Selasa, 31 Juli 2012

The “Priest” They Called Him (Kolaborasi Kurt Cobain dan William Seward Burroughs)





















Di dunia literasi, William Seward Burroughs II lebih dikenal dengan nama pena William Lee. Otak cemerlang dan tangan dinginnya menghasilkan puluhan novel, puisi, dan esai yang tak hanya menang secara kualitas, tapi sebagian besar juga didasari kisah nyata hidupnya yang selalu berpindah-pindah dan mengenalkannya pula pada adiksi heroin. Kritik-kritiknya pada moralitas dan sistem sosial yang dikemas dalam mitologi dan fiksi ilmiah menambah panjang deretan penggemarnya, sebagai satiris potensial yang berhasil mempopulerkan teknik kolase karya sastra yang sekaligus mendemoralisasi pembacanya. Novelnya “Naked Lunch” pada 1959 memicu kontroversi yang mengharuskanya berhadap-hadapan dengan otoritas undang-undang seksualitas karena bercerita secara vulgar tentang aktivitas seksual paedofilia.

Sebagai penggemar sejati, membuat karya bersama artis postmodernist sekaliber William S Burroughs tentulah menjadi impian bagi Kurt Cobain, dan ditambah pula mereka berdua sama-sama pecinta Lead Belly. Telah lama sekedar menikmati karya-karya Burroughs di masa-masa sekolah, akhirnya Kurt bertemu dengan Burroughs di sebuah ruang budaya untuk membahas proyek kolaborasi The “Priest” They Called Him. “Priest” yang digambarkan dalam naskah adalah tokoh protagonist pecandu heroin yang ingin melakukan pertobatan di malam Natal, dan tanpa sengaja melakukan pertolongan terakhirnya kepada seorang pecandu obat bius yang sekarat, sebelum akhirnya si tokoh meninggal dengan damai dalam tidurnya.

EP ini merupakan paduan kontruksi pembacaan naskah oleh Burroughs dan iringan feedback dan distorsi kasar gitar elektrik yang dimainkan oleh Kurtis Donald Cȯhbaine—begitu bentuk ejaan penulisan nama Kurt Cobain yang tertulis di sampul album. Intonasi suara berat Burrough dilatarbelakangi musik dengan iringan gitar Kurt Cobain yang mengadopsi ritme "Silent Night" dan "To Anacreon in Heaven".

Proses awal dilakukan pada 25 September 1992 di studio Red House, Lawrence, untuk merekam suara Burroughs di bawah arahan Brad Murphy. Sesi perekaman gitar Kurt Cobain dikerjakan di studio Laundry Room, Seattle, pada November 1992 di bawah arahan Barrett Jones. Proses penggabungan kedua materi tadi dikerjakan oleh E. J. Rose dan rekannya James Grauerholz di studio Red House yang diproduseri oleh Grauerholtz dan Thor Lindsay. Tim/Kerr Records merilis album ini dalam bentuk vinyl 10-inch dalam jumlah terbatas, dengan bantuan Gus Van Sant sebagai fotografer yang memotret Krist Novoselic untuk sampul depan album. EP ini kembali dirilis dalam bentuk CD dan vinyl 10-inch karena jumlah permintaan yang demikian besar.

Perjumpaan Kurt Cobain dan William S Burroughs menumbuhkan kedekatan emosional antar keduanya. Kurt bahkan meminta Burroughs berpartisipasi dalam video “Heart-Shaped Box” sebagai tokoh yang menyalib sendiri dirinya. Tanpa alasan yang pasti, Burroughs tidak memenuhi tawaran ini, termasuk permintaan untuk berperan di video “In Bloom”.

Dewa Made Tristan Baja



















Tahukah kau anakku,
kenapa kau kupanggil Bilal?

Sekira dua tiga jam ibumu bergumul meredam ngilu di pinggul dan kitaran puncak perutnya.
Menunjukkan bahwa ia pejuang yang begitu kuat.
Lalu di tangan dua bidan tangismu menjegar.
Kulitmu merah. Wajahmu bulat. Rambutmu kelam.
Tangan kecilmu menggapai-gapai.

Tahukah kau anakku,
kenapa kau kupanggil Bilal?

Ini adalah kali pertama adzanku.
Seumur hidup.
Hal yang tidak kulakukan ketika kelahiran kakakmu tiga tahun silam.

Tahukah kau anakku,
kenapa kau kupanggil Bilal?

Karena kau akan merasakan sarat yang sama pada dadamu
saat kelahiran anakmu kelak, oleh riak yang sulit kunamai.

Burung dan Api




















Selain ragu pada keraguannya, burung-burung itu masih mengira hujan akan turun
di langit yang hitam oleh asap dari ban bekas yang terbakar.
Baunya angit. Sangat jauh dari bau basah yang terbawa angin.
Tapi burung-burung itu paham betul bahwa, hijau itu bukan taman mereka,
dan hitam itu bukan mendung miliknya.
Burung-burung itu lantas menggerutu. Sangat panjang.
Lebih panjang dari ceritamu yang bertele-tele
tentang bagaimana cara melempar api ke dalam laut yang tenang.
Menjadikan ombaknya bergolak tak bertuhan.

Ketika tiba pukul empat pagi, tanpa secuil bekal,
burung-burung  lantas mengudap televisi dan mobil-mobil yang terbakar.
Lalu, terbang menjelajah batas-batas yang membuat mereka sempat ragu,
berharap sayapnya diterjemah oleh tebaran batu.
Setelah sempat berpikir, mereka hinggap di antara langit, tidur dan kematian.
Lupa dimana batas ketiganya.
Betul-betul lupa.


Pasca Aksi Penolakan Kenaikan Harga BBM,  
Kambang Iwak Kecik, Palembang, 30 April 2012

Diujung Rokokku Ia Terbakar Arah




















 Kau seringkali ingat tentang kelupaan.
Kau barangkali selalu ingin lupa pada ingatan.
Lalu terbata-bata kau ceritakan padaku riwayat seekor burung hantu
yang hidup di temaram langit goa dan berkelana menyambangi
malam-malam kota yang bingung.
Terbang dengan tenang, mencari makan sedapatnya, mencakar gerhana yang membayang-bayangi manusia dengan keraguan pada keyakinannya sendiri dan ketakutan pada keyakinan-keyakinan diluar kaumnya.
Kemudian  kau kisahkan manakala kau awali setiap hari baru dengan keberanian
yang mulai lapuk.
Kegugupan itu kau namai nyali, yang terus memburumu seperti jam tayang sinetron.

Dan para raksasa yang tidak pernah tidur itu mulai turun gunung mencari kenyang.
Mereka tangkapi teman-teman dan  keluargamu dengan jerat kebahagiaan, perangkap kenyamanan, racun kesetaraan.

Apa dayamu?
Kau seringkali ingat pada kelupaan.
Kau seringkali ingin lupa pada ingatan.

Dengan pisau bermata dua, tidak pernah ada perang yang berimbang.
Walaupun yang seringkali kalah itu adalah kau…mungkin juga aku.

Dunia berubah.

Palembang 2009

Food Not Bombs Palembang: Membuat Dunia Menjadi Lebih Baik Adalah Mungkin

"Karena kami butuh makanan bukan alat perang, bukan alat perang..."
--Makanan Bukan Alat Perang, Enemy of the State--

Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang tidak terelakkan dalam peradaban ketika kontrol terhadap dunia berada di tangan segelintir orang saja. Penderitaan menjadi sesuatu yang akrab dengan keseharian masyarakat di pelbagai penjuru dunia termasuk Indonesia dan Kota Palembang—ibukota Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan salah satu lumbung pangan nasional. Karena siapapun tahu, bahwa kemiskinan di Indonesia tumbuh sesubur padi di sawah yang terhampar luas dan kini tergantikan oleh perkebunan industri kelapa sawit. Secara tekstual, negara berkewajiban untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, yang ternyata diaplikasikan melalui sweeping anak-anak jalanan, pengamen, pedagang kaki lima, dan pekerja seks komersial. Penertiban demi penertiban yang mengatasnamakan keindahan dan kenyamanan ini lebih memandang kaum miskin sebagai sampah masyarakat, bukan sebagai "anak-anak negara", dan  tentu saja upaya ini tidak melenyapkan kemiskinan tanpa pernah diselesaikan terlebih dahulu akar penyebab orang-orang mencari nafkah dari desa ke kota, dan dari kota turun ke jalan. Lalu apakah dengan terbukanya lapangan pekerjaan dapat melenyapkan kemiskinan? Masyarakat miskin tidak selalu dari kalangan pengangguran atau mereka yang bekerja serabutan. Sebagian besar justru berstatus memiliki pekerjaan tetap—yang tidak pasti selama masih berada di bawah skema outsorching. Tapi apa upah buruh pabrik, pegawai honorer, sopir angkutan umum, pramuniaga, salesman, petani-petani yang kehilangan lahan garapannya ditelan perkebunan industri dan lalu bekerja di industri-industri tersebut dapat mencukupi kebutuhan yang kian hari-hari kian meningkat?

Di saat yang bersamaan dengan kampanye pemberantasan kemiskinan yang hanya sebatas di panggung-panggung pemungutan suara oleh para penguasa negeri, serta parade perang kapital atau merger antar korporasi asing dan nasional, segelintir anak-anak muda dari scene hardcore/punk Kota Palembang saling bekerjasama dalam sebuah tindakan konkret dengan menjadi bagian dalam penyaluran makanan gratis yang tidak diperuntukan bagi masyarakat miskin kota semata, tapi bagi siapapun yang membutuhkannya. Mereka berangkat dari pemikiran bahwa setiap orang membutuhkan makanan namun tetap dapat memperolehnya dengan melepaskan ketergantungannya pada negara. Kelompok kecil ini lantas menamai dirinya Food Not Bombs Palembang (FNB-PLG). 

FNB-PLG terbentuk pada tabling pertama mereka 6 Juni 2004. Seperti halnya grup FNB seantero dunia, FNB-PLG merupakan grup terbuka tanpa dikepalai oleh seorang ketua. Seluruh keputusan diambil berdasarkan konsensus atau sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama. Grup ini berkeyakinan bahwa peran aktif anggota-anggota didalamnya merupakan salah satu elemen dasar yang menopang nyawa kolektivitas dalam grup. FNB-PLG berafilisasi dengan grup-grup FNB internasional—termasuk di kota-kota lain di Indonesia—secara otonomus dan berjejaring dengan komuniti-komuniti lokal di Kota Palembang. Grup ini bukan berupa grup politik pasif, tapi merupakan aksi langsung yang dituangkan ke dalam bentuk aksi-aksi harian maupun aksi-aksi politik kontemporer. Maka bukanlah hal yang aneh bila mendapati grup ini melakukan serving di event-event komuniti serupa pertunjukan musik, maupun aksi-aksi demonstrasi yang juga turut terlibat dalam pengorganisirannya.

Di luar aktivitas pendistribusian makanan gratis, sepanjang perjalanannya FNB-PLG juga terlibat dalam pengorganisiran event-event komuniti, mengelola taman bacaan gratis, kelas-kelas belajar alternatif gratis, membentuk kelompok-kelompok diskusi, melakukan aksi penggalangan dana bencana, pemutaran film, aksi postering, atau menyalurkan pakaian bekas layak pakai. Semua ini dilakukan di luar konteks amal dan di luar obsesi menjadi pahlawan di siang buta, tapi lebih didasari oleh rasa empati dan perwujudan protes terhadap kondisi kekinian yang terjadi dalam kehidupan.

Dalam aksi rutin pembagian makanan gratis—termasuk membeli peralatan dan perlengkapan makan serta memasak—FNB-PLG menolak saluran dana dari partai, korporasi asing dan nasional, lembaga donor asing, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan para sekutunya. Aksi mereka didanai oleh donasi yang didapat dari relasi pertemanan termasuk membuat beberapa event benefit dan sebagiannya berupa keuntungan dari penjualan merchandise yang mereka produksi sendiri. Untuk meminimalisir pengeluaran, bahan makanan yang akan dibagikan pada umumnya didapat dari aksi perburuan sayur-sayuran di Pasar Induk Jakabaring Palembang. Sebagian didapat dari sisa-sisa pedagang yang masih layak olah, dan sebagian besarnya didapat secara cuma-cuma dari kebaikan hati para pedagang. Pengolahan bahan makanan dilakukan secara acak, begitu juga lokasi ketika serving berlangsung. Ada kalanya di taman-taman kota, di emper pertokoan, atau di pinggir jalanan. Di setiap prosesnya, peran sukarelawan dari teman-teman di luar grup sangat berarti. Untuk itu, FNB-PLG membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin memberikan donasi dalam bentuk apapun, dan membuka ruang seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin berpartisipasi didalamnya. Dan tentu saja, satu hal yang menjadi mimpi bagi FNB-PLG adalah lahirnya grup dan gerakan serupa di sudut-sudut Kota Palembang. Sehingga kelak kelaparan tidak lagi menjadi sebuah ancaman yang mengganggu tidur setiap orang.

Opera Artis Rame-Ramean

Everyone must see
Everyone must need
Everyone must buy...

Dia mengetik tulisan ini untuk disampaikan secara tenang pada mereka yang dirinya meraba-raba mencoba menerka rupa pasar, mereka yang lebih mudah untuk ditebak daripada menebak langkah strategi pemasaran. Karena perlu mereka tahu, bahwa pasar sebegitu tergesa-gesanya meninggalkan satu sama lain hingga nyaris tak berjejak selain selongsong jiwa-jiwa yang terhisap. Dan begitu mata terbuka di pagi mulai menjelma, dunia kembali berganti wujud dengan bauran pemasaran terbaru, terpadu, dan tren kekinian.

Dia mengetik dengan tenang agar mereka tidak gamang menyadari, tidak pula dia tulis dengan lemah agar mereka tidak pasrah menghadapi ujian di kala hujan memaksa membeli sebuah ponco di gerai-gerai yang merangsek masuk ke pemukiman, melibas seperti air bah dari perbukitan produksi, mengepung massa dengan kebutuhan rekaan yang mendesak.

Dia membangun sebuah persepsi yang sedikit berbau ancaman usang, agar kelak sejengkal tanah warisan di samping rumahnya menghentikan dua kubu minimarket yang berseteru dengan diskon, diantara warnet-warnet yang saling bersitegang dengan tarif dan kecepatan akses data, sehingga distro-distro mulai ditinggalkan pelanggannya yang mulai giat menyablon sendiri kaosnya. Warna-warni piracy.

Dia mengetik tanda koma untuk jeda sebentar, ketika barang-barang rakitan industri rumahan negeri tetangga menyerbu tanpa ampun. Piracy yang mengindustri. Penduplikasian yang menghisap. Maka meniru gambar, lagu, dan kreasi kini berkolaborasi dengan hukum. Menjungkirbalikkan fakta-fakta keberpihakan hak atas kekayaan intelektual.

Dia menyimpan berkas tulisan ini dengan kehati-hatian untuk menghindari kecerobohan yang senantiasa mengintip dari otak kirinya. Sebuah konser digelar hari ini. Dia menuju lemari yang diberinya nama Lemari Identitas. Segala yang berbeda sudah dia persiapkan sejak tadi malam: kaos lusuh dan kemeja flannel  bermotif kotak-kotak besar, jins biru tua yang memudar dan penuh serabut-serabut sobekan, sneakers bajakan. Menghadap cermin, dia biarkan rambutnya tak tertata, dan merekayasa wajah supaya sedikit keras. Dia bikin beler suaranya dengan beberapa teguk Wild Turkey sisa minggu lalu. Pokoknya rocker, penuh pesona khas pemberontakan jiwa muda perkotaan--para penentang arus.

Berita baiknya: konser memang betul-betul ramai seperti harapannya. Dan berita buruknya: semua orang adalah rocker, semua orang bergairah muda, semua orang adalah penulis, semua orang adalah arus. Mereka memakai kaos yang sama dengannya, celana yang mirip, dan sepatu bajakan. Celaka…