitas yang didapat secara instan ini menjerat pemahaman individu-individu yang terjebak dalam dekadensi tentang makna anti kemapanan. Menggelandang di jalanan dipahami sebagai salah satu bentuk anti kemapanan, meski sebenarnya leluhur punk semisal Crass, Discharge dan lain-lain justru melihat anti kemapanan sebagai negasi terhadap norma-norma hasil dari logika formal masyarakat. Seperti apa yang diteriakkan oleh Crass dalam lagu mereka berjudul Punk Is Dead: "Punk menjadi tren seperti halnya kaum hippy dulu!" Perlahan punk menemukan kontradiksinya sendiri: ia menjadi sebuah identitas.

Do It Yourself dan Do It With Your Friends

Jauh hari setelah badai sistem ekonomi pasar yang dilegitimasi oleh negara menghajar, pada hakekatnya kaum punk memiliki sebuah filosofi kemandirian yang dikenal dengan istilah Do It Yourself. Dalam terjemahan bebas, Do It Yourself (DIY) bermakna melakukan atau mengerjakan sendiri sesuatu, atau lebih sederhananya lagi, DIY berarti semangat dan praktek kemandirian dalam melakukan apa saja yang diinginkan oleh seorang individu. DIY lahir sebagai sebuah konsep kesadaran individual  yang tidak sepakat dengan kerja-kerja formal, dan juga untuk meredam bahkan meniadakan ketergantungan manusia dengan produk atau barang-barang yang diperjualbelikan. Dalam perjalanan panjang punk, DIY menjadi semangat yang tak terlepaskan dari aksi keseharian mereka dengan berpandangan bahwa setiap individu berhak berimajinasi dan mewujudkan impiannya. Bila punk merupakan protes terhadap kontrol ekonomi pasar dan kondisi sosial yang terjadi, maka DIY adalah metode alternatifnya. Keduanya merupakan ketidakpuasan terhadap kondisi dunia yang membosankan dan kritik terhadap budaya dominan yang menuntut keseragaman. DIY merupakan sebuah jawaban atas kebebasan ide dari keinginan yang senantiasa terkurung dan dihakimi oleh pendapat mayoritas, dan sebuah cerminan bahwa setiap individu berhak atas alat-alat produksi dan berpartisipasi pada prosesnya sehingga berhak memutuskan minat dan kebutuhan apa yang hendak dikonsumsi tanpa menghapuskan kesenangan-kesenangan individual didalamnya. Intinya tidak ada keterpaksaan yang membatasi saat menjalani sebuah pilihan. Batasan-batasan itu justru melenyap ketika setiap orang menyadari potensi yang ada didalam dirinya, dan menomorduakan titik pencapaian atau hasil, tetapi lebih menikmati proses yang mesti dijalani.

DIY tidak berarti setiap individu melakukan segala sesuatunya sendiri-sendiri. Peran orang-orang terutama dalam komunitas saling berkaitan. Berbeda dengan dunia komodifikasi yang membuat jarak dan memisahkan antara penjual dan pembeli, DIY justru menjadi media yang mempererat pertemanan dalam komunitas. Ini diwujudkan seperti ketika beberapa individu merintis sebuah band lalu memproses rekaman secara independen, mengorganisir sebuah pertunjukan musik atau saling bertukar rekaman dan informasi-informasi melalui workshop bersama. Disinilah jejaring mutual itu terbangun untuk dapat saling melengkapi kebutuhan masing-masing. Katakanlah seseorang memproduksi pin, lalu distro (distributor outlet) individu lain yang mendistribusikannya. Atau ketika seorang individu lebih suka mendesain tas, mengajak individu lain yang lebih suka menjahit. Atau ketika seorang individu membuat komik dan ingin mentranslitnya ke dalam bahasa Inggris tapi mengalami keterbatasan dipersoalan bahasa, ia bisa meminta bantuan pada individu lain yang memiliki kemampuan untuk itu tanpa lantas selamanya menggantungkan diri padanya. DIY merupakan media antar individu dan grup untuk dapat saling belajar dan bekerjasama tanpa harus bergantung pada apapun, karena sikap ketergantungan ini yang seringkali menjadi penghambat dalam melakukan dan mengerjakan sesuatu.

Bila dulu hidup di jalan-jalan dikarenakan tekanan ekonomi yang meniadakan pilihan lain selain opsi tersebut, maka kini hedonisme di jalanan merupakan sebuah pilihan yang bebas untuk dilakukan bagi siapapun, namun tetap menjadi masalah—bahkan bagi kalangan punk itu sendiri—bila lantas menjadi pengganggu kenyamanan manusia sekitarnya. Punk merupakan fenomena sosial yang tidaklah misterius dan tidak sulit untuk dipetakan akar permasalahannya. Disini terlihat, bahwa selama penindasan dan ketidakadilan tetap eksis di muka bumi, maka selama itu pula punk tidak akan pernah terkubur.