Semangat. Itu kata yang pertama menghinggapi saya ketika
akan memulai tulisan ini. Beberapa tema sempat melintas, namun kali ini pilihan
jatuh kepada Urban Piknik, setelah sebelumnya waktu sempit yang saya miliki
terbuang untuk menjelajahi dunia maya kesana kemari, termasuk melihat cuplikan
video dokumentasi Urban Piknik beberapa waktu lalu. Semangat ini pula yang
menggiatkan saya memikirkan mau dibawa kemana keluarga yang saya miliki ditengah
gempuran kebutuhan yang seakan tiada habisnya. Urban Piknik, mungkin salah
sekian dari harapan yang masih tersisa bagi manusia-manusia terasing seperti
saya.
Pada sebuah
kawasan bermukim, ketika ruang-ruang urban sudah tidak bisa menampung aktivitas
bebas masyarakatnya, maka tak pelak kreativitas terancam menjadi tak berdaya.
Area yang telah dibatasi dengan plakat-plakat larangan tertulis ataupun tidak
itu, tidak hanya berupa pagar-pagar geografis yang berpengaruh pada lingkup
gerak masyarakat multikultur namun berimplikasi besar juga pada psikologis
individual.
Rumusan penopang
privatisasi akan ruang-ruang yang semestinya diperuntukkan bagi khalayak ini
tak hanya menjerumuskan penghuni-penghuni kota
ke dalam lubang keterasingan yang lebih dalam. Hilangnya pemaknaan kebersamaan
unit-unit terkecil dalam masyarakat menjadi salah sekiannya. Tidak adanya lagi
area bagi sebuah keluarga atau persekawanan untuk membuang kebosanan dengan
menggelar tikar, nyanyian dan aneka makanan ringan, membuat piknik menjadi
kenangan sebuah budaya usang. Dengan begitu, lenyapnya kebersamaan sebagai
media pertukaran gagasan sudah barang tentu memperlemah kreativitas tersebut.
Larangan
merupakan salah satu bentuk ancaman. Maka mental individu mana yang dengan
senang hati menerima rasa takut sebagai anak muara dari ancaman. Sebagian yang
hidup dalam naungan moralitas urban meyakini bahwa beberapa batasan itu
diciptakan demi 'kebaikan' bersama, namun tidak sadar bahwa 'kebaikan' itu
justru memisahkan kebersamaan yang semestinya tumbuh subur. Lalu sebagian lagi
menerima pemisahan itu tak lebih karena rasa takut oleh tekanan aneka sanksi
yang berjibaku dengan program pembangunan penguasa kota . Maka kemana sebagian kecil lainnya?
Seperti
kisah-kisah klasik pembangkangan, hanya sejumlah kecil orang yang mencoba
memberdaya kemampuannya masing-masing dalam sebuah grup partisipasi bebas,
untuk secara bersama-sama meniadakan 'batas-batas' tersebut. Seperti
kebanyakan aturan-aturan lain yang mengalami kontradiksinya sendiri,
privatisasi ruang-ruang kota
mengalami hal serupa 'pelanggaran'. Namun untuk yang satu ini, mereklaim sebuah
hak atasnya bukanlah bentuk pelanggaran. Lagipula dalam kamus mana yang
menyebut bahwa memberdaya ruang publik sebagai ajang berlibat dan
berkreativitas tanpa mengganggu altivitas sekitar adalah sebuah pelanggaran,
kecuali kamus yang dirumus oleh tafsir penguasa kota yang tentu berjejal dengan berbagai
kepentingannya.
Urban
Piknik—media sosial yang dibangun oleh sebuah grup partisipasi bebas di Kota
Palembang ini, merupakan salah satu penanda bahwa masih tersimpan harapan bagi
individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk merajut kembali
hubungan dan pertemuan tiap darinya dengan mengokupasi area-area yang
'terlarang' bagi umum. Momen ketika setiap orang dapat berperan sesuai
keinginannya dengan sukacita dan tanpa rasa was-was oleh upaya penertiban,
sekaligus untuk melekatkan manusia-manusia yang telah terasing satu sama lain
oleh budaya konsumsi, pusat-pusat belanja, televisi dan dunia kerja.
Urban Piknik
dirancang sebagai agenda dwi mingguan oleh sekelompok kecil pemuda yang selama
ini aktif dalam pergelutan komunitas Kota Palembang, dan lalu menularkan
gagasannya melalui jejaring dunia maya dan poster-poster ajakan edisi cetak ke
kantung-kantung komunitas. Fokus utamanya adalah memanfaatkan ruang publik
sebagai sarana berjejaring dengan khalayak di luar lingkar komunitas mereka;
bertukar ide, berbagi peran, dan tentu saja, dilakukan dengan penuh sukacita.
Konsepnya sederhana, yakni menyediakan kompor untuk memasak yang diberi tajuk
Kompor Publik dan berpiknik di taman kota
dengan beragam interaksi didalamnya. Umumnya mereka membawa perlengkapan
memasak yang dicomot dan pinjam sana-sini. Di atas sebuah meja panjang yang
lengkap dengan kompor, penggorengan, bahan-bahan dan bumbu-bumbu hasil
patungan, siapapun boleh menyalurkan hobi dan kemampuannya memasak.
Masakan-masakan inilah yang lantas dijadikan menu santapan gratis yang juga
bebas dinikmati oleh siapapun yang ada disana, tidak sebatas anggota komunitas
semata.
Tidak ada
keterikatan melalui sistem keanggotaan dalam grup ini. Semua partisipan yang
terlibat datang dengan inisiatifnya masing-masing untuk membawa perlengkapan
makan, peralatan memasak, bakal menu, dan alat-alat penyokong lainnya. Ketika
setiap orang menolak menjadi pasif dan telah berani mengambil perannya
masing-masing, kelak tidak ada lagi sekat pemisah layaknya dunia tontonan yang
membentuk keterasingan antara penonton dan yang ditonton, karena dalam Urban
Piknik, semua orang adalah koki dan setiap orang adalah pramusaji.
Tidak hanya
Kompor Publik yang terdapat dalam Urban Piknik. Di sana juga digelar berbagai aktivitas yang
saling mendukung. Bagi yang suka bernyanyi dapat merealisasikannya pada
kelompok akustik berpanggung tikar untuk menghibur para piknikers, atau yang
membutuhkan barang-barang tertentu, dapat membelinya di Garage Sale, yakni
lapak barang-barang bekas layak pakai yangmana sebagian keuntungan penjualannya
didonasikan kepada kas yang dikelola oleh komite kecil Urban Piknik. Dana yang
terkumpul lantas digunakan sebagai modal untuk memproduksi beberapa merchandise, yang kemudian kembali
dijual dan kelipatan labanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
piknik itu sendiri. Adakalanya Urban Piknik turut menyertakan pameran ataupun
workshop fotografi, media cetak alternatif, ilustrasi, kolase dan aktivitas
mural yang terbuka bagi siapapun yang ingin berpartisipasi.
Urban piknik
tidak hanya menjadi salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi
keterasingan masyarakat kota .
Ia turut menjadi momentum yang mengilustrasikan sebuah wacana keteraturan tanpa
peraturan yang juga mencoba memberi jawaban atas pertanyaan para perumus
peraturan tentang mungkinnya memaknai kebebasan tanpa kekacauan. Memang,
berpiknik di tengah kota —tempat
dimana pusat otoritas itu berada—sekilas tampak absurd, tapi ini sungguh
terjadi.
Pustaka Foto
![]() | |
Kambang Iwak Family (KIF) Park sentra komuniti Kota Palembang, salah satu spot Urban Piknik |
![]() | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Lapak merchandise, sebagian keuntungannya didonasikan kepada Urban Piknik |
![]() | |
Garage Sale, bursa barang bekas |
![]() |
Sticker, salah satu penopang kas Urban Piknik |
![]() |
Aktivitas mural |
![]() |
Garage Sale, bursa barang bekas |
![]() |
Makanan gratis |
![]() |
Media cetak alternatif gratis |
![]() |
Musik akustik |
![]() |
Peralatan seadanya |
#SupportTerusUrbanPiknik
BalasHapusSalam wong kito galo :)