Jumat, 21 Desember 2012

Lari, Kamerad, Dunia Lama di Belakangmu!


"Siapapun akan mempraktekkan seni dengan caranya sendiri"--Tristan Tzara


"Imajinasi membutuhkan kekuatan", demikian sebuah graffiti tertulis di dinding jalanan Kota Paris ketika diguncang insureksi popular Mei 1968. Setidaknya dibutuhkan sebuah media untuk merealisasi ide menjadi sebuah materi. Selembar kertas tentu akan tetap berada dalam kekosongan tanpa adanya guratan dari seorang penulis yang hanya merenungi idenya yang berapi-api. Sama halnya dengan kuas para ilustrator yang memerlukan sebuah alas karya untuk memaparkan gagasan, yang bisa berupa sehelai kertas, guratan kardus bekas, atau dinding-dinding kota. Oleh karenanya, bila imajinasi membutuhkan kekuatan, maka coba bayangkan apa yang terjadi bila kekuatan tidak membutuhkan imajinasi? Lemah dan membosankan.




Kita hidup dalam ribuan lakon dan jutaan panggung. Dan Lalu, ketika sebuah pameo klasik seni pertunjukan mengatakan bahwa semua tempat adalah panggung, mungkinkah seni ilustrasi merujuk setiap ruang adalah galeri? Sulit memang untuk tidak mengidentikkan sebuah karya seni ilustrasi dengan pameran yang dingin dan kaku. Atau, bahkan, menjadi tempat yang sepi kunjungan, menjadi halaman paling belakang dan pilihan terakhir yang akan dikunjungi oleh khalayak umum untuk memperoleh sebuah kesenangan. Di posisi ini, artis terancam kehilangan komunikasi dengan non artis atau mereka yang awam dengan keterwalikan karya pada para kurator meski tidak setiap karya diniatkan sejak awal sebagai alat berkomunikasi. Dan benar sekali bahwa dimana-mana sistem perwakilan memang begitu absurd bila diharap akan membawa sebuah kebaikan. Yang tidak benar adalah praduga, yang menyebut bahwa karya-karya ilustrasi harus mengalami ketragisan yang sama. Karena esensinya, karya seni tidak membutuhkan sebuah kompetisi. Ia berada di luar tata nilai masyarakat dan bisa membangun nilai-nilainya sendiri.  Hanya saja, yang 'nyaris' mutlak adalah arsir bayangan berwarna gelap, dan cahaya lebih terang. Tidak dilebih-lebihkan. Tidak dikurang-kurangi. Dan kalaupun memang ingin berbanding terbalik dengan kemutlakan yang 'nyaris' itu, ya biarkan saja. Toh, ia akan tetap memiliki nilai tanpa perlu dinilai atas diri. Ini pula yang membuat karya seni ilustrasi kerap mejembatani antara realitas dan sosialitas, sekali lagi, tanpa kompetisi pencapaian puncak artistik dan bahasan komunikasi universal yang menyebalkan.

Mereka yang memvisualkan bahasa tentu sadar betul bahwa mereka berhadapan dengan rival yang bukan main masifnya selain dunia moral. Apalagi kalau bukan televisi. Kotak elektronik satu ini memandulkan daya kreasi pemirsanya menjadi pecandunya yang akut. Menjadikannya satu-satunya sumber terpercaya sehingga tidak ada kebenaran lain selain yang tersiar olehnya. Tapi pembodohan ini sangat menyenangkan. Itu sebabnya ia disebut candu. Kesenangan yang membunuh. Hingga cukup beralasan saat ini untuk memediasi pertemuan satu ilustrator dengan ilustrator lain, dan para ilustrator dengan peminat seni ilustrasi awam, seperti yang dilakukan oleh Utopia Drawing Class--salah satu sayap kesenian Rumah Info Utopia di Kota Palembang, pada event bertajuk "Ruang Belulang Artwork Exhibition". Menjadi cukup penting mengingat komunikasi antar ilustrator khususnya partisipan dengan di luar "kaum"nya memerlukan sebuah jalinan di luar koridor komunikasi karya dan penikmat karya, yang memungkinkan tumbuh minat untuk memulai sebuah karya bahkan bagi mereka yang awam. Bukankah bakat itu tidak ada tanpa minat dan belajar?

Mengenai "Ruang Belulang Artwork Exhibition", selain parade karya ilustrasi, akan ada juga workshop cukil kayu, demo menggambar, mural bersama, sharing skill seni ilustrasi, pentas musik akustik, dan lapak merchandise dan diskusi perkembangan seni illustrasi di Palembang. Penganalogian dari tulang temulang yang berserak dan terhimpun menjadi sebuah kerangka, tentunya event ini digagas untuk menjawab pertanyaan mengenai mungkin tidaknya seni ilustrasi dibahas di luar konteks kuas dan kanvas semata.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar