Selasa, 02 Oktober 2012

Esok, Tirani Tumbang



Dari tempatku berpijak, untukmu anakku janji ini kusemat.
Juga pada setiap kepala yang menyimpan bara dan kesumat,
untuk menaruh dendam pada tata dunia satu mata yang siap melumat,
dan para varian setan dengan etalase yang menjerat.

Mereka berkamuflase teramat hebat lewat samaran.
Tanpa sempat kau sadari bahwa mereka lebih gawat dari sebuah ancaman,
lebih menakutkan dari fasis ideologi yang menebar kengerian,
dalam rancangan kompetisi menuju hidup yang berisi sesampahan.

               Bagaimana kau bisa lepas dari ide dominan yang memenjara?
               Bagaimana kau dapat menjalani hidup tanpa gembala?
               Bagaimanapun, esok tirani harus tumbang...

Dari tempatku berpinak, untukmu sahabatku dendam ini kurancang,
hingga nama-nama kita tertulis di pusara yang terpancang,
untuk memecah pasung, merubuhkan semua batasan yang terpasang,
mengirim surat kematian kepada tirani yang tegak menantang.

               Bagaimana kau bisa lepas dari ide dominan yang memenjara?
               Bagaimana kau dapat menjalani hidup tanpa gembala?
               Bagaimanapun, esok tirani harus tumbang...


catatan

Ketika hari-hari berjalan tanpa lagi menyisakan waktu luang karena hidup yang dipaksa patuh oleh gerusan kenormalan, menjadi pasif adalah kemungkinan yang paling fatal. Kedisiplinan berpotensi mendarah daging. Dan itu berarti, ketertundukan menjadi sebuah budaya pengaminan khas peradaban manusia industri. Penaklukan ini yang diharap oleh penguasa modal demi kepanjangan silkus hidup modalnya, dengan menutupi bangkai yang mereka selisip dalam amplop gaji bulanan. Kita dijejalkan ke dalam rantai yang tak pernah putus dalam tahap produksi dan konsumsi: bekerja dan belanja. Tapi apa benar rantai ini sebegitu kekalnya sehingga tidak lagi menyisakan harapan bagi kita yang menolak hidupnya dibeli oleh industri?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar