"Siapapun akan mempraktekkan seni dengan caranya sendiri"--Tristan Tzara
Kita hidup dalam ribuan lakon dan jutaan panggung. Dan Lalu, ketika sebuah pameo klasik seni pertunjukan mengatakan bahwa semua tempat adalah panggung, mungkinkah seni ilustrasi merujuk setiap ruang adalah galeri? Sulit memang untuk tidak mengidentikkan sebuah karya seni ilustrasi dengan pameran yang dingin dan kaku. Atau, bahkan, menjadi tempat yang sepi kunjungan, menjadi halaman paling belakang dan pilihan terakhir yang akan dikunjungi oleh khalayak umum untuk memperoleh sebuah kesenangan. Di posisi ini, artis terancam kehilangan komunikasi dengan non artis atau mereka yang awam dengan keterwalikan karya pada para kurator meski tidak setiap karya diniatkan sejak awal sebagai alat berkomunikasi. Dan benar sekali bahwa dimana-mana sistem perwakilan memang begitu absurd bila diharap akan membawa sebuah kebaikan. Yang tidak benar adalah praduga, yang menyebut bahwa karya-karya ilustrasi harus mengalami ketragisan yang sama. Karena esensinya, karya seni tidak membutuhkan sebuah kompetisi. Ia berada di luar tata nilai masyarakat dan bisa membangun nilai-nilainya sendiri. Hanya saja, yang 'nyaris' mutlak adalah arsir bayangan berwarna gelap, dan cahaya lebih terang. Tidak dilebih-lebihkan. Tidak dikurang-kurangi. Dan kalaupun memang ingin berbanding terbalik dengan kemutlakan yang 'nyaris' itu, ya biarkan saja. Toh, ia akan tetap memiliki nilai tanpa perlu dinilai atas diri. Ini pula yang membuat karya seni ilustrasi kerap mejembatani antara realitas dan sosialitas, sekali lagi, tanpa kompetisi pencapaian puncak artistik dan bahasan komunikasi universal yang menyebalkan.
Mereka yang memvisualkan bahasa tentu sadar betul bahwa mereka
berhadapan dengan rival yang bukan main masifnya selain dunia moral.
Apalagi kalau bukan televisi. Kotak elektronik satu ini memandulkan daya
kreasi pemirsanya menjadi pecandunya yang akut. Menjadikannya
satu-satunya sumber terpercaya sehingga tidak ada kebenaran lain selain
yang tersiar olehnya. Tapi pembodohan ini sangat menyenangkan. Itu
sebabnya ia disebut candu. Kesenangan yang membunuh. Hingga cukup
beralasan saat ini untuk memediasi pertemuan satu ilustrator dengan
ilustrator lain, dan para ilustrator dengan peminat seni ilustrasi awam,
seperti yang dilakukan oleh Utopia Drawing Class--salah satu sayap
kesenian Rumah Info Utopia di Kota Palembang, pada event bertajuk "Ruang
Belulang Artwork Exhibition". Menjadi cukup penting mengingat
komunikasi antar ilustrator khususnya partisipan dengan di luar
"kaum"nya memerlukan sebuah jalinan di luar koridor komunikasi karya dan
penikmat karya, yang memungkinkan tumbuh minat untuk memulai sebuah
karya bahkan bagi mereka yang awam. Bukankah bakat itu tidak ada tanpa
minat dan belajar?
Mengenai "Ruang Belulang Artwork Exhibition", selain parade karya
ilustrasi, akan ada juga workshop cukil kayu, demo menggambar, mural
bersama, sharing skill seni ilustrasi, pentas musik akustik, dan lapak
merchandise dan diskusi perkembangan seni illustrasi di Palembang. Penganalogian dari tulang temulang yang berserak dan terhimpun menjadi sebuah
kerangka, tentunya event ini digagas untuk menjawab pertanyaan mengenai
mungkin tidaknya seni ilustrasi dibahas di luar konteks kuas dan kanvas
semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar