Dari tempatku berpijak, untukmu anakku janji ini kusemat.
Juga pada setiap kepala yang menyimpan bara dan kesumat,
untuk menaruh dendam pada tata dunia satu mata yang siap melumat,
dan para varian setan dengan etalase yang menjerat.
Mereka berkamuflase teramat hebat lewat samaran.
Tanpa sempat kau sadari bahwa mereka lebih gawat dari sebuah ancaman,
lebih menakutkan dari fasis ideologi yang menebar kengerian,
dalam rancangan kompetisi menuju hidup yang berisi sesampahan.
Bagaimana kau bisa lepas dari ide dominan yang memenjara?
Bagaimana kau dapat menjalani hidup tanpa gembala?
Bagaimanapun, esok tirani harus tumbang...
Dari tempatku berpinak, untukmu sahabatku dendam ini kurancang,
hingga nama-nama kita tertulis di pusara yang terpancang,
untuk memecah pasung, merubuhkan semua batasan yang terpasang,
mengirim surat kematian kepada tirani yang tegak menantang.
Bagaimana kau bisa lepas dari ide dominan yang memenjara?
Bagaimana kau dapat menjalani hidup tanpa gembala?
Bagaimanapun, esok tirani harus tumbang...
catatan
Ketika
hari-hari berjalan tanpa lagi menyisakan waktu luang karena hidup yang
dipaksa patuh oleh gerusan kenormalan, menjadi pasif adalah kemungkinan
yang paling fatal. Kedisiplinan berpotensi mendarah daging. Dan itu
berarti, ketertundukan menjadi sebuah budaya pengaminan khas peradaban
manusia industri. Penaklukan ini yang diharap oleh penguasa modal demi
kepanjangan silkus hidup modalnya, dengan menutupi bangkai yang mereka
selisip dalam amplop gaji bulanan. Kita dijejalkan ke dalam rantai yang
tak pernah putus dalam tahap produksi dan konsumsi: bekerja dan
belanja. Tapi apa benar rantai ini sebegitu kekalnya sehingga tidak
lagi menyisakan harapan bagi kita yang menolak hidupnya dibeli oleh
industri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar