--Makanan Bukan Alat Perang, Enemy of the State--
Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang tidak terelakkan dalam
peradaban ketika kontrol terhadap dunia berada di tangan segelintir
orang saja. Penderitaan menjadi sesuatu yang akrab dengan keseharian
masyarakat di pelbagai penjuru dunia termasuk Indonesia dan Kota
Palembang—ibukota Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan salah satu
lumbung pangan nasional. Karena siapapun tahu, bahwa kemiskinan di
Indonesia tumbuh sesubur padi di sawah yang terhampar luas dan kini
tergantikan oleh perkebunan industri kelapa sawit. Secara tekstual,
negara berkewajiban untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak
terlantar, yang ternyata diaplikasikan melalui sweeping anak-anak
jalanan, pengamen, pedagang kaki lima, dan pekerja seks komersial.
Penertiban demi penertiban yang mengatasnamakan keindahan dan
kenyamanan ini lebih memandang kaum miskin sebagai sampah masyarakat,
bukan sebagai "anak-anak negara", dan tentu saja upaya ini tidak
melenyapkan kemiskinan tanpa pernah diselesaikan terlebih dahulu akar
penyebab orang-orang mencari nafkah dari desa ke kota, dan dari kota
turun ke jalan. Lalu apakah dengan terbukanya lapangan pekerjaan dapat
melenyapkan kemiskinan? Masyarakat miskin tidak selalu dari kalangan
pengangguran atau mereka yang bekerja serabutan. Sebagian besar justru
berstatus memiliki pekerjaan tetap—yang tidak pasti selama masih berada
di bawah skema outsorching. Tapi apa upah buruh pabrik, pegawai
honorer, sopir angkutan umum, pramuniaga, salesman, petani-petani yang
kehilangan lahan garapannya ditelan perkebunan industri dan lalu
bekerja di industri-industri tersebut dapat mencukupi kebutuhan yang
kian hari-hari kian meningkat?
Di saat yang bersamaan
dengan kampanye pemberantasan kemiskinan yang hanya sebatas di
panggung-panggung pemungutan suara oleh para penguasa negeri, serta
parade perang kapital atau merger antar korporasi asing dan nasional,
segelintir anak-anak muda dari scene hardcore/punk Kota Palembang
saling bekerjasama dalam sebuah tindakan konkret dengan menjadi bagian
dalam penyaluran makanan gratis yang tidak diperuntukan bagi masyarakat
miskin kota semata, tapi bagi siapapun yang membutuhkannya. Mereka
berangkat dari pemikiran bahwa setiap orang membutuhkan makanan namun
tetap dapat memperolehnya dengan melepaskan ketergantungannya pada
negara. Kelompok kecil ini lantas menamai dirinya Food Not Bombs
Palembang (FNB-PLG).
FNB-PLG terbentuk
pada tabling pertama mereka 6 Juni 2004. Seperti halnya grup FNB
seantero dunia, FNB-PLG merupakan grup terbuka tanpa dikepalai oleh
seorang ketua. Seluruh keputusan diambil berdasarkan konsensus atau
sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama. Grup ini
berkeyakinan bahwa peran aktif anggota-anggota didalamnya merupakan
salah satu elemen dasar yang menopang nyawa kolektivitas dalam grup.
FNB-PLG berafilisasi dengan grup-grup FNB internasional—termasuk di
kota-kota lain di Indonesia—secara otonomus dan berjejaring dengan
komuniti-komuniti lokal di Kota Palembang. Grup ini bukan berupa grup
politik pasif, tapi merupakan aksi langsung yang dituangkan ke dalam
bentuk aksi-aksi harian maupun aksi-aksi politik kontemporer. Maka
bukanlah hal yang aneh bila mendapati grup ini melakukan serving di
event-event komuniti serupa pertunjukan musik, maupun aksi-aksi
demonstrasi yang juga turut terlibat dalam pengorganisirannya.
Di
luar aktivitas pendistribusian makanan gratis, sepanjang perjalanannya
FNB-PLG juga terlibat dalam pengorganisiran event-event komuniti,
mengelola taman bacaan gratis, kelas-kelas belajar alternatif gratis,
membentuk kelompok-kelompok diskusi, melakukan aksi penggalangan dana
bencana, pemutaran film, aksi postering, atau menyalurkan pakaian bekas
layak pakai. Semua ini dilakukan di luar konteks amal dan di luar
obsesi menjadi pahlawan di siang buta, tapi lebih didasari oleh rasa
empati dan perwujudan protes terhadap kondisi kekinian yang terjadi
dalam kehidupan.
Dalam aksi rutin pembagian makanan
gratis—termasuk membeli peralatan dan perlengkapan makan serta
memasak—FNB-PLG menolak saluran dana dari partai, korporasi asing dan
nasional, lembaga donor asing, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat
dan para sekutunya. Aksi mereka didanai oleh donasi yang didapat dari
relasi pertemanan termasuk membuat beberapa event benefit dan
sebagiannya berupa keuntungan dari penjualan merchandise yang mereka
produksi sendiri. Untuk meminimalisir pengeluaran, bahan makanan yang
akan dibagikan pada umumnya didapat dari aksi perburuan sayur-sayuran
di Pasar Induk Jakabaring Palembang. Sebagian didapat dari sisa-sisa
pedagang yang masih layak olah, dan sebagian besarnya didapat secara
cuma-cuma dari kebaikan hati para pedagang. Pengolahan bahan makanan
dilakukan secara acak, begitu juga lokasi ketika serving berlangsung.
Ada kalanya di taman-taman kota, di emper pertokoan, atau di pinggir
jalanan. Di setiap prosesnya, peran sukarelawan dari teman-teman di
luar grup sangat berarti. Untuk itu, FNB-PLG membuka pintu
selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin memberikan donasi dalam
bentuk apapun, dan membuka ruang seluas-luasnya bagi siapapun yang
ingin berpartisipasi didalamnya. Dan tentu saja, satu hal yang menjadi
mimpi bagi FNB-PLG adalah lahirnya grup dan gerakan serupa di
sudut-sudut Kota Palembang. Sehingga kelak kelaparan tidak lagi menjadi
sebuah ancaman yang mengganggu tidur setiap orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar