Kamis, 06 Desember 2012

Kota, Tentang Mitos Hutan Larangan






         Semangat. Itu kata yang pertama menghinggapi saya ketika akan memulai tulisan ini. Beberapa tema sempat melintas, namun kali ini pilihan jatuh kepada Urban Piknik, setelah sebelumnya waktu sempit yang saya miliki terbuang untuk menjelajahi dunia maya kesana kemari, termasuk melihat cuplikan video dokumentasi Urban Piknik beberapa waktu lalu. Semangat ini pula yang menggiatkan saya memikirkan mau dibawa kemana keluarga yang saya miliki ditengah gempuran kebutuhan yang seakan tiada habisnya. Urban Piknik, mungkin salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi manusia-manusia terasing seperti saya. 
         
Pada sebuah kawasan bermukim, ketika ruang-ruang urban sudah tidak bisa menampung aktivitas bebas masyarakatnya, maka tak pelak kreativitas terancam menjadi tak berdaya. Area yang telah dibatasi dengan plakat-plakat larangan tertulis ataupun tidak itu, tidak hanya berupa pagar-pagar geografis yang berpengaruh pada lingkup gerak masyarakat multikultur namun berimplikasi besar juga pada psikologis individual.

Rumusan penopang privatisasi akan ruang-ruang yang semestinya diperuntukkan bagi khalayak ini tak hanya menjerumuskan penghuni-penghuni kota ke dalam lubang keterasingan yang lebih dalam. Hilangnya pemaknaan kebersamaan unit-unit terkecil dalam masyarakat menjadi salah sekiannya. Tidak adanya lagi area bagi sebuah keluarga atau persekawanan untuk membuang kebosanan dengan menggelar tikar, nyanyian dan aneka makanan ringan, membuat piknik menjadi kenangan sebuah budaya usang. Dengan begitu, lenyapnya kebersamaan sebagai media pertukaran gagasan sudah barang tentu memperlemah kreativitas tersebut.

Larangan merupakan salah satu bentuk ancaman. Maka mental individu mana yang dengan senang hati menerima rasa takut sebagai anak muara dari ancaman. Sebagian yang hidup dalam naungan moralitas urban meyakini bahwa beberapa batasan itu diciptakan demi 'kebaikan' bersama, namun tidak sadar bahwa 'kebaikan' itu justru memisahkan kebersamaan yang semestinya tumbuh subur. Lalu sebagian lagi menerima pemisahan itu tak lebih karena rasa takut oleh tekanan aneka sanksi yang berjibaku dengan program pembangunan penguasa kota. Maka kemana sebagian kecil lainnya?

Seperti kisah-kisah klasik pembangkangan, hanya sejumlah kecil orang yang mencoba  memberdaya kemampuannya masing-masing dalam sebuah grup partisipasi bebas, untuk secara bersama-sama  meniadakan 'batas-batas' tersebut. Seperti kebanyakan aturan-aturan lain yang mengalami kontradiksinya sendiri, privatisasi ruang-ruang kota mengalami hal serupa 'pelanggaran'. Namun untuk yang satu ini, mereklaim sebuah hak atasnya bukanlah bentuk pelanggaran. Lagipula dalam kamus mana yang menyebut bahwa memberdaya ruang publik sebagai ajang berlibat dan berkreativitas tanpa mengganggu altivitas sekitar adalah sebuah pelanggaran, kecuali kamus yang dirumus oleh tafsir penguasa kota yang tentu berjejal dengan berbagai kepentingannya.

Urban Piknik—media sosial yang dibangun oleh sebuah grup partisipasi bebas di Kota Palembang ini, merupakan salah satu penanda bahwa masih tersimpan harapan bagi individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk merajut kembali hubungan dan pertemuan tiap darinya dengan mengokupasi area-area yang 'terlarang' bagi umum. Momen ketika setiap orang dapat berperan sesuai keinginannya dengan sukacita dan tanpa rasa was-was oleh upaya penertiban, sekaligus untuk melekatkan manusia-manusia yang telah terasing satu sama lain oleh budaya konsumsi, pusat-pusat belanja, televisi dan dunia kerja. 

Urban Piknik dirancang sebagai agenda dwi mingguan oleh sekelompok kecil pemuda yang selama ini aktif dalam pergelutan komunitas Kota Palembang, dan lalu menularkan gagasannya melalui jejaring dunia maya dan poster-poster ajakan edisi cetak ke kantung-kantung komunitas. Fokus utamanya adalah memanfaatkan ruang publik sebagai sarana berjejaring dengan khalayak di luar lingkar komunitas mereka; bertukar ide, berbagi peran, dan tentu saja, dilakukan dengan penuh sukacita. Konsepnya sederhana, yakni menyediakan kompor untuk memasak yang diberi tajuk Kompor Publik dan berpiknik di taman kota dengan beragam interaksi didalamnya. Umumnya mereka membawa perlengkapan memasak yang dicomot dan pinjam sana-sini. Di atas sebuah meja panjang yang lengkap dengan kompor, penggorengan, bahan-bahan dan bumbu-bumbu hasil patungan, siapapun boleh menyalurkan hobi dan kemampuannya memasak. Masakan-masakan inilah yang lantas dijadikan menu santapan gratis yang juga bebas dinikmati oleh siapapun yang ada disana, tidak sebatas anggota komunitas semata.
 
Tidak ada keterikatan melalui sistem keanggotaan dalam grup ini. Semua partisipan yang terlibat datang dengan inisiatifnya masing-masing untuk membawa perlengkapan makan, peralatan memasak, bakal menu, dan alat-alat penyokong lainnya. Ketika setiap orang menolak menjadi pasif dan telah berani mengambil perannya masing-masing, kelak tidak ada lagi sekat pemisah layaknya dunia tontonan yang membentuk keterasingan antara penonton dan yang ditonton, karena dalam Urban Piknik, semua orang adalah koki dan setiap orang adalah pramusaji.

Tidak hanya Kompor Publik yang terdapat dalam Urban Piknik. Di sana juga digelar berbagai aktivitas yang saling mendukung. Bagi yang suka bernyanyi dapat merealisasikannya pada kelompok akustik berpanggung tikar untuk menghibur para piknikers, atau yang membutuhkan barang-barang tertentu, dapat membelinya di Garage Sale, yakni lapak barang-barang bekas layak pakai yangmana sebagian keuntungan penjualannya didonasikan kepada kas yang dikelola oleh komite kecil Urban Piknik. Dana yang terkumpul lantas digunakan sebagai modal untuk memproduksi beberapa merchandise, yang kemudian kembali dijual dan kelipatan labanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan piknik itu sendiri. Adakalanya Urban Piknik turut menyertakan pameran ataupun workshop fotografi, media cetak alternatif, ilustrasi, kolase dan aktivitas mural yang terbuka bagi siapapun yang ingin berpartisipasi. 

Urban piknik tidak hanya menjadi salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi keterasingan masyarakat kota. Ia turut menjadi momentum yang mengilustrasikan sebuah wacana keteraturan tanpa peraturan yang juga mencoba memberi jawaban atas pertanyaan para perumus peraturan tentang mungkinnya memaknai kebebasan tanpa kekacauan. Memang, berpiknik di tengah kota—tempat dimana pusat otoritas itu berada—sekilas tampak absurd, tapi ini sungguh terjadi.



Pustaka Foto

Kambang Iwak Family (KIF) Park sentra komuniti Kota Palembang, salah satu spot Urban Piknik

Lapak merchandise, sebagian keuntungannya didonasikan kepada Urban Piknik
   






                                                                         






Garage Sale, bursa barang bekas

Sticker, salah satu penopang kas Urban Piknik

Aktivitas mural

Garage Sale, bursa barang bekas

Makanan gratis

Media cetak alternatif gratis

Musik akustik

Peralatan seadanya


1 komentar: