27
April 2011, catatan prepare mayday 2011
Apalagi yang tersisa
di ranah ini selain asbak, gelas kotor, langkah-langkah Emily Dickinson1,
monitor, dan para pembunuh yang gagah berkeliling dibalik kabut laba, atau otak
kotor laki-laki itu hari ini—mencari-cari alasan untuk kembali membolos kerja. Atas
nama siang panas yang tak bertuan, dia telusuri lagi aspal jalan yang menguap
dan menjanjikan keindahan, bahwa dipenghujungnya terbentang danau emas yang
menyejukkan. Dimana tepian danau itu
ditumbuhi pohon-pohon berbuah kristal yang mengantarkan setiap pejalan
menemukan muaranya, yaitu sebuah bukit absurd2 yang penuh kejayaan
tua. Semakin mendaki, semakin kau temukan banyak keimitasian di sana. Sehingga
banyak yang lelah dan mati sebelum dapat mencapai puncak tersebut. Sang lelaki
tidak peduli pada kebohongan cerita itu. Tapi yang pasti, kemejanya basah oleh
keringat saat ini. Siang yang luar biasa panas namun memberi rasa aman bagi
penggemar matahari seperti dirinya yang takut pada malam, karena gelap
menyisakan dongeng tentang penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh para
setan. Tapi setidaknya nalurinya ada benarnya juga kali ini, yang berkata bahwa
ada sebongkah harapan di dalam gedung yang akan didatanginya lagi hari ini, ya
paling tidak ada kesejukan dari mesin pendingin didalamnya, namun tetap harus
ditambah dua hal lagi yang tak bisa dilupakan: rasa muak, serta setan-setan penyiksa yang sesungguhnya jauh
berbeda dengan dongeng-dongeng masa lalu.
Setan-setan modern
ini bergentayangan siang dan malam, yang tak pilih-pilih waktu, tak kenal
tidur, berpantang lelah dan tak mengenal rasa. Setan yang paham benar cara
memanajemen kerajaan nerakanya hingga menjadi seindah dan senyaman surga. Setan
yang membuatmu bersedia melakukan apa saja demi iming-iming kemapanan. Setan yang
merakit tata dunia baru. Setan yang sama saat kau bercermin pada etalase dan
gerai-gerai konsumsi. Setan yang menghantui setan yang menulis “Hantu itu bernama Komunisme.3” Setan yang licik. Setan yang peduli
setan. Setan yang masa bodo’ amat.
Laki-laki itu
membayangkan ruang kantornya yang penuh kepalsuan. Senyum manusia-manusia
didalamnya, keramahannya, kemarahannya, perabotannya, alat-alat elektroniknya.
Semuanya palsu. Lebih palsu dari telepon genggam yang diberikan oleh kantor
dengan teknologi GPS4 untuk mengontrol hidup para tenaga penjual
seperti dirinya yang merupakan garda terdepan perusahaan. Dunia kerja menampilkan ilusi ketidakberdayaan
manusia dalam melawan hukum alam. Seperti sebuah lirik lagu tetangga sebelah
rumah, “wo-hoho lagi-lagi uang.5” Yang sebenarnya bisa saja diartikan: “bekerjalah,
kalau tak kerja maka kau tak makan.” Maka diaturlah jam bersekolah separuh
lebih mendekati jam kerja, mungkin supaya diriku dan dirimu mulai membiasakan
diri dengan keteraturan dan kebosanan. Semua telah dipersiapkan sedemikian
rupa. Memasuki bangku kuliah, dekorasi persiapan untuk masuk ke dalam dunia
kerja semakin masif dijejalkan kedalam mahasiswa yang sebagian besar memang
punya motif yang sama, yakni sukses menjadi pekerja. Sukses menjadi pekerja
atau menjadi pekerja sukses? Definisi kata sukses secara normal memang seperti
itu. Logika formal mengatakan bahwa untuk menjadi seorang yang sukses maka kau
harus memiliki pendidikan yang tidak cukup di bangku sekolah saja, kau harus
menjadi mahasiswa, siswa yang maha, yang mereduksi makna kata ‘maha’ dari
sesuatu yang tunggal menjadi sesuatu yang jamak. Kau harus menjadi seorang
sarjana agar kau dapat memahami sebuah lagu dari Iwan Fals yang digemari dan
diamini oleh kultur pop: “…engkau sarjana
muda, resah mencari kerja, mengandalkan ijazahmu6…”
Si laki-laki memacu
motornya dengan gamang. Matanya terasa berat oleh sisa-sisa bergadang yang oleh
banyak orang dianggap tak perlu. Bergadang-berdagang. Dua kata yang nyaris sama
dengan makna yang jauh sama sekali. Dua kata yang akrab dengannya. Bergadang
dimalam hari menulis sesuatu, dan berdagang (bekerja diperusahaan dagang) untuk
menulis nota penjualan. Dua kesamaannya: sama-sama menulis. Bergadang mencipta karya,
berdagang membuat kaya.
Berkali-kali terlintas
dikepalanya perihal anak dan istri di rumah kecil mereka, di sebuah pemukiman
keras dan kumuh yang merupakan sarang para kriminal. Bayang-bayang wajah mereka
begitu menggoda. Dia rindu ingin pulang, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan
saat ini. Uang setoran harus sudah diantar menjelang sore. Ah, andai saja hujan turun
kali ini. Si laki-laki bingung akan bersitan itu. Doa? Apakah layak seorang
pendosa baginya berdoa? Apakah layak seorang pembohong seperti dirinya yang
berkali-kali membolos dengan berbagai alasan palsu untuk berdoa? Tapi
kerinduannya pada rumah tak tertandingi. Karena memang tak ada yang lebih
nyaman selain melakukan apa yang kita sukai. Tanpa alasan dan kepura-puraan
apapun. Bagi laki-laki itu, kenikmatan berada di tengah keluarga belum ada yang
bisa menyaingi, karena hal itu tidak perlu pula dikompetisikan seperti halnya pasar
bebas. Dan memang keadilan berpihak lagi padanya hari ini. Langit dengan cepat
menggumpal di ujung horison. Dalam hitungan menit awan bergulung-gulung seperti
bola-bola hitam. Satu dua titik air menetes di kaca helmnya. Dia memperlambat
laju motor sebelum hujan meledak, dan menepi di halaman sebuah ruko yang jumlah
pembangunannya semakin menggila, berjibaku dengan tingkat penjualan kendaraan
roda dua di kota ini yang laris manis seperti kacang rebus. Dia membungkus
barang-barang penting di dalam tasnya dengan sebuah cover bag yang selalu ia
bawa di musim cuaca tak tentu seperti saat ini. Sebelum sebagian orang sadar
akan ancaman, si laki-laki telah larut diantara euforia guyuran hujan dan
orang-orang yang panik menyelamatkan diri dari basah. Ia tertawa sambil menjerit-jerit
menancap gas menerobos dingin demi rumah dan keluarganya yang hangat. Menuju sebuah
bukit emas6 yang sesungguhnya, keriangan bersama keluarga, meskipun seringkali
membuatnya terjatuh untuk bangkit kembali. Karena pengulangan ini bukan sebuah ilusi
dan walaupun tentu saja penuh kontradiksi. Ini adalah kebahagiaan. Ini adalah
kejayaan.
Beberapa saat
kemudian, beberapa kilometer dari lokasi si lelaki yang kuyup, dalam ruang
sebuah kantor, seorang pria7—gayanya seperti bos—membaca pesan
singkat di telepon genggamnya
“Selamat
sore Pak. Mohon maaf, saya tidak bisa setoran hari ini karena kehujanan. Terima
kasih atas perhatiannya.”
Pria rapi itu menatap
ke langit dari balik ruangannya yang bersebelahan dengan sebuah jendela. Langit cerah8, gumamnya setengah kesal dalam hati.
(Hujan lokal
kali, Pak Bos!)
Notes:
1
= Emily Dickinson seorang penyair di abad ke 19 di era perang saudara dan upaya
penghapusan perbudakan di Amerika. Dari ratusan karyanya, hanya beberapa saja
yang diterbitkan secara anonimus dimana hanya para kolega saja yang mengenali dan
mengumpulkan karya-karyanya yang tersebar di atas potongan kertas, bagian
belakang resep atau amplop bekas. Baru setelah memasuki dunia modern, para
pengamat dan penggiat puisi mulai memperhatikan puisi-puisinya yang beberapa
diantaranya menggunakan kombinasi angka-angka, dan ini dianggap menjadi salah
satu karakter khasnya yang unik. Ia memanfaatkan keterasingan, mitos-mitos, dan
alkitab sebagai referensi dalam menulis puisinya yang lebih banyak bercerita
tentang penentangannya pada perbudakan manusia.
2 =
Mitologi klasik Yunani yang ditulis ulang oleh Albert Camus dalam Le Mythe de sisyphe atau yang lebih
dikenal dengan Mite Sisifus (1984), tentang
seseorang bernama Sisifus yang dihukum oleh para Dewa karena sebuah
pelanggaran, untuk membawa sebuah batu besar keatas sebuah bukit. Sebuah
filosofi yang bisa menjadi pijakan bagaimana melihat kehidupan manusia dunia
modern dengan batu (derita) yang semakin berat sementara jalan (kehidupan)
semakin sempit, serta untuk memahami dilema kaum pekerja yang memikul sesuatu
yang sebenarnya bukanlah takdirnya.
3 =
Pasca keruntuhan Soviet, komunisme dianggap sebagai sebuah aliran yang subversif
dibeberapa negara. Indonesia sendiri memiliki catataan kelam tentang
pembantaian massal yang dilakukan atas nama stabilitas dari ancaman Partai
Komunis Indonesia dan bagi siapapun yang dianggap terlibat langsung ataupun
tidak didalamnya. Banyak diantaranya justru mereka yang tidak tahu menahu
tentang politik negeri. Tidak ada data pasti tentang jumlah korban tewas dan
hilang. Menurut Robert Cribb dalam bukunya The
Indonesian Killings, 750 ribu jiwa menjadi korban pembantaian massal, menurut
Frank Palmos dalam bukunya One Million
Dead, terdapat 1 juta jiwa korban tewas, sementara menurut pengakuan mantan
komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo bahwa setidaknya 3 juta jiwa “dilenyapkan”
masa itu. Selebihnya menjadi tahanan politik dan menjadi korban pelanggaran HAM
oleh negara baik secara fisik ataupun psikis hingga generasi setelahnya.
Anak-anak para eks-PKI atau yang dianggap eks-PKI mendapat stigma yang buruk di
mata masyarakat berkat adanya label yang diberikan oleh pihak penguasa pada
saat itu yang mendapat dukungan dari pihak asing dalam hal ini CIA (Peter Dale
Scott-Pacific Affairs), juga
membatasi hampir segala ruang lingkup hidup para keturunan eks-PKI dan yang
dianggap eks-PKI, termasuk tanda khusus di kartu tanda penduduk mereka, yang
sudah barang tentu tak diberi ijin untuk bisa mengambil posisi di birokrasi. Di
era reformasi dimana kran-kran demokrasi mulai tercurah, stigma ini mulai
dihapus. Namun hingga kini komunisme tetap menjadi ajaran terlarang di Indonesia.
Banyak penulis yang menerbitkan buku anti “kiri” dan bermunculan pula gelombang
fasis baru yang memberangus buku-buku yang dianggap mengandung unsur komunis.
4 =
GPS (Global Positioning System) adalah sebuah peralatan navigasi yang pada
awalnya didesain sebagai akibat permasalahan pasukan Amerika serikat dalam
menghadapi perang Vietnam, demi memudahkan setiap prajurit darat saling
mengetahui posisi satu sama lain di medan tempur yang didominasi hutan tropis.
itengh medan . Dewasa ini, demi efektifitas dan efisiensi dalam meraih laba,
perusahaan-perusahaan mulai menerapkan sistem ini untuk mengkontrol kinerja
karyawannya, terutama bagi mereka yang bekerja diluar ruangan dengan cara
mengintegrasikan GPS pada setiap telepon genggam atau arloji karyawan tersebut.
Dengan metode ini perusahaan dapat mengontrol kinerja harian karyawan sehingga tidak
dapat melakukan kerja-kerja sampingan ataupun hal-hal yang melenceng dari
ketetapan perusahaan.
5 =
Lagu berjudul Lagi-lagi Uang yang
dipopulerkan oleh Pretty Sisters. Menurut analisa penulis, lagu ini bercerita
tentang obsesi manusia dalam mengejar alat pertukaran yang bernama uang yang
memungkinkan siapapun melakukan apapun deminya.
6 =
Album Sarjana Muda karya Iwan Fals
dan ini bercerita tentang balada jatuh bangunnya seorang sarjana dalam mencari
kerja ditengah kompetisi lautan sarjana dan non sarjana yang tiap semester
bertambah banyak. Di tahun 2008 tercatat sebanyak 280.657 jiwa pengangguran di
Sumatera Selatan (BPS-Sumsel), dan pada tahun 2010 terdapat 8,32 juta jiwa di
Indonesia yang didominasi oleh lulusan perguruan tinggi dan diploma (BPS). Meskipun
diragukan keberpihakan politiknya, Iwan Fals tetap digilai oleh kaum muda
terutama dari kalangan urban yang terpinggirkan.
7 =
Walaupun secara biologis lelaki/laki-laki dan pria adalah sama, namun di cerpen
ini penulis memiliki sudut pandang tersendiri bagi kata lelaki/laki-laki yang
dianggap lebih bersahaja atau lumrah, dan pria yang dianggap lebih identik
dengan sesuatu yang formal. Hal ini yang
juga menjadi alasan bagi penulis untuk membedakan karakter atau latar
belakang tokoh pertama dan tokoh kedua.
8 =
Hujan lokal merupakan fenomena keunikan
alam yang kerap terjadi di Kota Palembang. Pola curahnya yang tidak merata
dapat dirasakan meski jeda antara tempat turunnya hujan dengan tempat lain yang
tidak hujan hanya berselang ratusan meter. Seringkali hujan lokal menimbulkan prasangka
dalam interaksi sosial antar individu pada masyarakat.