Jumat, 21 Desember 2012

Lari, Kamerad, Dunia Lama di Belakangmu!


"Siapapun akan mempraktekkan seni dengan caranya sendiri"--Tristan Tzara


"Imajinasi membutuhkan kekuatan", demikian sebuah graffiti tertulis di dinding jalanan Kota Paris ketika diguncang insureksi popular Mei 1968. Setidaknya dibutuhkan sebuah media untuk merealisasi ide menjadi sebuah materi. Selembar kertas tentu akan tetap berada dalam kekosongan tanpa adanya guratan dari seorang penulis yang hanya merenungi idenya yang berapi-api. Sama halnya dengan kuas para ilustrator yang memerlukan sebuah alas karya untuk memaparkan gagasan, yang bisa berupa sehelai kertas, guratan kardus bekas, atau dinding-dinding kota. Oleh karenanya, bila imajinasi membutuhkan kekuatan, maka coba bayangkan apa yang terjadi bila kekuatan tidak membutuhkan imajinasi? Lemah dan membosankan.




Kita hidup dalam ribuan lakon dan jutaan panggung. Dan Lalu, ketika sebuah pameo klasik seni pertunjukan mengatakan bahwa semua tempat adalah panggung, mungkinkah seni ilustrasi merujuk setiap ruang adalah galeri? Sulit memang untuk tidak mengidentikkan sebuah karya seni ilustrasi dengan pameran yang dingin dan kaku. Atau, bahkan, menjadi tempat yang sepi kunjungan, menjadi halaman paling belakang dan pilihan terakhir yang akan dikunjungi oleh khalayak umum untuk memperoleh sebuah kesenangan. Di posisi ini, artis terancam kehilangan komunikasi dengan non artis atau mereka yang awam dengan keterwalikan karya pada para kurator meski tidak setiap karya diniatkan sejak awal sebagai alat berkomunikasi. Dan benar sekali bahwa dimana-mana sistem perwakilan memang begitu absurd bila diharap akan membawa sebuah kebaikan. Yang tidak benar adalah praduga, yang menyebut bahwa karya-karya ilustrasi harus mengalami ketragisan yang sama. Karena esensinya, karya seni tidak membutuhkan sebuah kompetisi. Ia berada di luar tata nilai masyarakat dan bisa membangun nilai-nilainya sendiri.  Hanya saja, yang 'nyaris' mutlak adalah arsir bayangan berwarna gelap, dan cahaya lebih terang. Tidak dilebih-lebihkan. Tidak dikurang-kurangi. Dan kalaupun memang ingin berbanding terbalik dengan kemutlakan yang 'nyaris' itu, ya biarkan saja. Toh, ia akan tetap memiliki nilai tanpa perlu dinilai atas diri. Ini pula yang membuat karya seni ilustrasi kerap mejembatani antara realitas dan sosialitas, sekali lagi, tanpa kompetisi pencapaian puncak artistik dan bahasan komunikasi universal yang menyebalkan.

Mereka yang memvisualkan bahasa tentu sadar betul bahwa mereka berhadapan dengan rival yang bukan main masifnya selain dunia moral. Apalagi kalau bukan televisi. Kotak elektronik satu ini memandulkan daya kreasi pemirsanya menjadi pecandunya yang akut. Menjadikannya satu-satunya sumber terpercaya sehingga tidak ada kebenaran lain selain yang tersiar olehnya. Tapi pembodohan ini sangat menyenangkan. Itu sebabnya ia disebut candu. Kesenangan yang membunuh. Hingga cukup beralasan saat ini untuk memediasi pertemuan satu ilustrator dengan ilustrator lain, dan para ilustrator dengan peminat seni ilustrasi awam, seperti yang dilakukan oleh Utopia Drawing Class--salah satu sayap kesenian Rumah Info Utopia di Kota Palembang, pada event bertajuk "Ruang Belulang Artwork Exhibition". Menjadi cukup penting mengingat komunikasi antar ilustrator khususnya partisipan dengan di luar "kaum"nya memerlukan sebuah jalinan di luar koridor komunikasi karya dan penikmat karya, yang memungkinkan tumbuh minat untuk memulai sebuah karya bahkan bagi mereka yang awam. Bukankah bakat itu tidak ada tanpa minat dan belajar?

Mengenai "Ruang Belulang Artwork Exhibition", selain parade karya ilustrasi, akan ada juga workshop cukil kayu, demo menggambar, mural bersama, sharing skill seni ilustrasi, pentas musik akustik, dan lapak merchandise dan diskusi perkembangan seni illustrasi di Palembang. Penganalogian dari tulang temulang yang berserak dan terhimpun menjadi sebuah kerangka, tentunya event ini digagas untuk menjawab pertanyaan mengenai mungkin tidaknya seni ilustrasi dibahas di luar konteks kuas dan kanvas semata.





Kamis, 06 Desember 2012

Kota, Tentang Mitos Hutan Larangan






         Semangat. Itu kata yang pertama menghinggapi saya ketika akan memulai tulisan ini. Beberapa tema sempat melintas, namun kali ini pilihan jatuh kepada Urban Piknik, setelah sebelumnya waktu sempit yang saya miliki terbuang untuk menjelajahi dunia maya kesana kemari, termasuk melihat cuplikan video dokumentasi Urban Piknik beberapa waktu lalu. Semangat ini pula yang menggiatkan saya memikirkan mau dibawa kemana keluarga yang saya miliki ditengah gempuran kebutuhan yang seakan tiada habisnya. Urban Piknik, mungkin salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi manusia-manusia terasing seperti saya. 
         
Pada sebuah kawasan bermukim, ketika ruang-ruang urban sudah tidak bisa menampung aktivitas bebas masyarakatnya, maka tak pelak kreativitas terancam menjadi tak berdaya. Area yang telah dibatasi dengan plakat-plakat larangan tertulis ataupun tidak itu, tidak hanya berupa pagar-pagar geografis yang berpengaruh pada lingkup gerak masyarakat multikultur namun berimplikasi besar juga pada psikologis individual.

Rumusan penopang privatisasi akan ruang-ruang yang semestinya diperuntukkan bagi khalayak ini tak hanya menjerumuskan penghuni-penghuni kota ke dalam lubang keterasingan yang lebih dalam. Hilangnya pemaknaan kebersamaan unit-unit terkecil dalam masyarakat menjadi salah sekiannya. Tidak adanya lagi area bagi sebuah keluarga atau persekawanan untuk membuang kebosanan dengan menggelar tikar, nyanyian dan aneka makanan ringan, membuat piknik menjadi kenangan sebuah budaya usang. Dengan begitu, lenyapnya kebersamaan sebagai media pertukaran gagasan sudah barang tentu memperlemah kreativitas tersebut.

Larangan merupakan salah satu bentuk ancaman. Maka mental individu mana yang dengan senang hati menerima rasa takut sebagai anak muara dari ancaman. Sebagian yang hidup dalam naungan moralitas urban meyakini bahwa beberapa batasan itu diciptakan demi 'kebaikan' bersama, namun tidak sadar bahwa 'kebaikan' itu justru memisahkan kebersamaan yang semestinya tumbuh subur. Lalu sebagian lagi menerima pemisahan itu tak lebih karena rasa takut oleh tekanan aneka sanksi yang berjibaku dengan program pembangunan penguasa kota. Maka kemana sebagian kecil lainnya?

Seperti kisah-kisah klasik pembangkangan, hanya sejumlah kecil orang yang mencoba  memberdaya kemampuannya masing-masing dalam sebuah grup partisipasi bebas, untuk secara bersama-sama  meniadakan 'batas-batas' tersebut. Seperti kebanyakan aturan-aturan lain yang mengalami kontradiksinya sendiri, privatisasi ruang-ruang kota mengalami hal serupa 'pelanggaran'. Namun untuk yang satu ini, mereklaim sebuah hak atasnya bukanlah bentuk pelanggaran. Lagipula dalam kamus mana yang menyebut bahwa memberdaya ruang publik sebagai ajang berlibat dan berkreativitas tanpa mengganggu altivitas sekitar adalah sebuah pelanggaran, kecuali kamus yang dirumus oleh tafsir penguasa kota yang tentu berjejal dengan berbagai kepentingannya.

Urban Piknik—media sosial yang dibangun oleh sebuah grup partisipasi bebas di Kota Palembang ini, merupakan salah satu penanda bahwa masih tersimpan harapan bagi individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk merajut kembali hubungan dan pertemuan tiap darinya dengan mengokupasi area-area yang 'terlarang' bagi umum. Momen ketika setiap orang dapat berperan sesuai keinginannya dengan sukacita dan tanpa rasa was-was oleh upaya penertiban, sekaligus untuk melekatkan manusia-manusia yang telah terasing satu sama lain oleh budaya konsumsi, pusat-pusat belanja, televisi dan dunia kerja. 

Urban Piknik dirancang sebagai agenda dwi mingguan oleh sekelompok kecil pemuda yang selama ini aktif dalam pergelutan komunitas Kota Palembang, dan lalu menularkan gagasannya melalui jejaring dunia maya dan poster-poster ajakan edisi cetak ke kantung-kantung komunitas. Fokus utamanya adalah memanfaatkan ruang publik sebagai sarana berjejaring dengan khalayak di luar lingkar komunitas mereka; bertukar ide, berbagi peran, dan tentu saja, dilakukan dengan penuh sukacita. Konsepnya sederhana, yakni menyediakan kompor untuk memasak yang diberi tajuk Kompor Publik dan berpiknik di taman kota dengan beragam interaksi didalamnya. Umumnya mereka membawa perlengkapan memasak yang dicomot dan pinjam sana-sini. Di atas sebuah meja panjang yang lengkap dengan kompor, penggorengan, bahan-bahan dan bumbu-bumbu hasil patungan, siapapun boleh menyalurkan hobi dan kemampuannya memasak. Masakan-masakan inilah yang lantas dijadikan menu santapan gratis yang juga bebas dinikmati oleh siapapun yang ada disana, tidak sebatas anggota komunitas semata.
 
Tidak ada keterikatan melalui sistem keanggotaan dalam grup ini. Semua partisipan yang terlibat datang dengan inisiatifnya masing-masing untuk membawa perlengkapan makan, peralatan memasak, bakal menu, dan alat-alat penyokong lainnya. Ketika setiap orang menolak menjadi pasif dan telah berani mengambil perannya masing-masing, kelak tidak ada lagi sekat pemisah layaknya dunia tontonan yang membentuk keterasingan antara penonton dan yang ditonton, karena dalam Urban Piknik, semua orang adalah koki dan setiap orang adalah pramusaji.

Tidak hanya Kompor Publik yang terdapat dalam Urban Piknik. Di sana juga digelar berbagai aktivitas yang saling mendukung. Bagi yang suka bernyanyi dapat merealisasikannya pada kelompok akustik berpanggung tikar untuk menghibur para piknikers, atau yang membutuhkan barang-barang tertentu, dapat membelinya di Garage Sale, yakni lapak barang-barang bekas layak pakai yangmana sebagian keuntungan penjualannya didonasikan kepada kas yang dikelola oleh komite kecil Urban Piknik. Dana yang terkumpul lantas digunakan sebagai modal untuk memproduksi beberapa merchandise, yang kemudian kembali dijual dan kelipatan labanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan piknik itu sendiri. Adakalanya Urban Piknik turut menyertakan pameran ataupun workshop fotografi, media cetak alternatif, ilustrasi, kolase dan aktivitas mural yang terbuka bagi siapapun yang ingin berpartisipasi. 

Urban piknik tidak hanya menjadi salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi keterasingan masyarakat kota. Ia turut menjadi momentum yang mengilustrasikan sebuah wacana keteraturan tanpa peraturan yang juga mencoba memberi jawaban atas pertanyaan para perumus peraturan tentang mungkinnya memaknai kebebasan tanpa kekacauan. Memang, berpiknik di tengah kota—tempat dimana pusat otoritas itu berada—sekilas tampak absurd, tapi ini sungguh terjadi.



Pustaka Foto

Kambang Iwak Family (KIF) Park sentra komuniti Kota Palembang, salah satu spot Urban Piknik

Lapak merchandise, sebagian keuntungannya didonasikan kepada Urban Piknik
   






                                                                         






Garage Sale, bursa barang bekas

Sticker, salah satu penopang kas Urban Piknik

Aktivitas mural

Garage Sale, bursa barang bekas

Makanan gratis

Media cetak alternatif gratis

Musik akustik

Peralatan seadanya


BILA GENJER BERBUAH DARAH, PEREMPUAN PULA YANG TERKENA GETAHNYA

Perempuan dan Hegemoni dari Sebuah Kotak Bernama Televisi

Dewa Made Karang Mahardika

Hegemoni merupakan sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang didalamnya terdapat sebuah konsep tentang kenyataan yang disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) dengan mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”—Antonio Gramsci

 


 Genjer-genjer, nong kedok’an pating keleler, emak’e tole, teko-teko, mbubuti genjer, oleh sak tenong, mungkor sedot, seng tole-tole, genjer-genjer, saiki wis digowo muleh

          Semasa saya kecil, setiap akhir bulan kesembilan,Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai satu-satunya corong informasi visual pada waktu itu, menyuguhkan sebuah tontonan 'horor' yang berhasil membuat rasa takut dan penasaran saya menjadi satu. Tentang bagaimana sekelompok pembantai menculik perwira-perwira angkatan darat, untuk lantas menyiksa dan membunuhi mereka satu persatu. Dengan keji tentu saja. Kelompok yang lalu dinamakan sebagai Gerakan 30 September dan diawaki oleh Partai Komunis Indonesia ini, menjadi setan-setan yang menghantui kepala setiap anak kecil yang lalu membawanya tumbuh bertahun-tahun setelahnya. 

          Dan meskipun film yang diproduksi oleh Perusahaan Umum Produksi Film Negara (PPFN) dan disutradarai oleh Arifin C. Noer ini menjadi tontonan wajib tiap tahun, entah mengapa tidak membiarkan rasa bosan sempat hinggap berlama-lama di benak saya. Pemilihan musik latarnya benar-benar menguatkan karakter senyap yang membuat kita ingin lebih tahu tentang kengerian walau saya sudah hapal betul jalan cerita berikutnya. Adrenalin bahkan sudah dimulai ketika segerombol orang menyerbu sebuah tempat ibadah dan mencabik-cabik kitab suci dengan arit, yang merupakan simbol komunis. Horor berlanjut dengan padanan slow motion para tentara iblis dan penyergapan para Jenderal, penculikan dan siksaan, tangis seorang ibu atas terbunuhnya sang putri dan heroisme para penjaga stabilitas negeri. 


Poster film Pengkhianatan G 30 S/PKI

          Tiga jam lebih film ini berupaya menggambarkan rekaman sejarah dengan membebankannya pada psikis pirsawan. Itulah kekuatan operasional propaganda sebuah rejim, durasi tiga jam yang meninggalkan jejak puluhan tahun di kepala jutaan pemirsa seantero Indonesia. Saya menjadi salah satu diantaranya. Mengidap penyakit hasil indoktrinasi. Menjadi begitu ngeri mendengar lagu Gender-Gender--hasil cipta Muhammad Arief seorang tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat, sayap kebudayaan PKI--yang pada sebuah adegan dilukiskan, bahwa pada malam menjelang 1 Oktober 1965 telah terjadi ritual berupa tarian mesum anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat--sayap pemuda dari Partai Komunis Indonesia--berpesta pora tanpa busana, selain mengenakan untaian kembang genjer sebagai pakaian ritual yang sadis, dimana mereka menyayat-nyayat dan menyileti kemaluan para jenderal, disertai iringan nyanyian lagu yang sebelum tragedi telah dipopulerkan oleh Lilis Suryani ini, dan sempat dibawakan oleh Bing Slamet dan Nyoto, seorang tokoh PKI dan pengurus Radio Republik Indonesia.


Arifin C Noor (kedua dari kiri) saat syuting film G30S/PKI di Jakarta, 1984

          Orde Baru berhasil membuat pengawetan kekuasaan melalui sebuah paket visual yang dikemas dramatis. Dalam sejarah perfilman Indonesia, inilah kali pertama pemerintah memberikan dukungan sepenuh-penuhnya pada seluruh aspek. Selama lebih dari tiga dekade film ini menjadi tayangan wajib TVRI dan juga berlaku bagi stasiun-stasiun televisi swasta yang muncul dikancah persaingan dunia tayangan. Sebuah pelajaran pahit bagi sebuah gerakan yang dianggap menjadi musuh negara, siapapun dia yang mencoba mengusik kerajaan Soeharto. Ketika perpolitikan di Indonesia mulai menunjukan riak-riak gejolak, film ini dihentikan jatah tayangnya pada tahun 1997, dan berlanjut menjadi pergunjingan tentang hitam putih sejarah peristiwa 30 September 1965. Namun saat ini saya lebih memilih untuk tidak ambil bagian dalam polemik ini. Gerwani tampaknya lebih menarik untuk dibicarakan.

TK Melati dan Pembebasan Perempuan

          Untuk kali pertama kongres perempuan Indonesia digelar dan memakan waktu selama empat hari, 22 hingga 25 Desember 1928 di Kota Gudeg Yogyakarta. Setidaknya 1.000 peserta dari 30 organisasi perempuan hadir di momen ini, dan dianggap sebagai salah satu peristiwa terbesar di era kolonial selama 1900-an. Setahun kemudian kongres serupa diadakan di Jakarta, lalu berlanjut ke Surabaya tahun 1930, Jakarta di tahun 1935, dan Bandung tahun 1938. Pada kongres di Bandung ini lahirlah sebuah keputusan bahwa tanggal 22 Desember--yangmana merupakan tanggal dimulainya kongres perempuan pertama--merupakan Hari Ibu yang dirayakan hinggi kini. Di era ini, gerakan perempuan berkonsentrasi pada isu-isu seputar poligami, diskriminasi kaum perempuan di tempat kerja, perdagangan perempuan, pernikahan dini, perjodohan dan akses terbatas perempuan terhadap bidang pendidikan.

          Perjuangan kaum perempuan di era kolonial sebenarnya telah dimulai beberapa tahun sebelum kongres pertama diadakan. Seorang perempuan dari kalangan bangsawan Jawa bernama Raden Ajeng Kartini, mengkritisi kesetaraan hak-hak mendasar kaum perempuan dalam mengenyam pendidikan dengan membawa slogan kekuatan, kegigihan dan ketulusan. Seperti yang tertulis dalam suratnya kepada Ny R.M. Abendanon di bulan Agustus 1900, "Tidak, tidak! Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan menunjukkan bahwa saya manusia. Manusia, seperti laki-laki." Kartini melambangkan perjuangan perempuan melawan arogansi dan budaya patriarki kolonial Belanda, bukan hanya karena ibunya berasal dari latar belakang kelas pekerja tertindas, tapi juga melihat kondisi sosial perempuan kebanyakan pada saat itu, yang tidak memiliki peran apa-apa selain harus menerima kodrat sebagaimana mestinya. 

          Perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi justru kelak terjebak dalam kontruksi gender yang dibangun oleh penguasa di masa Orde Baru. Citra dirinya telah "direnovasi" untuk memperkuat budaya patriarki. Gerakan perempuan di era Orba kala itu didominasi oleh gagasan domestikasi perempuan, atau "Ibuisme", sebagai istri yang berserah dan mengabdikan diri pada suami mereka, keluarga dan negara. Pada tingkat praktis, Ibuisme dilaksanakan oleh organisasi-organisasi para istri pegawai negeri Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK (Pemberdayaan Keluarga dan Gerakan Kesejahteraan). Bahkan di tingkat praksis selebrasi Hari Kartini yang dicanangkan oleh Soeharto telah menggeser makna emansipasi itu sendiri. Lomba menari, kontes memasak atau peragaan busana, menjadi perangkap yang menginjeksi peran-peran dosmetik kaum perempuan. Perjuangan Kartini sebatas dimaknai sebagai kegemulaian seorang perempuan ‘baik-baik’.

          Di dalam wacana kesejarahan di Indonesia, sumbangan gerakan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan kurang diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan yang berarti, walaupun  Laskar Wanita Indonesia atau Laswi, begitupun juga Gerwis yang merupakan cikal bakal dari Gerwani yang didirikan pada tanggal 4 Juni 1950 tercatat sebagian besar anggotanya adalah perempuan-perempuan yang terlibat langsung dalam perang kemerdekaan melawan Jepang dan Belanda pada 1940-an. Hal ini yang kemudian banyak menjadi ilham bagi para perempuan yang terlibat revolusi fisik tersebut untuk bergabung di dalam Gerwis sebelum kemudian berganti nama menjadi Gerwani. Gerwis sendiri adalah merupakan hasil koalisi dari enam organisasi perempuan, yaitu Rupindo (Rukun Putri Indonesia; Semarang); Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia; Kediri), Wanita Madura (Madura), dan PPRI (Perjuangan Putri Republik Indonesia; Pasuruan), pada kongres mereka yang pertama di Jakarta, Desember 1951. 

          Gerwani merupakan organisasi perempuan yang independen, tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, bahkan Partai Komunis Indonesia, seperti yang dipahami oleh banyak orang selama ini. Organisasi yang didirikan pada tahun 1954 ini berjejaring dengan pelbagai gerakan perempuan di dunia serta tergabung dalam Gerakan Wanita Demokratis Sedunia.  Tujuan utama gerakan Gerwani adalah meningkatkan kemampuan dan harkat perempuan. Kegiatan mereka yang lain adalah membangun sekolah-sekolah yang salah satunya dengan mendirikan dan mengelola Taman Kanak-Kanak Melati yang diklaim mencapai 1.478 titik di seluruh wilayah Indonesia, yang diutamakan untuk anak-anak para buruh tani. 

          
Kelas pendidikan Gerwani


          Di dalam pendiriannya, TK Melati diserahkan pada pengurus ranting setempat. secara otonom.  Pengurus ranting seringkali melibatkan pihak kelurahan dan anggota-anggota masyarakat lain untuk menyediakan tempat dan peralatan TK, yangmana sebagian besar tenaga pengajarnya melakukan pelatihan dengan sukarela tanpa mendapat imbalan. Model penggalangan dana, atau yang kita kenal dengan istilah benefit--bisa dilaksanakan dengan mengadakan pertunjukan wayang dan menjual tiket pertunjukannya untuk pendirian dan penunjang operasional TK.

          Para perempuan yang tergabung dalam Gerwani juga memperjuangkan undang-undang perkawinan termasuk menentang poligami (yang waktu itu akan diresmikan undang-undang yang memberikan tunjangan lebih besar kepada pelaku poligami), aktif mengkampanyekan hak-hak perempuan, menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf, serta menangani masalah perempuan buruh dan petani dan memperjuangkan hak-hak mereka.

          Selain mengubah pola dari organisasi kader menjadi organisasi massa, berkat kedekatan dan kerjasama dengan serikat-serikat buruh dan Buruh Tani Indonesia (BTI) di basis-basis petani dan buruh, anggota Gerwani melonjak cepat, dari 500 ribu menjadi 1,5 juta dan memiliki cabang hampir di semua daerah dan pelosok Indonesia. Gerwani menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia

          Belum ada satu pun organisasi perempuan modern mampu menghimpun anggota sebanyak itu hingga kini. Gerwani, dengan kekuatan 1,5 juta perempuan kritis dan berani menuntut hak, tentu menakutkan bagi calon penguasa otoriter seperti Soeharto. Maka demi 'keutuhan' bangsa, Gerwani diberangus bersamaan dengan pemberantasan PKI. Banyak nyawa orang-orang--yang dianggap sebagai partisan dan simpatisan PKI dan Gerwani--yang direnggut secara paksa sebagai akibat histeria massa yang kalap dan dilingkupi kebodohan saat mendengar bahwa PKI dan Gerwani adalah dalang pembunuhan keji para petinggi militer Indonesia. Kemarahan yang buta. Entah berapa jumlah yang hilang dan tidak diketemukan. 

          Ribuan anggota Gerwani melarikan diri dan sempat bertahan di hutan-hutan dan goa pegunungan. Setelah berhasil ditangkap, mereka ditahan tanpa pengadilan. Menanggung siksaan psikis dan fisik. Mengalami kekerasan seksual. Stigma buruk melekat pada anggota-anggotanya yang tersisa selama puluhan tahun setelahnya.

Epilog

          Meski tidak secara vulgar disebutkan, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI ditutup dengan kemenangan dari militer khususnya Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia. Tentu saja, kejadian-kejadian yang lebih menakutkan dari adegan-adegan dalam film tidak ditayangkan, yakni tentang pembantaian massal yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi sayap kanan yang dibantu oleh tentara terhadap orang-orang yang dianggap mendukung PKI. 




          Tidak ada angka yang dapat dengan pasti menyebut jumlah nyawa yang tewas ditembak dan digorok lalu dibuang ke sungai-sungai atau bergeletakan di jalan-jalan. Bahkan ada yang menaksir jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa, setelah mengkalkulasikan jumlah korban yang dipenjarakan dengan jumlah anggota dan simpatisan PKI yang pada saat itu diperkirakan mencapai 20 juta jiwa. Bila benar PKI merancang skenario pemberontakan, jumlah di atas tentu saja bukan tandingan bagi TNI. Nyatanya, PKI bisa dikalahkan tanpa perlawanan. 

          Tragedi kemanusiaan tersebut menjadi pembuka pintu gerbang bagi ekonomi liberal dengan jutaan nyawa sebagai upetinya. Dua tahun pasca kejadian, Freeport mendaki pegunungan Papua, Caltex mendarat di Riau. Kekayaan alam Indonesia dibagi-bagikan kepada sejumlah korporasi multinasional melalui pertemuan para ekonom Orde Baru dan sejumlah pejabat tinggi korporasi di Swiss pada November 1967.

         Si penggubah lagu Genjer-Genjer, Muhammad Arief, turut menjadi korban pembantaian. Karyanya tak luput dari pemberangusan, dihapus dari ingatan kolektif. Membuat sebagian besar rakyat Indonesia lupa pada nada asli lagu ini. Namun justru sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang hidup dibawah tebaran teror moralitas rejim Orde Baru, tentu tidak segampang itu untuk dapat mengusir rasa jijiknya dari Gerwani. Kebencian telah terlanjur mendarah daging pada perempuan-perempuan yang digambarkan pada film di atas sebagai para sundal yang dengan kejam mencukil biji mata dan memotong alat kelamin para jenderal dengan silet, meski fakta otopsi yang diungkap oleh seorang ahli forensik, Benedict Anderson, jelas menyatakan bahwa tidak ada jejak silet, pisau cukur dan pisau lipat pada tubuh para jenderal, dan nyatanya, alat kelamin mereka benar-benar masih utuh.

Lihatlah, bagaimana hegemoni bekerja...