Kamis, 06 Desember 2012

BILA GENJER BERBUAH DARAH, PEREMPUAN PULA YANG TERKENA GETAHNYA

Perempuan dan Hegemoni dari Sebuah Kotak Bernama Televisi

Dewa Made Karang Mahardika

Hegemoni merupakan sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang didalamnya terdapat sebuah konsep tentang kenyataan yang disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) dengan mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”—Antonio Gramsci

 


 Genjer-genjer, nong kedok’an pating keleler, emak’e tole, teko-teko, mbubuti genjer, oleh sak tenong, mungkor sedot, seng tole-tole, genjer-genjer, saiki wis digowo muleh

          Semasa saya kecil, setiap akhir bulan kesembilan,Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai satu-satunya corong informasi visual pada waktu itu, menyuguhkan sebuah tontonan 'horor' yang berhasil membuat rasa takut dan penasaran saya menjadi satu. Tentang bagaimana sekelompok pembantai menculik perwira-perwira angkatan darat, untuk lantas menyiksa dan membunuhi mereka satu persatu. Dengan keji tentu saja. Kelompok yang lalu dinamakan sebagai Gerakan 30 September dan diawaki oleh Partai Komunis Indonesia ini, menjadi setan-setan yang menghantui kepala setiap anak kecil yang lalu membawanya tumbuh bertahun-tahun setelahnya. 

          Dan meskipun film yang diproduksi oleh Perusahaan Umum Produksi Film Negara (PPFN) dan disutradarai oleh Arifin C. Noer ini menjadi tontonan wajib tiap tahun, entah mengapa tidak membiarkan rasa bosan sempat hinggap berlama-lama di benak saya. Pemilihan musik latarnya benar-benar menguatkan karakter senyap yang membuat kita ingin lebih tahu tentang kengerian walau saya sudah hapal betul jalan cerita berikutnya. Adrenalin bahkan sudah dimulai ketika segerombol orang menyerbu sebuah tempat ibadah dan mencabik-cabik kitab suci dengan arit, yang merupakan simbol komunis. Horor berlanjut dengan padanan slow motion para tentara iblis dan penyergapan para Jenderal, penculikan dan siksaan, tangis seorang ibu atas terbunuhnya sang putri dan heroisme para penjaga stabilitas negeri. 


Poster film Pengkhianatan G 30 S/PKI

          Tiga jam lebih film ini berupaya menggambarkan rekaman sejarah dengan membebankannya pada psikis pirsawan. Itulah kekuatan operasional propaganda sebuah rejim, durasi tiga jam yang meninggalkan jejak puluhan tahun di kepala jutaan pemirsa seantero Indonesia. Saya menjadi salah satu diantaranya. Mengidap penyakit hasil indoktrinasi. Menjadi begitu ngeri mendengar lagu Gender-Gender--hasil cipta Muhammad Arief seorang tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat, sayap kebudayaan PKI--yang pada sebuah adegan dilukiskan, bahwa pada malam menjelang 1 Oktober 1965 telah terjadi ritual berupa tarian mesum anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat--sayap pemuda dari Partai Komunis Indonesia--berpesta pora tanpa busana, selain mengenakan untaian kembang genjer sebagai pakaian ritual yang sadis, dimana mereka menyayat-nyayat dan menyileti kemaluan para jenderal, disertai iringan nyanyian lagu yang sebelum tragedi telah dipopulerkan oleh Lilis Suryani ini, dan sempat dibawakan oleh Bing Slamet dan Nyoto, seorang tokoh PKI dan pengurus Radio Republik Indonesia.


Arifin C Noor (kedua dari kiri) saat syuting film G30S/PKI di Jakarta, 1984

          Orde Baru berhasil membuat pengawetan kekuasaan melalui sebuah paket visual yang dikemas dramatis. Dalam sejarah perfilman Indonesia, inilah kali pertama pemerintah memberikan dukungan sepenuh-penuhnya pada seluruh aspek. Selama lebih dari tiga dekade film ini menjadi tayangan wajib TVRI dan juga berlaku bagi stasiun-stasiun televisi swasta yang muncul dikancah persaingan dunia tayangan. Sebuah pelajaran pahit bagi sebuah gerakan yang dianggap menjadi musuh negara, siapapun dia yang mencoba mengusik kerajaan Soeharto. Ketika perpolitikan di Indonesia mulai menunjukan riak-riak gejolak, film ini dihentikan jatah tayangnya pada tahun 1997, dan berlanjut menjadi pergunjingan tentang hitam putih sejarah peristiwa 30 September 1965. Namun saat ini saya lebih memilih untuk tidak ambil bagian dalam polemik ini. Gerwani tampaknya lebih menarik untuk dibicarakan.

TK Melati dan Pembebasan Perempuan

          Untuk kali pertama kongres perempuan Indonesia digelar dan memakan waktu selama empat hari, 22 hingga 25 Desember 1928 di Kota Gudeg Yogyakarta. Setidaknya 1.000 peserta dari 30 organisasi perempuan hadir di momen ini, dan dianggap sebagai salah satu peristiwa terbesar di era kolonial selama 1900-an. Setahun kemudian kongres serupa diadakan di Jakarta, lalu berlanjut ke Surabaya tahun 1930, Jakarta di tahun 1935, dan Bandung tahun 1938. Pada kongres di Bandung ini lahirlah sebuah keputusan bahwa tanggal 22 Desember--yangmana merupakan tanggal dimulainya kongres perempuan pertama--merupakan Hari Ibu yang dirayakan hinggi kini. Di era ini, gerakan perempuan berkonsentrasi pada isu-isu seputar poligami, diskriminasi kaum perempuan di tempat kerja, perdagangan perempuan, pernikahan dini, perjodohan dan akses terbatas perempuan terhadap bidang pendidikan.

          Perjuangan kaum perempuan di era kolonial sebenarnya telah dimulai beberapa tahun sebelum kongres pertama diadakan. Seorang perempuan dari kalangan bangsawan Jawa bernama Raden Ajeng Kartini, mengkritisi kesetaraan hak-hak mendasar kaum perempuan dalam mengenyam pendidikan dengan membawa slogan kekuatan, kegigihan dan ketulusan. Seperti yang tertulis dalam suratnya kepada Ny R.M. Abendanon di bulan Agustus 1900, "Tidak, tidak! Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan menunjukkan bahwa saya manusia. Manusia, seperti laki-laki." Kartini melambangkan perjuangan perempuan melawan arogansi dan budaya patriarki kolonial Belanda, bukan hanya karena ibunya berasal dari latar belakang kelas pekerja tertindas, tapi juga melihat kondisi sosial perempuan kebanyakan pada saat itu, yang tidak memiliki peran apa-apa selain harus menerima kodrat sebagaimana mestinya. 

          Perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi justru kelak terjebak dalam kontruksi gender yang dibangun oleh penguasa di masa Orde Baru. Citra dirinya telah "direnovasi" untuk memperkuat budaya patriarki. Gerakan perempuan di era Orba kala itu didominasi oleh gagasan domestikasi perempuan, atau "Ibuisme", sebagai istri yang berserah dan mengabdikan diri pada suami mereka, keluarga dan negara. Pada tingkat praktis, Ibuisme dilaksanakan oleh organisasi-organisasi para istri pegawai negeri Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK (Pemberdayaan Keluarga dan Gerakan Kesejahteraan). Bahkan di tingkat praksis selebrasi Hari Kartini yang dicanangkan oleh Soeharto telah menggeser makna emansipasi itu sendiri. Lomba menari, kontes memasak atau peragaan busana, menjadi perangkap yang menginjeksi peran-peran dosmetik kaum perempuan. Perjuangan Kartini sebatas dimaknai sebagai kegemulaian seorang perempuan ‘baik-baik’.

          Di dalam wacana kesejarahan di Indonesia, sumbangan gerakan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan kurang diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan yang berarti, walaupun  Laskar Wanita Indonesia atau Laswi, begitupun juga Gerwis yang merupakan cikal bakal dari Gerwani yang didirikan pada tanggal 4 Juni 1950 tercatat sebagian besar anggotanya adalah perempuan-perempuan yang terlibat langsung dalam perang kemerdekaan melawan Jepang dan Belanda pada 1940-an. Hal ini yang kemudian banyak menjadi ilham bagi para perempuan yang terlibat revolusi fisik tersebut untuk bergabung di dalam Gerwis sebelum kemudian berganti nama menjadi Gerwani. Gerwis sendiri adalah merupakan hasil koalisi dari enam organisasi perempuan, yaitu Rupindo (Rukun Putri Indonesia; Semarang); Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia; Kediri), Wanita Madura (Madura), dan PPRI (Perjuangan Putri Republik Indonesia; Pasuruan), pada kongres mereka yang pertama di Jakarta, Desember 1951. 

          Gerwani merupakan organisasi perempuan yang independen, tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, bahkan Partai Komunis Indonesia, seperti yang dipahami oleh banyak orang selama ini. Organisasi yang didirikan pada tahun 1954 ini berjejaring dengan pelbagai gerakan perempuan di dunia serta tergabung dalam Gerakan Wanita Demokratis Sedunia.  Tujuan utama gerakan Gerwani adalah meningkatkan kemampuan dan harkat perempuan. Kegiatan mereka yang lain adalah membangun sekolah-sekolah yang salah satunya dengan mendirikan dan mengelola Taman Kanak-Kanak Melati yang diklaim mencapai 1.478 titik di seluruh wilayah Indonesia, yang diutamakan untuk anak-anak para buruh tani. 

          
Kelas pendidikan Gerwani


          Di dalam pendiriannya, TK Melati diserahkan pada pengurus ranting setempat. secara otonom.  Pengurus ranting seringkali melibatkan pihak kelurahan dan anggota-anggota masyarakat lain untuk menyediakan tempat dan peralatan TK, yangmana sebagian besar tenaga pengajarnya melakukan pelatihan dengan sukarela tanpa mendapat imbalan. Model penggalangan dana, atau yang kita kenal dengan istilah benefit--bisa dilaksanakan dengan mengadakan pertunjukan wayang dan menjual tiket pertunjukannya untuk pendirian dan penunjang operasional TK.

          Para perempuan yang tergabung dalam Gerwani juga memperjuangkan undang-undang perkawinan termasuk menentang poligami (yang waktu itu akan diresmikan undang-undang yang memberikan tunjangan lebih besar kepada pelaku poligami), aktif mengkampanyekan hak-hak perempuan, menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf, serta menangani masalah perempuan buruh dan petani dan memperjuangkan hak-hak mereka.

          Selain mengubah pola dari organisasi kader menjadi organisasi massa, berkat kedekatan dan kerjasama dengan serikat-serikat buruh dan Buruh Tani Indonesia (BTI) di basis-basis petani dan buruh, anggota Gerwani melonjak cepat, dari 500 ribu menjadi 1,5 juta dan memiliki cabang hampir di semua daerah dan pelosok Indonesia. Gerwani menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia

          Belum ada satu pun organisasi perempuan modern mampu menghimpun anggota sebanyak itu hingga kini. Gerwani, dengan kekuatan 1,5 juta perempuan kritis dan berani menuntut hak, tentu menakutkan bagi calon penguasa otoriter seperti Soeharto. Maka demi 'keutuhan' bangsa, Gerwani diberangus bersamaan dengan pemberantasan PKI. Banyak nyawa orang-orang--yang dianggap sebagai partisan dan simpatisan PKI dan Gerwani--yang direnggut secara paksa sebagai akibat histeria massa yang kalap dan dilingkupi kebodohan saat mendengar bahwa PKI dan Gerwani adalah dalang pembunuhan keji para petinggi militer Indonesia. Kemarahan yang buta. Entah berapa jumlah yang hilang dan tidak diketemukan. 

          Ribuan anggota Gerwani melarikan diri dan sempat bertahan di hutan-hutan dan goa pegunungan. Setelah berhasil ditangkap, mereka ditahan tanpa pengadilan. Menanggung siksaan psikis dan fisik. Mengalami kekerasan seksual. Stigma buruk melekat pada anggota-anggotanya yang tersisa selama puluhan tahun setelahnya.

Epilog

          Meski tidak secara vulgar disebutkan, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI ditutup dengan kemenangan dari militer khususnya Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia. Tentu saja, kejadian-kejadian yang lebih menakutkan dari adegan-adegan dalam film tidak ditayangkan, yakni tentang pembantaian massal yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi sayap kanan yang dibantu oleh tentara terhadap orang-orang yang dianggap mendukung PKI. 




          Tidak ada angka yang dapat dengan pasti menyebut jumlah nyawa yang tewas ditembak dan digorok lalu dibuang ke sungai-sungai atau bergeletakan di jalan-jalan. Bahkan ada yang menaksir jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa, setelah mengkalkulasikan jumlah korban yang dipenjarakan dengan jumlah anggota dan simpatisan PKI yang pada saat itu diperkirakan mencapai 20 juta jiwa. Bila benar PKI merancang skenario pemberontakan, jumlah di atas tentu saja bukan tandingan bagi TNI. Nyatanya, PKI bisa dikalahkan tanpa perlawanan. 

          Tragedi kemanusiaan tersebut menjadi pembuka pintu gerbang bagi ekonomi liberal dengan jutaan nyawa sebagai upetinya. Dua tahun pasca kejadian, Freeport mendaki pegunungan Papua, Caltex mendarat di Riau. Kekayaan alam Indonesia dibagi-bagikan kepada sejumlah korporasi multinasional melalui pertemuan para ekonom Orde Baru dan sejumlah pejabat tinggi korporasi di Swiss pada November 1967.

         Si penggubah lagu Genjer-Genjer, Muhammad Arief, turut menjadi korban pembantaian. Karyanya tak luput dari pemberangusan, dihapus dari ingatan kolektif. Membuat sebagian besar rakyat Indonesia lupa pada nada asli lagu ini. Namun justru sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang hidup dibawah tebaran teror moralitas rejim Orde Baru, tentu tidak segampang itu untuk dapat mengusir rasa jijiknya dari Gerwani. Kebencian telah terlanjur mendarah daging pada perempuan-perempuan yang digambarkan pada film di atas sebagai para sundal yang dengan kejam mencukil biji mata dan memotong alat kelamin para jenderal dengan silet, meski fakta otopsi yang diungkap oleh seorang ahli forensik, Benedict Anderson, jelas menyatakan bahwa tidak ada jejak silet, pisau cukur dan pisau lipat pada tubuh para jenderal, dan nyatanya, alat kelamin mereka benar-benar masih utuh.

Lihatlah, bagaimana hegemoni bekerja...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar