"Siapapun akan mempraktekkan seni dengan caranya sendiri"--Tristan Tzara
"Imajinasi membutuhkan kekuatan", demikian sebuah graffiti
tertulis di dinding jalanan Kota Paris ketika diguncang insureksi
popular Mei 1968. Setidaknya dibutuhkan sebuah media untuk merealisasi
ide menjadi sebuah materi. Selembar kertas tentu akan tetap berada dalam
kekosongan tanpa adanya guratan dari seorang penulis yang hanya
merenungi idenya yang berapi-api. Sama halnya dengan kuas para
ilustrator yang memerlukan sebuah alas karya untuk memaparkan gagasan,
yang bisa berupa sehelai kertas, guratan kardus bekas, atau
dinding-dinding kota. Oleh karenanya, bila imajinasi membutuhkan
kekuatan, maka coba bayangkan apa yang terjadi bila kekuatan tidak
membutuhkan imajinasi? Lemah dan membosankan.
Kita hidup dalam ribuan lakon dan jutaan panggung. Dan Lalu, ketika
sebuah pameo klasik seni pertunjukan mengatakan bahwa semua tempat
adalah panggung, mungkinkah seni ilustrasi merujuk setiap ruang adalah
galeri? Sulit memang untuk tidak mengidentikkan sebuah karya seni
ilustrasi dengan pameran yang dingin dan kaku. Atau, bahkan, menjadi
tempat yang sepi kunjungan, menjadi halaman paling belakang dan pilihan
terakhir yang akan dikunjungi oleh khalayak umum untuk memperoleh sebuah
kesenangan. Di posisi ini, artis terancam kehilangan komunikasi dengan
non artis atau mereka yang awam dengan keterwalikan karya pada para
kurator meski tidak setiap karya diniatkan sejak awal sebagai alat
berkomunikasi. Dan benar sekali bahwa dimana-mana sistem perwakilan
memang begitu absurd bila diharap akan membawa sebuah kebaikan. Yang
tidak benar adalah praduga, yang menyebut bahwa karya-karya ilustrasi
harus mengalami ketragisan yang sama. Karena esensinya, karya seni tidak
membutuhkan sebuah kompetisi. Ia berada di luar tata nilai masyarakat
dan bisa membangun nilai-nilainya sendiri. Hanya saja, yang 'nyaris'
mutlak adalah arsir bayangan berwarna gelap, dan cahaya lebih terang.
Tidak dilebih-lebihkan. Tidak dikurang-kurangi. Dan kalaupun memang
ingin berbanding terbalik dengan kemutlakan yang 'nyaris' itu, ya
biarkan saja. Toh, ia akan tetap memiliki nilai tanpa perlu dinilai atas
diri. Ini pula yang membuat karya seni ilustrasi kerap mejembatani
antara realitas dan sosialitas, sekali lagi, tanpa kompetisi pencapaian
puncak artistik dan bahasan komunikasi universal yang menyebalkan.
Mereka yang memvisualkan bahasa tentu sadar betul bahwa mereka
berhadapan dengan rival yang bukan main masifnya selain dunia moral.
Apalagi kalau bukan televisi. Kotak elektronik satu ini memandulkan daya
kreasi pemirsanya menjadi pecandunya yang akut. Menjadikannya
satu-satunya sumber terpercaya sehingga tidak ada kebenaran lain selain
yang tersiar olehnya. Tapi pembodohan ini sangat menyenangkan. Itu
sebabnya ia disebut candu. Kesenangan yang membunuh. Hingga cukup
beralasan saat ini untuk memediasi pertemuan satu ilustrator dengan
ilustrator lain, dan para ilustrator dengan peminat seni ilustrasi awam,
seperti yang dilakukan oleh Utopia Drawing Class--salah satu sayap
kesenian Rumah Info Utopia di Kota Palembang, pada event bertajuk "Ruang
Belulang Artwork Exhibition". Menjadi cukup penting mengingat
komunikasi antar ilustrator khususnya partisipan dengan di luar
"kaum"nya memerlukan sebuah jalinan di luar koridor komunikasi karya dan
penikmat karya, yang memungkinkan tumbuh minat untuk memulai sebuah
karya bahkan bagi mereka yang awam. Bukankah bakat itu tidak ada tanpa
minat dan belajar?
Mengenai "Ruang Belulang Artwork Exhibition", selain parade karya
ilustrasi, akan ada juga workshop cukil kayu, demo menggambar, mural
bersama, sharing skill seni ilustrasi, pentas musik akustik, dan lapak
merchandise dan diskusi perkembangan seni illustrasi di Palembang. Penganalogian dari tulang temulang yang berserak dan terhimpun menjadi sebuah
kerangka, tentunya event ini digagas untuk menjawab pertanyaan mengenai
mungkin tidaknya seni ilustrasi dibahas di luar konteks kuas dan kanvas
semata.
Semangat. Itu kata yang pertama menghinggapi saya ketika
akan memulai tulisan ini. Beberapa tema sempat melintas, namun kali ini pilihan
jatuh kepada Urban Piknik, setelah sebelumnya waktu sempit yang saya miliki
terbuang untuk menjelajahi dunia maya kesana kemari, termasuk melihat cuplikan
video dokumentasi Urban Piknik beberapa waktu lalu. Semangat ini pula yang
menggiatkan saya memikirkan mau dibawa kemana keluarga yang saya miliki ditengah
gempuran kebutuhan yang seakan tiada habisnya. Urban Piknik, mungkin salah
sekian dari harapan yang masih tersisa bagi manusia-manusia terasing seperti
saya.
Pada sebuah
kawasan bermukim, ketika ruang-ruang urban sudah tidak bisa menampung aktivitas
bebas masyarakatnya, maka tak pelak kreativitas terancam menjadi tak berdaya.
Area yang telah dibatasi dengan plakat-plakat larangan tertulis ataupun tidak
itu, tidak hanya berupa pagar-pagar geografis yang berpengaruh pada lingkup
gerak masyarakat multikultur namun berimplikasi besar juga pada psikologis
individual.
Rumusan penopang
privatisasi akan ruang-ruang yang semestinya diperuntukkan bagi khalayak ini
tak hanya menjerumuskan penghuni-penghuni kota
ke dalam lubang keterasingan yang lebih dalam. Hilangnya pemaknaan kebersamaan
unit-unit terkecil dalam masyarakat menjadi salah sekiannya. Tidak adanya lagi
area bagi sebuah keluarga atau persekawanan untuk membuang kebosanan dengan
menggelar tikar, nyanyian dan aneka makanan ringan, membuat piknik menjadi
kenangan sebuah budaya usang. Dengan begitu, lenyapnya kebersamaan sebagai
media pertukaran gagasan sudah barang tentu memperlemah kreativitas tersebut.
Larangan
merupakan salah satu bentuk ancaman. Maka mental individu mana yang dengan
senang hati menerima rasa takut sebagai anak muara dari ancaman. Sebagian yang
hidup dalam naungan moralitas urban meyakini bahwa beberapa batasan itu
diciptakan demi 'kebaikan' bersama, namun tidak sadar bahwa 'kebaikan' itu
justru memisahkan kebersamaan yang semestinya tumbuh subur. Lalu sebagian lagi
menerima pemisahan itu tak lebih karena rasa takut oleh tekanan aneka sanksi
yang berjibaku dengan program pembangunan penguasa kota. Maka kemana sebagian kecil lainnya?
Seperti
kisah-kisah klasik pembangkangan, hanya sejumlah kecil orang yang mencoba
memberdaya kemampuannya masing-masing dalam sebuah grup partisipasi bebas,
untuk secara bersama-sama meniadakan 'batas-batas' tersebut. Seperti
kebanyakan aturan-aturan lain yang mengalami kontradiksinya sendiri,
privatisasi ruang-ruang kota
mengalami hal serupa 'pelanggaran'. Namun untuk yang satu ini, mereklaim sebuah
hak atasnya bukanlah bentuk pelanggaran. Lagipula dalam kamus mana yang
menyebut bahwa memberdaya ruang publik sebagai ajang berlibat dan
berkreativitas tanpa mengganggu altivitas sekitar adalah sebuah pelanggaran,
kecuali kamus yang dirumus oleh tafsir penguasa kota yang tentu berjejal dengan berbagai
kepentingannya.
Urban
Piknik—media sosial yang dibangun oleh sebuah grup partisipasi bebas di Kota
Palembang ini, merupakan salah satu penanda bahwa masih tersimpan harapan bagi
individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk merajut kembali
hubungan dan pertemuan tiap darinya dengan mengokupasi area-area yang
'terlarang' bagi umum. Momen ketika setiap orang dapat berperan sesuai
keinginannya dengan sukacita dan tanpa rasa was-was oleh upaya penertiban,
sekaligus untuk melekatkan manusia-manusia yang telah terasing satu sama lain
oleh budaya konsumsi, pusat-pusat belanja, televisi dan dunia kerja.
Urban Piknik
dirancang sebagai agenda dwi mingguan oleh sekelompok kecil pemuda yang selama
ini aktif dalam pergelutan komunitas Kota Palembang, dan lalu menularkan
gagasannya melalui jejaring dunia maya dan poster-poster ajakan edisi cetak ke
kantung-kantung komunitas. Fokus utamanya adalah memanfaatkan ruang publik
sebagai sarana berjejaring dengan khalayak di luar lingkar komunitas mereka;
bertukar ide, berbagi peran, dan tentu saja, dilakukan dengan penuh sukacita.
Konsepnya sederhana, yakni menyediakan kompor untuk memasak yang diberi tajuk
Kompor Publik dan berpiknik di taman kota
dengan beragam interaksi didalamnya. Umumnya mereka membawa perlengkapan
memasak yang dicomot dan pinjam sana-sini. Di atas sebuah meja panjang yang
lengkap dengan kompor, penggorengan, bahan-bahan dan bumbu-bumbu hasil
patungan, siapapun boleh menyalurkan hobi dan kemampuannya memasak.
Masakan-masakan inilah yang lantas dijadikan menu santapan gratis yang juga
bebas dinikmati oleh siapapun yang ada disana, tidak sebatas anggota komunitas
semata.
Tidak ada
keterikatan melalui sistem keanggotaan dalam grup ini. Semua partisipan yang
terlibat datang dengan inisiatifnya masing-masing untuk membawa perlengkapan
makan, peralatan memasak, bakal menu, dan alat-alat penyokong lainnya. Ketika
setiap orang menolak menjadi pasif dan telah berani mengambil perannya
masing-masing, kelak tidak ada lagi sekat pemisah layaknya dunia tontonan yang
membentuk keterasingan antara penonton dan yang ditonton, karena dalam Urban
Piknik, semua orang adalah koki dan setiap orang adalah pramusaji.
Tidak hanya
Kompor Publik yang terdapat dalam Urban Piknik. Di sana juga digelar berbagai aktivitas yang
saling mendukung. Bagi yang suka bernyanyi dapat merealisasikannya pada
kelompok akustik berpanggung tikar untuk menghibur para piknikers, atau yang
membutuhkan barang-barang tertentu, dapat membelinya di Garage Sale, yakni
lapak barang-barang bekas layak pakai yangmana sebagian keuntungan penjualannya
didonasikan kepada kas yang dikelola oleh komite kecil Urban Piknik. Dana yang
terkumpul lantas digunakan sebagai modal untuk memproduksi beberapa merchandise, yang kemudian kembali
dijual dan kelipatan labanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
piknik itu sendiri. Adakalanya Urban Piknik turut menyertakan pameran ataupun
workshop fotografi, media cetak alternatif, ilustrasi, kolase dan aktivitas
mural yang terbuka bagi siapapun yang ingin berpartisipasi.
Urban piknik
tidak hanya menjadi salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi
keterasingan masyarakat kota.
Ia turut menjadi momentum yang mengilustrasikan sebuah wacana keteraturan tanpa
peraturan yang juga mencoba memberi jawaban atas pertanyaan para perumus
peraturan tentang mungkinnya memaknai kebebasan tanpa kekacauan. Memang,
berpiknik di tengah kota—tempat
dimana pusat otoritas itu berada—sekilas tampak absurd, tapi ini sungguh
terjadi.
Pustaka Foto
Kambang Iwak Family (KIF) Park sentra komuniti Kota Palembang, salah satu spot Urban Piknik
Lapak merchandise, sebagian keuntungannya didonasikan kepada Urban Piknik
Perempuan dan Hegemoni dari Sebuah Kotak Bernama Televisi
Dewa Made Karang
Mahardika
“Hegemoni merupakan sebuah pandangan hidup dan cara
berpikir yang dominan, yang didalamnya terdapat sebuah konsep tentang kenyataan
yang disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun
perorangan; (ideologi) dengan mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral,
prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial,
khususnya dalam makna intelektual dan moral.”—Antonio Gramsci
“Genjer-genjer, nong kedok’an pating keleler, emak’e tole, teko-teko,
mbubuti genjer, oleh sak tenong, mungkor sedot, seng tole-tole,
genjer-genjer, saiki wis digowo muleh”
Semasa saya kecil, setiap akhir bulan
kesembilan,Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai satu-satunya corong
informasi visual pada waktu itu, menyuguhkan sebuah tontonan 'horor' yang
berhasil membuat rasa takut dan penasaran saya menjadi satu. Tentang bagaimana
sekelompok pembantai menculik perwira-perwira angkatan darat, untuk lantas
menyiksa dan membunuhi mereka satu persatu. Dengan keji tentu saja. Kelompok
yang lalu dinamakan sebagai Gerakan 30 September dan diawaki oleh Partai
Komunis Indonesia ini, menjadi setan-setan yang menghantui kepala setiap anak
kecil yang lalu membawanya tumbuh bertahun-tahun setelahnya.
Dan meskipun film
yang diproduksi oleh Perusahaan Umum Produksi Film Negara (PPFN) dan
disutradarai oleh Arifin C. Noer ini menjadi tontonan wajib tiap tahun, entah
mengapa tidak membiarkan rasa bosan sempat hinggap berlama-lama di benak saya.
Pemilihan musik latarnya benar-benar menguatkan karakter senyap yang membuat
kita ingin lebih tahu tentang kengerian walau saya sudah hapal betul jalan
cerita berikutnya. Adrenalin bahkan sudah dimulai ketika segerombol orang
menyerbu sebuah tempat ibadah dan mencabik-cabik kitab suci dengan arit, yang
merupakan simbol komunis. Horor berlanjut dengan padanan slow motion
para tentara iblis dan penyergapan para Jenderal, penculikan dan siksaan,
tangis seorang ibu atas terbunuhnya sang putri dan heroisme para penjaga
stabilitas negeri.
Poster film Pengkhianatan G 30 S/PKI
Tiga jam lebih film ini berupaya menggambarkan rekaman
sejarah dengan membebankannya pada psikis pirsawan. Itulah kekuatan operasional
propaganda sebuah rejim, durasi tiga jam yang meninggalkan jejak puluhan tahun
di kepala jutaan pemirsa seantero Indonesia. Saya menjadi salah satu
diantaranya. Mengidap penyakit hasil indoktrinasi. Menjadi begitu ngeri
mendengar lagu Gender-Gender--hasil cipta Muhammad Arief seorang tokoh Lembaga
Kebudayaan Rakyat, sayap kebudayaan PKI--yang pada sebuah adegan dilukiskan,
bahwa pada malam menjelang 1 Oktober 1965 telah terjadi ritual berupa tarian
mesum anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat--sayap pemuda dari Partai Komunis
Indonesia--berpesta pora tanpa busana, selain mengenakan untaian kembang genjer sebagai
pakaian ritual yang sadis, dimana mereka menyayat-nyayat dan menyileti kemaluan
para jenderal, disertai iringan nyanyian lagu yang sebelum tragedi telah dipopulerkan
oleh Lilis Suryani ini, dan sempat dibawakan oleh Bing Slamet dan Nyoto,
seorang tokoh PKI dan pengurus Radio Republik Indonesia.
Arifin C Noor (kedua dari kiri) saat syuting film G30S/PKI di Jakarta, 1984
Orde Baru berhasil membuat pengawetan kekuasaan
melalui sebuah paket visual yang dikemas dramatis. Dalam sejarah perfilman Indonesia,
inilah kali pertama pemerintah memberikan dukungan sepenuh-penuhnya pada
seluruh aspek. Selama lebih dari tiga dekade film ini menjadi tayangan wajib
TVRI dan juga berlaku bagi stasiun-stasiun televisi swasta yang muncul dikancah
persaingan dunia tayangan. Sebuah pelajaran pahit bagi sebuah gerakan yang
dianggap menjadi musuh negara, siapapun dia yang mencoba mengusik kerajaan
Soeharto. Ketika perpolitikan di Indonesia mulai menunjukan
riak-riak gejolak, film ini dihentikan jatah tayangnya pada tahun 1997, dan
berlanjut menjadi pergunjingan tentang hitam putih sejarah peristiwa 30
September 1965. Namun saat ini saya lebih memilih untuk tidak ambil bagian
dalam polemik ini. Gerwani tampaknya lebih menarik untuk dibicarakan.
TK Melati dan Pembebasan Perempuan
Untuk kali pertama kongres perempuan Indonesia digelar dan memakan waktu selama empat
hari, 22 hingga 25 Desember 1928 di Kota Gudeg Yogyakarta.
Setidaknya 1.000 peserta dari 30 organisasi perempuan hadir di momen ini, dan
dianggap sebagai salah satu peristiwa terbesar di era kolonial selama 1900-an.
Setahun kemudian kongres serupa diadakan di Jakarta, lalu berlanjut ke Surabaya
tahun 1930, Jakarta di tahun 1935, dan Bandung tahun 1938. Pada kongres di Bandung ini lahirlah
sebuah keputusan bahwa tanggal 22 Desember--yangmana merupakan tanggal
dimulainya kongres perempuan pertama--merupakan Hari Ibu yang dirayakan hinggi
kini. Di era ini, gerakan perempuan berkonsentrasi pada isu-isu seputar
poligami, diskriminasi kaum perempuan di tempat kerja, perdagangan perempuan,
pernikahan dini, perjodohan dan akses terbatas perempuan terhadap bidang
pendidikan.
Perjuangan kaum perempuan di era kolonial
sebenarnya telah dimulai beberapa tahun sebelum kongres pertama diadakan.
Seorang perempuan dari kalangan bangsawan Jawa bernama Raden Ajeng Kartini,
mengkritisi kesetaraan hak-hak mendasar kaum perempuan dalam mengenyam
pendidikan dengan membawa slogan kekuatan, kegigihan dan ketulusan. Seperti
yang tertulis dalam suratnya kepada Ny R.M. Abendanon di bulan Agustus 1900,
"Tidak, tidak! Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Lepaskan
belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan menunjukkan bahwa saya manusia.
Manusia, seperti laki-laki." Kartini melambangkan perjuangan perempuan
melawan arogansi dan budaya patriarki kolonial Belanda, bukan hanya karena
ibunya berasal dari latar belakang kelas pekerja tertindas, tapi juga melihat
kondisi sosial perempuan kebanyakan pada saat itu, yang tidak memiliki peran
apa-apa selain harus menerima kodrat sebagaimana mestinya.
Perjuangan Kartini
dalam memperjuangkan emansipasi justru kelak terjebak dalam kontruksi gender
yang dibangun oleh penguasa di masa Orde Baru. Citra dirinya telah
"direnovasi" untuk memperkuat budaya patriarki. Gerakan perempuan di
era Orba kala itu didominasi oleh gagasan domestikasi perempuan, atau
"Ibuisme", sebagai istri yang berserah dan mengabdikan diri pada
suami mereka, keluarga dan negara. Pada tingkat praktis, Ibuisme dilaksanakan
oleh organisasi-organisasi para istri pegawai negeri Dharma Wanita, Dharma
Pertiwi dan PKK (Pemberdayaan Keluarga dan Gerakan Kesejahteraan). Bahkan di
tingkat praksis selebrasi Hari Kartini yang dicanangkan oleh Soeharto telah
menggeser makna emansipasi itu sendiri. Lomba menari, kontes memasak atau
peragaan busana, menjadi perangkap yang menginjeksi peran-peran dosmetik kaum
perempuan. Perjuangan Kartini sebatas dimaknai sebagai kegemulaian seorang
perempuan ‘baik-baik’.
Di dalam wacana kesejarahan di Indonesia,
sumbangan gerakan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan kurang diperhitungkan
sebagai sebuah kekuatan yang berarti, walaupun Laskar Wanita Indonesia
atau Laswi, begitupun juga Gerwis yang merupakan cikal bakal dari Gerwani yang
didirikan pada tanggal 4 Juni 1950 tercatat sebagian besar anggotanya adalah perempuan-perempuan
yang terlibat langsung dalam perang kemerdekaan melawan Jepang dan Belanda pada
1940-an. Hal ini yang kemudian banyak menjadi ilham bagi para perempuan yang
terlibat revolusi fisik tersebut untuk bergabung di dalam Gerwis sebelum kemudian
berganti nama menjadi Gerwani. Gerwis sendiri adalah merupakan hasil koalisi
dari enam organisasi perempuan, yaitu Rupindo (Rukun Putri Indonesia;
Semarang); Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo
(Gerakan Wanita Indonesia; Kediri), Wanita Madura (Madura), dan PPRI
(Perjuangan Putri Republik Indonesia; Pasuruan), pada kongres mereka yang
pertama di Jakarta, Desember 1951.
Gerwani merupakan organisasi perempuan yang
independen, tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, bahkan Partai
Komunis Indonesia,
seperti yang dipahami oleh banyak orang selama ini. Organisasi yang didirikan
pada tahun 1954 ini berjejaring dengan pelbagai gerakan perempuan di dunia
serta tergabung dalam Gerakan Wanita Demokratis Sedunia. Tujuan
utama gerakan Gerwani adalah meningkatkan kemampuan dan harkat perempuan.
Kegiatan mereka yang lain adalah membangun sekolah-sekolah yang salah satunya
dengan mendirikan dan mengelola Taman Kanak-Kanak Melati yang diklaim mencapai
1.478 titik di seluruh wilayah Indonesia, yang diutamakan untuk anak-anak para
buruh tani.
Kelas pendidikan Gerwani
Di dalam pendiriannya, TK Melati diserahkan pada pengurus ranting
setempat. secara otonom. Pengurus ranting seringkali melibatkan pihak kelurahan dan
anggota-anggota masyarakat lain untuk menyediakan tempat dan peralatan TK, yangmana sebagian besar tenaga pengajarnya melakukan pelatihan dengan sukarela tanpa mendapat imbalan.
Model penggalangan dana, atau yang kita kenal dengan istilah benefit--bisa
dilaksanakan dengan mengadakan pertunjukan wayang dan menjual tiket
pertunjukannya untuk pendirian dan penunjang operasional TK.
Para perempuan
yang tergabung dalam Gerwani juga memperjuangkan undang-undang perkawinan
termasuk menentang poligami (yang waktu itu akan diresmikan undang-undang yang
memberikan tunjangan lebih besar kepada pelaku poligami), aktif mengkampanyekan
hak-hak perempuan, menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf, serta
menangani masalah perempuan buruh dan petani dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Selain mengubah pola dari organisasi kader
menjadi organisasi massa, berkat kedekatan dan kerjasama dengan serikat-serikat
buruh dan Buruh Tani Indonesia (BTI) di basis-basis petani dan buruh, anggota
Gerwani melonjak cepat, dari 500 ribu menjadi 1,5 juta dan memiliki cabang
hampir di semua daerah dan pelosok Indonesia. Gerwani menjadi organisasi
perempuan terbesar di Indonesia.
Belum ada satu pun organisasi perempuan modern mampu menghimpun anggota
sebanyak itu hingga kini. Gerwani, dengan kekuatan 1,5 juta perempuan kritis
dan berani menuntut hak, tentu menakutkan bagi calon penguasa otoriter seperti
Soeharto. Maka demi 'keutuhan' bangsa, Gerwani diberangus bersamaan dengan
pemberantasan PKI. Banyak nyawa orang-orang--yang dianggap sebagai partisan dan
simpatisan PKI dan Gerwani--yang direnggut secara paksa sebagai akibat histeria
massa yang kalap dan dilingkupi kebodohan saat
mendengar bahwa PKI dan Gerwani adalah dalang pembunuhan keji para petinggi
militer Indonesia.
Kemarahan yang buta. Entah berapa jumlah yang hilang dan tidak diketemukan.
Ribuan anggota Gerwani melarikan diri dan sempat bertahan di hutan-hutan dan
goa pegunungan. Setelah berhasil ditangkap, mereka ditahan tanpa pengadilan.
Menanggung siksaan psikis dan fisik. Mengalami kekerasan seksual. Stigma buruk
melekat pada anggota-anggotanya yang tersisa selama puluhan tahun setelahnya.
Epilog
Meski tidak secara vulgar disebutkan, film Penumpasan
Pengkhianatan G30S/PKI ditutup dengan kemenangan dari militer khususnya
Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia. Tentu saja, kejadian-kejadian yang
lebih menakutkan dari adegan-adegan dalam film tidak ditayangkan, yakni tentang
pembantaian massal yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi sayap kanan yang dibantu
oleh tentara terhadap orang-orang yang dianggap mendukung PKI.
Tidak ada angka
yang dapat dengan pasti menyebut jumlah nyawa yang tewas ditembak dan digorok
lalu dibuang ke sungai-sungai atau bergeletakan di jalan-jalan. Bahkan ada yang
menaksir jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa, setelah mengkalkulasikan
jumlah korban yang dipenjarakan dengan jumlah anggota dan simpatisan PKI yang
pada saat itu diperkirakan mencapai 20 juta jiwa. Bila benar PKI merancang
skenario pemberontakan, jumlah di atas tentu saja bukan tandingan bagi TNI.
Nyatanya, PKI bisa dikalahkan tanpa perlawanan.
Tragedi kemanusiaan tersebut
menjadi pembuka pintu gerbang bagi ekonomi liberal dengan jutaan nyawa sebagai
upetinya. Dua tahun pasca kejadian, Freeport
mendaki pegunungan Papua, Caltex mendarat di Riau. Kekayaan alam Indonesia
dibagi-bagikan kepada sejumlah korporasi multinasional melalui pertemuan para
ekonom Orde Baru dan sejumlah pejabat tinggi korporasi di Swiss pada November
1967.
Si penggubah lagu Genjer-Genjer, Muhammad Arief, turut menjadi korban pembantaian. Karyanya tak luput dari pemberangusan, dihapus dari ingatan kolektif. Membuat sebagian besar rakyat Indonesia lupa pada nada asli lagu ini. Namun justru sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang hidup
dibawah tebaran teror moralitas rejim Orde Baru, tentu tidak segampang itu
untuk dapat mengusir rasa jijiknya dari Gerwani. Kebencian telah terlanjur
mendarah daging pada perempuan-perempuan yang digambarkan pada film di atas
sebagai para sundal yang dengan kejam mencukil biji mata dan memotong alat
kelamin para jenderal dengan silet, meski fakta otopsi yang diungkap oleh seorang
ahli forensik, Benedict Anderson, jelas menyatakan bahwa tidak ada jejak silet,
pisau cukur dan pisau lipat pada tubuh para jenderal, dan nyatanya, alat
kelamin mereka benar-benar masih utuh.