"Siapapun akan mempraktekkan seni dengan caranya sendiri"--Tristan Tzara
"Imajinasi membutuhkan kekuatan", demikian sebuah graffiti
tertulis di dinding jalanan Kota Paris ketika diguncang insureksi
popular Mei 1968. Setidaknya dibutuhkan sebuah media untuk merealisasi
ide menjadi sebuah materi. Selembar kertas tentu akan tetap berada dalam
kekosongan tanpa adanya guratan dari seorang penulis yang hanya
merenungi idenya yang berapi-api. Sama halnya dengan kuas para
ilustrator yang memerlukan sebuah alas karya untuk memaparkan gagasan,
yang bisa berupa sehelai kertas, guratan kardus bekas, atau
dinding-dinding kota. Oleh karenanya, bila imajinasi membutuhkan
kekuatan, maka coba bayangkan apa yang terjadi bila kekuatan tidak
membutuhkan imajinasi? Lemah dan membosankan.
Kita hidup dalam ribuan lakon dan jutaan panggung. Dan Lalu, ketika
sebuah pameo klasik seni pertunjukan mengatakan bahwa semua tempat
adalah panggung, mungkinkah seni ilustrasi merujuk setiap ruang adalah
galeri? Sulit memang untuk tidak mengidentikkan sebuah karya seni
ilustrasi dengan pameran yang dingin dan kaku. Atau, bahkan, menjadi
tempat yang sepi kunjungan, menjadi halaman paling belakang dan pilihan
terakhir yang akan dikunjungi oleh khalayak umum untuk memperoleh sebuah
kesenangan. Di posisi ini, artis terancam kehilangan komunikasi dengan
non artis atau mereka yang awam dengan keterwalikan karya pada para
kurator meski tidak setiap karya diniatkan sejak awal sebagai alat
berkomunikasi. Dan benar sekali bahwa dimana-mana sistem perwakilan
memang begitu absurd bila diharap akan membawa sebuah kebaikan. Yang
tidak benar adalah praduga, yang menyebut bahwa karya-karya ilustrasi
harus mengalami ketragisan yang sama. Karena esensinya, karya seni tidak
membutuhkan sebuah kompetisi. Ia berada di luar tata nilai masyarakat
dan bisa membangun nilai-nilainya sendiri. Hanya saja, yang 'nyaris'
mutlak adalah arsir bayangan berwarna gelap, dan cahaya lebih terang.
Tidak dilebih-lebihkan. Tidak dikurang-kurangi. Dan kalaupun memang
ingin berbanding terbalik dengan kemutlakan yang 'nyaris' itu, ya
biarkan saja. Toh, ia akan tetap memiliki nilai tanpa perlu dinilai atas
diri. Ini pula yang membuat karya seni ilustrasi kerap mejembatani
antara realitas dan sosialitas, sekali lagi, tanpa kompetisi pencapaian
puncak artistik dan bahasan komunikasi universal yang menyebalkan.
Mereka yang memvisualkan bahasa tentu sadar betul bahwa mereka
berhadapan dengan rival yang bukan main masifnya selain dunia moral.
Apalagi kalau bukan televisi. Kotak elektronik satu ini memandulkan daya
kreasi pemirsanya menjadi pecandunya yang akut. Menjadikannya
satu-satunya sumber terpercaya sehingga tidak ada kebenaran lain selain
yang tersiar olehnya. Tapi pembodohan ini sangat menyenangkan. Itu
sebabnya ia disebut candu. Kesenangan yang membunuh. Hingga cukup
beralasan saat ini untuk memediasi pertemuan satu ilustrator dengan
ilustrator lain, dan para ilustrator dengan peminat seni ilustrasi awam,
seperti yang dilakukan oleh Utopia Drawing Class--salah satu sayap
kesenian Rumah Info Utopia di Kota Palembang, pada event bertajuk "Ruang
Belulang Artwork Exhibition". Menjadi cukup penting mengingat
komunikasi antar ilustrator khususnya partisipan dengan di luar
"kaum"nya memerlukan sebuah jalinan di luar koridor komunikasi karya dan
penikmat karya, yang memungkinkan tumbuh minat untuk memulai sebuah
karya bahkan bagi mereka yang awam. Bukankah bakat itu tidak ada tanpa
minat dan belajar?
Mengenai "Ruang Belulang Artwork Exhibition", selain parade karya
ilustrasi, akan ada juga workshop cukil kayu, demo menggambar, mural
bersama, sharing skill seni ilustrasi, pentas musik akustik, dan lapak
merchandise dan diskusi perkembangan seni illustrasi di Palembang. Penganalogian dari tulang temulang yang berserak dan terhimpun menjadi sebuah
kerangka, tentunya event ini digagas untuk menjawab pertanyaan mengenai
mungkin tidaknya seni ilustrasi dibahas di luar konteks kuas dan kanvas
semata.
Semangat. Itu kata yang pertama menghinggapi saya ketika
akan memulai tulisan ini. Beberapa tema sempat melintas, namun kali ini pilihan
jatuh kepada Urban Piknik, setelah sebelumnya waktu sempit yang saya miliki
terbuang untuk menjelajahi dunia maya kesana kemari, termasuk melihat cuplikan
video dokumentasi Urban Piknik beberapa waktu lalu. Semangat ini pula yang
menggiatkan saya memikirkan mau dibawa kemana keluarga yang saya miliki ditengah
gempuran kebutuhan yang seakan tiada habisnya. Urban Piknik, mungkin salah
sekian dari harapan yang masih tersisa bagi manusia-manusia terasing seperti
saya.
Pada sebuah
kawasan bermukim, ketika ruang-ruang urban sudah tidak bisa menampung aktivitas
bebas masyarakatnya, maka tak pelak kreativitas terancam menjadi tak berdaya.
Area yang telah dibatasi dengan plakat-plakat larangan tertulis ataupun tidak
itu, tidak hanya berupa pagar-pagar geografis yang berpengaruh pada lingkup
gerak masyarakat multikultur namun berimplikasi besar juga pada psikologis
individual.
Rumusan penopang
privatisasi akan ruang-ruang yang semestinya diperuntukkan bagi khalayak ini
tak hanya menjerumuskan penghuni-penghuni kota
ke dalam lubang keterasingan yang lebih dalam. Hilangnya pemaknaan kebersamaan
unit-unit terkecil dalam masyarakat menjadi salah sekiannya. Tidak adanya lagi
area bagi sebuah keluarga atau persekawanan untuk membuang kebosanan dengan
menggelar tikar, nyanyian dan aneka makanan ringan, membuat piknik menjadi
kenangan sebuah budaya usang. Dengan begitu, lenyapnya kebersamaan sebagai
media pertukaran gagasan sudah barang tentu memperlemah kreativitas tersebut.
Larangan
merupakan salah satu bentuk ancaman. Maka mental individu mana yang dengan
senang hati menerima rasa takut sebagai anak muara dari ancaman. Sebagian yang
hidup dalam naungan moralitas urban meyakini bahwa beberapa batasan itu
diciptakan demi 'kebaikan' bersama, namun tidak sadar bahwa 'kebaikan' itu
justru memisahkan kebersamaan yang semestinya tumbuh subur. Lalu sebagian lagi
menerima pemisahan itu tak lebih karena rasa takut oleh tekanan aneka sanksi
yang berjibaku dengan program pembangunan penguasa kota. Maka kemana sebagian kecil lainnya?
Seperti
kisah-kisah klasik pembangkangan, hanya sejumlah kecil orang yang mencoba
memberdaya kemampuannya masing-masing dalam sebuah grup partisipasi bebas,
untuk secara bersama-sama meniadakan 'batas-batas' tersebut. Seperti
kebanyakan aturan-aturan lain yang mengalami kontradiksinya sendiri,
privatisasi ruang-ruang kota
mengalami hal serupa 'pelanggaran'. Namun untuk yang satu ini, mereklaim sebuah
hak atasnya bukanlah bentuk pelanggaran. Lagipula dalam kamus mana yang
menyebut bahwa memberdaya ruang publik sebagai ajang berlibat dan
berkreativitas tanpa mengganggu altivitas sekitar adalah sebuah pelanggaran,
kecuali kamus yang dirumus oleh tafsir penguasa kota yang tentu berjejal dengan berbagai
kepentingannya.
Urban
Piknik—media sosial yang dibangun oleh sebuah grup partisipasi bebas di Kota
Palembang ini, merupakan salah satu penanda bahwa masih tersimpan harapan bagi
individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk merajut kembali
hubungan dan pertemuan tiap darinya dengan mengokupasi area-area yang
'terlarang' bagi umum. Momen ketika setiap orang dapat berperan sesuai
keinginannya dengan sukacita dan tanpa rasa was-was oleh upaya penertiban,
sekaligus untuk melekatkan manusia-manusia yang telah terasing satu sama lain
oleh budaya konsumsi, pusat-pusat belanja, televisi dan dunia kerja.
Urban Piknik
dirancang sebagai agenda dwi mingguan oleh sekelompok kecil pemuda yang selama
ini aktif dalam pergelutan komunitas Kota Palembang, dan lalu menularkan
gagasannya melalui jejaring dunia maya dan poster-poster ajakan edisi cetak ke
kantung-kantung komunitas. Fokus utamanya adalah memanfaatkan ruang publik
sebagai sarana berjejaring dengan khalayak di luar lingkar komunitas mereka;
bertukar ide, berbagi peran, dan tentu saja, dilakukan dengan penuh sukacita.
Konsepnya sederhana, yakni menyediakan kompor untuk memasak yang diberi tajuk
Kompor Publik dan berpiknik di taman kota
dengan beragam interaksi didalamnya. Umumnya mereka membawa perlengkapan
memasak yang dicomot dan pinjam sana-sini. Di atas sebuah meja panjang yang
lengkap dengan kompor, penggorengan, bahan-bahan dan bumbu-bumbu hasil
patungan, siapapun boleh menyalurkan hobi dan kemampuannya memasak.
Masakan-masakan inilah yang lantas dijadikan menu santapan gratis yang juga
bebas dinikmati oleh siapapun yang ada disana, tidak sebatas anggota komunitas
semata.
Tidak ada
keterikatan melalui sistem keanggotaan dalam grup ini. Semua partisipan yang
terlibat datang dengan inisiatifnya masing-masing untuk membawa perlengkapan
makan, peralatan memasak, bakal menu, dan alat-alat penyokong lainnya. Ketika
setiap orang menolak menjadi pasif dan telah berani mengambil perannya
masing-masing, kelak tidak ada lagi sekat pemisah layaknya dunia tontonan yang
membentuk keterasingan antara penonton dan yang ditonton, karena dalam Urban
Piknik, semua orang adalah koki dan setiap orang adalah pramusaji.
Tidak hanya
Kompor Publik yang terdapat dalam Urban Piknik. Di sana juga digelar berbagai aktivitas yang
saling mendukung. Bagi yang suka bernyanyi dapat merealisasikannya pada
kelompok akustik berpanggung tikar untuk menghibur para piknikers, atau yang
membutuhkan barang-barang tertentu, dapat membelinya di Garage Sale, yakni
lapak barang-barang bekas layak pakai yangmana sebagian keuntungan penjualannya
didonasikan kepada kas yang dikelola oleh komite kecil Urban Piknik. Dana yang
terkumpul lantas digunakan sebagai modal untuk memproduksi beberapa merchandise, yang kemudian kembali
dijual dan kelipatan labanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
piknik itu sendiri. Adakalanya Urban Piknik turut menyertakan pameran ataupun
workshop fotografi, media cetak alternatif, ilustrasi, kolase dan aktivitas
mural yang terbuka bagi siapapun yang ingin berpartisipasi.
Urban piknik
tidak hanya menjadi salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi
keterasingan masyarakat kota.
Ia turut menjadi momentum yang mengilustrasikan sebuah wacana keteraturan tanpa
peraturan yang juga mencoba memberi jawaban atas pertanyaan para perumus
peraturan tentang mungkinnya memaknai kebebasan tanpa kekacauan. Memang,
berpiknik di tengah kota—tempat
dimana pusat otoritas itu berada—sekilas tampak absurd, tapi ini sungguh
terjadi.
Pustaka Foto
Kambang Iwak Family (KIF) Park sentra komuniti Kota Palembang, salah satu spot Urban Piknik
Lapak merchandise, sebagian keuntungannya didonasikan kepada Urban Piknik
Perempuan dan Hegemoni dari Sebuah Kotak Bernama Televisi
Dewa Made Karang
Mahardika
“Hegemoni merupakan sebuah pandangan hidup dan cara
berpikir yang dominan, yang didalamnya terdapat sebuah konsep tentang kenyataan
yang disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun
perorangan; (ideologi) dengan mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral,
prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial,
khususnya dalam makna intelektual dan moral.”—Antonio Gramsci
“Genjer-genjer, nong kedok’an pating keleler, emak’e tole, teko-teko,
mbubuti genjer, oleh sak tenong, mungkor sedot, seng tole-tole,
genjer-genjer, saiki wis digowo muleh”
Semasa saya kecil, setiap akhir bulan
kesembilan,Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai satu-satunya corong
informasi visual pada waktu itu, menyuguhkan sebuah tontonan 'horor' yang
berhasil membuat rasa takut dan penasaran saya menjadi satu. Tentang bagaimana
sekelompok pembantai menculik perwira-perwira angkatan darat, untuk lantas
menyiksa dan membunuhi mereka satu persatu. Dengan keji tentu saja. Kelompok
yang lalu dinamakan sebagai Gerakan 30 September dan diawaki oleh Partai
Komunis Indonesia ini, menjadi setan-setan yang menghantui kepala setiap anak
kecil yang lalu membawanya tumbuh bertahun-tahun setelahnya.
Dan meskipun film
yang diproduksi oleh Perusahaan Umum Produksi Film Negara (PPFN) dan
disutradarai oleh Arifin C. Noer ini menjadi tontonan wajib tiap tahun, entah
mengapa tidak membiarkan rasa bosan sempat hinggap berlama-lama di benak saya.
Pemilihan musik latarnya benar-benar menguatkan karakter senyap yang membuat
kita ingin lebih tahu tentang kengerian walau saya sudah hapal betul jalan
cerita berikutnya. Adrenalin bahkan sudah dimulai ketika segerombol orang
menyerbu sebuah tempat ibadah dan mencabik-cabik kitab suci dengan arit, yang
merupakan simbol komunis. Horor berlanjut dengan padanan slow motion
para tentara iblis dan penyergapan para Jenderal, penculikan dan siksaan,
tangis seorang ibu atas terbunuhnya sang putri dan heroisme para penjaga
stabilitas negeri.
Poster film Pengkhianatan G 30 S/PKI
Tiga jam lebih film ini berupaya menggambarkan rekaman
sejarah dengan membebankannya pada psikis pirsawan. Itulah kekuatan operasional
propaganda sebuah rejim, durasi tiga jam yang meninggalkan jejak puluhan tahun
di kepala jutaan pemirsa seantero Indonesia. Saya menjadi salah satu
diantaranya. Mengidap penyakit hasil indoktrinasi. Menjadi begitu ngeri
mendengar lagu Gender-Gender--hasil cipta Muhammad Arief seorang tokoh Lembaga
Kebudayaan Rakyat, sayap kebudayaan PKI--yang pada sebuah adegan dilukiskan,
bahwa pada malam menjelang 1 Oktober 1965 telah terjadi ritual berupa tarian
mesum anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat--sayap pemuda dari Partai Komunis
Indonesia--berpesta pora tanpa busana, selain mengenakan untaian kembang genjer sebagai
pakaian ritual yang sadis, dimana mereka menyayat-nyayat dan menyileti kemaluan
para jenderal, disertai iringan nyanyian lagu yang sebelum tragedi telah dipopulerkan
oleh Lilis Suryani ini, dan sempat dibawakan oleh Bing Slamet dan Nyoto,
seorang tokoh PKI dan pengurus Radio Republik Indonesia.
Arifin C Noor (kedua dari kiri) saat syuting film G30S/PKI di Jakarta, 1984
Orde Baru berhasil membuat pengawetan kekuasaan
melalui sebuah paket visual yang dikemas dramatis. Dalam sejarah perfilman Indonesia,
inilah kali pertama pemerintah memberikan dukungan sepenuh-penuhnya pada
seluruh aspek. Selama lebih dari tiga dekade film ini menjadi tayangan wajib
TVRI dan juga berlaku bagi stasiun-stasiun televisi swasta yang muncul dikancah
persaingan dunia tayangan. Sebuah pelajaran pahit bagi sebuah gerakan yang
dianggap menjadi musuh negara, siapapun dia yang mencoba mengusik kerajaan
Soeharto. Ketika perpolitikan di Indonesia mulai menunjukan
riak-riak gejolak, film ini dihentikan jatah tayangnya pada tahun 1997, dan
berlanjut menjadi pergunjingan tentang hitam putih sejarah peristiwa 30
September 1965. Namun saat ini saya lebih memilih untuk tidak ambil bagian
dalam polemik ini. Gerwani tampaknya lebih menarik untuk dibicarakan.
TK Melati dan Pembebasan Perempuan
Untuk kali pertama kongres perempuan Indonesia digelar dan memakan waktu selama empat
hari, 22 hingga 25 Desember 1928 di Kota Gudeg Yogyakarta.
Setidaknya 1.000 peserta dari 30 organisasi perempuan hadir di momen ini, dan
dianggap sebagai salah satu peristiwa terbesar di era kolonial selama 1900-an.
Setahun kemudian kongres serupa diadakan di Jakarta, lalu berlanjut ke Surabaya
tahun 1930, Jakarta di tahun 1935, dan Bandung tahun 1938. Pada kongres di Bandung ini lahirlah
sebuah keputusan bahwa tanggal 22 Desember--yangmana merupakan tanggal
dimulainya kongres perempuan pertama--merupakan Hari Ibu yang dirayakan hinggi
kini. Di era ini, gerakan perempuan berkonsentrasi pada isu-isu seputar
poligami, diskriminasi kaum perempuan di tempat kerja, perdagangan perempuan,
pernikahan dini, perjodohan dan akses terbatas perempuan terhadap bidang
pendidikan.
Perjuangan kaum perempuan di era kolonial
sebenarnya telah dimulai beberapa tahun sebelum kongres pertama diadakan.
Seorang perempuan dari kalangan bangsawan Jawa bernama Raden Ajeng Kartini,
mengkritisi kesetaraan hak-hak mendasar kaum perempuan dalam mengenyam
pendidikan dengan membawa slogan kekuatan, kegigihan dan ketulusan. Seperti
yang tertulis dalam suratnya kepada Ny R.M. Abendanon di bulan Agustus 1900,
"Tidak, tidak! Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Lepaskan
belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan menunjukkan bahwa saya manusia.
Manusia, seperti laki-laki." Kartini melambangkan perjuangan perempuan
melawan arogansi dan budaya patriarki kolonial Belanda, bukan hanya karena
ibunya berasal dari latar belakang kelas pekerja tertindas, tapi juga melihat
kondisi sosial perempuan kebanyakan pada saat itu, yang tidak memiliki peran
apa-apa selain harus menerima kodrat sebagaimana mestinya.
Perjuangan Kartini
dalam memperjuangkan emansipasi justru kelak terjebak dalam kontruksi gender
yang dibangun oleh penguasa di masa Orde Baru. Citra dirinya telah
"direnovasi" untuk memperkuat budaya patriarki. Gerakan perempuan di
era Orba kala itu didominasi oleh gagasan domestikasi perempuan, atau
"Ibuisme", sebagai istri yang berserah dan mengabdikan diri pada
suami mereka, keluarga dan negara. Pada tingkat praktis, Ibuisme dilaksanakan
oleh organisasi-organisasi para istri pegawai negeri Dharma Wanita, Dharma
Pertiwi dan PKK (Pemberdayaan Keluarga dan Gerakan Kesejahteraan). Bahkan di
tingkat praksis selebrasi Hari Kartini yang dicanangkan oleh Soeharto telah
menggeser makna emansipasi itu sendiri. Lomba menari, kontes memasak atau
peragaan busana, menjadi perangkap yang menginjeksi peran-peran dosmetik kaum
perempuan. Perjuangan Kartini sebatas dimaknai sebagai kegemulaian seorang
perempuan ‘baik-baik’.
Di dalam wacana kesejarahan di Indonesia,
sumbangan gerakan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan kurang diperhitungkan
sebagai sebuah kekuatan yang berarti, walaupun Laskar Wanita Indonesia
atau Laswi, begitupun juga Gerwis yang merupakan cikal bakal dari Gerwani yang
didirikan pada tanggal 4 Juni 1950 tercatat sebagian besar anggotanya adalah perempuan-perempuan
yang terlibat langsung dalam perang kemerdekaan melawan Jepang dan Belanda pada
1940-an. Hal ini yang kemudian banyak menjadi ilham bagi para perempuan yang
terlibat revolusi fisik tersebut untuk bergabung di dalam Gerwis sebelum kemudian
berganti nama menjadi Gerwani. Gerwis sendiri adalah merupakan hasil koalisi
dari enam organisasi perempuan, yaitu Rupindo (Rukun Putri Indonesia;
Semarang); Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo
(Gerakan Wanita Indonesia; Kediri), Wanita Madura (Madura), dan PPRI
(Perjuangan Putri Republik Indonesia; Pasuruan), pada kongres mereka yang
pertama di Jakarta, Desember 1951.
Gerwani merupakan organisasi perempuan yang
independen, tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, bahkan Partai
Komunis Indonesia,
seperti yang dipahami oleh banyak orang selama ini. Organisasi yang didirikan
pada tahun 1954 ini berjejaring dengan pelbagai gerakan perempuan di dunia
serta tergabung dalam Gerakan Wanita Demokratis Sedunia. Tujuan
utama gerakan Gerwani adalah meningkatkan kemampuan dan harkat perempuan.
Kegiatan mereka yang lain adalah membangun sekolah-sekolah yang salah satunya
dengan mendirikan dan mengelola Taman Kanak-Kanak Melati yang diklaim mencapai
1.478 titik di seluruh wilayah Indonesia, yang diutamakan untuk anak-anak para
buruh tani.
Kelas pendidikan Gerwani
Di dalam pendiriannya, TK Melati diserahkan pada pengurus ranting
setempat. secara otonom. Pengurus ranting seringkali melibatkan pihak kelurahan dan
anggota-anggota masyarakat lain untuk menyediakan tempat dan peralatan TK, yangmana sebagian besar tenaga pengajarnya melakukan pelatihan dengan sukarela tanpa mendapat imbalan.
Model penggalangan dana, atau yang kita kenal dengan istilah benefit--bisa
dilaksanakan dengan mengadakan pertunjukan wayang dan menjual tiket
pertunjukannya untuk pendirian dan penunjang operasional TK.
Para perempuan
yang tergabung dalam Gerwani juga memperjuangkan undang-undang perkawinan
termasuk menentang poligami (yang waktu itu akan diresmikan undang-undang yang
memberikan tunjangan lebih besar kepada pelaku poligami), aktif mengkampanyekan
hak-hak perempuan, menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf, serta
menangani masalah perempuan buruh dan petani dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Selain mengubah pola dari organisasi kader
menjadi organisasi massa, berkat kedekatan dan kerjasama dengan serikat-serikat
buruh dan Buruh Tani Indonesia (BTI) di basis-basis petani dan buruh, anggota
Gerwani melonjak cepat, dari 500 ribu menjadi 1,5 juta dan memiliki cabang
hampir di semua daerah dan pelosok Indonesia. Gerwani menjadi organisasi
perempuan terbesar di Indonesia.
Belum ada satu pun organisasi perempuan modern mampu menghimpun anggota
sebanyak itu hingga kini. Gerwani, dengan kekuatan 1,5 juta perempuan kritis
dan berani menuntut hak, tentu menakutkan bagi calon penguasa otoriter seperti
Soeharto. Maka demi 'keutuhan' bangsa, Gerwani diberangus bersamaan dengan
pemberantasan PKI. Banyak nyawa orang-orang--yang dianggap sebagai partisan dan
simpatisan PKI dan Gerwani--yang direnggut secara paksa sebagai akibat histeria
massa yang kalap dan dilingkupi kebodohan saat
mendengar bahwa PKI dan Gerwani adalah dalang pembunuhan keji para petinggi
militer Indonesia.
Kemarahan yang buta. Entah berapa jumlah yang hilang dan tidak diketemukan.
Ribuan anggota Gerwani melarikan diri dan sempat bertahan di hutan-hutan dan
goa pegunungan. Setelah berhasil ditangkap, mereka ditahan tanpa pengadilan.
Menanggung siksaan psikis dan fisik. Mengalami kekerasan seksual. Stigma buruk
melekat pada anggota-anggotanya yang tersisa selama puluhan tahun setelahnya.
Epilog
Meski tidak secara vulgar disebutkan, film Penumpasan
Pengkhianatan G30S/PKI ditutup dengan kemenangan dari militer khususnya
Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia. Tentu saja, kejadian-kejadian yang
lebih menakutkan dari adegan-adegan dalam film tidak ditayangkan, yakni tentang
pembantaian massal yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi sayap kanan yang dibantu
oleh tentara terhadap orang-orang yang dianggap mendukung PKI.
Tidak ada angka
yang dapat dengan pasti menyebut jumlah nyawa yang tewas ditembak dan digorok
lalu dibuang ke sungai-sungai atau bergeletakan di jalan-jalan. Bahkan ada yang
menaksir jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa, setelah mengkalkulasikan
jumlah korban yang dipenjarakan dengan jumlah anggota dan simpatisan PKI yang
pada saat itu diperkirakan mencapai 20 juta jiwa. Bila benar PKI merancang
skenario pemberontakan, jumlah di atas tentu saja bukan tandingan bagi TNI.
Nyatanya, PKI bisa dikalahkan tanpa perlawanan.
Tragedi kemanusiaan tersebut
menjadi pembuka pintu gerbang bagi ekonomi liberal dengan jutaan nyawa sebagai
upetinya. Dua tahun pasca kejadian, Freeport
mendaki pegunungan Papua, Caltex mendarat di Riau. Kekayaan alam Indonesia
dibagi-bagikan kepada sejumlah korporasi multinasional melalui pertemuan para
ekonom Orde Baru dan sejumlah pejabat tinggi korporasi di Swiss pada November
1967.
Si penggubah lagu Genjer-Genjer, Muhammad Arief, turut menjadi korban pembantaian. Karyanya tak luput dari pemberangusan, dihapus dari ingatan kolektif. Membuat sebagian besar rakyat Indonesia lupa pada nada asli lagu ini. Namun justru sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang hidup
dibawah tebaran teror moralitas rejim Orde Baru, tentu tidak segampang itu
untuk dapat mengusir rasa jijiknya dari Gerwani. Kebencian telah terlanjur
mendarah daging pada perempuan-perempuan yang digambarkan pada film di atas
sebagai para sundal yang dengan kejam mencukil biji mata dan memotong alat
kelamin para jenderal dengan silet, meski fakta otopsi yang diungkap oleh seorang
ahli forensik, Benedict Anderson, jelas menyatakan bahwa tidak ada jejak silet,
pisau cukur dan pisau lipat pada tubuh para jenderal, dan nyatanya, alat
kelamin mereka benar-benar masih utuh.
Mungkin hidup adalah toples, dan setiap jengkal tanah adalah pagar.
Udara hanya bersisa napas bagi televisi, belanja, dan etalase bercadar.
Setiap ruang terpasang kekang tanpa warna-warni latar.
Dan disitulah kau isi kejayaan letakkan kami pada altar.
Kau bangun kota moralis homogen berpalang.
Merebutnya dari para pesawah dan peladang.
Dengan semantik etika kalian berdiri dimuka menyambang,
menjadi juru selamat bagi pemiskinan global yang kalian rancang.
Kau siapkan barisan manekin bersenjata untuk menabur luka,
mendisiplin semua yang teradiksi mesin dan gir berkalang.
Maka kau siapkan noda, dosa dan jeruji bagi kami para penabur bara,
ketika secara kasat gerbang terdepanmu kami bikin tumbang.
Catatan
Di balik kran kepalsuan moral sebuah kepemimpinan yang mengucurkan air demi kesuburan hutan larangan bernama kota.
Amarah kami terlanjur mengakar melampaui insureksi kultural yang kalian ramal.
Bagi kalian perancang zaman, kami adalah pelakon sederet pitam.
Untuk sekotak komoditi yang kalian anggap sesakral Dajjal,
kami tidak tersudut sebagaimana kalian ingin kami bubar dan diam.
Kami anak haram persilangan kultur, komoditas dan insureksi.
Yang menyanggah norma-norma, yang meludahi institusi.
Kami para pembenci polisi, tentara, dan tak percaya kotak suara.
Yang merangkai nada dan sastra anti korporasi, anti negara.
Catatan
Punk
berdiri di atas beribu kamus, ribuan definisi. Tak perlu repot-repot
menerjemahkannya -- karena selain tak perlu pengistilahan, lagi-lagi
pemenang tafsir tersebut siapa lagi kalau bukan arus utama yang mencoba
menggiring punk ke dalam ranah populer. Toh tanpa pendefinisian, punk
menjadi lebih tak terduga.
Garda promosimu kami jawab dengan pena terhunus.
Idemu kami tiru dan tebarkan segratis air yang terbawa arus.
Kami hadapi tantangan televisi dengan rajaman sajak.
Bersiaplah dengan derita atas produkmu yang kami bajak.
Respon atas doktrin domestikasi tai babi,
Kau jual, kami beli!
Kau pasok energi khalayak dengan ilusi buatan yang membuat buta.
Balasan yang setimpal adalah: propaganda laba dibayar kata.
Kau si pengendali mimpi, penopang-penopang pilar industri,
Dan kami yang tak bermoral, pengganggu kenyamanan peta konsumsi.
Respon atas doktrin domestikasi tai babi,
Kau jual, kami beli!
Catatan
Promosi
merupakan penyangga utama sebuah produk di pasaran. Dan televisi
merupakan sebuah keajaiban dunia yang menjadi baris terdepan pemasaran
paling berpeluang dalam menjaring calon konsumer melalui iklan. Dengan
beginilah proses jual beli menjadi kian langgeng. Industri bukan cuma
kisah tentang jual beli, dibaliknya tersimpan penghisapan dan
perlawanan.
Dari tempatku berpijak, untukmu anakku janji ini kusemat.
Juga pada setiap kepala yang menyimpan bara dan kesumat,
untuk menaruh dendam pada tata dunia satu mata yang siap melumat,
dan para varian setan dengan etalase yang menjerat.
Mereka berkamuflase teramat hebat lewat samaran.
Tanpa sempat kau sadari bahwa mereka lebih gawat dari sebuah ancaman,
lebih menakutkan dari fasis ideologi yang menebar kengerian,
dalam rancangan kompetisi menuju hidup yang berisi sesampahan.
Bagaimana kau bisa lepas dari ide dominan yang memenjara?
Bagaimana kau dapat menjalani hidup tanpa gembala?
Bagaimanapun, esok tirani harus tumbang...
Dari tempatku berpinak, untukmu sahabatku dendam ini kurancang,
hingga nama-nama kita tertulis di pusara yang terpancang,
untuk memecah pasung, merubuhkan semua batasan yang terpasang,
mengirim surat kematian kepada tirani yang tegak menantang.
Bagaimana kau bisa lepas dari ide dominan yang memenjara?
Bagaimana kau dapat menjalani hidup tanpa gembala?
Bagaimanapun, esok tirani harus tumbang...
catatan
Ketika
hari-hari berjalan tanpa lagi menyisakan waktu luang karena hidup yang
dipaksa patuh oleh gerusan kenormalan, menjadi pasif adalah kemungkinan
yang paling fatal. Kedisiplinan berpotensi mendarah daging. Dan itu
berarti, ketertundukan menjadi sebuah budaya pengaminan khas peradaban
manusia industri. Penaklukan ini yang diharap oleh penguasa modal demi
kepanjangan silkus hidup modalnya, dengan menutupi bangkai yang mereka
selisip dalam amplop gaji bulanan. Kita dijejalkan ke dalam rantai yang
tak pernah putus dalam tahap produksi dan konsumsi: bekerja dan
belanja. Tapi apa benar rantai ini sebegitu kekalnya sehingga tidak
lagi menyisakan harapan bagi kita yang menolak hidupnya dibeli oleh
industri?
Babak baru, cerita lama.
Dari Osama hingga Obama.
Semua orde adalah neraka.
Sejak pertukaran bermula hingga pasar bebas.
Dari lelang lebak sampai impor beras.
Semua kapital adalah penjara.
Bakar semua penjara, bakar!
Catatan
Pemasungan
telah melintasi jarak dan waktu. Penjara bukan saja mengenai ruang yang
diberi batasan-batasan, karena Ia tidak lagi berwujud sebuah fisik
eksplisit tapi kini melampaui setiap hal terkecil dari milikmu yang
masih bersisa.
Ini legenda tentang seonggok plastik bernyawa,
manipulasi kewarasan yang tumpul oleh kemasan.
Atas perhitungan estetik dan ekskalasi laba,
para rahwana turun gunung menguras kayu dan logam.
Mattel, kecantikan Barbie-mu lah yang membunuhi kawanan orang utan.
Menghabisi harimau dan gajah yang tersisa dengan menyapu bersih hutan hujan.
Kolaborasimu dengan gurita raksasa bernama konglomerasi Sinarmas.
Untuk jawaban retorik bagi mereka yang butuh sebuah peraga identitas.
Ribuan pekerja anak dan perempuan Thailand, Cikarang, dan di Cina.
Beradu dengan malaikat kematian, menjaga mesin-mesinmu tetap menyala.
Tanpa kesempatan berserikat, dikurung dalam hutan larangan berupa
paru-paru yang sesak oleh timbal, tragedi, dan anjing-anjing penjaga.
Barbie, tragedimu cukup berakhir di mall, tragedimu tak perlu masuk ke rumah kami.
Tolak dan jangan beli, putuskan jaring distribusi
Tolak dan jangan konsumsi, bongkar lingkar komodifikasi
Catatan
Tentang
mitos kecantikan, eksploitasi buruh dan deforestasi besaran-besaran di
balik rancangan sebuah boneka bernama Barbie oleh Mattel.Inc--industri mainan konvensional
terbesar di dunia.
Kaos benefit Info House Utopia; Food Not Bombs Palembang, Sangkakalam Publishing, dan Hoax edisi "Nestle, Good Food, Good Lies!". Tersedia dalam ukuran S, M dan L. Informasi lebih komplit silahkan hubungi 0819-58531-1968.
Didedikasikan bagi para petani Ogan Ilir -Sumsel,
Donggala-Sulteng, dan korban yang berjatuhan di seantero Indonesia
dalam memperjuangkan hidupnya melawan tirani agraria.
"Kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menjawab kekerasan."--Gudrun Ensslin
Aksi dalam "Der Baader Meinhof Complex", film yang menceritakan sepak terjang RAF.
Hari itu, 11 Mei 1972 silam, tiga bom pipa yang tertanam dimuka
gedung kantor pusat perusahaan dari konglomerat IG Farben, yang menjadi
markas Korps V barak milik Amerika Serikat di Frankfurt Jerman, meledak
nyaris bersamaan. Seorang perwira Angkatan Darat Amerika Serikat
bernama Paul A. Bloomquist, yang kala itu bertugas pada program
rehabilitasi obat untuk tentara, ditemukan tewas di tempat kejadian.
Dalam sebuah komunike, sebuah geng yang mengatasnamakan "Petra Schelm
Commando," menyatakan bertanggung jawab atas peledakan yang membuat
gedung hancur berantakan dan turut menciderai 13 orang lainnya itu demi
tuntutan diakhirinya perang Vietnam dan pertambangan di Amerika Utara.
Tak
berselang lama, esok harinya 12 Mei 1972, dua bom pipa meledak tengah
hari di tempat yang berbeda. Pertama berupa bom pipa rakitan yang
melukai lima orang polisi di Augsburg Police department. Lalu kedua,
bom mobil yang melantakkan enam puluh mobil di sebuah parkiran Kota
Munich. Tidak ada korban tewas dari kedua ledakan. Sebuah geng yang
menyebut diri mereka "Tommy Weissbecker Commando", mengklaim
bertanggung jawab sepenuhnya atas kedua kejadian itu.
Markas Korps V di Frankfurt Jerman yang diledakkan geng Baader 11 Mei 1972
Beberapa kejadian di atas merupakan serangkaian aksi teror yang
dilakukan oleh Baader-Meinhof, yang di kemudian hari juga dikenal
dengan nama RAF, Rote Armee Fraktion atau Red Army Faction (Fraksi
Tentara Merah). Dalam setiap aksi, mereka menamakannya dengan titel
berbeda; "The Manfred GrashofCommando”,"Commando Fifteenth July”, atau “The 2 July Commando“ dan nama-nama asing lainnya. Inilah taktik gerilya kota berkonsep sel
partisipatoris yang diterapkan oleh kalangan revolusioner Jerman yang
kala itu terinspirasi oleh salah satu induk pedomannya, Carlos
Marighella, seorang pejuang marxis asal Brazil, yang dalam sebuah
bukunya berjudul Minimanual of the Urban Guerrilla (1969)
berkata: “Gerilya kota harus mengikuti tujuan politik, dan hanya
menyerang pemerintah, bisnis besar, dan imperialis asing”. Mereka
mendapat banyak ilmu dari 'sang mentor' yang mengadopsi gerilya desa
Che Guevara menjadi gerilya kota, tentang pelatihan senjata ringan,
trik sabotase, pemilihan tempat persembunyian, langkah pengambilalihan,
serta cara memperoleh dukungan substansial di antara penduduk perkotaan.
***
Semua bermula dari kemarahan seorang anggota partai komunis dan
jurnalis berhaluan kiri, Ulrike Meinhoff atas sikap kalangan pers sayap
kanan yang mendeskreditkan gelombang demonstrasi radikal mahasiswa,
sebagai muara dari protes terhadap pembunuhan salah seorang aktivis
mahasiswa oleh fasis fanatik Jerman Barat. Di sela kemarahannya
tersebut, pada 2 April 1968, seorang berandalan bernama Andreas Baader
berlibat bersama kekasihnya, seorang mahasiswi filsafat Gudrun Ensslin
dalam meledakkan pusat perbelanjaan Kaufhaus Schneider di pusat kota
Frankfurt. Meski tak melukai seorangpun, dua hari kemudian Baader,
Ensslin dan dua temannya, Horst Söhnlein dan Thorwald Proll ditangkap
atas serangan yang mereka daku sebagai balasan atas pembantaian Amerika
Serikat terhadap Vietnam. Mereka divonis tiga tahun penjara namun
dibebaskan sementara di bawah amnesti khusus bagi tahanan politik.
Andreas Baader dan Gudrun Ensslin di sela persidangan.
Ketika pengadilan hendak melimpahkan kembali mereka ke ruang
tahanan, pada November 1969 Baader, Ensslin, dan Thorwald Proll mangkir
dan berhasil melarikan diri, bersembunyi berpindah tempat, ke Swiss,
Perancis dan Italia. Namun Baader yang ternyata belum beruntung kembali
tertangkap satu bulan kemudian di sebuah razia lalu lintas.
Ensslin
tak tahan melihat kekasihnya berada dalam tahanan. Skenario pelarian
Baader Ia rancang dengan meminta bantuan Meinhoff selaku wartawati yang
hendak mewawancara Baader. Udara kebebasan rupanya selalu berpihak pada
Baader. Upaya itu berhasil setelah melumpuhkan dua penjaga bersenjata.
Keterlibatan Ulrike Meinhoff lebih dalam pada grup dimulai disini.
Pasca
aksi penglolosan Baader dari penjara, Meinhoff belajar ilmu militer dan
mengasah mental militansinya dalam sebuah kamp pelatihan militan kiri
Fatah di Yordania selama beberapa waktu, untuk lantas kembali ke Jerman
Barat. Lalu pada tahun 1970, Ulrike Meinhof mengeluarkan manifesto yang
untuk kali pertama menyertakan nama RAF, lengkap dengan logo bintang
merah dan senapan mesin Heckler & Koch MP5. Meinhof mengikrarkan
berdirinya RAF.
Gerilya Kota dan Sel Terorisme
RAF
dibentuk salah satunya dengan tujuan untuk saling melengkapi sejumlah
besar kelompok revolusioner dan radikal di Eropa khususnya Jerman
Barat. Mereka salah sekian dari gerakan-gerakan serupa di Jerman di
masa yang sama. Sebutlah grup anarkis Second Of June Movement alias
Movement 2 June yang terkenal akan aksi pemboman dan termasuk aksi
tersohor penculikan walikota Jerman Barat Peter Lorenz; lalu ada
Revolutionary Cells alias Revolutionäre Zellen (RZ), geng pembajak
pesawat perpaduan elemen kiri radikal, anti patriarki, dan anti zionis,
yang bertanggung jawab atas serangkaian pemboman terhadap pelbagai
infrastruktur antek Israel; dan terakhir adalah Rote Zora alias Red
Zora, kelompok feminis militan yang melakukan serangkaian pemboman pada
toko-toko perlengkapan seks, termasuk peledakan di luar kantor Asosiasi
Dokter Jerman sebagai bentuk protes pada undang-undang aborsi serta
serangan-serangan lain terhadap kantor-kantor korporat.
Personil RAF, tak semengerikan yang kau kira.
Mereka memiliki prinsip yang sama dalam metode aksi yang mereka
lakukan, yakni berbasis sel. Taktik ini cukup menyulitkan pihak
otoritas untuk melakukan penggrebekan markas unit-unit gerakan yang
selalu berpindah atau menelisik lebih dalam para pemeran di balik aksi
ini. Seringkali otoritas terkait mendapati ikon-ikon fiktif. Pola
ikonitas yang sama ini juga yang lantas diciptakan oleh otoritas terhadap Baader
dan Meinhof sebagai pimpinan RAF, meski dalam RAF sendiri tidak
didapati sistem kepemimpinan serupa yang disebutkan oleh otoritas
melalui media-media massa plus dengan RAF yang digambarkan sebagai
gerombolan psikopat dengan kekejaman-kekejaman yang dikupas tuntas,
demi kebencian publik padanya dan gerakan-gerakan serupa.
Gerilya
kota yang dilakukan oleh RAF, yang mereka sebut sebagai "perjuangan
anti imperialis", sebagian besar didanai dari hasil perampokan pada
sejumlah bank. Satu persatu kantor-kantor pemerintahan dan kepolisian,
serta markas militer dan sentra bisnis menjadi target pemboman. Sekian
pejabat penting, politisi, aparat hukum, bankir dan pengusaha diculik,
disandera dan beberapa diantaranya tewas terbunuh.
Lagi-lagi
upaya mereka untuk menginspirasi banyak orang tentang makna
pemberontakan harus beradu kuat dengan moralitas yang dibangun oleh
otoritas. Alih-alih memicu gerakan-gerakan serupa, rakyat Jerman yang
mulanya memberikan dukungan dan simpati pada aksi-aksi mereka, akhirnya
harus berbanding terbalik dengan apa yang menjadi mimpi RAF. Hegemoni
mengalahkan segalanya.
Juni 1972, setelah melalui
perburuan panjang, pihak kepolisian berhasil menangkap hidup-hidup
generasi pertama RAF; Andreas Baader, Gudrun Ensslin, Ulrike Meinhof,
Holger Meins, dan Jan-Carl Raspe.
Andreas Baader,
Jan-Carl Raspe dan Holger Meins ditangkap setelah terjadi tembak
menembak panjang di Frankfurt pada tanggal 1 Juni 1972. Seminggu
kemudian, Gudrun Ensslin ditangkap di sebuah butik pada tanggal 8 Juni
1972 di Hamburg setelah pemilik butik menghubungi pihak kepolisian
karena melihat pistol yang Ia sembunyikan di balik jaketnya. Ulrike
Meinhof ditangkap pada tanggal 14 Juni 1972 di apartemen yang Ia sewa
bersama pacarnya di Hannover, setelah sebelumnya sempat melakukan
perlawanan dengan perkelahian tangan kosong.
Mereka
dibuang ke dalam penjara berkeamanan tinggi Stammheim di Stuttgart,
lalu ditempatkan ke dalam sel isolasi yang pengap. Selama mereka
mendekam, generasi kedua RAF melakukan serangkaian penculikan dan
sabotase sebagai aksi balasan dan negosiasi atas pembebasan Baader cs.
Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Kematian menjemput mereka
satu persatu.
Holger Meins tewas kelaparan pada 9
November 1974 oleh aksi mogok makan yang mereka lakukan terhadap sikap
otoritas penjara. Sebelum vonis dijatuhkan, tanggal 9 Mei 1976 Ulrike
Meinhof ditemukan tewas tergantung dalam selnya dengan lilitan handuk
di leher.
Sementara itu generasi kedua RAF terus
melakukan beberapa upaya untuk membebaskan rekan-rekannya dari penjara.
Mereka membajak sebuah pesawat sebagai pertaruhan. Upaya ini kembali
gagal setelah pesawat bajakan diserbu oleh unit anti-teroris Jerman.
Beberapa jam usai pembajakan yang tak berhasil, 18 Oktober 1977,
Andreas Baader dan Jan-Carl Raspe tewas dengan luka tembakan di kepala
di dalam sel mereka. Jan-Carl Raspe meninggal meski sempat dilarikan ke
rumah sakit. Di saat yang sama anggota RAF lain yang juga ditahan di
penjara yang sama, Irmgard Möller mencoba menusuk dadanya sendiri namun
selamat dari kematian. Lalu Gudrun Ensslin, mengikuti jejak Ulrike
Meinhof, menggantung diri hingga tewas.
Berdasar
pengakuan Irmgard Möller yang urung menjelang ajal, terungkap bahwa
kematian-kematian tersebut bukan aksi bunuh diri, melainkan pembunuhan
yang dilakukan oleh pemerintah Jerman. Bagaimanapun, mereka meninggal
pada tanggal di apa yang dikenang sebagai Stammheim Prison's Death
Night--Malam Kematian Penjara Stammheim.
Andreas Baader, pemuda putus sekolah yang gemar mencuri mobil-mobil keren demi menjalankan misi perampokan RAF.
Ulrike Meinhof, jurnalis modis yang kritis, penggemar teori dan berani mati.
Gudrun Ensslin, kekasih Andreas Baader, penerap liberasi seksual.
"Kontrak rekaman label besar tidak lantas menjadikanmu seorang bintang. Dirimulah yang mewujudkannya."--Lady Gaga
Musik disinyalir sudah ada sejak zaman manusia mulai
mengenali kepercayaan-kepercayaan. Penemuan alat musik serupa flute di
Jerman Selatan menjadi salah satu buktinya. Selain menggunakan siulan,
dendang, tepukan-tepukan dengan menggunakan bagian tubuh, kayu-kayu
berongga, tulang burung dan gading gajah purba, menjadi instrumen
pengiring puji-pujian kepada sosok yang mereka yakini sebagai tuhan,
dan disenandungkan dalam gubahan nada yang pada akhirnya diseragamkan.
Demikian kiranya keseragaman ini digunakan di masa reformasi gereja
abad pertengahan demi keteraturan umat. Seiring dengan terjadinya
reformasi budaya dan penemuan-penemuan di pelbagai bidang, pada
akhirnya musik berkembang melintasi berbagai zaman.
Sejak
musik menjadi penafsir dan tumpahan emosional manusia yang juga
mempengaruhi mental sekira obat penawar kepedihan dan sukacita, saat
itu pula musik mulai disusun berdasar estetika. Untuk mengiringi
keriangan panen raya dipilihlah musik yang meriah, untuk menghibur hati
raja yang terluka dipilihkan musik yang sendu, lalu digunakan sebagai
media terapi kejiwaan penyakit mental, pemikat kekasih, dan belakangan
konon sebagai perantara penumbuh kecerdasan jabang bayi dalam perut
emaknya.
Dulu kala, di masa-masa kerajaan nusantara,
gamelan menjadi alat musik penghibur istana. Alat musik satu ini sudah
ada pra masuknya pengaruh Hindu- Buddha. Tak berapa lama, dua negeri
besar tumbuh di Asia. Cina dan India, yang tingkat peradabannya
cenderung tinggi kala itu, merapat ke Indonesia yang notabene memiliki
jalur perdagangan laut strategis Selat Malaka. Selat ini menjadi tempat
favorit untuk bersandarnya kapal-kapal dagang dan berjumpanya para
pedagang yang juga datang dari Arab dan Persia. Tidak hanya pedagang,
namun juga para pelarian perang besar antar golongan dalam masyarakat
yang terjadi masa itu di India.
Kedatangan bangsa-bangsa
ini mempengaruhi banyak hal bagi masyarakat nusantara pada saat itu.
Sebagian dari mereka tidak lagi menganut animisme dan dinamisme tapi
menganut ajaran Hindu, sistem kerajaan-kerajaan dibenahi hingga muncul
kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya.
Tidak hanya reformasi dalam bidang politik dan kepercayaan, namun juga
bahasa, sastra, termasuk pula seni musik. Demikian pula ketika
ajaran-ajaran lain masuk, Islam melalui bangsa Arab dan Kristen bersama
bangsa Eropa. Sejak datangnya bangsa-bangsa ini beserta kebudayaannya
masing-masing hingga kolonialisme menjejakkan kaki di Indonesia,
terjadi perkembangan yang signifikan di dunia kesenian Indonesia. Ini
ditandai dengan berkembangnya alat-alat dan aliran-aliran musik,
seperti gamelan dengan versi baru, gambus, rebana, hingga keroncong.
Revolusi
musik modern yang terjadi di negeri Barat turut mempengaruhi peta musi
di tanah air. Termasuk ketika gitar listrik diperkenalkan di tahun
1930-an dan ketika agen-agen kebudayaan pop dan rock 'n roll melanda
Amerika dan Eropa yang diwakili oleh sederet nama semacam Frank
Sinatra, Elvis Priesley, dan The Beatles, yang menjadi ikon musik
populer. Pengaruh ini didatangkan ke Indonesia bersama cakram piringan
hitam di kalangan tertentu. Masuknya televisi di Indonesia kemudian
menjadi salah satu corong penyampai musik gaya baru ini.
Di
awal abad ke-18 para pemusik Barat didukung penuh oleh gereja dan
aristokrat. Belum ada yang namanya komersialisasi musik. Lalu
setelahnya, Mozart dan kawan-kawan mulai mencari peluang komersial
untuk memasarkan musik dan pertunjukan mereka kepada masyarakat umum.
Pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mulai lahir label-label kecil
yang mengambil keuntungan tidak hanya dari penjualan tiket semata.
Piringan hitam menjadi sumber keuntungan baru dengan merekam konser
langsung para musisi lalu memperbanyak dan menjualnya ke khalayak
dengan jumlah yang masih terbatas. Beberapa nama menjadi pemain dalam
bisnis baru ini; The Gramophone Company, Columbia Records, Victor
Talking Machine Company dan lainnya yang beberapa waktu kemudian juag
melahirkan industri baru sekelas Universal Music Group, Sony Music
Entertainment, Warner Music Group dan EMI Group.
Industri
rekaman yang kini kita kenal dengan terminologi major label ini sama
halnya dengan perusahaan dagang lainnya. Mereka mengatur segala tetek
bengek yang bersangkutan dengan pemasaran rekaman, memikirkan
distribusinya, menyusun formula promosinya. Tentu saja, pemusik di situ
cuma terandai barang dagangan. Mereka harus berdaya jual yang mesti
melalui serangkai seleksi ketat pula dalam proses rekrutmen, meskipun
sudah tentu nantinya harus menuruti tata cara yang diberlakukan oleh
perusahaan, itu pun masih melewati proses sensor yang jangan pernah
terbayang akan selonggar keinginan kita.
Pada akhirnya,
label independen lah yang menjadi perbincangan kita. Ketatnya aturan
tersebut yang bermuara pada keinginan band-band penolak kompetisi untuk
mengurus sendiri albumnya. Bisa jadi juga mulanya mereka adalah barisan
musisi-musisi yang patah hati karena demonya tak kunjung mendapat
sambutan dari perusahaan rekaman atau bisa juga ini sekedar batu
loncatan dengan harapan nanti pada finalnya mendapat perhatian dari
perusahaan rekaman. Maka dipilihlah jalan independen. Urus-mengurus
rekaman bisa disamakan sejak mulai proses produksi; memilih studio
rekaman yang mumpuni, memilah jenis sound sesuai keinginan, memikirkan
titik-titik distribusi, mau dijual atau digratiskan, merancang sampul
album, berformat CD ataupun digital, menggarap poster publikasi serta
metode promosi lainnya, menggelar konser peluncuran album, dan mengatur
sendiri jadwal pertunjukkan. Apapun alasannya, di titik ini kemandirian
menang telak.
Internet patut mendapat pujian rasa terima
kasih bagi para musisi independen yang ingin menyebar kabar dan rekaman
mereka hingga ke seluruh dunia. Biaya produksi dan distribusi bisa
ditekan amat jauh. Dan pembajakan yang amat ditakutkan oleh perusahaan
rekaman, menjadi siasat yang sangat jitu dan menguntungkan bagi si
musisi untuk mengenalkan band dan karya mereka. Semakin banyak orang
mengkopi lagu mereka, berarti semakin banyak yang mendengar dan
mengenalinya.
Ada kabar baik lagi datang hari ini--di
tengah-tengah istilah indie atau independen yang justru menjadi sebuah
tren baru bagi para pengejar keuntungan--bahwa event bertajuk "Saturday
Channel" menjadi media bagi musisi-musisi independen di Kota Palembang
untuk dapat saling menyapa, memberi dan menerima perihal segala
informasi yang berkaitan dengan independensi dalam bermusik, yang
termasuk didalamnya pengalaman membentuk dan mengelola sendiri sebuah
band, mengatur prosesi perekaman album secara mandiri sejak
memproduksinya, mempromosikan, mendistribusikan dan strategi-strategi
ampuh lainnya. Dan pastinya dengan menghadirkan band-band independen di
Kota Palembang untuk berpentas dan berdiskusi; Grey, The ICU, dan [C54].
Hanya
ada harapan kecil bagi kami pasca event kali ini, yaitu ada bekal baru
untuk menyemangati kembali kemandirian agar tak tumpul dimangsa dunia
yang serba instan.