Senin, 04 Februari 2013

Anarchisme

Oleh: Ir. Soekarno

(Dari Harian Pikiran Ra'jat tahun 1923
yang diterbitkan ulang oleh Jawa Pos, 6 September 2006 dengan revisi ejaan mengikuti kaedah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD))



Salah satu faham dari socialisme ialah anarchisme. Perkataan anarchisme itu adalah terdiri dari perkataan A, archi dan isme. A artinya tidak. Archie artinya memerintah. Isme artinya faham. Jadi makna anarchisme ialah salahsatu faham yang tidak suka sama pemerintahan. Anarchisme ialah salahsatu faham atau aliran dari socialisme, oleh karenanya anarchisme itu adalah lawannya kapitalisme.

Seorang anarchist, ialah pemeluk faham anarchisme itu, tidak suka dengan milik (eigendom), oleh karena hak milik itu lahirnya dari kapitalisme. Selain daripada itu anarchisme itu tidak mufakat dengan tiap-tiap pemerintahan, oleh karena katanya bagaimana demokratis atau kerakyatan pula pemerintahan itu di dalam hakikatnya, tiap-tiap pemerintahan itu mengandung paksaan. Menurut paham Anarchisme, seseorang yang hidup di dalam masyarakat itu berhak atas kemerdekaan seluas-luasnya. Hanyalah pergaulan hidup yang terdiri dari orang-orang yang merdeka itu bisa tentram dan teratur betul. Menurut fahamnya, pergaulan hidup manusia itu bisa beres jika pemerintahan yang bersendi kepada kekuasaan, dan kekuasaan ini yang melahirkan wet-wet itu, dihapuskan.

Oleh karena itu faham anarchisme ini anti-gezag, ialah tidak mufakat dengan kekuasaan: antiwettisch, tidak mufakat dengan wet; dan antiregeering, tidak mufakat dengan pemerintahan. Selain daripada itu faham anarchisme itu antimiliteris, ialah tidak mufakat dengan balatentara. Tidak mufakatnya itu oleh karena militerisme ini adalah suatu stelsel yang mengandung paksaan yang hebat sekali. Oleh karena militerisme ini maka pemuda-pemuda yang bisa bekerja di dalam pabrik-pabrik harus ditutup di dalam benteng-benteng. Anarchisme itu menentangi patriotisme yang hanya mengabdi kepada cinta tanah air. Patriotisme yang kunstmatig yang dihidup-hidupkan di dalam sanubarinya orang-orang yang tidak bertanah-air, oleh karena di dalam tanah-airnya sendiri mereka menderita kelaparan, kesengsaraan dan perbudakan. Patriotisme yang jadi agama baru, yang memisah-misahkan rakyat yang seharusnya hanya mempunyai tanah-air satu ialah menschheid. Juga mereka itu tidak mufakat dengan hakim dan polisi. Juga dengan wettelijk huwelijk, ialah perkawinan menurut wet, mereka tidak mufakat, oleh karena wettelijk huwelijk ini menjadi sebab orang perempuan tidak merdeka. Mereka tidak mufakat dengan minum-minuman keras. Minuman keras ini merusakkan manusia lahir dan batin.

Kaum Anarchist mufakat sekali dengan persamaan milik, oleh karena persamaan milik itu adalah sesuatu hak dari manusia yang dapat menyelamatkan pergaulan hidup manusia.hak persamaan milik itu menentukan hak-haknya seseorang atas alat-alat pembikinan barang dan atas syarat-syarat bagi kebutuhannya manusia. Dengan adanya, hak persamaan milik itu, maka aturan merampas pekerjaan lain orang akan lenyap, oleh karena semua sifat perburuhan itu tidak ada lagi. Seseorang bisa bekerja bagi dirinya sendiri.

Anarchisten itu mufakat sekali dengan persoonlikje vrijheid, ialah kemerdekaan sendiri-sendiri, oleh karena kemerdekaan itu adalah haknya alam yang tidak bisa dihancurkan. Semua kemajuan itu terutama membesarkan persoonlikje vrijheid itu, oleh karena persoonlikje vrijheid ini adalah satu alat yang terbaik bagi manusia untuk hidup bersama-sama yang rukun, tentram dan dimana seseorang itu bisa hidup menurut wataknya sendiri-sendiri ialah pergaulan hidup yang harmonis. Batasnya kemerdekaannya seseorang itu ialah kemerdekaannya orang dengan siapa ia itu hidup. Hanyalah di dalam keadaan merdeka seseorang itu bisa mendapat bahagia di hidupnya. Ketidakmerdekanya orang lain itu akan mengurangi sekali bahagianya sendiri dan oleh karena itu maka adalah kewajibannya seseorang bagi mencapai bahagianya sendiri haruslah menghormati kemerdekaannya lain orang.

Kaum Anarchist mufakat sekali dengan perhubungan merdeka antara lelaki dan perempuan, oleh karena hanyalah perhubungan merdeka antara kedua pihak itu itu mengasih ketentuan kepada orang perempuan hidup merdeka. Perhubungan yang bersendi atas cinta di antara perempuan dan lelaki bisalah mendatangkan kemerdekaan untuk bergaul dan untuk memilih ialah kedua syarat yang dapat melahirkan cinta yang sejati. Cinta yang sejati ini tidak bisa lahir zonder kemerdekaan memilih.

Kaum Anarchist itu setuju sekali dengan pendidikan yang merdeka, dengan vrije ontwikkeling, ialah tumbuh merdeka dengan kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan berkumpul, oleh karena ini semua adalah syarat-syarat bagi hidupnya masyarakat yang bersendi atas rede ialah budi. Hanyalah sesudahnya kemerdekaan itu merajalela maka ilmu wetenschap dan seni bisa berkembang dan oleh karena mana mengasih bahagia dan kekuatan kepada masyarakat.

Kaum Anarchist adalah menganjuri persaudaraan yang kekal yang lahirnya dari batin, bukan oleh karena paksaan dan didikan yang kunstmatig. Menurut faham anarchisme orang itu adalah mahluk yang suka bercampurgaul dan tidak bisa dipisahkan dari keadaan dimana ia ditempatkan. Persaudaraan itu adalah lahirnya perasaan dan budi pekerti yang suci dan luhur, oleh karena manusia itu menurut natuurnya harus hidup bersama-sama. Tetapi tiap-tiap orang itu merdeka memilih dengan siapa ia mau bergaul. Semua hal yang memisah-misahkan manusia seperti warnanya muka, bahasa, bangsa, agama, politik itu harus dilenyapkan dan harus dicari apa yang bisa mempersatukan semua manusia.

Menurut faham Anarchisme bukanlah masyarakat yang terpenting tetapi individu, ialah seseorang yang di dalam masyarakat itu yang terpenting. Tinggi dan rendahnya tingkatannya masyarakat itu ditetapkan oleh kualitasnya seseorang dari siapa pergaulan hidup itu sendiri. Seseorang hidup dan tumbuh menurut wataknya sendiri-sendiri dan juga menurut aanlegnya atau kodratnya sendiri-sendiri. Tiap-tiap kemajuan itu ialah terjadi dari tumbuhnya dan lahirnya benih-benih yang tersimpan dan hidup di dalam seseorang. Oleh karena itu anarchisme itu di dalam hakikatnya ialah teori individualisme, teori yang menghargakan manusia lebih dari masyarakat.


Sabtu, 12 Januari 2013

Hujan Membisik Bahwa Ia Akan Kembali Datang Malam Ini



27 April 2011, catatan prepare mayday 2011
 

Apalagi yang tersisa di ranah ini selain asbak, gelas kotor, langkah-langkah Emily Dickinson1, monitor, dan para pembunuh yang gagah berkeliling dibalik kabut laba, atau otak kotor laki-laki itu hari ini—mencari-cari alasan untuk kembali membolos kerja. Atas nama siang panas yang tak bertuan, dia telusuri lagi aspal jalan yang menguap dan menjanjikan keindahan, bahwa dipenghujungnya terbentang danau emas yang menyejukkan.  Dimana tepian danau itu ditumbuhi pohon-pohon berbuah kristal yang mengantarkan setiap pejalan menemukan muaranya, yaitu sebuah bukit absurd2 yang penuh kejayaan tua. Semakin mendaki, semakin kau temukan banyak keimitasian di sana. Sehingga banyak yang lelah dan mati sebelum dapat mencapai puncak tersebut. Sang lelaki tidak peduli pada kebohongan cerita itu. Tapi yang pasti, kemejanya basah oleh keringat saat ini. Siang yang luar biasa panas namun memberi rasa aman bagi penggemar matahari seperti dirinya yang takut pada malam, karena gelap menyisakan dongeng tentang penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh para setan. Tapi setidaknya nalurinya ada benarnya juga kali ini, yang berkata bahwa ada sebongkah harapan di dalam gedung yang akan didatanginya lagi hari ini, ya paling tidak ada kesejukan dari mesin pendingin didalamnya, namun tetap harus ditambah dua hal lagi yang tak bisa dilupakan: rasa muak,  serta setan-setan penyiksa yang sesungguhnya jauh berbeda dengan dongeng-dongeng masa lalu. 
 
Setan-setan modern ini bergentayangan siang dan malam, yang tak pilih-pilih waktu, tak kenal tidur, berpantang lelah dan tak mengenal rasa. Setan yang paham benar cara memanajemen kerajaan nerakanya hingga menjadi seindah dan senyaman surga. Setan yang membuatmu bersedia melakukan apa saja demi iming-iming kemapanan. Setan yang merakit tata dunia baru. Setan yang sama saat kau bercermin pada etalase dan gerai-gerai konsumsi. Setan yang menghantui setan yang menulis “Hantu itu bernama Komunisme.3Setan yang licik. Setan yang peduli setan. Setan yang masa bodo’ amat.

Laki-laki itu membayangkan ruang kantornya yang penuh kepalsuan. Senyum manusia-manusia didalamnya, keramahannya, kemarahannya, perabotannya, alat-alat elektroniknya. Semuanya palsu. Lebih palsu dari telepon genggam yang diberikan oleh kantor dengan teknologi GPS4 untuk mengontrol hidup para tenaga penjual seperti dirinya yang merupakan garda terdepan perusahaan.  Dunia kerja menampilkan ilusi ketidakberdayaan manusia dalam melawan hukum alam. Seperti sebuah lirik lagu tetangga sebelah rumah, “wo-hoho  lagi-lagi uang.5Yang sebenarnya bisa saja diartikan: “bekerjalah, kalau tak kerja maka kau tak makan.” Maka diaturlah jam bersekolah separuh lebih mendekati jam kerja, mungkin supaya diriku dan dirimu mulai membiasakan diri dengan keteraturan dan kebosanan. Semua telah dipersiapkan sedemikian rupa. Memasuki bangku kuliah, dekorasi persiapan untuk masuk ke dalam dunia kerja semakin masif dijejalkan kedalam mahasiswa yang sebagian besar memang punya motif yang sama, yakni sukses menjadi pekerja. Sukses menjadi pekerja atau menjadi pekerja sukses? Definisi kata sukses secara normal memang seperti itu. Logika formal mengatakan bahwa untuk menjadi seorang yang sukses maka kau harus memiliki pendidikan yang tidak cukup di bangku sekolah saja, kau harus menjadi mahasiswa, siswa yang maha, yang mereduksi makna kata ‘maha’ dari sesuatu yang tunggal menjadi sesuatu yang jamak. Kau harus menjadi seorang sarjana agar kau dapat memahami sebuah lagu dari Iwan Fals yang digemari dan diamini oleh kultur pop: “…engkau sarjana muda, resah mencari kerja, mengandalkan ijazahmu6…”    
     
Si laki-laki memacu motornya dengan gamang. Matanya terasa berat oleh sisa-sisa bergadang yang oleh banyak orang dianggap tak perlu. Bergadang-berdagang. Dua kata yang nyaris sama dengan makna yang jauh sama sekali. Dua kata yang akrab dengannya. Bergadang dimalam hari menulis sesuatu, dan berdagang (bekerja diperusahaan dagang) untuk menulis nota penjualan. Dua kesamaannya:  sama-sama menulis. Bergadang mencipta karya, berdagang membuat kaya.

Berkali-kali terlintas dikepalanya perihal anak dan istri di rumah kecil mereka, di sebuah pemukiman keras dan kumuh yang merupakan sarang para kriminal. Bayang-bayang wajah mereka begitu menggoda. Dia rindu ingin pulang, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan saat ini. Uang setoran harus sudah diantar menjelang sore. Ah, andai saja hujan turun kali ini. Si laki-laki bingung akan bersitan itu. Doa? Apakah layak seorang pendosa baginya berdoa? Apakah layak seorang pembohong seperti dirinya yang berkali-kali membolos dengan berbagai alasan palsu untuk berdoa? Tapi kerinduannya pada rumah tak tertandingi. Karena memang tak ada yang lebih nyaman selain melakukan apa yang kita sukai. Tanpa alasan dan kepura-puraan apapun. Bagi laki-laki itu, kenikmatan berada di tengah keluarga belum ada yang bisa menyaingi, karena hal itu tidak perlu pula dikompetisikan seperti halnya pasar bebas. Dan memang keadilan berpihak lagi padanya hari ini. Langit dengan cepat menggumpal di ujung horison. Dalam hitungan menit awan bergulung-gulung seperti bola-bola hitam. Satu dua titik air menetes di kaca helmnya. Dia memperlambat laju motor sebelum hujan meledak, dan menepi di halaman sebuah ruko yang jumlah pembangunannya semakin menggila, berjibaku dengan tingkat penjualan kendaraan roda dua di kota ini yang laris manis seperti kacang rebus. Dia membungkus barang-barang penting di dalam tasnya dengan sebuah cover bag  yang selalu ia bawa di musim cuaca tak tentu seperti saat ini. Sebelum sebagian orang sadar akan ancaman, si laki-laki telah larut diantara euforia guyuran hujan dan orang-orang yang panik menyelamatkan diri dari basah. Ia tertawa sambil menjerit-jerit menancap gas menerobos dingin demi rumah dan keluarganya yang hangat. Menuju sebuah bukit emas6 yang sesungguhnya, keriangan bersama keluarga, meskipun seringkali membuatnya terjatuh untuk bangkit kembali. Karena pengulangan ini bukan sebuah ilusi dan walaupun tentu saja penuh kontradiksi. Ini adalah kebahagiaan. Ini adalah kejayaan.

Beberapa saat kemudian, beberapa kilometer dari lokasi si lelaki yang kuyup, dalam ruang sebuah kantor, seorang pria7—gayanya seperti bos—membaca pesan singkat di telepon genggamnya
“Selamat sore Pak. Mohon maaf, saya tidak bisa setoran hari ini karena kehujanan. Terima kasih atas perhatiannya.”
Pria rapi itu menatap ke langit dari balik ruangannya yang bersebelahan dengan sebuah jendela. Langit cerah8, gumamnya setengah kesal dalam hati.
(Hujan lokal kali, Pak Bos!)



Notes:
1 = Emily Dickinson seorang penyair di abad ke 19 di era perang saudara dan upaya penghapusan perbudakan di Amerika. Dari ratusan karyanya, hanya beberapa saja yang diterbitkan secara anonimus dimana hanya para kolega saja yang mengenali dan mengumpulkan karya-karyanya yang tersebar di atas potongan kertas, bagian belakang resep atau amplop bekas. Baru setelah memasuki dunia modern, para pengamat dan penggiat puisi mulai memperhatikan puisi-puisinya yang beberapa diantaranya menggunakan kombinasi angka-angka, dan ini dianggap menjadi salah satu karakter khasnya yang unik. Ia memanfaatkan keterasingan, mitos-mitos, dan alkitab sebagai referensi dalam menulis puisinya yang lebih banyak bercerita tentang penentangannya pada perbudakan manusia.

2 = Mitologi klasik Yunani yang ditulis ulang oleh Albert Camus dalam Le Mythe de sisyphe atau yang lebih dikenal dengan Mite Sisifus (1984), tentang seseorang bernama Sisifus yang dihukum oleh para Dewa karena sebuah pelanggaran, untuk membawa sebuah batu besar keatas sebuah bukit. Sebuah filosofi yang bisa menjadi pijakan bagaimana melihat kehidupan manusia dunia modern dengan batu (derita) yang semakin berat sementara jalan (kehidupan) semakin sempit, serta untuk memahami dilema kaum pekerja yang memikul sesuatu yang sebenarnya bukanlah takdirnya.            

3 = Pasca keruntuhan Soviet, komunisme dianggap sebagai sebuah aliran yang subversif dibeberapa negara. Indonesia sendiri memiliki catataan kelam tentang pembantaian massal yang dilakukan atas nama stabilitas dari ancaman Partai Komunis Indonesia dan bagi siapapun yang dianggap terlibat langsung ataupun tidak didalamnya. Banyak diantaranya justru mereka yang tidak tahu menahu tentang politik negeri. Tidak ada data pasti tentang jumlah korban tewas dan hilang. Menurut Robert Cribb dalam bukunya The Indonesian Killings, 750 ribu jiwa menjadi korban pembantaian massal, menurut Frank Palmos dalam bukunya One Million Dead, terdapat 1 juta jiwa korban tewas, sementara menurut pengakuan mantan komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo bahwa setidaknya 3 juta jiwa “dilenyapkan” masa itu. Selebihnya menjadi tahanan politik dan menjadi korban pelanggaran HAM oleh negara baik secara fisik ataupun psikis hingga generasi setelahnya. Anak-anak para eks-PKI atau yang dianggap eks-PKI mendapat stigma yang buruk di mata masyarakat berkat adanya label yang diberikan oleh pihak penguasa pada saat itu yang mendapat dukungan dari pihak asing dalam hal ini CIA (Peter Dale Scott-Pacific Affairs), juga membatasi hampir segala ruang lingkup hidup para keturunan eks-PKI dan yang dianggap eks-PKI, termasuk tanda khusus di kartu tanda penduduk mereka, yang sudah barang tentu tak diberi ijin untuk bisa mengambil posisi di birokrasi. Di era reformasi dimana kran-kran demokrasi mulai tercurah, stigma ini mulai dihapus. Namun hingga kini komunisme tetap menjadi ajaran terlarang di Indonesia. Banyak penulis yang menerbitkan buku anti “kiri” dan bermunculan pula gelombang fasis baru yang memberangus buku-buku yang dianggap mengandung unsur komunis.

4 = GPS (Global Positioning System) adalah sebuah peralatan navigasi yang pada awalnya didesain sebagai akibat permasalahan pasukan Amerika serikat dalam menghadapi perang Vietnam, demi memudahkan setiap prajurit darat saling mengetahui posisi satu sama lain di medan tempur yang didominasi hutan tropis. itengh medan . Dewasa ini, demi efektifitas dan efisiensi dalam meraih laba, perusahaan-perusahaan mulai menerapkan sistem ini untuk mengkontrol kinerja karyawannya, terutama bagi mereka yang bekerja diluar ruangan dengan cara mengintegrasikan GPS pada setiap telepon genggam atau arloji karyawan tersebut. Dengan metode ini perusahaan dapat mengontrol kinerja harian karyawan sehingga tidak dapat melakukan kerja-kerja sampingan ataupun hal-hal yang melenceng dari ketetapan perusahaan.

5 = Lagu berjudul Lagi-lagi Uang yang dipopulerkan oleh Pretty Sisters. Menurut analisa penulis, lagu ini bercerita tentang obsesi manusia dalam mengejar alat pertukaran yang bernama uang yang memungkinkan siapapun melakukan apapun deminya.
6 = Album Sarjana Muda karya Iwan Fals dan ini bercerita tentang balada jatuh bangunnya seorang sarjana dalam mencari kerja ditengah kompetisi lautan sarjana dan non sarjana yang tiap semester bertambah banyak. Di tahun 2008 tercatat sebanyak 280.657 jiwa pengangguran di Sumatera Selatan (BPS-Sumsel), dan pada tahun 2010 terdapat 8,32 juta jiwa di Indonesia yang didominasi oleh lulusan perguruan tinggi dan diploma (BPS). Meskipun diragukan keberpihakan politiknya, Iwan Fals tetap digilai oleh kaum muda terutama dari kalangan urban yang terpinggirkan.

7 = Walaupun secara biologis lelaki/laki-laki dan pria adalah sama, namun di cerpen ini penulis memiliki sudut pandang tersendiri bagi kata lelaki/laki-laki yang dianggap lebih bersahaja atau lumrah, dan pria yang dianggap lebih identik dengan sesuatu yang formal. Hal ini yang  juga menjadi alasan bagi penulis untuk membedakan karakter atau latar belakang tokoh pertama dan tokoh kedua.

8 =  Hujan lokal merupakan fenomena keunikan alam yang kerap terjadi di Kota Palembang. Pola curahnya yang tidak merata dapat dirasakan meski jeda antara tempat turunnya hujan dengan tempat lain yang tidak hujan hanya berselang ratusan meter. Seringkali hujan lokal menimbulkan prasangka dalam interaksi sosial antar individu pada masyarakat.




Jumat, 21 Desember 2012

Lari, Kamerad, Dunia Lama di Belakangmu!


"Siapapun akan mempraktekkan seni dengan caranya sendiri"--Tristan Tzara


"Imajinasi membutuhkan kekuatan", demikian sebuah graffiti tertulis di dinding jalanan Kota Paris ketika diguncang insureksi popular Mei 1968. Setidaknya dibutuhkan sebuah media untuk merealisasi ide menjadi sebuah materi. Selembar kertas tentu akan tetap berada dalam kekosongan tanpa adanya guratan dari seorang penulis yang hanya merenungi idenya yang berapi-api. Sama halnya dengan kuas para ilustrator yang memerlukan sebuah alas karya untuk memaparkan gagasan, yang bisa berupa sehelai kertas, guratan kardus bekas, atau dinding-dinding kota. Oleh karenanya, bila imajinasi membutuhkan kekuatan, maka coba bayangkan apa yang terjadi bila kekuatan tidak membutuhkan imajinasi? Lemah dan membosankan.




Kita hidup dalam ribuan lakon dan jutaan panggung. Dan Lalu, ketika sebuah pameo klasik seni pertunjukan mengatakan bahwa semua tempat adalah panggung, mungkinkah seni ilustrasi merujuk setiap ruang adalah galeri? Sulit memang untuk tidak mengidentikkan sebuah karya seni ilustrasi dengan pameran yang dingin dan kaku. Atau, bahkan, menjadi tempat yang sepi kunjungan, menjadi halaman paling belakang dan pilihan terakhir yang akan dikunjungi oleh khalayak umum untuk memperoleh sebuah kesenangan. Di posisi ini, artis terancam kehilangan komunikasi dengan non artis atau mereka yang awam dengan keterwalikan karya pada para kurator meski tidak setiap karya diniatkan sejak awal sebagai alat berkomunikasi. Dan benar sekali bahwa dimana-mana sistem perwakilan memang begitu absurd bila diharap akan membawa sebuah kebaikan. Yang tidak benar adalah praduga, yang menyebut bahwa karya-karya ilustrasi harus mengalami ketragisan yang sama. Karena esensinya, karya seni tidak membutuhkan sebuah kompetisi. Ia berada di luar tata nilai masyarakat dan bisa membangun nilai-nilainya sendiri.  Hanya saja, yang 'nyaris' mutlak adalah arsir bayangan berwarna gelap, dan cahaya lebih terang. Tidak dilebih-lebihkan. Tidak dikurang-kurangi. Dan kalaupun memang ingin berbanding terbalik dengan kemutlakan yang 'nyaris' itu, ya biarkan saja. Toh, ia akan tetap memiliki nilai tanpa perlu dinilai atas diri. Ini pula yang membuat karya seni ilustrasi kerap mejembatani antara realitas dan sosialitas, sekali lagi, tanpa kompetisi pencapaian puncak artistik dan bahasan komunikasi universal yang menyebalkan.

Mereka yang memvisualkan bahasa tentu sadar betul bahwa mereka berhadapan dengan rival yang bukan main masifnya selain dunia moral. Apalagi kalau bukan televisi. Kotak elektronik satu ini memandulkan daya kreasi pemirsanya menjadi pecandunya yang akut. Menjadikannya satu-satunya sumber terpercaya sehingga tidak ada kebenaran lain selain yang tersiar olehnya. Tapi pembodohan ini sangat menyenangkan. Itu sebabnya ia disebut candu. Kesenangan yang membunuh. Hingga cukup beralasan saat ini untuk memediasi pertemuan satu ilustrator dengan ilustrator lain, dan para ilustrator dengan peminat seni ilustrasi awam, seperti yang dilakukan oleh Utopia Drawing Class--salah satu sayap kesenian Rumah Info Utopia di Kota Palembang, pada event bertajuk "Ruang Belulang Artwork Exhibition". Menjadi cukup penting mengingat komunikasi antar ilustrator khususnya partisipan dengan di luar "kaum"nya memerlukan sebuah jalinan di luar koridor komunikasi karya dan penikmat karya, yang memungkinkan tumbuh minat untuk memulai sebuah karya bahkan bagi mereka yang awam. Bukankah bakat itu tidak ada tanpa minat dan belajar?

Mengenai "Ruang Belulang Artwork Exhibition", selain parade karya ilustrasi, akan ada juga workshop cukil kayu, demo menggambar, mural bersama, sharing skill seni ilustrasi, pentas musik akustik, dan lapak merchandise dan diskusi perkembangan seni illustrasi di Palembang. Penganalogian dari tulang temulang yang berserak dan terhimpun menjadi sebuah kerangka, tentunya event ini digagas untuk menjawab pertanyaan mengenai mungkin tidaknya seni ilustrasi dibahas di luar konteks kuas dan kanvas semata.





Kamis, 06 Desember 2012

Kota, Tentang Mitos Hutan Larangan






         Semangat. Itu kata yang pertama menghinggapi saya ketika akan memulai tulisan ini. Beberapa tema sempat melintas, namun kali ini pilihan jatuh kepada Urban Piknik, setelah sebelumnya waktu sempit yang saya miliki terbuang untuk menjelajahi dunia maya kesana kemari, termasuk melihat cuplikan video dokumentasi Urban Piknik beberapa waktu lalu. Semangat ini pula yang menggiatkan saya memikirkan mau dibawa kemana keluarga yang saya miliki ditengah gempuran kebutuhan yang seakan tiada habisnya. Urban Piknik, mungkin salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi manusia-manusia terasing seperti saya. 
         
Pada sebuah kawasan bermukim, ketika ruang-ruang urban sudah tidak bisa menampung aktivitas bebas masyarakatnya, maka tak pelak kreativitas terancam menjadi tak berdaya. Area yang telah dibatasi dengan plakat-plakat larangan tertulis ataupun tidak itu, tidak hanya berupa pagar-pagar geografis yang berpengaruh pada lingkup gerak masyarakat multikultur namun berimplikasi besar juga pada psikologis individual.

Rumusan penopang privatisasi akan ruang-ruang yang semestinya diperuntukkan bagi khalayak ini tak hanya menjerumuskan penghuni-penghuni kota ke dalam lubang keterasingan yang lebih dalam. Hilangnya pemaknaan kebersamaan unit-unit terkecil dalam masyarakat menjadi salah sekiannya. Tidak adanya lagi area bagi sebuah keluarga atau persekawanan untuk membuang kebosanan dengan menggelar tikar, nyanyian dan aneka makanan ringan, membuat piknik menjadi kenangan sebuah budaya usang. Dengan begitu, lenyapnya kebersamaan sebagai media pertukaran gagasan sudah barang tentu memperlemah kreativitas tersebut.

Larangan merupakan salah satu bentuk ancaman. Maka mental individu mana yang dengan senang hati menerima rasa takut sebagai anak muara dari ancaman. Sebagian yang hidup dalam naungan moralitas urban meyakini bahwa beberapa batasan itu diciptakan demi 'kebaikan' bersama, namun tidak sadar bahwa 'kebaikan' itu justru memisahkan kebersamaan yang semestinya tumbuh subur. Lalu sebagian lagi menerima pemisahan itu tak lebih karena rasa takut oleh tekanan aneka sanksi yang berjibaku dengan program pembangunan penguasa kota. Maka kemana sebagian kecil lainnya?

Seperti kisah-kisah klasik pembangkangan, hanya sejumlah kecil orang yang mencoba  memberdaya kemampuannya masing-masing dalam sebuah grup partisipasi bebas, untuk secara bersama-sama  meniadakan 'batas-batas' tersebut. Seperti kebanyakan aturan-aturan lain yang mengalami kontradiksinya sendiri, privatisasi ruang-ruang kota mengalami hal serupa 'pelanggaran'. Namun untuk yang satu ini, mereklaim sebuah hak atasnya bukanlah bentuk pelanggaran. Lagipula dalam kamus mana yang menyebut bahwa memberdaya ruang publik sebagai ajang berlibat dan berkreativitas tanpa mengganggu altivitas sekitar adalah sebuah pelanggaran, kecuali kamus yang dirumus oleh tafsir penguasa kota yang tentu berjejal dengan berbagai kepentingannya.

Urban Piknik—media sosial yang dibangun oleh sebuah grup partisipasi bebas di Kota Palembang ini, merupakan salah satu penanda bahwa masih tersimpan harapan bagi individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk merajut kembali hubungan dan pertemuan tiap darinya dengan mengokupasi area-area yang 'terlarang' bagi umum. Momen ketika setiap orang dapat berperan sesuai keinginannya dengan sukacita dan tanpa rasa was-was oleh upaya penertiban, sekaligus untuk melekatkan manusia-manusia yang telah terasing satu sama lain oleh budaya konsumsi, pusat-pusat belanja, televisi dan dunia kerja. 

Urban Piknik dirancang sebagai agenda dwi mingguan oleh sekelompok kecil pemuda yang selama ini aktif dalam pergelutan komunitas Kota Palembang, dan lalu menularkan gagasannya melalui jejaring dunia maya dan poster-poster ajakan edisi cetak ke kantung-kantung komunitas. Fokus utamanya adalah memanfaatkan ruang publik sebagai sarana berjejaring dengan khalayak di luar lingkar komunitas mereka; bertukar ide, berbagi peran, dan tentu saja, dilakukan dengan penuh sukacita. Konsepnya sederhana, yakni menyediakan kompor untuk memasak yang diberi tajuk Kompor Publik dan berpiknik di taman kota dengan beragam interaksi didalamnya. Umumnya mereka membawa perlengkapan memasak yang dicomot dan pinjam sana-sini. Di atas sebuah meja panjang yang lengkap dengan kompor, penggorengan, bahan-bahan dan bumbu-bumbu hasil patungan, siapapun boleh menyalurkan hobi dan kemampuannya memasak. Masakan-masakan inilah yang lantas dijadikan menu santapan gratis yang juga bebas dinikmati oleh siapapun yang ada disana, tidak sebatas anggota komunitas semata.
 
Tidak ada keterikatan melalui sistem keanggotaan dalam grup ini. Semua partisipan yang terlibat datang dengan inisiatifnya masing-masing untuk membawa perlengkapan makan, peralatan memasak, bakal menu, dan alat-alat penyokong lainnya. Ketika setiap orang menolak menjadi pasif dan telah berani mengambil perannya masing-masing, kelak tidak ada lagi sekat pemisah layaknya dunia tontonan yang membentuk keterasingan antara penonton dan yang ditonton, karena dalam Urban Piknik, semua orang adalah koki dan setiap orang adalah pramusaji.

Tidak hanya Kompor Publik yang terdapat dalam Urban Piknik. Di sana juga digelar berbagai aktivitas yang saling mendukung. Bagi yang suka bernyanyi dapat merealisasikannya pada kelompok akustik berpanggung tikar untuk menghibur para piknikers, atau yang membutuhkan barang-barang tertentu, dapat membelinya di Garage Sale, yakni lapak barang-barang bekas layak pakai yangmana sebagian keuntungan penjualannya didonasikan kepada kas yang dikelola oleh komite kecil Urban Piknik. Dana yang terkumpul lantas digunakan sebagai modal untuk memproduksi beberapa merchandise, yang kemudian kembali dijual dan kelipatan labanya disalurkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan piknik itu sendiri. Adakalanya Urban Piknik turut menyertakan pameran ataupun workshop fotografi, media cetak alternatif, ilustrasi, kolase dan aktivitas mural yang terbuka bagi siapapun yang ingin berpartisipasi. 

Urban piknik tidak hanya menjadi salah sekian dari harapan yang masih tersisa bagi keterasingan masyarakat kota. Ia turut menjadi momentum yang mengilustrasikan sebuah wacana keteraturan tanpa peraturan yang juga mencoba memberi jawaban atas pertanyaan para perumus peraturan tentang mungkinnya memaknai kebebasan tanpa kekacauan. Memang, berpiknik di tengah kota—tempat dimana pusat otoritas itu berada—sekilas tampak absurd, tapi ini sungguh terjadi.



Pustaka Foto

Kambang Iwak Family (KIF) Park sentra komuniti Kota Palembang, salah satu spot Urban Piknik

Lapak merchandise, sebagian keuntungannya didonasikan kepada Urban Piknik
   






                                                                         






Garage Sale, bursa barang bekas

Sticker, salah satu penopang kas Urban Piknik

Aktivitas mural

Garage Sale, bursa barang bekas

Makanan gratis

Media cetak alternatif gratis

Musik akustik

Peralatan seadanya


BILA GENJER BERBUAH DARAH, PEREMPUAN PULA YANG TERKENA GETAHNYA

Perempuan dan Hegemoni dari Sebuah Kotak Bernama Televisi

Dewa Made Karang Mahardika

Hegemoni merupakan sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang didalamnya terdapat sebuah konsep tentang kenyataan yang disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) dengan mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”—Antonio Gramsci

 


 Genjer-genjer, nong kedok’an pating keleler, emak’e tole, teko-teko, mbubuti genjer, oleh sak tenong, mungkor sedot, seng tole-tole, genjer-genjer, saiki wis digowo muleh

          Semasa saya kecil, setiap akhir bulan kesembilan,Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai satu-satunya corong informasi visual pada waktu itu, menyuguhkan sebuah tontonan 'horor' yang berhasil membuat rasa takut dan penasaran saya menjadi satu. Tentang bagaimana sekelompok pembantai menculik perwira-perwira angkatan darat, untuk lantas menyiksa dan membunuhi mereka satu persatu. Dengan keji tentu saja. Kelompok yang lalu dinamakan sebagai Gerakan 30 September dan diawaki oleh Partai Komunis Indonesia ini, menjadi setan-setan yang menghantui kepala setiap anak kecil yang lalu membawanya tumbuh bertahun-tahun setelahnya. 

          Dan meskipun film yang diproduksi oleh Perusahaan Umum Produksi Film Negara (PPFN) dan disutradarai oleh Arifin C. Noer ini menjadi tontonan wajib tiap tahun, entah mengapa tidak membiarkan rasa bosan sempat hinggap berlama-lama di benak saya. Pemilihan musik latarnya benar-benar menguatkan karakter senyap yang membuat kita ingin lebih tahu tentang kengerian walau saya sudah hapal betul jalan cerita berikutnya. Adrenalin bahkan sudah dimulai ketika segerombol orang menyerbu sebuah tempat ibadah dan mencabik-cabik kitab suci dengan arit, yang merupakan simbol komunis. Horor berlanjut dengan padanan slow motion para tentara iblis dan penyergapan para Jenderal, penculikan dan siksaan, tangis seorang ibu atas terbunuhnya sang putri dan heroisme para penjaga stabilitas negeri. 


Poster film Pengkhianatan G 30 S/PKI

          Tiga jam lebih film ini berupaya menggambarkan rekaman sejarah dengan membebankannya pada psikis pirsawan. Itulah kekuatan operasional propaganda sebuah rejim, durasi tiga jam yang meninggalkan jejak puluhan tahun di kepala jutaan pemirsa seantero Indonesia. Saya menjadi salah satu diantaranya. Mengidap penyakit hasil indoktrinasi. Menjadi begitu ngeri mendengar lagu Gender-Gender--hasil cipta Muhammad Arief seorang tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat, sayap kebudayaan PKI--yang pada sebuah adegan dilukiskan, bahwa pada malam menjelang 1 Oktober 1965 telah terjadi ritual berupa tarian mesum anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat--sayap pemuda dari Partai Komunis Indonesia--berpesta pora tanpa busana, selain mengenakan untaian kembang genjer sebagai pakaian ritual yang sadis, dimana mereka menyayat-nyayat dan menyileti kemaluan para jenderal, disertai iringan nyanyian lagu yang sebelum tragedi telah dipopulerkan oleh Lilis Suryani ini, dan sempat dibawakan oleh Bing Slamet dan Nyoto, seorang tokoh PKI dan pengurus Radio Republik Indonesia.


Arifin C Noor (kedua dari kiri) saat syuting film G30S/PKI di Jakarta, 1984

          Orde Baru berhasil membuat pengawetan kekuasaan melalui sebuah paket visual yang dikemas dramatis. Dalam sejarah perfilman Indonesia, inilah kali pertama pemerintah memberikan dukungan sepenuh-penuhnya pada seluruh aspek. Selama lebih dari tiga dekade film ini menjadi tayangan wajib TVRI dan juga berlaku bagi stasiun-stasiun televisi swasta yang muncul dikancah persaingan dunia tayangan. Sebuah pelajaran pahit bagi sebuah gerakan yang dianggap menjadi musuh negara, siapapun dia yang mencoba mengusik kerajaan Soeharto. Ketika perpolitikan di Indonesia mulai menunjukan riak-riak gejolak, film ini dihentikan jatah tayangnya pada tahun 1997, dan berlanjut menjadi pergunjingan tentang hitam putih sejarah peristiwa 30 September 1965. Namun saat ini saya lebih memilih untuk tidak ambil bagian dalam polemik ini. Gerwani tampaknya lebih menarik untuk dibicarakan.

TK Melati dan Pembebasan Perempuan

          Untuk kali pertama kongres perempuan Indonesia digelar dan memakan waktu selama empat hari, 22 hingga 25 Desember 1928 di Kota Gudeg Yogyakarta. Setidaknya 1.000 peserta dari 30 organisasi perempuan hadir di momen ini, dan dianggap sebagai salah satu peristiwa terbesar di era kolonial selama 1900-an. Setahun kemudian kongres serupa diadakan di Jakarta, lalu berlanjut ke Surabaya tahun 1930, Jakarta di tahun 1935, dan Bandung tahun 1938. Pada kongres di Bandung ini lahirlah sebuah keputusan bahwa tanggal 22 Desember--yangmana merupakan tanggal dimulainya kongres perempuan pertama--merupakan Hari Ibu yang dirayakan hinggi kini. Di era ini, gerakan perempuan berkonsentrasi pada isu-isu seputar poligami, diskriminasi kaum perempuan di tempat kerja, perdagangan perempuan, pernikahan dini, perjodohan dan akses terbatas perempuan terhadap bidang pendidikan.

          Perjuangan kaum perempuan di era kolonial sebenarnya telah dimulai beberapa tahun sebelum kongres pertama diadakan. Seorang perempuan dari kalangan bangsawan Jawa bernama Raden Ajeng Kartini, mengkritisi kesetaraan hak-hak mendasar kaum perempuan dalam mengenyam pendidikan dengan membawa slogan kekuatan, kegigihan dan ketulusan. Seperti yang tertulis dalam suratnya kepada Ny R.M. Abendanon di bulan Agustus 1900, "Tidak, tidak! Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan menunjukkan bahwa saya manusia. Manusia, seperti laki-laki." Kartini melambangkan perjuangan perempuan melawan arogansi dan budaya patriarki kolonial Belanda, bukan hanya karena ibunya berasal dari latar belakang kelas pekerja tertindas, tapi juga melihat kondisi sosial perempuan kebanyakan pada saat itu, yang tidak memiliki peran apa-apa selain harus menerima kodrat sebagaimana mestinya. 

          Perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi justru kelak terjebak dalam kontruksi gender yang dibangun oleh penguasa di masa Orde Baru. Citra dirinya telah "direnovasi" untuk memperkuat budaya patriarki. Gerakan perempuan di era Orba kala itu didominasi oleh gagasan domestikasi perempuan, atau "Ibuisme", sebagai istri yang berserah dan mengabdikan diri pada suami mereka, keluarga dan negara. Pada tingkat praktis, Ibuisme dilaksanakan oleh organisasi-organisasi para istri pegawai negeri Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK (Pemberdayaan Keluarga dan Gerakan Kesejahteraan). Bahkan di tingkat praksis selebrasi Hari Kartini yang dicanangkan oleh Soeharto telah menggeser makna emansipasi itu sendiri. Lomba menari, kontes memasak atau peragaan busana, menjadi perangkap yang menginjeksi peran-peran dosmetik kaum perempuan. Perjuangan Kartini sebatas dimaknai sebagai kegemulaian seorang perempuan ‘baik-baik’.

          Di dalam wacana kesejarahan di Indonesia, sumbangan gerakan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan kurang diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan yang berarti, walaupun  Laskar Wanita Indonesia atau Laswi, begitupun juga Gerwis yang merupakan cikal bakal dari Gerwani yang didirikan pada tanggal 4 Juni 1950 tercatat sebagian besar anggotanya adalah perempuan-perempuan yang terlibat langsung dalam perang kemerdekaan melawan Jepang dan Belanda pada 1940-an. Hal ini yang kemudian banyak menjadi ilham bagi para perempuan yang terlibat revolusi fisik tersebut untuk bergabung di dalam Gerwis sebelum kemudian berganti nama menjadi Gerwani. Gerwis sendiri adalah merupakan hasil koalisi dari enam organisasi perempuan, yaitu Rupindo (Rukun Putri Indonesia; Semarang); Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia; Kediri), Wanita Madura (Madura), dan PPRI (Perjuangan Putri Republik Indonesia; Pasuruan), pada kongres mereka yang pertama di Jakarta, Desember 1951. 

          Gerwani merupakan organisasi perempuan yang independen, tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, bahkan Partai Komunis Indonesia, seperti yang dipahami oleh banyak orang selama ini. Organisasi yang didirikan pada tahun 1954 ini berjejaring dengan pelbagai gerakan perempuan di dunia serta tergabung dalam Gerakan Wanita Demokratis Sedunia.  Tujuan utama gerakan Gerwani adalah meningkatkan kemampuan dan harkat perempuan. Kegiatan mereka yang lain adalah membangun sekolah-sekolah yang salah satunya dengan mendirikan dan mengelola Taman Kanak-Kanak Melati yang diklaim mencapai 1.478 titik di seluruh wilayah Indonesia, yang diutamakan untuk anak-anak para buruh tani. 

          
Kelas pendidikan Gerwani


          Di dalam pendiriannya, TK Melati diserahkan pada pengurus ranting setempat. secara otonom.  Pengurus ranting seringkali melibatkan pihak kelurahan dan anggota-anggota masyarakat lain untuk menyediakan tempat dan peralatan TK, yangmana sebagian besar tenaga pengajarnya melakukan pelatihan dengan sukarela tanpa mendapat imbalan. Model penggalangan dana, atau yang kita kenal dengan istilah benefit--bisa dilaksanakan dengan mengadakan pertunjukan wayang dan menjual tiket pertunjukannya untuk pendirian dan penunjang operasional TK.

          Para perempuan yang tergabung dalam Gerwani juga memperjuangkan undang-undang perkawinan termasuk menentang poligami (yang waktu itu akan diresmikan undang-undang yang memberikan tunjangan lebih besar kepada pelaku poligami), aktif mengkampanyekan hak-hak perempuan, menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf, serta menangani masalah perempuan buruh dan petani dan memperjuangkan hak-hak mereka.

          Selain mengubah pola dari organisasi kader menjadi organisasi massa, berkat kedekatan dan kerjasama dengan serikat-serikat buruh dan Buruh Tani Indonesia (BTI) di basis-basis petani dan buruh, anggota Gerwani melonjak cepat, dari 500 ribu menjadi 1,5 juta dan memiliki cabang hampir di semua daerah dan pelosok Indonesia. Gerwani menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia

          Belum ada satu pun organisasi perempuan modern mampu menghimpun anggota sebanyak itu hingga kini. Gerwani, dengan kekuatan 1,5 juta perempuan kritis dan berani menuntut hak, tentu menakutkan bagi calon penguasa otoriter seperti Soeharto. Maka demi 'keutuhan' bangsa, Gerwani diberangus bersamaan dengan pemberantasan PKI. Banyak nyawa orang-orang--yang dianggap sebagai partisan dan simpatisan PKI dan Gerwani--yang direnggut secara paksa sebagai akibat histeria massa yang kalap dan dilingkupi kebodohan saat mendengar bahwa PKI dan Gerwani adalah dalang pembunuhan keji para petinggi militer Indonesia. Kemarahan yang buta. Entah berapa jumlah yang hilang dan tidak diketemukan. 

          Ribuan anggota Gerwani melarikan diri dan sempat bertahan di hutan-hutan dan goa pegunungan. Setelah berhasil ditangkap, mereka ditahan tanpa pengadilan. Menanggung siksaan psikis dan fisik. Mengalami kekerasan seksual. Stigma buruk melekat pada anggota-anggotanya yang tersisa selama puluhan tahun setelahnya.

Epilog

          Meski tidak secara vulgar disebutkan, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI ditutup dengan kemenangan dari militer khususnya Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia. Tentu saja, kejadian-kejadian yang lebih menakutkan dari adegan-adegan dalam film tidak ditayangkan, yakni tentang pembantaian massal yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi sayap kanan yang dibantu oleh tentara terhadap orang-orang yang dianggap mendukung PKI. 




          Tidak ada angka yang dapat dengan pasti menyebut jumlah nyawa yang tewas ditembak dan digorok lalu dibuang ke sungai-sungai atau bergeletakan di jalan-jalan. Bahkan ada yang menaksir jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa, setelah mengkalkulasikan jumlah korban yang dipenjarakan dengan jumlah anggota dan simpatisan PKI yang pada saat itu diperkirakan mencapai 20 juta jiwa. Bila benar PKI merancang skenario pemberontakan, jumlah di atas tentu saja bukan tandingan bagi TNI. Nyatanya, PKI bisa dikalahkan tanpa perlawanan. 

          Tragedi kemanusiaan tersebut menjadi pembuka pintu gerbang bagi ekonomi liberal dengan jutaan nyawa sebagai upetinya. Dua tahun pasca kejadian, Freeport mendaki pegunungan Papua, Caltex mendarat di Riau. Kekayaan alam Indonesia dibagi-bagikan kepada sejumlah korporasi multinasional melalui pertemuan para ekonom Orde Baru dan sejumlah pejabat tinggi korporasi di Swiss pada November 1967.

         Si penggubah lagu Genjer-Genjer, Muhammad Arief, turut menjadi korban pembantaian. Karyanya tak luput dari pemberangusan, dihapus dari ingatan kolektif. Membuat sebagian besar rakyat Indonesia lupa pada nada asli lagu ini. Namun justru sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang hidup dibawah tebaran teror moralitas rejim Orde Baru, tentu tidak segampang itu untuk dapat mengusir rasa jijiknya dari Gerwani. Kebencian telah terlanjur mendarah daging pada perempuan-perempuan yang digambarkan pada film di atas sebagai para sundal yang dengan kejam mencukil biji mata dan memotong alat kelamin para jenderal dengan silet, meski fakta otopsi yang diungkap oleh seorang ahli forensik, Benedict Anderson, jelas menyatakan bahwa tidak ada jejak silet, pisau cukur dan pisau lipat pada tubuh para jenderal, dan nyatanya, alat kelamin mereka benar-benar masih utuh.

Lihatlah, bagaimana hegemoni bekerja...