Selasa, 31 Juli 2012

Food Not Bombs Palembang: Membuat Dunia Menjadi Lebih Baik Adalah Mungkin

"Karena kami butuh makanan bukan alat perang, bukan alat perang..."
--Makanan Bukan Alat Perang, Enemy of the State--

Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang tidak terelakkan dalam peradaban ketika kontrol terhadap dunia berada di tangan segelintir orang saja. Penderitaan menjadi sesuatu yang akrab dengan keseharian masyarakat di pelbagai penjuru dunia termasuk Indonesia dan Kota Palembang—ibukota Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan salah satu lumbung pangan nasional. Karena siapapun tahu, bahwa kemiskinan di Indonesia tumbuh sesubur padi di sawah yang terhampar luas dan kini tergantikan oleh perkebunan industri kelapa sawit. Secara tekstual, negara berkewajiban untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, yang ternyata diaplikasikan melalui sweeping anak-anak jalanan, pengamen, pedagang kaki lima, dan pekerja seks komersial. Penertiban demi penertiban yang mengatasnamakan keindahan dan kenyamanan ini lebih memandang kaum miskin sebagai sampah masyarakat, bukan sebagai "anak-anak negara", dan  tentu saja upaya ini tidak melenyapkan kemiskinan tanpa pernah diselesaikan terlebih dahulu akar penyebab orang-orang mencari nafkah dari desa ke kota, dan dari kota turun ke jalan. Lalu apakah dengan terbukanya lapangan pekerjaan dapat melenyapkan kemiskinan? Masyarakat miskin tidak selalu dari kalangan pengangguran atau mereka yang bekerja serabutan. Sebagian besar justru berstatus memiliki pekerjaan tetap—yang tidak pasti selama masih berada di bawah skema outsorching. Tapi apa upah buruh pabrik, pegawai honorer, sopir angkutan umum, pramuniaga, salesman, petani-petani yang kehilangan lahan garapannya ditelan perkebunan industri dan lalu bekerja di industri-industri tersebut dapat mencukupi kebutuhan yang kian hari-hari kian meningkat?

Di saat yang bersamaan dengan kampanye pemberantasan kemiskinan yang hanya sebatas di panggung-panggung pemungutan suara oleh para penguasa negeri, serta parade perang kapital atau merger antar korporasi asing dan nasional, segelintir anak-anak muda dari scene hardcore/punk Kota Palembang saling bekerjasama dalam sebuah tindakan konkret dengan menjadi bagian dalam penyaluran makanan gratis yang tidak diperuntukan bagi masyarakat miskin kota semata, tapi bagi siapapun yang membutuhkannya. Mereka berangkat dari pemikiran bahwa setiap orang membutuhkan makanan namun tetap dapat memperolehnya dengan melepaskan ketergantungannya pada negara. Kelompok kecil ini lantas menamai dirinya Food Not Bombs Palembang (FNB-PLG). 

FNB-PLG terbentuk pada tabling pertama mereka 6 Juni 2004. Seperti halnya grup FNB seantero dunia, FNB-PLG merupakan grup terbuka tanpa dikepalai oleh seorang ketua. Seluruh keputusan diambil berdasarkan konsensus atau sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama. Grup ini berkeyakinan bahwa peran aktif anggota-anggota didalamnya merupakan salah satu elemen dasar yang menopang nyawa kolektivitas dalam grup. FNB-PLG berafilisasi dengan grup-grup FNB internasional—termasuk di kota-kota lain di Indonesia—secara otonomus dan berjejaring dengan komuniti-komuniti lokal di Kota Palembang. Grup ini bukan berupa grup politik pasif, tapi merupakan aksi langsung yang dituangkan ke dalam bentuk aksi-aksi harian maupun aksi-aksi politik kontemporer. Maka bukanlah hal yang aneh bila mendapati grup ini melakukan serving di event-event komuniti serupa pertunjukan musik, maupun aksi-aksi demonstrasi yang juga turut terlibat dalam pengorganisirannya.

Di luar aktivitas pendistribusian makanan gratis, sepanjang perjalanannya FNB-PLG juga terlibat dalam pengorganisiran event-event komuniti, mengelola taman bacaan gratis, kelas-kelas belajar alternatif gratis, membentuk kelompok-kelompok diskusi, melakukan aksi penggalangan dana bencana, pemutaran film, aksi postering, atau menyalurkan pakaian bekas layak pakai. Semua ini dilakukan di luar konteks amal dan di luar obsesi menjadi pahlawan di siang buta, tapi lebih didasari oleh rasa empati dan perwujudan protes terhadap kondisi kekinian yang terjadi dalam kehidupan.

Dalam aksi rutin pembagian makanan gratis—termasuk membeli peralatan dan perlengkapan makan serta memasak—FNB-PLG menolak saluran dana dari partai, korporasi asing dan nasional, lembaga donor asing, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan para sekutunya. Aksi mereka didanai oleh donasi yang didapat dari relasi pertemanan termasuk membuat beberapa event benefit dan sebagiannya berupa keuntungan dari penjualan merchandise yang mereka produksi sendiri. Untuk meminimalisir pengeluaran, bahan makanan yang akan dibagikan pada umumnya didapat dari aksi perburuan sayur-sayuran di Pasar Induk Jakabaring Palembang. Sebagian didapat dari sisa-sisa pedagang yang masih layak olah, dan sebagian besarnya didapat secara cuma-cuma dari kebaikan hati para pedagang. Pengolahan bahan makanan dilakukan secara acak, begitu juga lokasi ketika serving berlangsung. Ada kalanya di taman-taman kota, di emper pertokoan, atau di pinggir jalanan. Di setiap prosesnya, peran sukarelawan dari teman-teman di luar grup sangat berarti. Untuk itu, FNB-PLG membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin memberikan donasi dalam bentuk apapun, dan membuka ruang seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin berpartisipasi didalamnya. Dan tentu saja, satu hal yang menjadi mimpi bagi FNB-PLG adalah lahirnya grup dan gerakan serupa di sudut-sudut Kota Palembang. Sehingga kelak kelaparan tidak lagi menjadi sebuah ancaman yang mengganggu tidur setiap orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar