Jumat, 21 Desember 2012

Lari, Kamerad, Dunia Lama di Belakangmu!


"Siapapun akan mempraktekkan seni dengan caranya sendiri"--Tristan Tzara


"Imajinasi membutuhkan kekuatan", demikian sebuah graffiti tertulis di dinding jalanan Kota Paris ketika diguncang insureksi popular Mei 1968. Setidaknya dibutuhkan sebuah media untuk merealisasi ide menjadi sebuah materi. Selembar kertas tentu akan tetap berada dalam kekosongan tanpa adanya guratan dari seorang penulis yang hanya merenungi idenya yang berapi-api. Sama halnya dengan kuas para ilustrator yang memerlukan sebuah alas karya untuk memaparkan gagasan, yang bisa berupa sehelai kertas, guratan kardus bekas, atau dinding-dinding kota. Oleh karenanya, bila imajinasi membutuhkan kekuatan, maka coba bayangkan apa yang terjadi bila kekuatan tidak membutuhkan imajinasi? Lemah dan membosankan.




Kita hidup dalam ribuan lakon dan jutaan panggung. Dan Lalu, ketika sebuah pameo klasik seni pertunjukan mengatakan bahwa semua tempat adalah panggung, mungkinkah seni ilustrasi merujuk setiap ruang adalah galeri? Sulit memang untuk tidak mengidentikkan sebuah karya seni ilustrasi dengan pameran yang dingin dan kaku. Atau, bahkan, menjadi tempat yang sepi kunjungan, menjadi halaman paling belakang dan pilihan terakhir yang akan dikunjungi oleh khalayak umum untuk memperoleh sebuah kesenangan. Di posisi ini, artis terancam kehilangan komunikasi dengan non artis atau mereka yang awam dengan keterwalikan karya pada para kurator meski tidak setiap karya diniatkan sejak awal sebagai alat berkomunikasi. Dan benar sekali bahwa dimana-mana sistem perwakilan memang begitu absurd bila diharap akan membawa sebuah kebaikan. Yang tidak benar adalah praduga, yang menyebut bahwa karya-karya ilustrasi harus mengalami ketragisan yang sama. Karena esensinya, karya seni tidak membutuhkan sebuah kompetisi. Ia berada di luar tata nilai masyarakat dan bisa membangun nilai-nilainya sendiri.  Hanya saja, yang 'nyaris' mutlak adalah arsir bayangan berwarna gelap, dan cahaya lebih terang. Tidak dilebih-lebihkan. Tidak dikurang-kurangi. Dan kalaupun memang ingin berbanding terbalik dengan kemutlakan yang 'nyaris' itu, ya biarkan saja. Toh, ia akan tetap memiliki nilai tanpa perlu dinilai atas diri. Ini pula yang membuat karya seni ilustrasi kerap mejembatani antara realitas dan sosialitas, sekali lagi, tanpa kompetisi pencapaian puncak artistik dan bahasan komunikasi universal yang menyebalkan.

Mereka yang memvisualkan bahasa tentu sadar betul bahwa mereka berhadapan dengan rival yang bukan main masifnya selain dunia moral. Apalagi kalau bukan televisi. Kotak elektronik satu ini memandulkan daya kreasi pemirsanya menjadi pecandunya yang akut. Menjadikannya satu-satunya sumber terpercaya sehingga tidak ada kebenaran lain selain yang tersiar olehnya. Tapi pembodohan ini sangat menyenangkan. Itu sebabnya ia disebut candu. Kesenangan yang membunuh. Hingga cukup beralasan saat ini untuk memediasi pertemuan satu ilustrator dengan ilustrator lain, dan para ilustrator dengan peminat seni ilustrasi awam, seperti yang dilakukan oleh Utopia Drawing Class--salah satu sayap kesenian Rumah Info Utopia di Kota Palembang, pada event bertajuk "Ruang Belulang Artwork Exhibition". Menjadi cukup penting mengingat komunikasi antar ilustrator khususnya partisipan dengan di luar "kaum"nya memerlukan sebuah jalinan di luar koridor komunikasi karya dan penikmat karya, yang memungkinkan tumbuh minat untuk memulai sebuah karya bahkan bagi mereka yang awam. Bukankah bakat itu tidak ada tanpa minat dan belajar?

Mengenai "Ruang Belulang Artwork Exhibition", selain parade karya ilustrasi, akan ada juga workshop cukil kayu, demo menggambar, mural bersama, sharing skill seni ilustrasi, pentas musik akustik, dan lapak merchandise dan diskusi perkembangan seni illustrasi di Palembang. Penganalogian dari tulang temulang yang berserak dan terhimpun menjadi sebuah kerangka, tentunya event ini digagas untuk menjawab pertanyaan mengenai mungkin tidaknya seni ilustrasi dibahas di luar konteks kuas dan kanvas semata.





Kamis, 06 Desember 2012

Kota, Tentang Mitos Hutan Larangan






         Semangat. Itu kata yang pertama menghinggapi saya ketika akan memulai tulisan ini. Beberapa tema sempat melintas, namun kali ini pilihan jatuh kepada Urban Piknik, setelah sebelumnya waktu sempit yang saya miliki terbuang untuk menjelajahi dunia maya kesana kemari, termasuk melihat cuplikan video dokumentasi Urban Piknik beberapa waktu lalu. Semangat ini pula yang menggiatkan saya memikirkan mau dibawa kemana keluarga yang saya miliki ditengah gempuran kebutuhan yang seakan tiada habisnya. Urban Piknik, mungkin salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi manusia-manusia terasing seperti saya. 
         
Pada sebuah kawasan bermukim, ketika ruang-ruang urban sudah tidak bisa menampung aktivitas bebas masyarakatnya, maka tak pelak kreativitas terancam menjadi tak berdaya. Area yang telah dibatasi dengan plakat-plakat larangan tertulis ataupun tidak itu, tidak hanya berupa pagar-pagar geografis yang berpengaruh pada lingkup gerak masyarakat multikultur namun berimplikasi besar juga pada psikologis individual.

Rumusan penopang privatisasi akan ruang-ruang yang semestinya diperuntukkan bagi khalayak ini tak hanya menjerumuskan penghuni-penghuni kota ke dalam lubang keterasingan yang lebih dalam. Hilangnya pemaknaan kebersamaan unit-unit terkecil dalam masyarakat menjadi salah sekiannya. Tidak adanya lagi area bagi sebuah keluarga atau persekawanan untuk membuang kebosanan dengan menggelar tikar, nyanyian dan aneka makanan ringan, membuat piknik menjadi kenangan sebuah budaya usang. Dengan begitu, lenyapnya kebersamaan sebagai media pertukaran gagasan sudah barang tentu memperlemah kreativitas tersebut.

Larangan merupakan salah satu bentuk ancaman. Maka mental individu mana yang dengan senang hati menerima rasa takut sebagai anak muara dari ancaman. Sebagian yang hidup dalam naungan moralitas urban meyakini bahwa beberapa batasan itu diciptakan demi 'kebaikan' bersama, namun tidak sadar bahwa 'kebaikan' itu justru memisahkan kebersamaan yang semestinya tumbuh subur. Lalu sebagian lagi menerima pemisahan itu tak lebih karena rasa takut oleh tekanan aneka sanksi yang berjibaku dengan program pembangunan penguasa kota. Maka kemana sebagian kecil lainnya?

Seperti kisah-kisah klasik pembangkangan, hanya sejumlah kecil orang yang mencoba  memberdaya kemampuannya masing-masing dalam sebuah grup partisipasi bebas, untuk secara bersama-sama  meniadakan 'batas-batas' tersebut. Seperti kebanyakan aturan-aturan lain yang mengalami kontradiksinya sendiri, privatisasi ruang-ruang kota mengalami hal serupa 'pelanggaran'. Namun untuk yang satu ini, mereklaim sebuah hak atasnya bukanlah bentuk pelanggaran. Lagipula dalam kamus mana yang menyebut bahwa memberdaya ruang publik sebagai ajang berlibat dan berkreativitas tanpa mengganggu altivitas sekitar adalah sebuah pelanggaran, kecuali kamus yang dirumus oleh tafsir penguasa kota yang tentu berjejal dengan berbagai kepentingannya.

Urban Piknik—media sosial yang dibangun oleh sebuah grup partisipasi bebas di Kota Palembang ini, merupakan salah satu penanda bahwa masih tersimpan harapan bagi individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk merajut kembali hubungan dan pertemuan tiap darinya dengan mengokupasi area-area yang 'terlarang' bagi umum. Momen ketika setiap orang dapat berperan sesuai keinginannya dengan sukacita dan tanpa rasa was-was oleh upaya penertiban, sekaligus untuk melekatkan manusia-manusia yang telah terasing satu sama lain oleh budaya konsumsi, pusat-pusat belanja, televisi dan dunia kerja. 

Urban Piknik dirancang sebagai agenda dwi mingguan oleh sekelompok kecil pemuda yang selama ini aktif dalam pergelutan komunitas Kota Palembang, dan lalu menularkan gagasannya melalui jejaring dunia maya dan poster-poster ajakan edisi cetak ke kantung-kantung komunitas. Fokus utamanya adalah memanfaatkan ruang publik sebagai sarana berjejaring dengan khalayak di luar lingkar komunitas mereka; bertukar ide, berbagi peran, dan tentu saja, dilakukan dengan penuh sukacita. Konsepnya sederhana, yakni menyediakan kompor untuk memasak yang diberi tajuk Kompor Publik dan berpiknik di taman kota dengan beragam interaksi didalamnya. Umumnya mereka membawa perlengkapan memasak yang dicomot dan pinjam sana-sini. Di atas sebuah meja panjang yang lengkap dengan kompor, penggorengan, bahan-bahan dan bumbu-bumbu hasil patungan, siapapun boleh menyalurkan hobi dan kemampuannya memasak. Masakan-masakan inilah yang lantas dijadikan menu santapan gratis yang juga bebas dinikmati oleh siapapun yang ada disana, tidak sebatas anggota komunitas semata.
 
Tidak ada keterikatan melalui sistem keanggotaan dalam grup ini. Semua partisipan yang terlibat datang dengan inisiatifnya masing-masing untuk membawa perlengkapan makan, peralatan memasak, bakal menu, dan alat-alat penyokong lainnya. Ketika setiap orang menolak menjadi pasif dan telah berani mengambil perannya masing-masing, kelak tidak ada lagi sekat pemisah layaknya dunia tontonan yang membentuk keterasingan antara penonton dan yang ditonton, karena dalam Urban Piknik, semua orang adalah koki dan setiap orang adalah pramusaji.

Tidak hanya Kompor Publik yang terdapat dalam Urban Piknik. Di sana juga digelar berbagai aktivitas yang saling mendukung. Bagi yang suka bernyanyi dapat merealisasikannya pada kelompok akustik berpanggung tikar untuk menghibur para piknikers, atau yang membutuhkan barang-barang tertentu, dapat membelinya di Garage Sale, yakni lapak barang-barang bekas layak pakai yangmana sebagian keuntungan penjualannya didonasikan kepada kas yang dikelola oleh komite kecil Urban Piknik. Dana yang terkumpul lantas digunakan sebagai modal untuk memproduksi beberapa merchandise, yang kemudian kembali dijual dan kelipatan labanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan piknik itu sendiri. Adakalanya Urban Piknik turut menyertakan pameran ataupun workshop fotografi, media cetak alternatif, ilustrasi, kolase dan aktivitas mural yang terbuka bagi siapapun yang ingin berpartisipasi. 

Urban piknik tidak hanya menjadi salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi keterasingan masyarakat kota. Ia turut menjadi momentum yang mengilustrasikan sebuah wacana keteraturan tanpa peraturan yang juga mencoba memberi jawaban atas pertanyaan para perumus peraturan tentang mungkinnya memaknai kebebasan tanpa kekacauan. Memang, berpiknik di tengah kota—tempat dimana pusat otoritas itu berada—sekilas tampak absurd, tapi ini sungguh terjadi.



Pustaka Foto

Kambang Iwak Family (KIF) Park sentra komuniti Kota Palembang, salah satu spot Urban Piknik

Lapak merchandise, sebagian keuntungannya didonasikan kepada Urban Piknik
   






                                                                         






Garage Sale, bursa barang bekas

Sticker, salah satu penopang kas Urban Piknik

Aktivitas mural

Garage Sale, bursa barang bekas

Makanan gratis

Media cetak alternatif gratis

Musik akustik

Peralatan seadanya


BILA GENJER BERBUAH DARAH, PEREMPUAN PULA YANG TERKENA GETAHNYA

Perempuan dan Hegemoni dari Sebuah Kotak Bernama Televisi

Dewa Made Karang Mahardika

Hegemoni merupakan sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang didalamnya terdapat sebuah konsep tentang kenyataan yang disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) dengan mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”—Antonio Gramsci

 


 Genjer-genjer, nong kedok’an pating keleler, emak’e tole, teko-teko, mbubuti genjer, oleh sak tenong, mungkor sedot, seng tole-tole, genjer-genjer, saiki wis digowo muleh

          Semasa saya kecil, setiap akhir bulan kesembilan,Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai satu-satunya corong informasi visual pada waktu itu, menyuguhkan sebuah tontonan 'horor' yang berhasil membuat rasa takut dan penasaran saya menjadi satu. Tentang bagaimana sekelompok pembantai menculik perwira-perwira angkatan darat, untuk lantas menyiksa dan membunuhi mereka satu persatu. Dengan keji tentu saja. Kelompok yang lalu dinamakan sebagai Gerakan 30 September dan diawaki oleh Partai Komunis Indonesia ini, menjadi setan-setan yang menghantui kepala setiap anak kecil yang lalu membawanya tumbuh bertahun-tahun setelahnya. 

          Dan meskipun film yang diproduksi oleh Perusahaan Umum Produksi Film Negara (PPFN) dan disutradarai oleh Arifin C. Noer ini menjadi tontonan wajib tiap tahun, entah mengapa tidak membiarkan rasa bosan sempat hinggap berlama-lama di benak saya. Pemilihan musik latarnya benar-benar menguatkan karakter senyap yang membuat kita ingin lebih tahu tentang kengerian walau saya sudah hapal betul jalan cerita berikutnya. Adrenalin bahkan sudah dimulai ketika segerombol orang menyerbu sebuah tempat ibadah dan mencabik-cabik kitab suci dengan arit, yang merupakan simbol komunis. Horor berlanjut dengan padanan slow motion para tentara iblis dan penyergapan para Jenderal, penculikan dan siksaan, tangis seorang ibu atas terbunuhnya sang putri dan heroisme para penjaga stabilitas negeri. 


Poster film Pengkhianatan G 30 S/PKI

          Tiga jam lebih film ini berupaya menggambarkan rekaman sejarah dengan membebankannya pada psikis pirsawan. Itulah kekuatan operasional propaganda sebuah rejim, durasi tiga jam yang meninggalkan jejak puluhan tahun di kepala jutaan pemirsa seantero Indonesia. Saya menjadi salah satu diantaranya. Mengidap penyakit hasil indoktrinasi. Menjadi begitu ngeri mendengar lagu Gender-Gender--hasil cipta Muhammad Arief seorang tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat, sayap kebudayaan PKI--yang pada sebuah adegan dilukiskan, bahwa pada malam menjelang 1 Oktober 1965 telah terjadi ritual berupa tarian mesum anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat--sayap pemuda dari Partai Komunis Indonesia--berpesta pora tanpa busana, selain mengenakan untaian kembang genjer sebagai pakaian ritual yang sadis, dimana mereka menyayat-nyayat dan menyileti kemaluan para jenderal, disertai iringan nyanyian lagu yang sebelum tragedi telah dipopulerkan oleh Lilis Suryani ini, dan sempat dibawakan oleh Bing Slamet dan Nyoto, seorang tokoh PKI dan pengurus Radio Republik Indonesia.


Arifin C Noor (kedua dari kiri) saat syuting film G30S/PKI di Jakarta, 1984

          Orde Baru berhasil membuat pengawetan kekuasaan melalui sebuah paket visual yang dikemas dramatis. Dalam sejarah perfilman Indonesia, inilah kali pertama pemerintah memberikan dukungan sepenuh-penuhnya pada seluruh aspek. Selama lebih dari tiga dekade film ini menjadi tayangan wajib TVRI dan juga berlaku bagi stasiun-stasiun televisi swasta yang muncul dikancah persaingan dunia tayangan. Sebuah pelajaran pahit bagi sebuah gerakan yang dianggap menjadi musuh negara, siapapun dia yang mencoba mengusik kerajaan Soeharto. Ketika perpolitikan di Indonesia mulai menunjukan riak-riak gejolak, film ini dihentikan jatah tayangnya pada tahun 1997, dan berlanjut menjadi pergunjingan tentang hitam putih sejarah peristiwa 30 September 1965. Namun saat ini saya lebih memilih untuk tidak ambil bagian dalam polemik ini. Gerwani tampaknya lebih menarik untuk dibicarakan.

TK Melati dan Pembebasan Perempuan

          Untuk kali pertama kongres perempuan Indonesia digelar dan memakan waktu selama empat hari, 22 hingga 25 Desember 1928 di Kota Gudeg Yogyakarta. Setidaknya 1.000 peserta dari 30 organisasi perempuan hadir di momen ini, dan dianggap sebagai salah satu peristiwa terbesar di era kolonial selama 1900-an. Setahun kemudian kongres serupa diadakan di Jakarta, lalu berlanjut ke Surabaya tahun 1930, Jakarta di tahun 1935, dan Bandung tahun 1938. Pada kongres di Bandung ini lahirlah sebuah keputusan bahwa tanggal 22 Desember--yangmana merupakan tanggal dimulainya kongres perempuan pertama--merupakan Hari Ibu yang dirayakan hinggi kini. Di era ini, gerakan perempuan berkonsentrasi pada isu-isu seputar poligami, diskriminasi kaum perempuan di tempat kerja, perdagangan perempuan, pernikahan dini, perjodohan dan akses terbatas perempuan terhadap bidang pendidikan.

          Perjuangan kaum perempuan di era kolonial sebenarnya telah dimulai beberapa tahun sebelum kongres pertama diadakan. Seorang perempuan dari kalangan bangsawan Jawa bernama Raden Ajeng Kartini, mengkritisi kesetaraan hak-hak mendasar kaum perempuan dalam mengenyam pendidikan dengan membawa slogan kekuatan, kegigihan dan ketulusan. Seperti yang tertulis dalam suratnya kepada Ny R.M. Abendanon di bulan Agustus 1900, "Tidak, tidak! Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan menunjukkan bahwa saya manusia. Manusia, seperti laki-laki." Kartini melambangkan perjuangan perempuan melawan arogansi dan budaya patriarki kolonial Belanda, bukan hanya karena ibunya berasal dari latar belakang kelas pekerja tertindas, tapi juga melihat kondisi sosial perempuan kebanyakan pada saat itu, yang tidak memiliki peran apa-apa selain harus menerima kodrat sebagaimana mestinya. 

          Perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi justru kelak terjebak dalam kontruksi gender yang dibangun oleh penguasa di masa Orde Baru. Citra dirinya telah "direnovasi" untuk memperkuat budaya patriarki. Gerakan perempuan di era Orba kala itu didominasi oleh gagasan domestikasi perempuan, atau "Ibuisme", sebagai istri yang berserah dan mengabdikan diri pada suami mereka, keluarga dan negara. Pada tingkat praktis, Ibuisme dilaksanakan oleh organisasi-organisasi para istri pegawai negeri Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK (Pemberdayaan Keluarga dan Gerakan Kesejahteraan). Bahkan di tingkat praksis selebrasi Hari Kartini yang dicanangkan oleh Soeharto telah menggeser makna emansipasi itu sendiri. Lomba menari, kontes memasak atau peragaan busana, menjadi perangkap yang menginjeksi peran-peran dosmetik kaum perempuan. Perjuangan Kartini sebatas dimaknai sebagai kegemulaian seorang perempuan ‘baik-baik’.

          Di dalam wacana kesejarahan di Indonesia, sumbangan gerakan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan kurang diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan yang berarti, walaupun  Laskar Wanita Indonesia atau Laswi, begitupun juga Gerwis yang merupakan cikal bakal dari Gerwani yang didirikan pada tanggal 4 Juni 1950 tercatat sebagian besar anggotanya adalah perempuan-perempuan yang terlibat langsung dalam perang kemerdekaan melawan Jepang dan Belanda pada 1940-an. Hal ini yang kemudian banyak menjadi ilham bagi para perempuan yang terlibat revolusi fisik tersebut untuk bergabung di dalam Gerwis sebelum kemudian berganti nama menjadi Gerwani. Gerwis sendiri adalah merupakan hasil koalisi dari enam organisasi perempuan, yaitu Rupindo (Rukun Putri Indonesia; Semarang); Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia; Kediri), Wanita Madura (Madura), dan PPRI (Perjuangan Putri Republik Indonesia; Pasuruan), pada kongres mereka yang pertama di Jakarta, Desember 1951. 

          Gerwani merupakan organisasi perempuan yang independen, tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, bahkan Partai Komunis Indonesia, seperti yang dipahami oleh banyak orang selama ini. Organisasi yang didirikan pada tahun 1954 ini berjejaring dengan pelbagai gerakan perempuan di dunia serta tergabung dalam Gerakan Wanita Demokratis Sedunia.  Tujuan utama gerakan Gerwani adalah meningkatkan kemampuan dan harkat perempuan. Kegiatan mereka yang lain adalah membangun sekolah-sekolah yang salah satunya dengan mendirikan dan mengelola Taman Kanak-Kanak Melati yang diklaim mencapai 1.478 titik di seluruh wilayah Indonesia, yang diutamakan untuk anak-anak para buruh tani. 

          
Kelas pendidikan Gerwani


          Di dalam pendiriannya, TK Melati diserahkan pada pengurus ranting setempat. secara otonom.  Pengurus ranting seringkali melibatkan pihak kelurahan dan anggota-anggota masyarakat lain untuk menyediakan tempat dan peralatan TK, yangmana sebagian besar tenaga pengajarnya melakukan pelatihan dengan sukarela tanpa mendapat imbalan. Model penggalangan dana, atau yang kita kenal dengan istilah benefit--bisa dilaksanakan dengan mengadakan pertunjukan wayang dan menjual tiket pertunjukannya untuk pendirian dan penunjang operasional TK.

          Para perempuan yang tergabung dalam Gerwani juga memperjuangkan undang-undang perkawinan termasuk menentang poligami (yang waktu itu akan diresmikan undang-undang yang memberikan tunjangan lebih besar kepada pelaku poligami), aktif mengkampanyekan hak-hak perempuan, menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf, serta menangani masalah perempuan buruh dan petani dan memperjuangkan hak-hak mereka.

          Selain mengubah pola dari organisasi kader menjadi organisasi massa, berkat kedekatan dan kerjasama dengan serikat-serikat buruh dan Buruh Tani Indonesia (BTI) di basis-basis petani dan buruh, anggota Gerwani melonjak cepat, dari 500 ribu menjadi 1,5 juta dan memiliki cabang hampir di semua daerah dan pelosok Indonesia. Gerwani menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia

          Belum ada satu pun organisasi perempuan modern mampu menghimpun anggota sebanyak itu hingga kini. Gerwani, dengan kekuatan 1,5 juta perempuan kritis dan berani menuntut hak, tentu menakutkan bagi calon penguasa otoriter seperti Soeharto. Maka demi 'keutuhan' bangsa, Gerwani diberangus bersamaan dengan pemberantasan PKI. Banyak nyawa orang-orang--yang dianggap sebagai partisan dan simpatisan PKI dan Gerwani--yang direnggut secara paksa sebagai akibat histeria massa yang kalap dan dilingkupi kebodohan saat mendengar bahwa PKI dan Gerwani adalah dalang pembunuhan keji para petinggi militer Indonesia. Kemarahan yang buta. Entah berapa jumlah yang hilang dan tidak diketemukan. 

          Ribuan anggota Gerwani melarikan diri dan sempat bertahan di hutan-hutan dan goa pegunungan. Setelah berhasil ditangkap, mereka ditahan tanpa pengadilan. Menanggung siksaan psikis dan fisik. Mengalami kekerasan seksual. Stigma buruk melekat pada anggota-anggotanya yang tersisa selama puluhan tahun setelahnya.

Epilog

          Meski tidak secara vulgar disebutkan, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI ditutup dengan kemenangan dari militer khususnya Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia. Tentu saja, kejadian-kejadian yang lebih menakutkan dari adegan-adegan dalam film tidak ditayangkan, yakni tentang pembantaian massal yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi sayap kanan yang dibantu oleh tentara terhadap orang-orang yang dianggap mendukung PKI. 




          Tidak ada angka yang dapat dengan pasti menyebut jumlah nyawa yang tewas ditembak dan digorok lalu dibuang ke sungai-sungai atau bergeletakan di jalan-jalan. Bahkan ada yang menaksir jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa, setelah mengkalkulasikan jumlah korban yang dipenjarakan dengan jumlah anggota dan simpatisan PKI yang pada saat itu diperkirakan mencapai 20 juta jiwa. Bila benar PKI merancang skenario pemberontakan, jumlah di atas tentu saja bukan tandingan bagi TNI. Nyatanya, PKI bisa dikalahkan tanpa perlawanan. 

          Tragedi kemanusiaan tersebut menjadi pembuka pintu gerbang bagi ekonomi liberal dengan jutaan nyawa sebagai upetinya. Dua tahun pasca kejadian, Freeport mendaki pegunungan Papua, Caltex mendarat di Riau. Kekayaan alam Indonesia dibagi-bagikan kepada sejumlah korporasi multinasional melalui pertemuan para ekonom Orde Baru dan sejumlah pejabat tinggi korporasi di Swiss pada November 1967.

         Si penggubah lagu Genjer-Genjer, Muhammad Arief, turut menjadi korban pembantaian. Karyanya tak luput dari pemberangusan, dihapus dari ingatan kolektif. Membuat sebagian besar rakyat Indonesia lupa pada nada asli lagu ini. Namun justru sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang hidup dibawah tebaran teror moralitas rejim Orde Baru, tentu tidak segampang itu untuk dapat mengusir rasa jijiknya dari Gerwani. Kebencian telah terlanjur mendarah daging pada perempuan-perempuan yang digambarkan pada film di atas sebagai para sundal yang dengan kejam mencukil biji mata dan memotong alat kelamin para jenderal dengan silet, meski fakta otopsi yang diungkap oleh seorang ahli forensik, Benedict Anderson, jelas menyatakan bahwa tidak ada jejak silet, pisau cukur dan pisau lipat pada tubuh para jenderal, dan nyatanya, alat kelamin mereka benar-benar masih utuh.

Lihatlah, bagaimana hegemoni bekerja...


Selasa, 02 Oktober 2012

Rajam Filantropis Bermuka Dua






Mungkin hidup adalah toples, dan setiap jengkal tanah adalah pagar.
Udara hanya bersisa napas bagi televisi, belanja, dan etalase bercadar.
Setiap ruang terpasang kekang tanpa warna-warni latar.
Dan disitulah kau isi kejayaan letakkan kami pada altar.

Kau bangun kota moralis homogen berpalang.
Merebutnya dari para pesawah dan peladang.
Dengan semantik etika kalian berdiri dimuka menyambang,
menjadi juru selamat bagi pemiskinan global yang kalian rancang.

Kau siapkan barisan manekin bersenjata untuk menabur luka,
mendisiplin semua yang teradiksi mesin dan gir berkalang.
Maka kau siapkan noda, dosa dan jeruji bagi kami para penabur bara,
ketika secara kasat gerbang terdepanmu kami bikin tumbang.


Catatan
Di balik kran kepalsuan moral sebuah kepemimpinan yang mengucurkan air demi kesuburan hutan larangan bernama kota.


Agar Kalian Tahu, Bahwa Kami Sekeras Batu





Amarah kami terlanjur mengakar melampaui insureksi kultural yang kalian ramal.
Bagi kalian perancang zaman, kami adalah pelakon sederet pitam.
Untuk sekotak komoditi yang kalian anggap sesakral Dajjal,
kami tidak tersudut sebagaimana kalian ingin kami bubar dan diam.

Kami anak haram persilangan kultur, komoditas dan insureksi.
Yang menyanggah norma-norma, yang meludahi institusi.
Kami para pembenci polisi, tentara, dan tak percaya kotak suara.
Yang merangkai nada dan sastra anti korporasi, anti negara.


Catatan
Punk berdiri di atas beribu kamus, ribuan definisi. Tak perlu repot-repot menerjemahkannya -- karena selain tak perlu pengistilahan, lagi-lagi pemenang tafsir tersebut siapa lagi kalau bukan arus utama yang mencoba menggiring punk ke dalam ranah populer. Toh tanpa pendefinisian, punk menjadi lebih tak terduga.


Kau Jual, Kami Beli





Garda promosimu kami jawab dengan pena terhunus. 
Idemu kami tiru dan tebarkan segratis air yang terbawa arus.
Kami hadapi tantangan televisi dengan rajaman sajak.
Bersiaplah dengan derita atas produkmu yang kami bajak.

                             Respon atas doktrin domestikasi tai babi,
                             Kau jual, kami beli!

Kau pasok energi khalayak dengan ilusi buatan yang membuat buta.
Balasan yang setimpal adalah: propaganda laba dibayar kata.
Kau si pengendali mimpi, penopang-penopang pilar industri,
Dan kami yang tak bermoral, pengganggu kenyamanan peta konsumsi.

                             Respon atas doktrin domestikasi tai babi,
                             Kau jual, kami beli!


Catatan              
Promosi merupakan penyangga utama sebuah produk di pasaran. Dan televisi merupakan sebuah keajaiban dunia yang menjadi baris terdepan pemasaran paling berpeluang dalam menjaring calon konsumer melalui iklan. Dengan beginilah proses jual beli menjadi kian langgeng. Industri bukan cuma kisah tentang jual beli, dibaliknya tersimpan penghisapan dan perlawanan.


]

Esok, Tirani Tumbang



Dari tempatku berpijak, untukmu anakku janji ini kusemat.
Juga pada setiap kepala yang menyimpan bara dan kesumat,
untuk menaruh dendam pada tata dunia satu mata yang siap melumat,
dan para varian setan dengan etalase yang menjerat.

Mereka berkamuflase teramat hebat lewat samaran.
Tanpa sempat kau sadari bahwa mereka lebih gawat dari sebuah ancaman,
lebih menakutkan dari fasis ideologi yang menebar kengerian,
dalam rancangan kompetisi menuju hidup yang berisi sesampahan.

               Bagaimana kau bisa lepas dari ide dominan yang memenjara?
               Bagaimana kau dapat menjalani hidup tanpa gembala?
               Bagaimanapun, esok tirani harus tumbang...

Dari tempatku berpinak, untukmu sahabatku dendam ini kurancang,
hingga nama-nama kita tertulis di pusara yang terpancang,
untuk memecah pasung, merubuhkan semua batasan yang terpasang,
mengirim surat kematian kepada tirani yang tegak menantang.

               Bagaimana kau bisa lepas dari ide dominan yang memenjara?
               Bagaimana kau dapat menjalani hidup tanpa gembala?
               Bagaimanapun, esok tirani harus tumbang...


catatan

Ketika hari-hari berjalan tanpa lagi menyisakan waktu luang karena hidup yang dipaksa patuh oleh gerusan kenormalan, menjadi pasif adalah kemungkinan yang paling fatal. Kedisiplinan berpotensi mendarah daging. Dan itu berarti, ketertundukan menjadi sebuah budaya pengaminan khas peradaban manusia industri. Penaklukan ini yang diharap oleh penguasa modal demi kepanjangan silkus hidup modalnya, dengan menutupi bangkai yang mereka selisip dalam amplop gaji bulanan. Kita dijejalkan ke dalam rantai yang tak pernah putus dalam tahap produksi dan konsumsi: bekerja dan belanja. Tapi apa benar rantai ini sebegitu kekalnya sehingga tidak lagi menyisakan harapan bagi kita yang menolak hidupnya dibeli oleh industri?



Sabtu, 15 September 2012

Bakar Semua Penjara!




Babak baru, cerita lama.
Dari Osama hingga Obama.
Semua orde adalah neraka.

Sejak pertukaran bermula hingga pasar bebas.
Dari lelang lebak sampai impor beras.
Semua kapital adalah penjara.

                                  Bakar semua penjara, bakar!


Catatan
Pemasungan telah melintasi jarak dan waktu. Penjara bukan saja mengenai ruang yang diberi batasan-batasan, karena Ia tidak lagi berwujud sebuah fisik eksplisit tapi kini melampaui setiap hal terkecil dari milikmu yang masih bersisa.



Barbie Adalah Barbar




Ini legenda tentang seonggok plastik bernyawa,
manipulasi kewarasan yang tumpul oleh kemasan.
Atas perhitungan estetik dan ekskalasi laba,
para rahwana turun gunung menguras kayu dan  logam.

Mattel, kecantikan Barbie-mu lah yang membunuhi kawanan orang utan.
Menghabisi harimau dan gajah yang tersisa dengan menyapu bersih hutan hujan.
Kolaborasimu dengan gurita raksasa bernama konglomerasi Sinarmas.
Untuk jawaban retorik bagi mereka yang butuh sebuah peraga identitas.

Ribuan pekerja anak dan perempuan Thailand, Cikarang, dan di Cina.
Beradu dengan malaikat kematian, menjaga  mesin-mesinmu tetap menyala.
Tanpa kesempatan berserikat, dikurung dalam hutan larangan berupa
paru-paru yang sesak oleh timbal, tragedi, dan anjing-anjing penjaga.

                           Barbie, tragedimu cukup berakhir di mall, tragedimu tak perlu masuk ke rumah kami.
                           Tolak dan jangan beli, putuskan jaring distribusi
                           Tolak dan jangan konsumsi, bongkar lingkar komodifikasi



Catatan
Tentang mitos kecantikan, eksploitasi buruh dan deforestasi besaran-besaran di balik rancangan sebuah boneka bernama Barbie oleh Mattel.Inc--industri mainan konvensional terbesar di dunia.


Jumat, 03 Agustus 2012

Kaos Benefit

Kaos benefit Info House Utopia; Food Not Bombs Palembang, Sangkakalam Publishing, dan Hoax edisi "Nestle, Good Food, Good Lies!". Tersedia dalam ukuran S, M dan L. Informasi lebih komplit silahkan hubungi 0819-58531-1968.




Kamis, 02 Agustus 2012

Andreas Baader dan Para Bidadari Besi


Didedikasikan bagi para petani Ogan Ilir -Sumsel, Donggala-Sulteng, dan korban yang berjatuhan di seantero Indonesia dalam memperjuangkan hidupnya melawan tirani agraria.

"Kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menjawab kekerasan."--Gudrun Ensslin


Aksi dalam "Der Baader Meinhof Complex", film yang menceritakan sepak terjang RAF.


Hari itu, 11 Mei 1972 silam, tiga bom pipa yang tertanam dimuka gedung kantor pusat perusahaan dari konglomerat IG Farben, yang menjadi markas Korps V barak milik Amerika Serikat di Frankfurt Jerman, meledak nyaris bersamaan. Seorang perwira Angkatan Darat Amerika Serikat bernama Paul A. Bloomquist, yang kala itu bertugas pada program rehabilitasi obat untuk tentara, ditemukan tewas di tempat kejadian. Dalam sebuah komunike, sebuah geng yang mengatasnamakan "Petra Schelm Commando," menyatakan bertanggung jawab atas peledakan yang membuat gedung hancur berantakan dan turut menciderai 13 orang lainnya itu demi tuntutan diakhirinya perang Vietnam dan pertambangan di Amerika Utara. 

Tak berselang lama, esok harinya 12 Mei 1972, dua bom pipa meledak tengah hari di tempat yang berbeda. Pertama berupa bom pipa rakitan yang melukai lima orang polisi di Augsburg Police department. Lalu kedua, bom mobil yang melantakkan enam puluh mobil di sebuah parkiran Kota Munich. Tidak ada korban tewas dari kedua ledakan. Sebuah geng yang menyebut diri mereka "Tommy Weissbecker Commando", mengklaim bertanggung jawab sepenuhnya atas kedua kejadian itu.


Markas Korps V di Frankfurt Jerman yang diledakkan geng Baader 11 Mei 1972
Beberapa kejadian di atas merupakan serangkaian aksi teror yang dilakukan oleh Baader-Meinhof, yang di kemudian hari juga dikenal dengan nama RAF, Rote Armee Fraktion atau Red Army Faction (Fraksi Tentara Merah). Dalam setiap aksi, mereka menamakannya dengan titel berbeda; "The Manfred GrashofCommando”,"Commando Fifteenth July”, atau “The 2 July Commando“ dan nama-nama asing lainnya. Inilah taktik gerilya kota berkonsep sel partisipatoris yang diterapkan oleh kalangan revolusioner Jerman yang kala itu terinspirasi oleh salah satu induk pedomannya, Carlos Marighella, seorang pejuang marxis asal Brazil, yang dalam sebuah bukunya berjudul Minimanual of the Urban Guerrilla (1969) berkata: “Gerilya kota harus mengikuti tujuan politik, dan hanya menyerang pemerintah, bisnis besar, dan imperialis asing”. Mereka mendapat banyak ilmu dari 'sang mentor' yang mengadopsi gerilya desa Che Guevara menjadi gerilya kota, tentang pelatihan senjata ringan, trik sabotase, pemilihan tempat persembunyian, langkah pengambilalihan, serta cara memperoleh dukungan substansial di antara penduduk perkotaan.


                                                                              ***


Semua bermula dari kemarahan seorang anggota partai komunis dan jurnalis berhaluan kiri, Ulrike Meinhoff atas sikap kalangan pers sayap kanan yang mendeskreditkan gelombang demonstrasi radikal mahasiswa, sebagai muara dari protes terhadap pembunuhan salah seorang aktivis mahasiswa oleh fasis fanatik Jerman Barat. Di sela kemarahannya tersebut, pada 2 April 1968, seorang berandalan bernama Andreas Baader berlibat bersama kekasihnya, seorang mahasiswi filsafat Gudrun Ensslin dalam meledakkan pusat perbelanjaan Kaufhaus Schneider di pusat kota Frankfurt. Meski tak melukai seorangpun, dua hari kemudian Baader, Ensslin dan  dua temannya, Horst Söhnlein dan Thorwald Proll ditangkap atas serangan yang mereka daku sebagai balasan atas pembantaian Amerika Serikat terhadap Vietnam. Mereka divonis tiga tahun penjara namun dibebaskan sementara di bawah amnesti khusus bagi tahanan politik.

Andreas Baader dan Gudrun Ensslin di sela persidangan.
Ketika pengadilan hendak melimpahkan kembali mereka ke ruang tahanan, pada November 1969 Baader, Ensslin, dan Thorwald Proll mangkir dan berhasil melarikan diri, bersembunyi berpindah tempat, ke Swiss, Perancis dan Italia. Namun Baader yang ternyata belum beruntung kembali tertangkap satu bulan kemudian di sebuah razia lalu lintas.

Ensslin tak tahan melihat kekasihnya berada dalam tahanan. Skenario pelarian Baader Ia rancang dengan meminta bantuan Meinhoff selaku wartawati yang hendak mewawancara Baader. Udara kebebasan rupanya selalu berpihak pada Baader. Upaya itu berhasil setelah melumpuhkan dua penjaga bersenjata. Keterlibatan Ulrike Meinhoff lebih dalam pada grup dimulai disini.

Pasca aksi penglolosan Baader dari penjara, Meinhoff belajar ilmu militer dan mengasah mental militansinya dalam sebuah kamp pelatihan militan kiri Fatah di Yordania selama beberapa waktu, untuk lantas kembali ke Jerman Barat. Lalu pada tahun 1970, Ulrike Meinhof mengeluarkan manifesto yang untuk kali pertama menyertakan nama RAF, lengkap dengan logo bintang merah dan senapan mesin Heckler & Koch MP5. Meinhof mengikrarkan berdirinya RAF.

Gerilya Kota dan Sel Terorisme

RAF dibentuk salah satunya dengan tujuan untuk saling melengkapi sejumlah besar kelompok revolusioner dan radikal di Eropa khususnya Jerman Barat. Mereka salah sekian dari gerakan-gerakan serupa di Jerman di masa yang sama. Sebutlah grup anarkis Second Of June Movement alias Movement 2 June yang terkenal akan aksi pemboman dan termasuk aksi tersohor penculikan walikota Jerman Barat Peter Lorenz; lalu ada Revolutionary Cells alias Revolutionäre Zellen (RZ), geng pembajak pesawat perpaduan elemen kiri radikal, anti patriarki, dan anti zionis, yang bertanggung jawab atas serangkaian pemboman terhadap pelbagai infrastruktur antek Israel; dan terakhir adalah Rote Zora alias Red Zora, kelompok feminis militan yang melakukan serangkaian pemboman pada toko-toko perlengkapan seks, termasuk peledakan di luar kantor Asosiasi Dokter Jerman sebagai bentuk protes pada undang-undang aborsi serta serangan-serangan lain terhadap kantor-kantor korporat.

Personil RAF, tak semengerikan yang kau kira.

Mereka memiliki prinsip yang sama dalam metode aksi yang mereka lakukan, yakni berbasis sel. Taktik ini cukup menyulitkan pihak otoritas untuk melakukan penggrebekan markas unit-unit gerakan yang selalu berpindah atau menelisik lebih dalam para pemeran di balik aksi ini. Seringkali otoritas terkait mendapati ikon-ikon fiktif. Pola ikonitas yang sama ini juga yang lantas diciptakan oleh otoritas terhadap Baader dan Meinhof sebagai pimpinan RAF, meski dalam RAF sendiri tidak didapati sistem kepemimpinan serupa yang disebutkan oleh otoritas melalui media-media massa plus dengan RAF yang digambarkan sebagai gerombolan psikopat dengan kekejaman-kekejaman yang dikupas tuntas, demi kebencian publik padanya dan gerakan-gerakan serupa.

Gerilya kota yang dilakukan oleh RAF, yang mereka sebut sebagai "perjuangan anti imperialis", sebagian besar didanai dari hasil perampokan pada sejumlah bank. Satu persatu kantor-kantor pemerintahan dan kepolisian, serta markas militer dan sentra bisnis menjadi target pemboman. Sekian pejabat penting, politisi, aparat hukum, bankir dan pengusaha diculik, disandera dan beberapa diantaranya tewas terbunuh.

Lagi-lagi upaya mereka untuk menginspirasi banyak orang tentang makna pemberontakan harus beradu kuat dengan moralitas yang dibangun oleh otoritas. Alih-alih memicu gerakan-gerakan serupa, rakyat Jerman yang mulanya memberikan dukungan dan simpati pada aksi-aksi mereka, akhirnya harus berbanding terbalik dengan apa yang menjadi mimpi RAF. Hegemoni mengalahkan segalanya.

Juni 1972, setelah melalui perburuan panjang, pihak kepolisian berhasil menangkap hidup-hidup generasi pertama RAF; Andreas Baader, Gudrun Ensslin, Ulrike Meinhof, Holger Meins, dan Jan-Carl Raspe. 

Andreas Baader, Jan-Carl Raspe dan Holger Meins ditangkap setelah terjadi tembak menembak panjang di Frankfurt pada tanggal 1 Juni 1972. Seminggu kemudian, Gudrun Ensslin ditangkap di sebuah butik pada tanggal 8 Juni 1972 di Hamburg setelah pemilik butik menghubungi pihak kepolisian karena melihat pistol yang Ia sembunyikan di balik jaketnya. Ulrike Meinhof ditangkap pada tanggal 14 Juni 1972 di apartemen yang Ia sewa bersama pacarnya di Hannover, setelah sebelumnya sempat melakukan perlawanan dengan perkelahian tangan kosong.

Mereka dibuang ke dalam penjara berkeamanan tinggi Stammheim di Stuttgart, lalu ditempatkan ke dalam sel isolasi yang pengap. Selama mereka mendekam, generasi kedua RAF melakukan serangkaian penculikan dan sabotase sebagai aksi balasan dan negosiasi atas pembebasan Baader cs. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Kematian menjemput mereka satu persatu.

Holger Meins tewas kelaparan pada 9 November 1974 oleh aksi mogok makan yang mereka lakukan terhadap sikap otoritas penjara. Sebelum vonis dijatuhkan, tanggal 9 Mei 1976 Ulrike Meinhof ditemukan tewas tergantung dalam selnya dengan lilitan handuk di leher.

Sementara itu generasi kedua RAF terus melakukan beberapa upaya untuk membebaskan rekan-rekannya dari penjara. Mereka membajak sebuah pesawat sebagai pertaruhan. Upaya ini kembali gagal setelah pesawat bajakan diserbu oleh unit anti-teroris Jerman. Beberapa jam usai pembajakan yang tak berhasil, 18 Oktober 1977, Andreas Baader dan Jan-Carl Raspe tewas dengan luka tembakan di kepala di dalam sel mereka. Jan-Carl Raspe meninggal meski sempat dilarikan ke rumah sakit. Di saat yang sama anggota RAF lain yang juga ditahan di penjara yang sama, Irmgard Möller mencoba menusuk dadanya sendiri namun selamat dari kematian. Lalu Gudrun Ensslin, mengikuti jejak Ulrike Meinhof, menggantung diri hingga tewas. 

Berdasar pengakuan Irmgard Möller yang urung menjelang ajal, terungkap bahwa kematian-kematian tersebut bukan aksi bunuh diri, melainkan pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah Jerman. Bagaimanapun, mereka meninggal pada tanggal  di apa yang dikenang sebagai Stammheim Prison's Death Night--Malam Kematian Penjara Stammheim.

Andreas Baader, pemuda putus sekolah yang gemar mencuri mobil-mobil keren demi menjalankan misi perampokan RAF.
Ulrike Meinhof, jurnalis modis yang kritis, penggemar teori dan berani mati.

















 

Gudrun Ensslin, kekasih Andreas Baader, penerap liberasi seksual.


Saturday Channel


"Kontrak rekaman label besar tidak lantas menjadikanmu seorang bintang.
Dirimulah yang mewujudkannya."--Lady Gaga


Musik disinyalir sudah ada sejak zaman manusia mulai mengenali kepercayaan-kepercayaan. Penemuan alat musik serupa flute di Jerman Selatan menjadi salah satu buktinya. Selain menggunakan siulan, dendang, tepukan-tepukan dengan menggunakan bagian tubuh, kayu-kayu berongga, tulang burung dan gading gajah purba, menjadi instrumen pengiring puji-pujian kepada sosok yang mereka yakini sebagai tuhan, dan disenandungkan dalam gubahan nada yang pada akhirnya diseragamkan. Demikian kiranya keseragaman ini digunakan di masa reformasi gereja abad pertengahan demi keteraturan umat. Seiring dengan terjadinya reformasi budaya dan penemuan-penemuan di pelbagai bidang, pada akhirnya musik berkembang melintasi berbagai zaman.

Sejak musik menjadi penafsir dan tumpahan emosional manusia yang juga mempengaruhi mental sekira obat penawar kepedihan dan sukacita, saat itu pula musik mulai disusun berdasar estetika. Untuk mengiringi keriangan panen raya dipilihlah musik yang meriah, untuk menghibur hati raja yang terluka dipilihkan musik yang sendu, lalu digunakan sebagai media terapi kejiwaan penyakit mental, pemikat kekasih, dan belakangan konon sebagai perantara penumbuh kecerdasan jabang bayi dalam perut emaknya.

Dulu kala, di masa-masa kerajaan nusantara, gamelan menjadi alat musik penghibur istana. Alat musik satu ini sudah ada pra masuknya pengaruh Hindu- Buddha. Tak berapa lama, dua negeri besar tumbuh di Asia. Cina dan India, yang tingkat peradabannya cenderung tinggi kala itu, merapat ke Indonesia yang notabene memiliki jalur perdagangan laut strategis Selat Malaka. Selat ini menjadi tempat favorit untuk bersandarnya kapal-kapal dagang dan berjumpanya para pedagang yang juga datang dari Arab dan Persia. Tidak hanya pedagang, namun juga para pelarian perang besar antar golongan dalam masyarakat yang terjadi masa itu di India.

Kedatangan bangsa-bangsa ini mempengaruhi banyak hal bagi masyarakat nusantara pada saat itu. Sebagian dari mereka tidak lagi menganut animisme dan dinamisme tapi menganut ajaran Hindu, sistem kerajaan-kerajaan dibenahi hingga muncul kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya. Tidak hanya reformasi dalam bidang politik dan kepercayaan, namun juga bahasa, sastra, termasuk pula seni musik. Demikian pula ketika ajaran-ajaran lain masuk, Islam melalui bangsa Arab dan Kristen bersama bangsa Eropa. Sejak datangnya bangsa-bangsa ini beserta kebudayaannya masing-masing hingga kolonialisme menjejakkan kaki di Indonesia, terjadi perkembangan yang signifikan di dunia kesenian Indonesia. Ini ditandai dengan berkembangnya alat-alat dan aliran-aliran musik, seperti gamelan dengan versi baru, gambus, rebana, hingga keroncong.

Revolusi musik modern yang terjadi di negeri Barat turut mempengaruhi peta musi di tanah air. Termasuk ketika gitar listrik diperkenalkan di tahun 1930-an dan ketika agen-agen kebudayaan pop dan rock 'n roll melanda Amerika dan Eropa yang diwakili oleh sederet nama semacam Frank Sinatra, Elvis Priesley, dan The Beatles, yang menjadi ikon musik populer. Pengaruh ini didatangkan ke Indonesia bersama cakram piringan hitam di kalangan tertentu. Masuknya televisi di Indonesia kemudian menjadi salah satu corong penyampai musik gaya baru ini.

Di awal abad ke-18 para pemusik Barat didukung penuh oleh gereja dan aristokrat. Belum ada yang namanya komersialisasi musik. Lalu setelahnya, Mozart dan kawan-kawan mulai mencari peluang komersial untuk memasarkan musik dan pertunjukan mereka kepada masyarakat umum.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mulai lahir label-label kecil yang mengambil keuntungan tidak hanya dari penjualan tiket semata. Piringan hitam menjadi sumber keuntungan baru dengan merekam konser langsung para musisi lalu memperbanyak dan menjualnya ke khalayak dengan jumlah yang masih terbatas. Beberapa nama menjadi pemain dalam bisnis baru ini; The Gramophone Company, Columbia Records, Victor Talking Machine Company dan lainnya yang beberapa waktu kemudian juag melahirkan industri baru sekelas Universal Music Group, Sony Music Entertainment, Warner Music Group dan EMI Group.

Industri rekaman yang kini kita kenal dengan terminologi major label ini sama halnya dengan perusahaan dagang lainnya. Mereka mengatur segala tetek bengek yang bersangkutan dengan pemasaran rekaman, memikirkan distribusinya, menyusun formula promosinya. Tentu saja, pemusik di situ cuma terandai barang dagangan. Mereka harus berdaya jual yang mesti melalui serangkai seleksi ketat pula dalam proses rekrutmen, meskipun sudah tentu nantinya harus menuruti tata cara yang diberlakukan oleh perusahaan, itu pun masih melewati proses sensor yang jangan pernah terbayang akan selonggar keinginan kita.

Pada akhirnya, label independen lah yang menjadi perbincangan kita. Ketatnya aturan tersebut yang bermuara pada keinginan band-band penolak kompetisi untuk mengurus sendiri albumnya. Bisa jadi juga mulanya mereka adalah barisan musisi-musisi yang patah hati karena demonya tak kunjung mendapat sambutan dari perusahaan rekaman atau bisa juga ini sekedar batu loncatan dengan harapan nanti pada finalnya mendapat perhatian dari perusahaan rekaman. Maka dipilihlah jalan independen. Urus-mengurus rekaman bisa disamakan sejak mulai proses produksi; memilih studio rekaman yang mumpuni, memilah jenis sound sesuai keinginan, memikirkan titik-titik distribusi, mau dijual atau digratiskan, merancang sampul album, berformat CD ataupun digital, menggarap poster publikasi serta metode promosi lainnya, menggelar konser peluncuran album, dan mengatur sendiri jadwal pertunjukkan. Apapun alasannya, di titik ini kemandirian menang telak.

Internet patut mendapat pujian rasa terima kasih bagi para musisi independen yang ingin menyebar kabar dan rekaman mereka hingga ke seluruh dunia. Biaya produksi dan distribusi bisa ditekan amat jauh. Dan pembajakan yang amat ditakutkan oleh perusahaan rekaman, menjadi siasat yang sangat jitu dan menguntungkan bagi si musisi untuk mengenalkan band dan karya mereka. Semakin banyak orang mengkopi lagu mereka, berarti semakin banyak yang mendengar dan mengenalinya.

Ada kabar baik lagi datang hari ini--di tengah-tengah istilah indie atau independen yang justru menjadi sebuah tren baru bagi para pengejar keuntungan--bahwa event bertajuk "Saturday Channel" menjadi media bagi musisi-musisi independen di Kota Palembang untuk dapat saling menyapa, memberi dan menerima perihal segala informasi yang berkaitan dengan independensi dalam bermusik, yang termasuk didalamnya pengalaman membentuk dan mengelola sendiri sebuah band, mengatur prosesi perekaman album secara mandiri sejak memproduksinya, mempromosikan, mendistribusikan dan strategi-strategi ampuh lainnya. Dan pastinya dengan menghadirkan band-band independen di Kota Palembang untuk berpentas dan berdiskusi; Grey, The ICU, dan [C54].

Hanya ada harapan kecil bagi kami pasca event kali ini, yaitu ada bekal baru untuk menyemangati kembali kemandirian agar tak tumpul dimangsa dunia yang serba instan.